Kamis, 23 Juli 2009

Farih

gambar surga
pada tembok sekolah
taman kanak-kanak


Juli 2008

Sabtu, 18 Juli 2009

Kalo Ada yang Bilang Hidup Itu Adalah Kumpulan dari Bagaimana Seseorang Mempengaruhi Orang Lain atau Sebaliknya, Maka Saya Setuju

Hari ini saya inget saat pertama kali ngelamar seseorang.

Sebelomnya memang ada sebuah novel yang mempengaruhi saya.

Emm... tunggu, tunggu... sebenernya, novel itu yang mempengaruhi saya atau saya yang mencoba terpengaruh dengan novel itu ya?

Whatever lah!

Judul novel itu Alchemist karangan Paulo Coelho. Novel itu bercerita tentang Santiago, seorang anak petani sederhana, yang memutuskan untuk menjadi gembala. Setelah ia menjadi gembala, ia bermimpi tentang harta karun yang terpendam jauh di sebuah tempat. Ia mengikuti kata hatinya untuk menjual seluruh dombanya dan melakukan perjalanan untuk membuktikan mimpinya itu. Dari keputusannya menjual semua dombanya demi membuktikan mimpiya, mungkin banyak orang berpikir kalau dia adalah orang yang suka tantangan dan mungkin juga sedikit bodoh.

Lebih jauh membaca novel ini, rasanya saya terbawa nuansa magis yang bikin saya ngerasa ‘mesti-nyelesain-novel-itu-sampai-habis-sekarang-juga’. Sampe sekarang, setiap lagi ada waktu luang dan lagi suntuk, saya selalu baca ulang novel itu. Dan setiap saya baca, saya selalu menemukan hal-hal baru yang bisa saya pelajari. Saking ‘bersayapnya’ kata-kata di novel itu, terkadang saya bilang ke diri saya sendiri waktu lagi baca ulang, ‘Anjrit! Perasaan dulu gak ada kata-kata ini deh?’

Kata-katanya penuh makna, bersayap, kritis dan menghadirkan nuansa yang dapat menyentuh hati tiap orang yang membacanya. Indah luar biasa.

Setelah santiago sampai pada sebuah tempat dalam perjalanan menemukan harta karunnya itu, ia bertemu seorang wanita. Wanita yang sama sekali baru ia kenal, yang baru kali itu ia bertemu.

Demikian petikannya:

Akhirnya seorang wanita muda tampak mendekat. Dia tidak berpakaian hitam. Wanita itu membawa buyung di bahunya, kepalanya tertutup kerudung, tetapi wajahnya tidak bercadar. Si anak lelaki mendekatinya, untuk menanyakan tentang alkemis.

Pada saat itu waktu seakan berhenti bergerak, dan Jiwa Dunia bergolak di dalam dirinya. Ketika ia menatap mata gelap gadis itu, dan melihat bibirnya yang setengah tertawa dalam kebisuan, dia pun belajar bagian paling penting dari bahasa yang dikuasai seisi dunia ini —bahasa yang bisa dipahami siapa pun di bumi, di hati mereka. Bahasa cinta. Bahasa yang lebih tua daripada manusia, labih kuno daripada padang pasir ini. Sesuatu yang meletupkan daya yang sama manakala dua pasang mata beradu pandang, seperti terjadi pada mereka di sumur ini. Gadis itu tersenyum, ini jelas perrtanda —pertanda yang sedang ditunggu-tunggu anak lelaki itu, tanpa menyadarinya sepanjang hidupnya. Pertanda yang selama ini dicari-carinya bersama domba-dombanya, di dalam buku-buku yang dibacanya, diantara kristal-kristal itu, dan dalam keheningan padang pasir ini.

Bahasa dunia yang murni. Bahasa yang tidak membutuhkan penjelasan, seperti halnya jagat raya ini tidak membutuhkan penjelasan dalam perputarannya di ruang-ruang waktu yang tak berujung. Yang dirasakan si anak pada saat itu adalah: dia sedang berhadap-hadapan dengan satu-satunya wanita dalam hidupnya, dan tanpa dijelaskan dengan kata-kata, gadis itu juga merasakan hal yang sama. Anak itu yakin sekali akan hal ini, melebihi keyakinannya akan hal lain apa pun di dunia. Orangtuanya dan kakek-neneknya telah mengatakan, dia mesti jatuh cinta dulu dan kenal betul akan gadis yang hendak dijadikan pasangan hidupnya. Tapi orang-orang seperti itu mungkin barangkali tidak pernah belajar bahasa universal. Sebab jika kau mengerti bahasa tersebut, mudah saja memahami bahwa ada seseorang di dunia ini yang menanti-nantimu, entah di tengah padang gurun atau di kota besar. Dan disaat dua orang ini bertemu dan mata mereka beradu pandang, masa lalu dan masa depan tidak lagi penting. Yang ada hanyalah saat ini, serta keyakinan yang amat sangat bahwa segala sesuatu dibawah matahari ini digoreskan oleh satu tangan yang sama. Tangan yang telah membangkitkan rasa cinta, menciptakan kembaran jiwa untuk semua orangn di dunia. Tanpa cinta semacam itu, mimpi-mimpi kita tidak lagi berarti.
Dan saya terpengaruh.

Rabu, 15 Juli 2009

Kapan Waktu yang Paling Tepat untuk Melamar Seseorang?

Semua orang yang udah nikah pasti pernah ngalamin ini; memilih waktu yang tepat untuk melamar seseorang. Dan mungkin sulitnya relatif sama. Beberapa Minggu yang lalu gue ngobrol dengan seorang temen kuliah tentang pernikahan. Dia cerita kalo cowoknya udah mao ngelamar, tapi dia malah bilang: “nanti aja, sayang, abis aku lulus kuliah. Kalo sekarang waktunya kurang tepat!”

Ya, ya, ya... waktunya kurang tepat.


Dan

Setelah itu, gue jadi mikir kapan sebenernya waktu yang tepat untuk menikah?


Kalo dikatakan waktu yang tepat untuk menikah, jika udah punya pekerjaan dan punya penghasilah tetap, punya rumah, punya kendaraan dan punya uang untuk melaksanakan acara resepsi, bukankah terlalu sulit?


Dan, ma’af, mungkin juga terlalu dangkal.


Sementara kesiapan mental adalah satu hal yang paling utama. Lebih penting dari hanya sekedar hitung-hitungan diatas kertas tentang biaya yang akan dikeluarkan untuk acara resepsi, uang yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan untuk keprluan-keperluan lain.


Sementara, pernahkah orang berpikir tentang sebuah keluarga yang hidup dari gaji suami yang tukang becak?
Seperti di keluarga cemara.

Kemudian...


Bisakah tukang bakso hidup dengan seorang istri dan tiga orang anaknya?
Bisakah seorang banker yang gajinya puluhan juta hidup dengan seorang istri dan dua orang anak? Bisakah seorang artis yang menikah dengan artis lainnya hidup dengan berkecukupan dan nyaman?

Semua jawaban pertanyaan-pertanyaan itu adalah relatif....


Dan Nabi Kita pernah bersabda: menikah itu Sunnah-ku, siapa yang tidak mengikuti Sunnah-ku maka mereka bukan termasuk golonganku.

Tinggal apa standar hidup masing-masing orang. Makin tinggi standar hidup seseorang, semakin susah ia menikah.

Mungkin.