Kamis, 28 Juli 2011

Mencatat Beberapa Kenangan di Hari Jadi


Kamu tentu masih ingat kemana kita dulu berbulan madu?

Ya, ke tempat budeku di daerah terpencil yang tidak pernah sekalipun kita berkunjung ke sana. Berbekal secarik catatan yang berisi alamat dan angkutan umum yang akan kita tumpangi, kita berangkat pagi itu, dua tahun yang lalu.

Sebelum bercerita tentang budeku, aku ingin kamu mengingat-ngingat kembali waktu kita pertama kali berkenalan, jauh-jauh hari sebelum kita menikah.

Emmm. Biar aku juga ingat-ingat dulu. Saat itu aku sedang mencari-carimu, pada lembaran-lembaran buku yang kubaca berulang-ulang.

Agak sulit sebenarnya menemukanmu. Dan bukankah memang agak sulit memahami bahwa ada seseorang di dunia ini yang sedang kita cari yang juga mencari kita? Walaupun sebenarnya tidak perlu juga aku mencarimu, karena aku punya keyakinan yang amat sangat bahwa segala kejadian di bawah matahari ini telah tercatat di lauhilmahfudz beribu-ribu tahun sebelum kita tercipta. Jadi, tanpa dicaripunsebenarnya kamu bisa saja ditemukan. Sayangnya, tidak seorangpun tahu apa isi catatan agung itu. Sehingga manusia dibebankan tanggungjawab untuk berusaha.

Percayakah kamu akan takdir, sayang?

Aku percaya. Aku percaya kita telah ditakdirkan untuk bersama. Mungkin sebelumnya kamu pernah menyukai laki-laki lain, begitu juga aku pernah menyukai wanita lain. Namun apalah artinya semua itu sekarang selain hanya sebagai api-api kecil yang terkadang menyulut rasa cemburu kita. Selama api itu tidak membesar dan menghanguskan rumah jiwa yang telah kita bangun bersama, tidak lah perlu kita khawatir. Justru api-api kecil itu menghangatkan, bukan?

Semenjak aku muda, lebih muda dari sekarang, aku telah banyak membaca literatur tentang cinta. Aku pernah membaca Gibran:

Kalau kau sedang dalam cinta kau jangan mengatakan, “Tuhan ada dalam hatiku,” tetapi katakan, “Aku ada dalam hati Tuhan.”


Dan jangan sekali-kali berpikir bahwa bisa menentukan arah cinta, sebab cinta, jika kau dianggapnya berguna, akan menentukan arahmu.

Dulu aku tidak mengerti, sekarang pun tidak terlalu paham. Yang aku tahu, dulu waktu aku masih muda, lebih muda dari sekarang, aku berpikir bisa menentukan arah cinta. Menentukan kemana aku akan berlabuh. Aku mencari cinta yang, kata Gibran, tidak bisa dicari.


Saat itu aku masih muda, lebih muda dari sekarang. Pada suatu senja yang tidak tercatat, aku pergi ke sekolah. Seperti biasa, di sekolah aku biasa duduk di bangku manapun, karena bagiku semua bangku adalah sama. Dan dengan menganti-ganti tempat duduk membuat cara pandangku berbeda. Dan kali itu, aku duduk bersama seorang gadis. Waktu itu, mungkin kita memang suka satu sama lain, tapi malu dan tidak bisa mengungkapkannya. Karena beberapa hal, kita menjadi tahu bahwa tidak semua perasaan itu mudah dan perlu untuk diungkapkan.



Juga pada suatu senja yang lain (Kenapa selalu senja? Karena senja itu romantis mungkin), ketika aku masih muda, lebih muda dari sekarang, aku mengamati seorang gadis di bangku perpustakaan selama seratus dua puluh satu hari. Hanya memandangnya dari jauh tanpa berani menatapnya langsung. Tak punya kesanggupan lebih tepatnya.

Dan lagi-lagi pada suatu senja (ini yang terakhir), aku mencoba untuk berani mengungkapkan apa yang terlintas di hati pada seorang gadis dan… ditolak.

Sejak saat itu aku tidak percaya lagi dengan konsep Soul Mates, atau cinta pada pandangan pertama. Tapi aku mulai percaya bahwa jika beruntung, mungkin aku akan bertemu seseorang yang tepat. Bukan karena dia sempurna untukku, atau aku sempurna untuknya, tapi karena kita bisa saling memahami kekurangan masing-masing. Seorang sahabat yang mengisi, yang berbagi.

Dan ketika bertemumu, aku merasa beruntung. Segalanya yang telah kulewati bersama gadis-gadis itu menjadi fiksi. Aku kembali menapaki bumi yang selam ini aku tinggalkan. Aku mencoba melewati batas ketakutanku dan membiarkan cinta menentukan arahnya sendiri.

Oh ya… Balik lagi ke bulan madu kita. Ah, rasanya bukan Bulan, hanya beberapa hari, tiga hari mungkin. Tapi tidak enak juga kalau disebut hari madu, karena seirama dengan istri madu.

Banyak hal yang kita dapat dari perjalanan seribu satu rasa itu. Pelajaran saling mempercayai, nasihat-nasihat berumah tangga juga bersilaturahmi dengan keluarga.

Apa kamu masih ingat ketika kita tersesat dengan sukses? Tentu itu bukan salahku, karena aku telah mewanti-wanti Pak Supir agar menurunkan kita di Cibogo desa Brujulkulon. Dan dengan tanpa merasa bersalah dia menurunkan kita satu desa setelahnya.

Apa yang kamu rasakan saat itu? Apakah sama dengan yang kurasa?... entah kenapa, aku merasa beruntung bisa tersesat bersamamu. Dan aku hanya bisa mengatakan terimakasih telah mau tersesat bersamaku.



Kamu tahu sayang, budeku itu janda tanpa anak. Suaminya meninggal bertahun-tahun yang lalu dan dia hanya tinggal sendirian. Jauh dari keluarga juga orang tua. Kehidupan yang mungkin banyak orang jauhi. Menjalani kehidupan di masa tua seorang diri. Jenis kehidupan yang jika kau meninggal hari ini maka keluargamu akan datang keesokan paginya. Hanya bertemu dengan nisan dan kuburmu yang masih basah.

Apakah kita akan seperti itu? Atau kita akan bersama menjalani hidup ini sampai tua? Sampai mati?...

Aku mencintaimu. Tapi… apakah itu abadi? Apakah kita akan selalu bersama seperti harapan para kekasih yang sedang dimabuk cinta?

Aku menyerahkan hatiku. Tapi… bisakah kau memilikinya? Bisakah aku mengambil hatimu dan meletakannya di tempat kosong dalam dadaku —karena hatiku telah kuberikan padamu?

Aku menikahimu. Tapi… bisakah aku mengikuti kemanapun kau pergi? Bisakah aku selalu mengawasimu seperti halnya tuhan yang selalu mengawasi ciptaannya?

Pertanyaan-pertanyaan itu akan selalu tersekat di kerongkongan atau menggantung di udara tanpa ada yang bisa menjawab.

Aku bisa saja menulis janji setia sampai mati di sini agar semua orang tahu. Namun, apagunanya bagimu, juga bagiku, selain hanya memperlihatkan keangkuhan. Apa gunanya janji-janji yang pasti di tengah-tengah ketidakpastian dunia, selain hanya memperlihatkan kedunguan.

Ma’af jika aku terlalu banyak menulis kata-kata yang realis. Karena sejujurnya, aku hanya menulis yang terlintas di hati.

Untuk saat ini, berdirilah sejajar di dekatku, sayang. Tapi jangan terlalu dekat, karena tiang-tiang rumah pun tegak terpisah-pisah, pohon-pohon di hutan pun tumbuh tidak saling membayangi.



Seperti dawai-dawai sitar yang terpisah-pisah, kita akan menciptakan alunan musik yang indah. Semoga.