Sabtu, 21 Juli 2012

Untuk Segala Peristiwa Waktu

Pada senja yang paling diam, kau bertanya padaku. Pertanyaan yang jawabannya aku kelu. Kamu bertanya apakah aku ingat kapan pertama kali kita janjian makan. Oh please... apakah di Venus, planet asalmu, seseorang harus selalu ingat kapan pertamakali mereka melakukan sesuatu?

Aku ingat, aku suka dengan tulisan tanganmu, juga kejutan pada pergantian tahunku, aku ingat buku kumpulan puisi jalanan yang kau beri. Tapi aku lupa kapan kita pertama kali janjian makan, bahkan aku lupa kapan pertama kali mengenalmu.

Aku ingat ketika kau terjaga pada ranum pagi ini, masih memeluk selimut coklat muda, yang wanginya masih seperti tadi malam, sebelum kau terpejam. Ya, aku masih ingat pagi itu. Tapi tentang kapan kita berjumpa, aku alpa.

Perasaan itu tidak pernah pasti, mungkin itu sebabnya aku tidak merasakanmu ketika pertama kali kita berjumpa. I’ve knew you as a best friend, and no one knows when is the first time you get someone as best friend.  

Dan pada waktu yang terus bergegas, pada jalinan rencana Tuhan, kita bertemu. Sampai akhirnya kita tiba pada pengakuan diam-diam, penuh debar, penuh kegugupan. Ketika  aku berkomitmen kepada diriku sendiri —bukan kepadamu, bukan kepada siapa-siapa.

Awalnya kupikir orang tidak akan bisa membuat komitmen sebelum benar-benar jatuh cinta. Namun kawanku pernah bilang dengan penuh keyakinan bahwa kita tidak akan bisa mencintai dengan tulus sebelum membuat komitmen.

Aku percaya itulah kesempatan terakhirku. Bukan karena aku sudah terlalu tua untuk menjalin cinta, tetapi karena sudah waktunya aku berhenti. Berhenti berlari, mengejar sesuatu yang orang bilang kebahagiaan, dan merasa bahagia dengan apa yang sudah kumiliki.

Pada akhirnya aku ingin mengenangmu sebebas-bebasnya, hingga titik terjauh, tanpa harus tercatat.

Senin, 02 Juli 2012

Membaca

Membaca bagi saya adalah kesenangan, dan saya berada di barisan paling depan untuk menentang golongan yang membenci buku.

Bagi saya, pemikiran –seburuk apapun— perlu di beri ruang. Buku dan diskusi adalah wadah untuk menuangkan pikiran. Sehingga melarang buku atau diskusi sama dengan melarang orang untuk berpikir. Lalu bagaimana kalau pemikiran dalam buku tersebuut hanya ‘pemikiran sampah’ yang nggak punya argumen yang kuat dan hanya menyebarkan kebencian belaka?

Saya hanya bisa menjawab, “Santai saja.” Ketika membaca sebuah pemikiran, tenang saja. Pembaca nggak harus setuju dengan sesuatu yang ia baca kan? Saya sependapat bahwa menutup diri dari pemikiran yang berbeda hanya merupakan sebentuk pengkerdilan diri. Masing-masing kita tentu punya pendirian, tapi pendirian yang dihasilkan oleh pergulatan hati dan pikiran adalah sebagus-bagusnya pendirian. Dan mengutip @pandji, “Mereka yang tidak siap dengan kebebasan berpendapat, akan terkucilkan.”