Senin, 31 Desember 2012

2012 in Pics

1. Pintar Bahasa Inggris Via Media Sehari-hari




2. Safa Narajatidewi




3.  Mata-mata: 16 Skandal Spionase di Indonesia & Dunia



 
4. Desy and Nada


Malam Tahun Baru

Bro, lo kerja di malam tahun baru? Santai aja. Itu ibadah yang gajinya gede.

Bro, lo sendirian di malam tahun baru? Santai aja. Mereka yang rame-rame di luar sana juga diam-diam menyimpan kesendirian.

Bro, lo kesepian di malam tahun baru? Santai aja. Kesepian itu cuma omong kosong kalau hati lo senang.

Bro, lo di rumah aja di malem tahun baru? Santai aja. Kita doain semoga malam ini hujan lebat.

Sekian.

the first year of the rest of my life

No one can go back, but everyone can go forward.

And tomorrow, when the sun rises, all you have to say to yourselves is:
I am going to think of this day as the first day of my life.

I will look on the members of my family with surprise and amazement, glad to discover that they are by my side, silently sharing tha little understood thing called love.

I will pass a beggar, who will ask me for money.
I might give it to him or I might walk past thinking that he will only spend it on drink, and as I do, I will hear his insults and know that it is simply his way of communicating with me.

I will pass someone trying to destroy a bridge.
I might try to stop him or I might realise that he is doing it because he has no one waiting for him on the other side and this is his way of trying to fend off his own loneliness.

Instead of noting down things I’m unlikely to forget, I will write a poem.
Even if I have never written one before and even if I never do so again, I will at least know that I once had the courage to put my feelings into words.

I will keep smiling, because it pleases me to know that people think I am mad. My smile is my way of saying: ‘You can destroy my body, but not my soul.’

If it’s sunny tomorrow, I want to look at the sun properly for the first time.
If it’s cloudy, I want to watch to see in which direction the clouds are going. I always think that I don’t have time or don’t pay enough attention. Tomorrow, though, I will concentrate on the direction taken by the clouds or on the sun’s rays and the shadows they create.

Above my head exists a sky about which all humanity, over thousands of years, has woven a series of reasonable explanations.

Well, I will forget everything I learned about the stars and they will be transformed once more into angels or children or whatever I feel like believing at that moment.

For the first time, I will smile without feeling guilty, because joy is not a sin.
For the first time, I will avoid anything that makes me suffer, because suffering is not a virtue.
I am living this day as if it were my first and, while it lasts, I will discover things that I did not even know were there.

Even though I have walked past the same places countless times before and said ‘Good morning’ to the same people, today’s ‘Good morning’ will be different. It will not be a mere polite formula, but a form of blessing.

And if I’m alone when the night falls, I will go over to window, look up at the sky and feel certain that loneliness is a lie, because the Universe is there to keep me company.

And then I will have lived each hour of my day as if it were a constant surprise to me, to this ‘I’, who was not created by my father or my mother or by school, but by everything I have experienced up until now, and which I suddenly forgot in order to discover it all anew.

And even if this is to be my last day on Earth, I will enjoy it to the full, because I will live it with the innocence of a child, as if I were doing everything for the first time.

Taken from here

Jumat, 28 Desember 2012

Kau Tahu Kawan #4

Di Amerika, ada orang depresi yang nembakin orang lain terus bunuh diri. Di sini, ada ibu ngeracunin anak-anaknya kemudian bunuh diri. Kegetiran, kau tahu kawan, sama dimanapun.

Kamis, 27 Desember 2012

Menikahlah

Tulisan ini untuk mereka yang masih percaya pada pernikahan, untuk mereka yang percaya bahwa menikah itu bukan hanya urusan agama semata tapi juga kebutuhan batin. Saya tidak sedang ingin mendebat dan memaksakan pemikiran kepada orang-orang yang sudah punya pendirian. Saya hanya ingin berbagi perspektif saja.

Di sini, saya nggak akan menyebutkan manfaat pernikahan satu persatu. Silahkan digoogle saja, atau tanyakan ustad terdekat dan terjauh yang kamu kenal. Saya akan mulai ini dengan sebuah pertanyaan: Mana yang lebih baik, jika kamu dihadapkan pada dua pilihan ini?

  1. Menikah muda kemudian bercerai muda, atau
  2. Menjomblo sampai tua tanpa tahu kapan menikah
Memang kedua pilihan tersebut sama nggak enaknya, tapi jika nggak ada pilihan lain selain pilihan-pilihan di atas, maka saya memilih yang pertama. Ya, bagaimanapun, orang yang telah menikah lebih punya pengalaman bahwa mempertahankan pernikahan itu nggak mudah.

Mari bertukar pikiran tentang bagaimana seharusnya seseorang melihat pernikhan. Ini masalah bagaimana kita melihat pernikahan secara lebih jujur. Pernikahan adalah ikatan. Ia nggak seperti persahabatan yang berjalan begitu saja tanpa adanya akad terlebih dahulu. Ini yang menyebabkan pernikahan itu rentan sekaligus complicated. Karena itu, jika pernikahan terputus, maka untuk menyambungnya kembali biasanya lebih sulit ketimbang menyambung persahabatan yang sudah terputus misalnya.

Cobalah kita melihat pernikahan secara sederhana saja. Di satu sisi kita mengagungkannya, di sisi lain juga kita sadari kelemahan manusia untuk terus melulu sempurna. Dengan kerangka berpikir seperti ini, rasanya lebih mudah untuk merumuskan konsep pernikahan.

Semua orang yang menikah menginginkan pernikahan mereka langgeng sampai akhir hayat, pasangan mereka setia, segala hal berjalan baik dan segala sesuatu yang ideal lainnya. Namun sekali lagi, nggak ada manusia yang sempurna.

Masalah pernihakan yang paling maksimal adalah ketika istri atau suami sudah memutuskan untuk bercerai. Maka dengan begitu, pernikahan selesai. Ya, jika kamu siap menikah, kamu pun harus siap untuk bercerai. Siap untuk menerima kondisi terburuk, seperti seorang pengusaha yang siap untuk gagal. Bukankah lawan dari pernikahan itu perceraian? Ini sunatullah. Maksud saya, ini seperti konsep timur dan barat, atas dan bawah atau laki-laki dan perempuan. Segala sesuatu punya lawanan dan lawan pernikahan adalah perceraian. Dalam pertandingan akan selalu ada yang menang dan kalah, bukan? Walaupun kesusksesan dan kemenangan adalah sebuah prestasi yang dituju. Walaupun lagi-lagi pernikahan itu sama sekali berbeda dengan pertandingan.

Ada orang yang punya keyakinan bahwa mereka siap menunggu berapa lama pun untuk mencari pasangan yang betul-betul mereka sukai. Pasangan yang betul-betul cocok. Pasangan yang sempurna yang padahal nggak bakal ada. Seperti kata Sean dalam Good Will Hunting, "You're not perfect, sport, and let me save you the suspense: this girl you've met, she's not perfect either. But the question is whether or not you're perfect for each other."

Pertanyaan selanjutnya adalah sampai berapa lama? Kecocokan seperti apa yang dicari? Dan apakah dengan begitu menjamin hubungan pernikahan akan langgeng?

Mari belajar kepada pendahulu-pendahulu kita. Mari kita merujuk pada Hadad Alwi, Ahmad Dani atau bahkan Aa Gym. Saya yakin —di luar alasan-alasan perceraian mereka, yang biasanya karena orang ketiga— awal mereka memutuskan untuk menikah adalah karena cinta, kecocokan dan ketulusan serta komitmen untuk membangun sebuah keluarga yang baik.

Ada juga orang yang nggak percaya kepada pernikahan. Mereka berargumen bahwa pernikahan sama dengan persahabatan. Mengapa persahabatan cenderung lebih langgeng dari pernikahan? Karena persahabatan dibangun tanpa akad terlebih dahulu. Seharusnya begitu jugalah pernikahan. Karenyanya, konsep pernikahan itu konyol. Sebagaimana konyol orang yang mau bersahabat tapi terlebih dahulu harus mengucapkan akad di depan penghulu.

Menurut saya menyamakan pernikahan dengan persahabatan adalah satu hal yang kurang tepat. Ya, berapa lamapun seorang bersahabat, apalagi sejenis, mereka nggak akan pernah memutuskan untuk hamil dan punya anak. Kalaupun mereka punya anak, dalam hubungan yang bukan pernikahan, bukankah dengan pernikahan menjadikan hubungan dalam keluarga yang mereka jalani lebih aman? Karena pernikahan itu mengikat dan memberi hak-hak kepada suami istri anak dan lain sebagainya yang tentunya telah diatur dalam undang-undang pernikahan.

Maka, jika kamu percaya kepada pernikahan, tunggu apa lagi? Menikahlah secepatnya.

Sedih

"Ada dua jenis manusia di dunia ini: mereka yang memilih untuk bersedih bersama-sama yang lain, dan mereka yang memilih untuk bersedih sendirian.” — Nicole Krauss
“Kamu tidak bisa mencegah dirimu dari kesedihan tanpa mencegah dirimu dari kebahagiaan” — Jonathan Safran Foer
"Jiwa yang sedih lebih cepat membunuhmu, bahkan sangat cepat, daripada kuman.” — John Steinbeck
"Kemarahan dan kesedihan sama-sama sulit dipikul" — Lian Hearn
"Orang yang paling lucu adalah orang yang paling sedih" — Confucius
"Kamu butuh sebuah alasan untuk sedih. Kamu tidak butuh alasan untuk bahagia.” — Louis Sachar

Sabtu, 22 Desember 2012

Bahagia

"Semua orang ingin hidup bahagia. Kadang-kadang kita sendiri yang mempersulit keadaan untuk menjadi bahagia"  — Clara Ng
“Waktu untuk berbahagia itu sekarang, tempat untuk berbahagia itu di sini, dan cara untuk berbahagia adalah dengan membuat orang lain bahagia.” —Taylor Coleridge

"Kita tidak bisa menjamin kesejahteraan kita, kecuali dengan menjamin kesejahteraan orang-orang lain juga. Jika anda bahagia, anda harus rela mengusahakan orang-orang lain agar bahagia pula." — Bertrand Russell 

"Ketika kau merasa letih dalam melakukan kebaikan maka sungguh keletihan akan segera sirna dan kebaikannya akan abadi. Sekiranya kau merasa bahagia melakukan dosa dan maksiat, ketahuilah bahwa kebahagiaannya akan segera sirna padahal dosa dan kemaksiatannya akan abadi." — Ali Bin Abi Thalib
"Sudah kukatakan padamu, Kawan, di negeri ini, mengharapkan bahagia datang dari pemerintah, agak sedikit riskan" — Andrea Hirata

"Tuhan, kenapa kita bisa bahagia?" — Goenawan Mohamad
“Kamu sering lupa bahwa sebenarnya kamu bahagia.” —Joko Pinurbo

Jumat, 21 Desember 2012

A Suit Couple

My wife is very extrovert and tells all what she likes or dislikes. Sometimes, she forgets if not all things have to be said. And I am even worse; sometimes I do not listen to what she says.

Porno

Pemerintah sering melakukan pemblokiran situs-situs porno, namun baru-baru ini Indonesia menjadi pengunduh nomor satu situs-situs tersebut. Faktanya, mayoritas pengunduh adalah remaja, yakni pelajar SMP dan SMA.

Pertanyaan yang paling kursial dari fakta ini adalah; mengapa Tuhan menganugrahkan nafsu seks yang amat besar kepada para remaja?

Kemampuan seks yang besar mungkin nggak jadi masalah jika dimiliki orang dewasa yang telah menikah. Namun pada kenyataannya justru nafsu seks yang amat besar itu dimiliki kaum remaja, yang tentunya belum cukup umur atau masih labil untuk menikah dan memiliki pasangan. Ketika seseorang masih remaja, secara umum dia belum bisa berpikir dan bersikap secara dewasa. Lalu ketika nafsu seksnya membara, maka aktivitas pacaran, nonton bokep, sampai memposting foto-foto telanjang adalah sarana mereka untuk menyalurkannya.

Apa manfaatnya nafsu seks yang besar itu bagi remaja? Dan mengapa kemampuan seperti itu itu nggak diberikan saja kepada orang yang sudah dewasa, yang sudah dianggap bisa mengendalikannya? Apa sebenarnya tujuan Tuhan?

Jawaban dari pertanyaan itu saya temukan di blog Hoeda Manis. Ia menulis bahwa ada sesuatu yang disebut “transmutasi seks” (sex transmutation) yang mungkin merupakan alasan Tuhan menganugrahkan nafsu seks yang besar kepada remaja. Transmutasi adalah perubahan atau pemindahan suatu unsur atau suatu bentuk energi, menjadi unsur lainnya. Jadi transmutasi seks adalah pengalihan energi seks untuk mewujudkan energi lainnya.

Hoeda mengutip Napoleon Hill dalam bukunya Think and Grow Rich, “Hasrat keinginan seksual adalah yang paling kuat di antara semua keinginan manusia. Jika terdorong oleh keinginan ini, manusia bisa mengembangkan imajinasi yang paling tajam, keberanian, kekuatan kemauan, ketekunan, dan semua kemampuan kreatif yang nggak mereka ketahui pada saat-saat lainnya. Sedemikian kuat dan berpengaruhnya keinginan untuk kontak seksual, sehingga manusia begitu berani mempertaruhkan jiwa dan reputasi untuk memenuhinya. Kalau dikendalikan dan diarahkan kembali sepanjang jalur yang lain, kekuatan yang memberikan motivasi ini menjaga semua atribut ketajaman imajinasi, keberanian, dan sebagainya, yang bisa digunakan sebagai daya kreatif yang kuat dalam kesusastraan, seni, atau dalam profesi lainnya, yang tentu saja termasuk pengumpulan kekayaan.”

Satu lagi yang membuat saya makin kagum adalah Napoleon Hill juga memberi contoh tokoh-tokoh hebat dunia yang berhasil karena kemampuan mereka melakukan transmutasi seks. Mereka adalah Thomas Alva Edison, Thomas Jefferson, George Washington, William Shakespeare, Ralph Waldo Emerson, Abraham Lincoln, Enrico Caruso, Woodrow Wilson, Elbert Hubbard, dan Andrew Jackson.

Nah, terjawab sudah mengapa nafsu yang besar tersebut diberikan kepada anak muda bukan orang yang dewasa atau tua. Karena jika nafsu seks yang besar diberikan pada orang dewasa, itu menjadi tidak hebat lagi, karena mereka bisa menyalurkannya dengan mudah pada pasangan merekaa. Nafsu seks yang amat besar sengaja dianugerahkan kepada para remaja, agar mereka mencari cara menyalurkan nafsu itu kepada hal lain yang tak ada hubungannya dengan seks.

Sampai sini, mungkin terasa semakin jelas tujuan Tuhan menganugrahkan nafsu seks yang besar kepada anak muda. Namun, tentu banyak yang mendebat jawaban ini.

Mereka yang nggak setuju bisa saja mengatakan bahwa akses porno sekarang ini jauh lebih mudah daripada dahulu, sehingga wajar saja orang-orang hebat yang telah disebutkan itu lebih mudah mengubah nafsu seks yang besar itu menjadi energi lain sehingga mereka mencapai kehebatan dan kebesaran seperti yang tercatat dalam sejarah. Pertanyaan yang juga mengikuti adalah bagaimana cara mengubahnya. Kita tahu, bahkan di sekolah diajarkan, bagaimana mengubah energi gerak menjadi listrik, panas menjadi listrik, atau kebalikannya. Namun apakah di sekolah juga diajarkan seni mengubah energi seks yang besar kepada hal lain yang tak ada hubungannya dengan seks?

Jawaban dari pertanyaan ini bisa beragam. Bisa iya, bisa tidak, atau mungkin saja. Namun menurut saya seni transmusi seks itu, sebagaimana jenis seni yang lain, bisa dipelajari tekniknya.

Menurut saya, tekniknya adalah meniru apa yang dilakukan oleh orang-orang hebat itu semenjak masa muda. Tentu ini tanggung jawab orang tua untuk mengajarkan anak-anak mereka melakukannya. Dan yang tak kalah penting mencegah mereka mengakses pornografi sebelum masanya. Karena menurut Paula Hall dalam survei untuk bukunya Understanding and Treating Sex Addiction, akses mudah pada pornografi, terutama secara online dan pendidikan seks yang buruk, harus disalahkan untuk remaja yang menderita kecanduan seks. Ia menyatakan bahwa hampir setengah dari mereka yang menderita kecanduan umumnya pertama bersinggungan dengan pornografi sebelum mereka berusia 16 tahun.

Jadi selain meniru apa yang dilakuakn oleh orang-orang besar itu sejak muda mereka, menjaga anak-anak muda untuk tak bersinggungan dengan pornografi sebelum usia 16 tahun dan memberikan pendidikan seks yang baik juga merupakan hal yang tak kalah pentingnya.

Begitu mungkin teknik mudahnya. :)

Kau Tahu Kawan #3

Kau tahu kawan, di Indonesia, setiap ada kasus terorisme atas nama agama, biasanya para agamawan bicara lantang, “Kami mengutuk perbuatan tersebut. Itu bukan perbuatan orang-orang yang beragama.” Dan kaum Atheis yang mendengarnya merasa diakui, juga dituduh.

Rabu, 19 Desember 2012

Tentang Dua Buah Film (2)


Setelah keluar bioskop, gue bilang ke cewek yang gue ajak nonton, “Ah, nyesel nonton film itu.”
“Nyesel kenapa, kan filmnya bagus.”
“Nyesel kenapa gak nonton 3D-nya.”
Tapi selain itu, film ini memang bagus, ngasih gue cara baru melihat agama.
Film ini dibuka dengan dialog seorang penulis Kanada dengan pria India bernama Pi, karena dia diberitahu bahwa Pi memiliki cerita yang akan membuatnya percaya akan Tuhan.


Seperti yang gue bilang sebelumnya, gue tertarik dengan penjelasan ayah Pi tentang agama. Ayah Pi nggak percaya agama apapun. Ia bilang agama itu kegelapan. Sementara ibu Pi adalah penganut Hindu yang taat. Pi dibesarkan dalam cerita-cerita ibunya tentang dewa-dewa Hindu. Namun ketika ia beranjak remaja, mungkin sekitar umur 12 tahun, ia juga tertarik untuk memeluk Kristen dan kemudian ia juga Sholat seperti Muslim. Demikian salah satu percakapan Pi dengan si penulis tentang keimanan:
Pi: Faith is a house with many rooms.
Writer: But no room for doubt?
Pi: Oh plenty, on every floor. Doubt is useful; it keeps faith a living thing. Afterall, you cannot know the strength of your faith until it is tested.
Ketika ayah-ibunya mengetahui ia memeluk tiga agama sekaligus, mereka nggak melarang. Di meja makan, ketika mereka berkumpul untuk makan ayahnya bilang, “Believing in everything is the same as believing in nothing."



Ia menyuruh Pi untuk menggunakan akal sehatnya daripada memeluk agama manapun. Namun ayahnya sekaligus nggak merasa berhak melarangnya memeluk agama apapun. Ia malah mempersilahkan anaknya untuk berbeda keyakinan dengannya, asalakan itu dihasilkan dari akal sehatnya, bukan hanya ikut-ikutan.

Kemudian Pi lanjut bercerita tentang ayahnya yang memutuskan untuk pindah dari India ke Eropa untuk menjual binatang dari kebun binatang mereka. Di tengah perjalanan dengan kapal laut, kapal mereka tenggelam diterjang badai. Pi terdampar di Samudra Pasifik dengan Macan Bengal bernama Richard Parker —Nah, kalo Bengal di sini maksudnya nama sebuah tempat di India.

Gue bisa menyimpulkan dari keseluruhan cerita di film ini, bahwa ini adalah cerita tentang percaya pada kehidupan, keindahan dan semangat manusia.

Dari dua film tersebut, gue bisa menyimpulkan satu hal; every human being has faith —it just sometimes needs proof to back it up. Sampai saat ini, gue bisa bergaul dan menghormati orang yang berlainan kepercayaan atau ketidak percayaan terhadap agama. Bagi gue kita adalah manusia yang masih terus mencari. Semua orang yang memiliki keyakinan atau ketidak yakinan layak diapresiasi. Keyakinan seperti juga ketidak yakinan datang melalui sebuah proses yang terkadang panjang.
Seperti ayah Pi, gue lebih senang jika ada orang yang berbeda keyakinan dengan gue tapi dia mendapat keyakinan itu dengan pergulatan yang berani ia ambil, dari pada punya kesamaan keyakinan dengan gue tapi berdasarkan ikut-ikutan. Karena memang keyakinan nggak bisa dipaksakan.
Mungkin tepat apa yang dikatakan Yann Martel, “Atheists are my brothers and sisters of a different faith, and every word they speak speaks of faith.”

Selasa, 18 Desember 2012

Tentang Dua Buah Film (1)

Kemarin gue nonton dua buah film yang dibuat pada rentang waktu yang jauh beda, tapi punya benang merah yang sama; keyakinan. Ada satu hal lagi yang membuat dua film ini sama, mereka sama-sama adaptasi dari novel. Film yang pertama berjudul Simon Birch (1998, adaptasi dari  A Prayer for Owen Meany oleh John Irving.) dan yang kedua Life of Pi (2012, adaptasi dari Life of Pi oleh Yann Martel).


Pada screen awal Simon Birch menampilkan Joe Wenteworth dewasa di depan sebuah nisan, dengan backsound prolog:
I am doomed to remember a boy with a wrecked voice, not because of his voice, or because he was the smallest person I ever knew, or even because he was the instrument of my mother's death, but because he is the reason I believe in God. What faith I have, I owe to Simon Birch, the boy I grew up with in Gravedown, Maine.
Dari prolog ini aja gue udah tertarik buat nonton.

Kemudian screen selanjutnya diteruskan dengan cerita tentang seorang kawan karib Joe yang bengal —sejujurnya gue juga gak ngerti apa sebenarnya arti bengal, tapi biarin aja begitu— bernama Simon Brich. Simon lahir dalam kondisi yang nggak seperti anak-anak 12 tahun seusianya, ia lahir dengan tubuh kecil. Namun bukan jiwanya, karena dalam usianya saat itu ia punya keyakinan kuat dari dalam hatinya bahwa Tuhan menciptakan dirinya seperti itu untuk sebuah alasan. Tuhan pasti punya tujuan, begitu selalu ia bilang. Saking kuatnya kepercayaan kepada Tuhan, ia pernah menanyakan tentang Tuhan di depan pendeta yang sedang berceramah di sebuah gereja dan membuat para jemaat tertawa. Ia dihukum untuk merenung di pojok ruangan. Di sana sang pendeta bertanya:
Rev. Russell: What are you doing sitting in a corner Simon?
Simon: Thinking about God.
Rev. Russell: In a corner?
Simon: Faith is not in a floor plan.
Ia sangat percaya bahwa Tuhan menciptakan seperti itu untuk menjadi pahlawan. Itulah yang menjadi cita-citanya juga. Sebuah cita-cita yang absurd.

Joe adalah anak "haram" dari seorang wanita yang merupakan “bunga desa” di daerah itu. Saking cantiknya Simon pernah bilang ke Joe, “Your mother is so sexy, sometimes I forget she's someone's mother. “ —Nah, dari ucapan ini kalian tentu ngerti apa yang gue maksud dengan bengal. Hehe.


Simon, karena saking kecilnya, pada usia 12 tahun ia masih memerankan Bayi Yesus dalam sandiwara Natal gereja. Sampai suatu ketika persahabatan mereka diuji, Ketika bola yang dipukul Simon pada sebuah pertandingan kasti mengenai kepala ibu Joe dan menyebabkannya mati seketika. Simon bertanya-tanya dalam hati mengapa Tuhan menjadikannya alat untuk membunuh ibu kawannya yang sangat ia cintai itu. Bisa dibilang ibu Joe juga merupakan ibu Simon dalam hal kasih sayang. Namun Joe berpikiran lain, menurutnya itu hanyalah kecelakaan dan nggak ada campur tangan Tuhan di dalamnya. Simon menyebut Joe nggak punya iman, tapi Joe menjawab, “I have faith. I just need proof to back it up.”
Setelah kematian ibu Joe persahabatan mereka nggak putus, bahkan makin erat.
Cerita belanjut ketika mereka bersama-sama mencari tahu siapa ayah Joe sebenarnya. Sampai akhirnya mereka menemukannya. Takdir juga menuntun Simon untuk menyelamatkan anak-anak dalam bus yang tenggelam, yang menyebabkan nyawanya melayang dan akhirnya dia dikenang sebagai seorang pahlawan, a very small hero.

Lanjut ke sini.

Minggu, 16 Desember 2012

jika internet mati

jika internet mati
aku takkan lagi mecaci
mengoleksi kesedihan
membaginya pada kawankawan

jika internet mati
aku takkan lagi memasang foto yang sama
pada senyum dan kegelisahan yang maya

jika internet mati
mungkin aku akan tidur disaat tidur dan makan disaat lapar

jika internet mati
aku akan berhenti menghakimi

tapi jangan mati dulu
karena aku msih ingin rindu

bagaimanapun kau harus hidup
jika tidak bagaimana kau bisa mati

Arogansi Ibukota

Jika seandainya stasiun TV nasional ada di Papua atau Kalimantan, kemudian ada yang nelpon ke sana dan bilang dari Jakarta, sang pembawa acara akan bilang, “Dari Jakarta? Wah, jauh sekali.”

Selasa, 11 Desember 2012

Apa yang Tidak Bisa Ditulis Seseorang?

Saya pikir, hampir semua hal bisa ditulis. Hanya pertanyaannya, berani dan maukah orang untuk menulisnya.

Kalau kendala ide dijadikan alasan orang untuk tidak bisa menulis saya pikir hal itu terlalu lugu. Di kepala kita ada ratusan bahkan ribuan ide yang sedang berseliweran menunggu ditumpahkan –dalam hal ini ditulis.  Jika satu tema saja dilontarkan, kemandirian contohnya, di dalam kepala kita tentu sudah banyak hal yang berhubungan dengan itu.

Jika saya diminta menulis sesuatu, maka saya akan menulis perasaan yang paling kuat yang saya rasakan ketika menulis. Sekali lagi yang paling kuat yang saya rasakan. Bisa saja saya memulainya dengan.

‘hari ini gue lagi kehabisan ide untuk menulis. Mungkin ada beberapa hal yang menyebabkan ide dalam tempurung kepala gue gak mau keluar,….. dan seterusnya, dan seterusnya… ‘ sampai akhirnya saya akan mengaitkan apa yang sudah saya tulis dengan tema yang ada.

Mungkin menurut sebagian orang hal itu lucu dan gak bisa direalisasikan. Contohnya kalo perasaan kita yang paling kuat  pada saat itu adalah lapar, maka bagaimana menghubungkan lapar dengan independensi?

Ya, begitulah cara kerja otak, mengait-ngaitkan. Ini masuk teory yang dikenal dengan teori tiga kata. Saya mengenalnya dari seorang sastrawan terkenal, A. S. Laksana. Menurut teori ini, kita bisa memangcing ide keluar denga cara mengambil tiga kata secara acak kemudian membuatnya menjadi sebuah paragraf.

Cobalah!

Far and Close

I want to say to my wife, "How does one get close if he is not far away?"

But she cried before I had time to say it.

Mengkritik dan Menyalahkan Orang Lain

Beberapa hari yang lalu, ada seorang kawan menulis hinaan di Note dalam facebook-nya kepada seorang manager tempat ia dulu bekerja.

Ia menulis itu karena tidak terima atas penghinaan yang pernah diterima ketika dulu bekerja. Yang membuat ini menarik adalah; ia menulis juga nama institusi dan lokasinya dengan jelas serta di-tag ke beberapa sahabatnya yang bahkan masih bekerja di sana.

Sekilas ini seperti kasus Prita Mulyasari.

Kawan saya itu pernah bercerita bahwa dulu ia pernah di ‘nasehati’ oleh sang manager agar menurunkan berat badannya. Ia tersinggung dan tidak beberapa lama kemudian mengundurkan diri. Padahal belum genap sebulan ia bekerja.

Kepada saya ia bercerita, “Iya, waktu itu gue pulang kerja trus nangis minta nyokap buat beliin alat pengurus badan. Tapi akhirnya gue mutusin berenti kerja aja. Karena kalo gue pikir-pikir, gak ada hubungannya juga kerjaan yang gue jalanin sama berat badan gue!”

Setelah membaca cacian itu, sang manager tersinggung dan segera ingin bertemu dengan kawan saya. Terakhir saya dengar, meneger yang yang juga masih tetangga dekatnya itu, ingin menuntut lewat jalur hukum.

Sampai tulisan ini ditulis, saya tidak tahu kelanjutan masalahnya.

Namun di sini saya tidak punya kapasitas apa-apa untuk menyalahkan. Kalaupun saya punya kapasitas itu, saya pun akan berpikir dua kali untuk melakukannya. Kenapa? Ya, karena sudah hampir dapat dipastikan kedua belah pihak akan membela diri dan tidak terima disalahkan.

Mungkin ada baiknya jika melihat kasus ini bukan dari segi siapa yang salah dan yang benar. Siapa yang melanggar hukum, siapa yang tidak. Siapa yang dicemarkan nama baiknya dan lain sebagainya.

Saya ingin bercerita tentang Abraham Lincoln, presiden Amerika yang terkenal itu. Kisah ini saya kutip dari buku How to Win Friends and Influence People karya Dale Carnegie

Pada musim semi tahun 1842, Lincoln mengejek seorang politikus yang suka berkelahi bernama James Shields. Ia mengecamnya melalui sepucuk surat tanpa nama yang diterbitkan dalam Journal Springfield. Seisi kota itu pecah dalam tawa. Shields, seorang yang peka dan punya harga diri, mendidih karena marah. Dia mencoba mencari tahu siapa yang menulis surat itu, dia mengejar Lincoln dan menantangnya berduel. Lincoln tidak ingin berkelahi. Dia menolak berkelahi, tapi dia tidak bisa melepaskan diri dari kejadian ini dan menyelamatkan harga dirinya. Dia diberi pilihan senjata. Karena Lincoln memiliki lengan yang sangat panjang, dia memilih pedang kavaleri dan belajar berkelahi dengan menggunakan pedang di West Point; dan, pada hari yang ditentukan dia dan Shields bertemu di tepi Sungai Misisipi, bersiap untuk bertarung sampai mati; tapi pada menit terakhir, para pendukung mereka menyela dan menghentikan duel tersebut.
 
Bagi Lincoln peristiwa itu punya satu pelajaran tak ternilai harganya dalam seni berhubungan dengan manusia. Tidak pernah lagi ia menulis surat yang menghina. Tidak pernah lagi ia mengolok-olok seorang pun. Dan sejak saat itu, dia hampir tidak pernah mengeritik siapapun dalam hal apa pun.

Jadi, kalau ada orang yang mau dibenci orang lain, cobalah menuruti hati untuk memberikan kritik yang tajam —betapapun yakinnya kita bahwa tindakan itu benar-- itu cukup untuk membuat anda dibenci.

Ketika berurusan dengan manusia, ingatlah bahwa kita tidak berurusan dengan makhluk logika. Kita berurusan dengan makhluk emosi, makhluk yang penuh dengan prasangka. Makhluk yang dimotivasi oleh rasa bangga dan sombong.

Semoga kita dapat mengambil pelajaran.

Sabtu, 08 Desember 2012

Setiap anak yang terlahir ke dunia tidak pernah minta dilahirkan

Mereka dilahirkan karena kehendak orangtuanya. Percayalah.

menunggumu pulang

semoga malam yang bergelantung di langit-langit kamar,
melindungimu dari siang-siang yang lelah
semoga sinar pagi membuka kelopak matamu perlahan,
menerangi mimpi yang semalam

lelaki ini akan membuat detik-detikmu terasa lambat,
saat kita berpelukan menyamakan suhu badan,
atau ketika kunyanyikan lagu ini, sampai kau terlelap

dan kita terus beranjak dewasa bersama,

menghadapi dunia yang tidak lagi sama
dengan jiwa dan pemikiranmu yang berbeda

dan kita terus beranjak dewasa bersama,

aku masih ingin menjadi jingga di soremu
mengingatkanmu rindu yang selalu sendu

dan kita terus beranjak dewasa bersama,

ketika seseorang mulai sering menelponmu,
atau bahkan datang ke rumah untuk bertemu,
mungkin aku akan menguping percakapan kalian di ruang tamu —berharap dapat menghilangkan kecemburuanku

dan kita terus beranjak dewasa bersama,

saat kau sesekali melanggar jam malam,
dan aku duduk di ruang tamu menunggumu pulang

aku tahu saat itu akan datang

Rabu, 05 Desember 2012

Sebuah Catatan Tentang Hidup di Buku Harian yang Kutemukan Kemarin

"Gamelan tidak pernah bersorak-sorai; sekalipun di dalam pesta yang paling gila pun, dia terdengar sayu dalam nyanyiannya, mungkin begitulah seharusnya. Kesayuan itulah hidup, bukan nyanyi bersorak-sorai!"

Belakangan aku tahu, itu adalah tulisan Kartini.