Jumat, 12 Juni 2009

Penulis muda pada sebuah puisi

Pada suatu sore, seorang penulis muda datang ke sebuah toko buku besar di kotanya. Ia bertanya tentang sebuah buku yang baru saja diterbitkan. Pelayan toko menunjuk dan menuntun anak itu ke rak di mana buku itu dipajang.

“Ini buku karangan saya, Mas!” kata penulis muda itu dengan bangga ke pelayan toko sambil mengangkat buku itu dengan bangga.

“Oya?” kata pelayan toko datar.

“Saya boleh mebeli buku ini, Mas!” lanjut si anak antusias.

“Oh, ya silahkan!”

“Apa tidak ada diskon?”

“Tidak ada.”

“Sama sekali tidak ada?”

“Sama sekali tidak ada.”

“Tapi uang saya kurang, Mas.”

“Anda kan penulisnya?” kata pelayan toko sambil meletakan buku itu ke tempat semula, “Bukankah penulis mendapat royalty dari buku karangannya?”

“Ya, tapi itu kan perenambulan.” Kata anak itu, “Apakah aku harus menunggu sampai enam bulan lagi?” lanjutnya dalam hati.

“Yah, itu cukup untuk membuat karya baru lagi, kan?” kata pelayan toko sambil pergi meninggalkannya.

Ia keluar dari toko itu dengan kecewa. Tapi dalam hatinya ia bertekad ingin membeli buku itu. Sekedar untuk kenang-kenangan lah.

Ditengah jalan pulang, ia melihat tukang pakaian bekas. Dalam hatinya terbersit keinginan yang tak sempat ia ucap, “Ah, mungkin harga celanaku cukup untuk membeli bukuku sendiri.”


Bekasi, Juni 2009


Sabtu, 06 Juni 2009

Badung Kesarung; Sebuah Kebadungan yang Komunal




Bayol ketawa cekikikan dan memantau buruannya itu dari jauh. Lima belas menit mereka memantau masih belum ada reaksi apa-apa. Bayol pun mengeluarkan ide lain.

“Sekarang lo kelitikin kakinya!” sabda Bayol kepada pengikutnya.

Si Bateks pengikut setia Bayol rela menjadi martir untuk tugas suci itu. Dia ngambil kalam dari dalam Quran yang biasa dipake buat menunjuk bacaan ketika ngaji. Kebetulan kalam itu adalah kalam bulu angsa.

Faisal yang memang belum sadarkan diri, masih asyik dengan ngoroknya. Entah mimpi apa dia dalem tidurnya itu. Mungkin mimpi bersetubuh sama hamster. Tanpa banyak basa-basi Bateks ngelitikin kakinya Faisal. Faisal kegelian dan ingin menyepak. Tapi malang nasib dia karena jempol kakinya terhubung tali dengan tititnya. Seiring sepakan kuda Ambon kegelian itu, Faisal bangun lalu berteriak keras, “AAARRRGGGHHH!!!”

“HAHAHAHA!!!” Bayol ketawa puas.

Bayol adalah jenis orang-orang yang menganggap kelucuan adalah jika orang lain menderita. Jadi bahan kejahilan mereka biasanya pun menyangkut dengan kekonyolan-kekonyolan yang terkadang gak masuk pikiran. Contohnya seperti yang mereka lakukan pada Faisal Ambon tadi.

BERIKUT adalah cuplikan dari Badung ke Sarung; Santri Badung tanpa Sarung. Sebuah novel karya Nailal Fahmi.

Sekilas membaca judul novel ini orang akan tahu bahwa kisahnya mungkin bercerita tentang santri yang badung. Namun lebih dari itu, novel ini menyajikan kebadungan yang mempunyai arti. Kebadungan yang alami dan apa adanya. Sejenis kebadungan yang menggelitik alam bawah sadar pembaca dan diam-diam berkata dalam hati, ‘Astagfirullah! Kok mirip gue ya!’


APA KATA MEREKA

"Badung ke Sarung, asik juga dibaca di sore hari sambil ngupi dan ngupil... Asal jangan ketuker aja. Yang dikorek kupi dan yang diseruput upil. Hiiiiii... Lucu, dan menyegarkan, hahahaha...."
Agung Novelzyius, Penulis Muda dan personel Foto Band


“Gue suka sama ceritanya!! Terutama pas Bang Fach cerita tentang seorang anak raja yang berkelana mencari kebebasan itu. Good story!!”

Rizal Khadafi, Mahasiswa UI Program Komunikasi Periklanan


"Permainan kata, tarian gaya bahasa, bertabur jenaka.
Tapi tidak menghilangkan makna"

Dian Purnama Putra, Freelance Journalist

“Ha ana dza. Novel ini mampu merekonstruksi pemikiran dan kepribadian santri untuk jadi lebih baik.”

Muchammad Nathiq, SHI, Ketua Pondok Pesantren Al Arifiyah, Pekalongan