Senin, 26 Juli 2010

Anak saya adalah ...

Ketika istri saya berada pada ‘bukaan tujuh’, dokter memberikan instruksi kepada para bidan, “Kalo sampe jam 3 bayinya belum bisa keluar, harus operasi.”

Tapi,

lima menit sebelum jam tiga sore bayi itu dilahirkan dengan normal.

Kejadiannya memang gak semulus dengan apa yang barusan saya tulis. Sebagaimana kita ketahui bahwa melahirkan adalah perjuangan antara hidup dan mati, kawan! Bukan seperti membuang ingus yang menyumbat hidung. Atau seperti muntah karena masuk angin. Atau makan nasi uduk di pagi hari. Bukan! Sama sekali bukan!

Dari awal kehamilan istri, saya sering membaca artikel tantang kelahiran normal. Idealnya suami-istri yang akan punya anak adalah seperti ini.

Suami : mah, nanti mau lahir dimana?

Istri : ah, dimana aja yang penting ditemenin papah.
Suami : di dukun beranak mau?
Istri : boleh!
(dan mereka ke dukun beranak dan melahirkan tujuh anak kembar)

Namun dalam dunia saya, kejadian yang seharusnya mudah itu menjadi:

Saya : bu, mau lahir dimana?
Istri : di bidan deket rumah aja, pak! Biar lebih murah dan deket.
(saya dan istri pergi ke bidan)
Bidan-deket-rumah : wah! Ini ada miom yang menyumbat jalan lahir. Harus di oprasi!

Dunia memang gak selalu seperti yang kita inginkan.

Atas saran bidan kami dirujuk ke rumah sakit. Sampai di RSUD (tentu dengan pertimbangan biaya yang paling murah dari rumah sakit lainnya), kami masuk ruang tunggu. Saya berharap anak Perempuan kami (berdasarkan hasil USG) lahir sehat. Saya juga terus saja berdo’a semoga istri saya masih bisa melahirkan normal. Walaupun saya juga takut jika do’a saya tidak dikabulkan tuhan karena saya banyak maksiat.

Tapi.. sebagai orang yang lebih pintar dari anak TK nol kecil saya tidak kehabisan akal. Saya tahu orang yang doanya selalu dikabulkan tuhan. Ibu. Saya akan meminta ibu untuk mendoakan. “Do’a ibu” Sebagaimana yang sering kita lihat di belakang truk-truk pengangkut pasir.

Saya menghubungi ibu untuk menemani persalinan.

Dalam bayangan saya:

saya masuk ruang persalinan. Di luar ruangan ibu saya berdo’a. Ia mendengar tangisan dari dalam ruangan dan berseru, “Alhamdulillah, cucuku sudah lahir!”

Oke.

Itu idealnya.

Dalam kenyataannya:

istri saya masih pembukaan satu. Ibu saya masuk ruangan.

Saya : do’ain semoga lahirnya lancar ya, bu!
Ibu : iya!

Beberapa menit kemudian....

Ibu : ibu keluar dulu ya, Mi!
Saya : kenapa?
Ibu : gak tahan mau pingsan kalo diruangan AC.

Dan kejadian selanjutnya adalah ibu pingsan di ruangan tunggu.

....

Idealnya lagi, di saat-saat kritis seperti itu suami berada disamping istri dan memberikan kata-kata semangat, “Ayo, mah! Kamu bisa. Ini cuma seperti kebelet boker karena kamu terlalu banyak makan anak gajah!”

Namun kenyataannya dalam dunia saya, pada saat istri ‘bukaan-delapan’, saya diminta keluar. Istri saya terus menangis. Menggapai-gapai. Dan memanggil nama saya, “Jangan tinggalkan aku sendiri! Jangan tinggalkan aku sendiri! ”

Oke. Oke.

Itu terlalu lebay.

Yang jelas kejadiannya menegangkan. Lebih menegangkan dari naik tornado di dufan. Saya lebih memilih naik tornado-dufan gratis bareng temen-temen lama sekalian reunian daripada terus mendengar istri saya teriak kesakitan (ya iya lah!).

Saya diminta keluar ruangan dan menunggu dengan cemas.

Nah! Pada saat menegangkan itulah, kawan! Secara kebetulan saya bertemu bidan-deket-rumah-yang-memberi-rujukan-ke-RS sedang jalan-jalan di RS itu. Sebenernya saya sempat berpikir, ‘apa begini gaya hidup para bidan? Jalan-jalan ke RS pada waktu luang? Seperti para koruptor yang jalan-jalan ke Singapur untuk berjudi?’ (memang analoginya gak nyambung, tapi yang muncul cuma itu).

Fokus!

Serius!

Bidan-deket-rumah ternyata punya banyak kenalan si RS itu dan diperbolehkan masuk ke ruangan bersalin. Bagitu keluar, senyumnya mengembang. Senyumnya mengingatkan saya pada orang yang dapat hadiah undian satu milyar dari Pepsodent. Dengan senyum itu ia berkata, “Selamat ya... anaknya sudah lahir normal. Laki-laki. Ganteng.”

Saya kaget!

‘Normal-laki-laki’ ada di luar ekspektasi saya.

Tapi saya senang.

SMS saya kirim ke penjuru nusantara untuk mengabarkan kabar gembira itu. Saya senang. Sekali lagi saya senang.

Lima menit kemudian saya masuk ruangan dan mengazankan ‘anak-laki-laki’ itu. Saya menghampiri istri dan menanyakan nama untuk sang bayi. Istri saya menyebut nama perempuan. Saya mengusulkan nama laki-laki. Kami berdebat.

Saya : anak kita bukannya laki-laki?
Istri : perempuan. Tanya aja sama bidannya (bidan rumah sakit).

Tentu saja istri saya yang benar.

Dan kepercayaan saya pada bidan-senyum-satu-milyar-Pepsodent itu menurun drastis!

RSUD adalah contoh yang paling tepat untuk menggambarkan betapa buruknya tabiat PNS di negeri ini. Banyak orang mati disana bukan karena penyakit, tapi karena pelayanannya. Pelayanannya bisa membuat orang sehat jadi sakit dan orang sakit jadi sekarat. Saya membayangkan ada pasien korban tabrak lari, mungkin mereka akan merespon:

Pasien : Tolong! Saya sekarat! *sambil memegang kepalanya yang berlumuran kecap! Eh, darah!*
Perawat : tunggu dulu ya, pak! Pasien kita banyak nih. *sambil pedicur*
Pasien : saya sekaraaattt... *darahnya sudah membasahi lantai*
Perawat : sabar ya... namanya juga ditabrak kontener, pasti sakit lah. Biasa itu. Masih kuat kan?
Pasien : ^^^^^^^^--------------------

Intinya: RSUD adalah senjata pembunuh masal yang sedang dicari Amerika.

Saya dan istri sudah tidak betah dan ingin pulang. Kami menginap di sana semalam dan pagi hari betul saya mengurus biaya persalinan. Namun karena bagian administrasi baru buka jam 10, jadi terpaksa saya menunggu. Jam 10 teng. Saya ke bagian administrasi. Dan apa yang saya dapati, kawan? Saya menunggu admin menulis perincian biaya selama 3 jam!

Dan setelah bulak balik konfirmasi, saya bertanya:

Saya : Biayanya kok terhitung dua hari ya? Saya kan di sini cuma sehari semalam?
Admin : ini kan sudah lewat dari jam 12 siang, jadi terhitung dua hari.
Saya : saya kan mengurus ini dari jam 10 pagi?
Admin : kan nulisnya lama *dengan tanpa merasa bersalah dan sambil nelpon urusan kondangan*

Beeeehhh!
Sepertinya, meledakan petasan di depan mejanya akan bisa membuat saya senang.

Saya membayar lunas biaya administrasi dan pulang. Saya cuma takut mati berlari kalo lama-lama di sana.

Satu hal yang membuat saya dan istri terus senang setelah pulang dari RS, anak kami lahir sehat. Dan... ini pelajaran yang paling penting yang saya dapat, kawan!

“Dunia memang gak selalu seperti apa yang kita harapkan, namun dengan keluarga dan kawan dekat yang selalu tulus membantu, segalanya jadi lebih mudah dijalani.”

Dan selamat datang di dunia-yang-gak-selalu-seperti-apa-yang-kita-harapkan ini, selamat datang bayi lima-menit-sebelum-sesar, selamat datang lima-menit-menjadi-laki-laki, selamat datang: anda telah memasuki perbatasan Provinsi Jawa Barat, selamat datang Nada Narendradhitta.

Selasa, 20 Juli 2010

namamu pada sebuah situs

begitu sentimentil
menemukan sebuah situs
jutaan tahun

mengingatkan pada kepurbaan
pada zaman dimana tuhan masih mengutus nabinabi
kepada percakapan musafiraun
di tepi pantai yang paling diam

pada sebuah malam
yang mengenangnya membuatmu luruh

ketika
kau ingat
kita pernah begitu dekat


Bekasi, 20 Juli 2007


Kamis, 08 Juli 2010

Sajak kodok

seekor kodok masuk
ke rumah ketika hujan
di dalam rumah ia berlompatan
lompat ke meja, kursi dan
dinding

kodok memang akan tetap
menjadi kodok
walaupun masuk ke rumah

aku ingin membunuh kodok menjijikan itu
tapi
tentu sang kodok mengajak teman-temannya
untuk balas dendam
membuatku teriak ketakutan

dan aku berpendapat, kejadian itu terlalu
berlebihan


Juli 2008