Kamis, 29 September 2011

Seperti apa hubungan buku dan aku?

Seperti Nobita dan komik-komik
Sekeping-sekeping tuk komik di akhir Minggu
yang habis dibaca satu tarikan napas
untuk tawa selama mampu bernapas


Bekasi, Oktober 2007

Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia







Apakah perlu penegakan ‘syariat’ Islam di Indonesia?

Banyaknya permasalahan sosial seperti korupsi, perzinahan, kebodohan, kemiskinan ketidakadilan dan lain sebagainya di Indonesia, menyebabkan munculnya (kembali) orang-orang yang menginginkan tegaknya syariat Islam sebagai penganti hukum positif di Indonesia. Hukum positif dinilai sudah tidak lagi mampu untuk menjadikan kejahatan-kejahatan tersebut berkurang, bahkan malah cenderung bertambah.

Buku ini mengatakan: Tentu ada relasi antara berbagai permasalahan sosial dengan pengabaian terhadapa ajaran agama, tapi solusinya bukanlah pada formalisasi agama, melainkan pada perbaikan akhlak individu-individu sebagai para penganut agama. Permasalahan sebenarnya bukanlah pada agama yang tidak diformalkan, tetapi pada para penganut agama yang mengabaikan pesan-pesan luhur agamanya.

Lagi pula, sebagaimana ditulis
Luthfi Assyaukanie, buku-buku fiqih yang mungkin akan digunakan dalam menerapkan hukum syariat dinilai belum ‘siap’. Dan pemberian legitimasi konstitusional terhadap penerapan syariat Islam tanpa diiringi persiapan kitab rujukan yang sesuai dengan —dan disepakati oleh— masyarakat Indonesia, hanyalah tindakan bunuh diri yang membahayakan orang lain.





Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia adalah buku yang diterbitkan oleh The Wahid Institute dan Maarif Institute tahun 2009. Banyaknya aksi teror akhir-akhir ini membuat saya ingin merujuk buku ini. Untuk membacanya silahkan download di sini

Senin, 26 September 2011

Setan Insyaf

Mengikuti sholat berjama’ah di sebuah masjid, seorang berjubah cingkrang memepet-mepetkan kakinya agar menempel ke kaki Gus Mus. Karena kaki orang itu kelihatan kotor sekali dan Gus Mus curiga, maka Gus Mus justru menjauhkan kakinya. Tapi orang itu ngotot dan terus mengejar-ngejar kaki Gus Mus!

Usai sholat, dia marah-marah, “Mengapa kamu tidak mau merapatkan barisan?”

“Memangnya kenapa?” Gus Mus berlagak o’on.

“Kalau sampai ada celah diantara kita, setan nyelip disitu!”

“Bagus dong!”

“Lho?”

“Kalau setan mau nyelip ikut jama’ah, berarti dia sudah insaf!”


Diambil dari http://teronggosong.com/

Minggu, 25 September 2011

Air Keris Pusaka

Di TV ada berita tentang orang yang ngerebutin air bekas nyuci keris pusaka. Mereka saling berdempet-dempetan demi memperebutkan air yang cuma seember itu. Bahkan ada yang sampe keinjek-injek. Begitu wartawan nanya, dijawab kalo air itu berkhasiat buat bikin awet muda dan gampang jodoh.

Di zaman teknologi serba canggih ini, kenapa nggak dibuat inovasi. Supaya nggak berebut, harusnya nyucinya di kali aja. Trus airnya diproduksi masal, supaya bisa dicampur bahan kosmetik.

Kesandung

Istri gue punya kebiasaan aneh, kesandung. Pernah setelah sholat jamaah, dia bilang, “Aduh sakit nih dengkulku, Bang.”

“Ya ampun sampe biru gitu. Kenapa?” gue nanya.

“Gak tau. Lupa.”

Gue gak bisa ngerti. Orang memar sampai biru gitu kok gak berasa. Gue khawatir kalo tiba-tiba tangannya buntung dan baru sadar waktu dia mao cebok.

Kaus Kaki

Semua orang tentu sepakat bahwa laki-laki dan perempuan berbeda. Contohnya gue dan istri. Sebagai seorang laki-laki, gue lebih memikirkan fungsi ketimbang mode. Pernah suatu pagi setelah mandiin Nada, istri gue minta tolong, “Bang, tolong ambilin kaos kaki Nada, dong!”

Gue bergegas ke kamar, “Nih.” kata gue sambil ngasih satu pasang kaos kaki.

“Jangan yang itu, sebelahnya jelek. Gak bagus jaitannya.” Jawab Istri. Gue kembali ke kamar dan ngambil kaos kaki yang lain.

“Nih.” Kata gue lagi sambil ngasih kaos kaki yang lain.

“Yang itu juga sama, sebelahnya jelek.”

“Ya udah pake sebelah-sebelah aja.”

“JANGAN!” Istri gue sewot, “Bajunya udah bagus-bagus masa kaos kakinya sebelah laen!”

Padahal gue yakin, suatu hari "kaos kaki sebelah laen" bakal jadi mode yang digandrungi. Mungkin dimulai oleh para gelandangan. Yeah!

Jumat, 23 September 2011

Status facebook

Jika saja dalam menulis status kita lebih optimistis dan santun daripada berkeluhkesah dan kasar, mungkin dunia ini akan lebih damai.
Tuesday, September 22, 2011 at 4:24pm

Karena melamar seseorang itu tidak diajarkan di kebanyakan sekolah formal, dan tidak banyak buku populer yang membahasnya, maka jalan yang paling mudah adalah bertanya kepada yang lebih dahulu menikah...
July 11, 2011 at 6:43pm

Selamat bersekolah. Kalau kamu hari ini masih bersekolah, bersyukurlah. Berati kamu termasuk orang kaya. Karena di negeri ini, orang miskin dilarang sekolah bukan?
July 18, 2011 at 1:27pm

Bagaimana jika konsep, keyakinan dan kepercayaan yang bertahun-tahun kita yakini ternyata salah?
June 18, 2011 at 11:23am

Kamu bisa mengatakan berbagai macam dalih dan alasan untuk tidak melakukan sesuatu, namun Dunia hanya melihat kamu tidak melakukannya.
June 16, 2011 at 11:37am

Iklan absurd gue temukan… adegan orang pacaran sambil bawa sekantong permen. Kita gak bakal nemuin kejadian itu di dunia nyata. Apa ada orang yang makan permen kayak makan kacang polong?
June 4, 2011 at 1:00pm

Aku masih di sini, menyanyikan lagu yang sama dengan yang kau nyanyikan.... lalalalalala....
June 1, 2011 at 1:10pm

Jodoh, sebagaimana kematian, telah ditetapkan tuhan. Sehingga tidak tepat jika ada orang yang bilang, 'Salah memilih jodoh', karena sesungguhnya tuhan telah menentukan.
May 30, 2011 at 2:06pm

Obama says, "...may God bless America". Al Qaida bilang, "...darah Sheikh Osama bin Laden mujahid, semoga Allah mengasihani dia, dia lebih berharga bagi kita dan setiap muslim daripada harus terbuang sia-sia.". Dan perang atas nama tuhan biasanya akan berlangsung lama.
May 9, 2011 at 2:38pm

Ada pertanyaan yang terus bergelantung di kepala, tentang perang yang katanya dikomandoi tuhan; bagaimana kalau tuhan ternyata harus kalah?
April 20, 2011 at 11:53am

Banyak orang yang berdoa kepada tuhan di status facebook mereka, seakan-akan tuhan punya account disini.
March 4, 2011 at 5:50am

Social Network membuat kita sedikit kelihatan lebih peduli, juga cerewet.
March 1, 2011 at 8:33am

Jika cintamu ditolak seorang wanita. Maka ingatlah bahwa hidup ini memang tidak akan pernah sempurna.
September 13, 2010 at 8:08am

Istri saya bersifat terbuka dan mengatakan seluruh apa yang ia suka juga yang tidak. Terkadang lupa kalau gak semua hal harus dikatakan. Saya lebih buruk lagi, terkadang saya tidak mendengarkan apa yang ia katakan.
February 3, 2010 at 4:57pm

Kamu adalah koma untuk kalimat kompleksku dan titik untuk kalimat sederhanaku.
January 30, 2010 at 1:44pm

Sedang mencoba mengatakan surel (surat elektronik) untuk e-mail, daring (dalam jaringan) untuk on-line, dan luring (luar jaringan) untuk off-line.
January 30, 2010 at 1:36pm

Apa yang dicari pasti didapat, tapi apa yang didapat belum tentu yang dicari...
December 7, 2009 at 11:26am

Yang paling penting adalah mengizinkan takdir ikut campur dalam kehidupan kita dan memutuskan yang terbaik untuk semua orang.
July 29, 2009 at 11:17am

Ngeracunin Tikus

Gue kesel karena banyak tikus berkeliaran di rumah dengan nggak tau sopan santun (emang kapan tikus tau sopan santun?). Segalanya dimakan dan digigit-gigit. Bener-bener minta diracunin!

Gue bertanya ke Adil, adek gue paling kecil, "Dek, abang mao ngeracunin tikus nih! Umpannya apa ya?"

Adil menjawab tangkas, “Kasih kabel aja, Bang! Itu kabel di rumah aja pada digigit-gigit.”

Budaya Ikut-ikutan

A : Sampai sekarang, masih banyak orang yang mengucapkan, “Minal Áidin wal Faidzin!” kepada saya. Sampai-sampai saya bertanya sendiri, apakah mereka tau apa artinya?

B : Emang apa artinya, Sir? Kasih tahu donk… :)

A : Sebenarnya itu penggalan doa. Doa secara lengkapnya berbunyi, "Taqobbalallahu minna waminkum, minal áidin wal faidzin..." artinya kurang lebih, "semoga Allah menerima amalku dan amal kalian, Semoga kita semua tergolong mereka yang kembali (ke fitrah) dan berhasil (dalam latihan menahan diri)"

B :
Ooohhh.. Hehe maklum masih polos, Sir. Jadi gak tau…

A : Setahu saya, ucapan minal áidin wal faizin (bukan aidzin wal faidzin), hanya di ucapkan di Indonesia saja. Kalau kamu mengucapkannya kepada orang Arab mungkin mereka akan bingung. Kebanyakan orang mungkin salah paham mengartikan itu dengan, mohon maaf lahir dan batin.

B :
Ooohhh.. Pantesan orang Arab pada bingung aku ngucapin kayak gitu…

A :
Hahaha... Ucapan "Minal 'Aidin wal-Faizin" tidak disarankan untuk diucapkan pada hari raya, sebagaimana Rasulullah mengucapkan "Taqabbalallahu Minna Wa Minkum..." walahu álam

A Monologue of Sorry

"Whatever it is you're seeking won't come in the form you're expecting."
Haruki Murakami


There are some whishes happened as I want. There are some didn’t happen as I want. And there are some haven’t happened yet.

For some whishes that haven’t happened yet, they can be happened as I want or as I don’t want. That is what I call hope. There is no one knows what will happen in the future. No one. So, many people wish something will happen as they want. Something good will happen not bad. But how many whishes became just empty whishes? Because something happens is unexpected.

Some people of course have ambitions that they want to realize. But there are also many people are even afraid for thinking about their ambitions. It is because they already saw failures. They saw something that didn’t fit with their whishes. What had happened is something far from what they want to reach. So they were sure that their ambitions became impossible.

How can those things happen? Why conditions around us can control our whishes and our hopes? Why do they seem to make failure?

I am the one who ever feel that feeling. I feel that the conditions are often the opposite of what I hope. I realize that every act I take is nothing. And my ambitions that I have ever had seem impossible.

At first I claimed that the bad conditions are my enemies. The bad conditions around me can make me become pessimistic, bored, stingy and etc. They control me too much.

But, the more I blame the conditions around me, the more I blame something that creates the conditions, the one who designs, controls and cares of the whole world. God. I blame God for what had happened to me; to every condition He created it for me. The conditions were against my will.

I know that was wrong!
My friend said that many success people came from bad conditions. Thomas Alfa Edison was born with not normal ears. Hamka finished his Tafsir in the jail. And the genius Bill Gates didn’t come from a rich family.

I regret because I ever blamed God to what He had made to me. I say sorry to Him in every pray. I realize that I am the one who control what is going to happen to me. The condition around me is not the obstacle to realize my dreams, my wishes. Even in the most difficult situation or condition, I will always still have a thing that I call a hope.

I realize there are many things didn’t fit with what I want. Many things are out of my control to change. The conditions made me pessimistic with everything that I ever dreamt of. And I remember what Allah says in Qur’an,




But it is possible
That you dislike a thing
Which is good for
you,
And that you love a thing
Which is bad for you.



Al Baqara: 216

Bagaimana Cara Cinta Bekerja

Ada dua pertanyaan yang selalu saya ingin tanyakan tentang bagaimana sebuah hubungan dimulai.



  1. Karena sering bertemu sehingga menjadi suka, atau


  2. Suka, sehingga ingin sering bertemu
Saya termasuk pada golongan yang pertama. Emm, sebenernya juga saya pernah mengalami yang kedua. Tapi untuk yang kedua, saya merasa hubunganya nggak enak. Karena ketika saya menyukai seseorang dan ingin dekat dengannya, mati-matian saya menjaga image. Dan akhirnya saya lelah dan habis.

Namun hubungan yang pertama dibangun dari rasa cuek. Biasanya kawan dekat. Karena selalu bareng, jalan bareng, kongkow bareng dan lain sebagainya. Hubungan yang dimulai seperti itu bisanya akan berjalan agak lama. Seperti lagu Lucky yang dipopulerkan Jason Mraz…




Lucky I'm in love with my best friend;
Lucky to have been where I have been;
Lucky to be coming home again;

Lucky we're in love in every way;
Lucky to have stayed where we have stayed;
Lucky to be coming home someday


Sehingga saya percaya, seseorang yang berkawan terlalu akrab, seseorang yang lebih banyak dekat secara fisik dengan orang lain, lebih mudah saling suka dibanding ketika ia berkawan dari jarak jauh.



Sayangnya, pola ini masih ada walaupun kita telah menikah. Ada banyak penelitian yang menunjukan bahwa pasangan selingkuh biasanya adalah orang-orang dekat.


Kemudian, apakah anda sekarang sedang menyukai kawan anda?

Kamis, 22 September 2011

doa sebelum tidur

Pagi ini
aku ingin memejamkan mata
untuk tidur

dalam kepala
masih bergelayut kenyataan bahwa
segalanya mungkin saja terjadi
dan betapa relatifnya kebenaran

Semoga
segalanya tidak terbawa dalam lelap

Selamat pagi!
selamat tidur!





Bekasi, 3 November 2007

Menemaniku menulis

Pada hujan
pada awan
pada pagi



Bekasi, November 2007

What is Written?

A blind man was begging on the road to Mecca, when a pious Moslem came over and asked whether the people were giving generously – as the Koran commands. The man showed him his little tin, which was almost empty. The traveler said, "Let me write something on the card around your neck."

Hours later, the traveler returned. The beggar was surprised, for he had received a large amount of money.

"What did you write on the card?" he asked.

"All I wrote was: Today is a beautiful spring day, the sun is shining, and I am blind."


Based on a story by Khalil Gibran

Keisengan-keisengan Saya

Pada kondisi-kondisi tertentu, saya sering melakukan hal-hal iseng. Saya pernah menulis surat cinta di email kawan yang lupa di log out, kemudian mengirimkannya ke email gurunya. Pada kasus yang sama saya juga menulis di status facebook orang, “Aduh aku pup di celana nih.”

Sekarang, ketika mengingat-ingat kembali keisengan-keisengan itu, sepertinya saya merasa perlu pergi ke tempat kawan-kawan sambil membawa mawar kuning untuk minta maaf.

Sama sekali saya nggak mengira, keisengan-keisengan itu bisa saja menimbulkan banyak hal. Bisa saja gara-gara saya mengirim surat cinta itu, hubungan mereka jadi kacau. Baik hubungan si guru dengan si murid atau mungkin hubungan si murid dengan pacarnya. Sementara yang ke dua, bisa aja kawan saya itu sedang pedekate dengan seseorang. Dan dengan menulis kalimat itu mungkin saja orang yang ingin dia dekati jadi ilfil. Waduh!

Tapi itu hanya khayalan bodoh saya. Karena rapuh sekali hubungan yang hancur hanya gara-gara sebuah tulisan iseng. Bukankah sebuah hubungan seharusnya dilandasi saling percaya? Dan tentu ada banyak cara untuk mengkonfirmasi berita bohong. Dan, ini yang paling penting: sesekali sebuah hubungan perlu digoncangkan, karena hubungan yang rapuh adalah hubungan yang tidak pernah digoncangkan.

Sepotong Kebenaran

Iblis sedang berbicara kepada teman-temannya ketika seorang pemuda berjalan di depan mereka. Mereka menyaksikan ia lewat untuk kemudian membungkuk dan mengambil sesuatu.

“Apa yang dia temukan?” tanya salah satu teman Iblis.

“Sepotong Kebenaran.” jawab Iblis.

Teman-teman Iblis terlihat sangat khawatir. Semua hal telah mereka lakukan untuk menjerumuskan manusia, tapi dengan sepotong Kebenaran yang ditemukan pemuda itu, ia bisa terselamatkan. Tapi Iblis tetap bergeming, menatap jauh ke ufuk.

“Apakah kamu tidak khawatir?” kata salah satu temannya, “Dia menemukan sepotong Kebenaran!”

“Saya tidak khawatir.” jawab Iblis.

“Apakah kau tahu apa yang akan ia lakukan dengan sepotong kebenaran itu?” kata temannya yang lain.

“Seperti biasa, dia akan membuat agama baru. Dan dia akan berhasil menjauhkan manusia dari Kebenaran.”



Diambil dan diterjemahkan dari http://paulocoelhoblog।com/

Selasa, 20 September 2011

Menulis Untukmu

kau ingin aku menulis dalam alur pantun, sebuah gurindam, soneta, kwatrin atau prosa...
baiklah, ingin aku menulis apa

cinta?
Sapardi telah indah bicara cinta
pada alurliur puisi

tuhan?
Sutarji telah dalam menulis tuhan
pada baitbait sajak

social problem?
Oh, Jokpin telah arif membahasnya
pada alir syair

lalu
apa yang bisa kutulis

menulis indah temaram senja
di ujung garis pantai ketika burungburung pulang
dengan perut kenyang

menulis lindap subuh yang jauh
dengan selintas garis putih fajar
ketika kelelawar malam berhambur untuk tidur

atau
kau ingin aku menulis
keabadian pada sebutir pasir
dan surga pada sekuntum bunga liar

semua telah kutulis
untukmu


Bekasi, 4 Maret 2007


Dunia Abu-abu

Seperti tak pernah mengenal apa itu pelangi
Semua tak bersuara
Semua tak berasa

Meski penuh lebam dan luka
aku takkan menyerah menemukan pintu pulang
dimana aku dapat kembali menemukan warna dan rasa
Yang pernah aku dapatkan darimu


May 2, 2009

Written by Diah Resmisari

Sabtu, 17 September 2011

Life is a Small Journey: A Contemplation

It was an ordinary morning. I got up and thanked for my health. I also thanked for everything that Allah had given in that morning. After finishing my ‘morning duty’, I opened the door. The air touched my face and made it fresher. In the garden, the wind blew the leaves on the trees. It looked like ‘morning waving’ for me. The sun shined through the leaves and made the abstract shadow on the floor while my neighbor hens were crowing. All of those conditions made the morning perfect.

Yup, it was a perfect ordinary morning. I was thinking to travel around. It was Sunday, the day that I called ‘the day when the conscience fights with the loneliness’.

I was talking to myself, “Where am I going to go?”

I didn’t decide exactly where I wanted to go. Let Allah lead my hands to ride my motorcycle to somewhere.

I checked everything on my motorcycle, so I hoped there was no troubles on the road. Then, I rode my motorcycle through the morning air. After passing Inkopol, I passed the Patriot Raya Street. It was an alternative street, very strategic to run a business. On the right and the left of the street there was a lot of motorcycle washing services, restaurants, mini markets, Warnets and so on.

Not so long, I arrived at Pasar Kranji Baru; dirty, broken and bad smell. I didn’t want to get in there, so I passed it through Pemuda Street to Pasar Kranji Ujung that was being renovated. I stopped at the traffics light. While waiting the lamp turned green, I whistled. There was a little transportation in that morning. The air was still clean to breathe. Every other time, I heard ojek man giving their ride to employees that got off the bus. They showed their tired faces.  The voice of people blended with the transportation sound. The condition was lively. It was the real life. It was not imitated reality.

The light turned green, and I continued my journey. I turned right and passed the Grand Mall Bekasi. I finally passed Jl. Jend. Sudirman. I still rode through happily on my bike until I got into GOR Bekasi traffic light. The street was like the capital letter of ‘T’ in enormous size. The light was red, and I looked around. On my left there was a gas station.  On my right, there was a couple on Honda Tiger; the girl at the back was holding the rider tightly.  Every other time they whispered and every other time they laugh. The little street singer with his little guitar was singing in a Koasi. Opposite it, there was a woman beggar that carried a baby. There was also an old woman beggar holding a plastic bowl where people put in the charity.

Hoooonnkk!!!. The sound of a horn car behind me realized that the light was green. It meant I had to go. I went straight with the shocking.

Finally I arrived in Bekasi train station. I arrived in a roundabout called Bulan Bulan. There used to be a cat fish statue in the middle of that roundabout. But some people burnt the statue few years ago.

There were many things I remembered from the place. For me, Bulan Bulan and the streets around it especially Jl. Ir. H. Djuanda is my childhood memory. It was the place where I spent my childhood and my teens. Not far from it there was a place named Proyek. It is a downtown area. From far away, you could see there were many shop rows on the right and the left street. They seemed to say: ‘Welcome to Bekasi! May you have a great and enjoyable journey!’

For me, the place around Bulan Bulan is the real Bekasi. The place where I used to go jogging in the morning, take a train, or only take a journey without purpose like right now. It was like enjoying life in the past time, life in the childhood. It was the period when I didn’t think about the big problems. I had been still afraid to do a sin or maybe I hadn’t thought about the sins yet.

On Jl. Ir. H. Djuanda also lies Pesantren Annida Al Islamy, the place where I had stayed for 6 years, the place where it had given me a deep impression, the place where I had improved, developed, studied and grown up until now, where the foundation of my mind was formed. 

Time became more melancholic when it passed, when it became past time and was remembered, when it was proudly told as a ‘pleasure time’ story to new friends.  The past time always reminds me there isn’t an eternity in the world. Everything has an end. Everything! No exception. It is really true that it is hard to realize that someday people around us will go away and disappear, that they cannot always be with us. Yeah, it is always like that. However, that is our life…

I had a thought that become a traveler is sometimes fun. I can go everywhere; go to the place where my physic and my mind fight against each other, meet many new friends without always be with them, without being afraid to became loneliness. I can live freely; can enjoy my whole life, a life without hate and sorrow.

But in fact, many people see the same people everyday. Until some people became a part of the other people. And like it or not, the other people seem more to know how the other people must act. And the fact is I am not such as the traveler. So I just have an ordinary life. But I know there are lots of things I proudly tell about my life, there are lots of people in my life that I love and admire —because they deserve it.

This is small, but valuable.

Kau ada

Pada selembar pagi
cobalah pergi ke kebun belakang
dimana suara burung dan alam merdu terdengar

sesekali cobalah bangun pada tengah malam
ketika degup jantungmu jernih berdebar

bukan untuk apa
tapi tuk pikir dan renungi
bahwa Kau ada

Bekasi, 6 September 2007



Jumat, 16 September 2011

Agama dan Kebebasan Berpikir

Pernah ada seorang temen yang SMS ngasih tau tentang sebuah acara di sebuah stasiun TV yang diduga bermuatan misionaris nasrani. Dia menulis dalam SMS: Hati-hati karena acara itu bisa menghipnotis. Tolong sebarkan ke teman-teman yang lain.
Saya jawab SMS-nya, “ah masa?”
“Iya bener. Kata temen gue, temennya dia pernah ada yang masuk kristen. Dia sedih banget. Karena itu temen baiknya.”
“Oh… kalo ketemu temen lo salam dari gue ya. Bilangin jangan sedih.”
“Iya.”
“Bilangin juga. Tuhan aja punya anak satu-satunya masuk kristen gak sedih, masa dia sedih si…  Hehehe…”
….
Gak ada jawaban.
Secara garis besar, begitulah keberagamaan kita. Segalanya dicurigai. Tapi daripada berdebat dengan orang lain, saya lebih seneng berdiskusi dengan diri sendiri. Dalam tulisan ini, tentunya.
A: Apa lo udah sangat yakin dengan kepercayaan lo yang sekarang?
B: Sedang dalam keadaan. Berproses. Keimanan dalam diri gue bisa bertambah, berkurang atau hilang. Sekarang gue sedang berproses.
A: Lo sering mempertanyakan keimanan sendiri? Apa ngak takut kalo nanti iman lo beralih?
B: Iman yang rapuh adalah iman yang gak pernah digoncangkan, kawan!
A: Ah, lo bisa bilang gitu kan karena lulusan pondok. Basic agama lo udah kuat.
B: Gak juga. Banyak juga temen-temen gue sesama anak pondok yang punya basic keilmuan agama yang sama tapi bersikap lebih ekstrem. Itu semua tergantung sejauh mana kita mampu membuka hati dan pikiran untuk objektif memandang masalah. Ini bukan masalah anak pondok atau bukan. Ini masalah keyakinan dan perbedaan pendapat.
A: Trus, lo nyaman berpikir kayak gitu?
B: Ya, gue ngerasa lebih santai dan rileks menghadapi segala caci maki. Paling gak itu yang gue rasain.
A: Ah, lo liberalis! Jenis orang-orang yang berpikir semaunya. Tanpa batas. Gak tau apa kalo pikiran itu ada batasnya?!
B: Oh, come on! Jangan emosi gitu dong. Dalam Islam batasan perbedaan itu sangat jelas, kita ngak akan menyembah apa yang mereka sembah dan mereka pun ngak akan menyembah apa yang kita sembah. Akidah kita berbeda. Agama kita dan agama mereka berbeda. Mari hormati perbedaan itu. Dan sebatas itulah pikiran gue.


Nb: Keberagamaan adalah sikap. Ia bukan hanya sebatas pikiran. Lebih jauh ia adalah pikiran yang menyikap menjadi sebuah perbuatan ril. Bukan sekedar omongkosong tanpa realisasi. Keyakinan harus diterjemahkan ke dalam sebuah aktifitas bukan hanya jadi bahan debat. Keimanan harus membumi bukan melangit. Merealitas menjadi perbuatan-perbuatan baik.

Sabtu, 10 September 2011

Kaus Baru Nada



Waktu lebaran kemarin Nada, anak perempuan saya, punya kaus baru berwanrna jingga bertuliskan ‘Mom’s Little Champion’. Nggak ada yang terlalu istimewa atau aneh dengan tulisan itu. Hanya saja, apakah setiap anak harus jadi juara?

Ah, untuk anak umur tiga belas bulan seperti Nada, mungkin belum ngerti apa maksud tulisan di kausnya. Beruntunglah dia karena nggak terbebani dengan predikat sebagai ‘Sang Juara’, entah juara apa. Lagipula, bagi istri saya, segala kelakuan Nada, apapun itu, adalah juara. Waktu ia menangis keras, dia menjadi ‘juara menangis’. Waktu ia menggigit ketika digendong, dia menjadi ‘juara menggigit’. Waktu ia menghabiskan bubur dalam mangkok, ia juara. Waktu ia bisa menunjuk dimana letak hidungnya, ia juara. Waktu ia baru bisa berjalan, ia juara. Bahkan waktu ia pup setiap hari, ia juara. Dan jika ingin diteruskan masih akan ada banyak lagi juara-juara aneh lainnya. Juara-juara yang nggak akan diberikan untuk orang dewasa seperti kita.

Masa anak-anak adalah masa dimana orang tua bisa memakaikan pakaian berjenis apapun atau bertuliskan apapun. Sekonyol apa pun, senorak apa pun, sengejreng apapun, si anak nggak akan merasa keberatan. Jelas saja, mereka kan memang belum bisa menilai. Biasanya para orang tua hanya punya satu acuan teknis untuk menilai; lucu. Saya pun sering memakaikan celana dalam sebagai topi untuk anak saya. Sekali lagi, si anak nggak akan merasa keberatan. Bahkan mungkin ia akan senang, karena ia banyak melihat senyuman, banyak mendengar pujian, banyak merasakan ciuman.

Saya berharap dia benar-benar menjadi juara. Saya ingin slogan itu dibawa sampai dewasa.  Dia akan selalu menjadi anak manis yang penurut. Rajin belajar. Pintar. Itu harapan saya, namun keinginan terkadang nggak sesuai dengan kenyataan. Mungkin saja seiring berjalannya waktu, seiring bertambahnya usia, akan ada banyak perubahan pada anak saya. Mungkin ia akan mulai bisa menilai warna apa yang cocok untuknya, model apa yang sedang trend, jenis musik apa yang ia sukai. Mungkin ia mulai nggak belajar dengan serius. Mendapatkan bebrapa nilai jelek di sekolah.

Dan, ayo lah… kita tentu sudah tahu bahwa menjadi juara itu nggak mudah. Juara itu hanya satu, sementara yang menjadi peserta ada puluhan bahkan ratusan orang. Bukankah itu berat. Bayangkan jika semua orang menginginkan untuk jadi juara. Bayangkan jika seluruh orang tua menginginkan anaknya juara, menargetkan mereka untuk jadi juara. Mendorong mereka untuk jadi juara kelas, untuk jadi juara Matematika, juara piano, balet, Bahasa Inggris dan lain-lain seperti idealnya banyak orang tua inginkan. Bayangkan jika semua orang tua menginginkan anak mereka menjadi juara, sementara yang berhak menjadi juara hanya satu.

Dan mari kita jujur. Berapa banyak diantara kita yang menyontek ketika ujian karena takut nilai jelek. Berapa banyak diantara kita yang rela mengeluarkan uang banyak hanya karena ingin masuk sekolah favorit. Berapa banyak yang ingin menjadi juara dengan cara curang. Bukankah itu hanya menjadikan kita sebagai manusia yang culas. Semua itu penyebabnya hanya semata-mata karena tekanan sosial yang meletakan prestasi belajar di sekolah di atas segala-galanya. (Maklumi saja ya, saya menjadi sinis begini karena pengalaman nggak pernah jadi juara. Hahahaha…)

Bisakah kita, ketika mereka telah dewasa nanti, menanamkan di diri kita sendiri –bukan pada mereka— slogan ‘Mom’s Little Champion’ tanpa ada tendensi untuk membebani mereka dengan predikat itu. Bisakah kita secara sederhana menyematkan juara pada setiap tindakan baik mereka seperti yang biasa kita lakukan ketika mereka kecil?

Aduh, kenapa saya ini? Kenapa berpikir terlalu jauh? Untuk memahami ucapan saja anak saya belum bisa, kenapa perlu berpikir sejauh itu. Maaf, maafkan penulis iseng yang mengajak berpikir terlalu jauh ini.

Mungkin kaus-kaus itu dicetak hanya untuk lucu-lucuan saja, tanpa punya tendensi apapun. Tanpa usaha mendoktrin. Seperti slogan: Mom’s Little Angel atau When I Grow Up I Want to be Just Like Dad. Ya, mungkin saja slogan-slogan itu nggak bermasud terlalu jauh. Nggak bermaksud menjejalkan pemikiran-pemikiran normatif yang seharusnya mereka miliki ketika dewasa. Mungkin saja. Kaus hanyalah kaus.

Karena bagaimanapun, kita nggak bias memaksa anak kita untuk bilang bahwa orang tua mereka adalah yang terbaik di dunia, jika memang mereka nggak merasakannya?