Rabu, 29 September 2010

puisi

aku ingin buat puisi sesederhana pelangi
untuk kupersembahkan
pada hujan

aku ingin buat puisi seindah bebunga
untuk kupersembahkan
pada lelebah

aku ingin buat puisi sedalam gelap
untuk kupersembahkan
pada laut

aku ingin buat puisi setinggi gunung
untuk kupersembahkan
pada langit

aku ingin buat puisi sewujud-Mu
untuk kupersembahkan
pada-Mu

puisiku berderai
walau takkan pernah sampai

Bekasi, 29 September 2008








Rabu, 15 September 2010

dan tentang anak manusia

Pada sebuah musim kemarau, dengan kegalauan yang tak terucap dari balik kelopak matanya, anak itu datang. Bersama sepi ia berjinjit melewati sungai dangkal yang penuh batu-batu besar. Tangannya menggengam segumpal tanah dari makam ayahnya yang baru seminggu kemarin dikubur di Tanah Kusir.

Semilir angin menyambut tangan-tangan sepi sambil berlarian di sela-sela rambutnya yang penuh debu, sesekali ia menggoyang-goyangkannya dan mengembalikannya ke tempat semula, sesekali membuat style baru. Mereka seperti ingin berjibaku, menuju sebuah tempat dimana kematian bersemayam diam.

Mereka telah sampai.

Gincu jingga yang dipoleskan ibunya kemarin telah pudar, berganti warna pucat dan terkelupas. Kemeja putih pemberian ibunya pun lusuh dan kotor seperti menyimpan selaksa derita duka perjalanan, salah satu kantungnya robek berjuntai.

Ia telah lama sampai.

“aku telah sampai.” Si anak berucap lirih hampir tak terdengar.

Sambil menatap yang bersemayam diam ia meneruskan, “aku telah sampai pada pilihan-pilihan yang telah kau pilihkan dan kupilih. Sekarang telah bercampur deru debar dera diam desah dunguku dengan dupa dahsyatmu. Ada apa denganmu dan keegoisanmu?”

Tak ada jawaban. Sepi berteriak ngilu menghentikan riak-riak aliran sungai.

“aku bosan berdebat denganmu, kau dan diammu cukup membuatku frustasi. Tidak akan pernah kulupa pertemuan pertama kita pada lipatan waktu yang tak tercatat, pada masa dimana aku hanyalah satu dari ratusan juta embrio hidup, tujuh ratus tahun sebelum jagad raya ini tercipta. Tentu kau ingat itu, bukan?.

Sunyi.

Gumpalan-gumpalan awan hitam pada langit-langit senja berderak-derak.

“kalau berani satu lawan satu. Pasukamu terlalu banyak, begitu tangguh untuk kukalahkan. Kalau berani satu-satu, tanpa senjata, tanpa waktu, tanpa wasit, tanpa aturan, tangan kosong. Kalau berani satu! Apa kau berani?”

Semilir angin menggoyang-goyangkan rambut si anak. Masih tak ada jawaban.

Si anak serta merta melempar bongkahan tanah yang digengamnya, kematian menyalak galak diantara sepi, angin dan senja yang bersorak. Ia bangkit kemudian balas memukul meninggalkan luka di pelipis mata si anak. Tendangan telak juga mendarat tepat di perut buncit kematian dan membuatnya terpental berkilo-kilo meter.

Terus dan terus. Entah berapa banyak mereka mendaratkan pukulan dan tendangan masing-masing. Entah berapa lama mereka melakukannya. Berjibakujibakuberjibaku. Meninggalkan memar-memar ungu. Sampai tanpa sadar mereka sadar bahwa kematian adalah si anak dan si anak adalah kematian itu sendiri.

Keduanya mati.

Gerombolan awan menutup langit-langit senja itu, menjadikannya lindap paripurna.

Tetes hujan awal musim telah jatuh. Basah.

Senja mati.

Sepi pelan berkata “maut telah hadir dalam hidup, membenih, tumbuh dan kemudian memagut habis diri.”

Hujan makin riang.


Bekasi, September 2007

Rabu, 01 September 2010

kamu

andai kau semudah sudah
atau segampang bilang
tentu aku tidak perlu peluru
juga tak butuh peluh
untuk bisa mengertimu


Bekasi, September 2008