Sabtu, 21 Desember 2013

Polisi Baik vs Polisi Jahat

Suatu hari, ketika kendaraan terhenti karena lampu merah, dengan jari menunjuk seseorang berseragam dari dalam mobil, Nada bertanya, “Pak itu polisi baik atau jahat?”

Mata saya segera tertuju ke seorang Polantas yang sedang mengatur lalu lintas di persimpangan jalan itu. Dari kaca jendela, polisi itu terlihat tegap diterpa sinar matahari siang.

“Itu polisi baik atau jahat, Pak?” Nada mengulangi.

“Polisi baik. Itu mau bantu supaya orang tertib berlalu lintas.” Jawab saya beserta penjelasan yang nggak diminta. Anak seumur Nada memang suka bertanya tentang apapun. Nggak hanya itu, sering juga ia bertanya bagaimana atau kenapa itu bisa terjadi. Jadi tentu saya merasa perlu memberikan penjelasan yang mudah dicerna kepala kecilnya. Lagipula, darimana dia mendapat istilah polisi baik dan polisi jahat? Apa mungkin karena ada darah polisi mengalir dalam dirinya? Kebetulan almarhum kakeknya adalah polisi.

Berdasarkan survey, dibandingkan beberapa lembaga lain, polisi Indonesia memang ada di level korupsi paling tinggi, jadi nggak mengherankan juga pertanyaan itu diajukan. Walaupun seharusnya keluar dari orang sekaliber Anis Baswedan ketika menjadi panelis untuk debat presiden, bukan anak usia tiga tahun kepada bapaknya yang sering golput.

Mobil melaju seirama dengan berubahnya lampu lalu lintas menjadi hijau. Nggak beberapa lama, kami bertemu dengan persimpangan dan lampu lalu lintas lagi. Nada menanyakan pertanyaan yang sama ketika ia melihat seseorang dengan seragam, “Kalo itu polisi baik atau jahat?”

“Baik juga.” Kata saya singkat.

“Polisi jahatnya mana, Pak?” Nada lanjut bertanya.

Pertanyaan yang bahkan SBY-pun akan bingung jawabnya. Namun gue harus menjawab, supaya dia dapat kepuasan dan nggak nanya tentang polisi lagi. Paling nggak untuk perjalanan saat itu. “Polisi jahatnya ada di penjara.” Saya menjawab sekenanya.

“Penjara itu apa?” Nada bertanya, tapi terdengar seperti Aristoteles yang mengucapkan.

Dan kali itu, sepertinya saya harus menjelma menjadi Plato, “Penjara itu tempat orang-orang taubat, supaya dapat ampunan.” Begitu saya bilang.

Nada sepertinya puas dengan jawaban itu, atau mungkin juga sedang berpikir mencari pertanyaan filosofis lain. Perjalanan berlanjut. Dan sialnya, polisi terlihat lagi. Nada bertanya pertanyaan polisi baik dan jahat lagi. Dan saya pura-pura mati.

Kali itu saya berpikir sebentar, mencari jawaban pamungkas. “Itu polisi baik atau jahat, Pak?” Nada kembali mencoba membunuh saya.

Dengan yakin saya menjawab, “Semua polisi itu baik, Kak. Semua polisi.” saya menekankan kata-kata terakhir. Kemudian melanjutkan, “Sampai ada yang membuktikan kebalikannya.”

Nada sepertinya puas dengan jawaban itu, atau mungkin juga sedang berpikir mencari pertanyaan filosofis lain.







Minggu, 15 Desember 2013

Polisi Baik, Polisi Jahat

Suatu hari, ketika kendaraan terhenti karena lampu merah, dengan jari menunjuk seseorang berseragam dari dalam mobil, Nada bertanya, “Pak itu polisi baik atau jahat?”

Mata gue segera tertuju ke seorang Polantas yang sedang mengatur lalu lintas di persimpangan jalan itu. Dari kaca jendela, polisi itu terlihat tegap diterpa sinar matahari siang. “Itu polisi baik atau jahat, Pak?” Nada mengulangi.

“Polisi baik. Itu mau bantu supaya orang tertib berlalu lintas.” Jawab gue beserta penjelasan yang nggak diminta. Anak seumur Nada memang suka bertanya tentang apapun. Nggak hanya itu, sering juga ia bertanya bagaimana atau kenapa itu bisa terjadi. Jadi tentu gue merasa perlu memberikan penjelasan yang mudah dicerna kepala kecilnya. Lagipula, darimana dia mendapat istilah polisi baik dan polisi jahat? Apa mungkin karena ada darah polisi mengalir dalam dirinya? Kebetulan almarhum kakeknya adalah polisi.

Berdasarkan survey, dibandingkan beberapa lembaga lain, polisi Indonesia memang ada di level korupsi paling tinggi, jadi nggak mengherankan juga pertanyaan itu diajukan. Walaupun seharusnya keluar dari orang sekaliber Anis Baswedan ketika menjadi panelis untuk debat presiden, bukan anak usia tiga tahun kepada bapaknya yang sering golput.

Mobil melaju seirama dengan berubahnya lampu lalu lintas menjadi hijau. Nggak beberapa lama, kami bertemu dengan persimpangan dan lampu lalu lintas lagi. Nada menanyakan pertanyaan yang sama ketika ia melihat seseorang dengan seragam, “Kalo itu polisi baik atau jahat?”

“Baik juga.” Kata gue singkat.

“Polisi jahatnya mana, Pak?” Nada lanjut bertanya. Pertanyaan yang bahkan SBY-pun akan bingung jawabnya. Namun gue harus menjawab, supaya dia dapat kepuasan dan nggak nanya tentang polisi lagi. Paling nggak untuk perjalanan saat itu.

“Polisi jahatnya ada di penjara.” Gue menjawab sekenanya.

“Penjara itu apa?” Nada bertanya, tapi terdengar seperti Aristoteles yang mengucapkan.

Dan kali itu, sepertinya gue harus menjelma menjadi Plato, “Penjara itu tempat orang-orang taubat, supaya dapat ampunan.” Begitu gue bilang.

Nada sepertinya puas dengan jawaban itu, atau mungkin juga sedang berpikir mencari pertanyaan filosofis lain.

Perjalanan berlanjut. Dan sialnya, polisi terlihat lagi. Nada bertanya pertanyaan polisi baik dan jahat lagi. Dan gue pura-pura pingsan.

Kali itu gue berpikir sebentar, mencari jawaban pamungkas. “Itu polisi baik atau jahat, Pak?” Nada kembali mencoba membunuh gue.

Dengan yakin gue menjawab, “Semua polisi itu baik, Kak. Semua polisi.” Gue menekankan kata-kata terakhir. Kemudian melanjutkan, “Sampai ada yang membuktikan kebalikannya.”

Nada sepertinya puas dengan jawaban itu, atau mungkin juga sedang berpikir mencari pertanyaan filosofis lain.

Rabu, 27 November 2013

Keresahan di Media Sosial

Media sosial sekarang ini membuat seseorang memiliki pertemanan yang luas. Salah satu media sosial yang paling besar di gunakan oleh orang Indonesia adalah Facebook. Namun tidak semua orang Indonesia suka dengan media sosial itu, kawan saya memilih untuk mendeaktifasi akun FB-nya bebrapa tahun lalu dan tidak mengaktifkannya sampai sekarang. Ia beralasan karena FB cenderung membuatnya iri dan tidak bersukur.

Mendeaktifasi FB tentu saja pilihan pribadinya. Pilihan tersebut didasarkan atas keresahannya ketika bergaul di sana, namun keresahan yang ia hadapi bisa jadi merupakan keresahan kita juga.

Dalam sebuah tulisan, kawan saya menulis bahwa ia sudah merasa cukup membandingkan dirinya dengan orang lain. Ia merasa sudah cukup mendefinisikan dirinya berdasarkan berapa banyak yang me-like atau berkomentar pada status yang ia buat. Ia merasa sudah cukup percaya bahwa rumput tetangga selalu lebih hijau.

Ia berpendapat bahwa hubungan di sana tidak punya makna yang mendalam. Hubungan yang berkisar tentang apa yang ia punya, apa yang kawan-kawannya punya, apa yang dilakukan dan segala pencapaian hidup. Intinya, semakin lama ia bergaul di sana, semakin besar rasa frustasinya.

Ia sadar dengan memutuskan hubungannya, ia tidak akan mendapatkan ucapan selamat ulang tahun sebanyak ketika ia aktif di sana. Namun ia juga bersukur bahwa ada kawan-kawannya yang lain yang benar-benar tulus, tanpa perlu diingatkan FB. Tanpa FB ia juga merasa hidupnya bebasa dari drama yang tidak perlu. Ia merasa bahwa dengan melihat satu posting, bisa memunculkan rasa negatif, penasaran dan kemudian memicu gosip.

Dan inti dari intinya adalah, FB terkadang membuatnya lupa bersyukur. Karena tiap kali melihat posting orang lain (ada yang sedang keliling Eropa, beli rumah baru, bayi-bayi lucu, lulus sekolah di luar negeri, reuni yang seru, dan lain-lain yang menerangkan bahwa mereka punya hidup yang luar biasa), ia sering merasa iri dan cemburu.

Itulah keresahannya, atau bisa jadi merupakan keresahan kita juga. Bukankah media sosial pada umumnya adalah sarana yang sangat potensial seseorang untuk pamer?

Membaca keresahannya, saya jadi teringat sebuah kisah sahabat pada zaman nabi. Pada suatu hari tatkala Nabi Muhammad SAW sedang duduk dan berbincang – bincang bersama para sahabatnya di masjid, tiba – tiba Nabi SAW bersabda, “Sebentar lagi seorang penghuni surga akan datang kemari”

Mendengar ucapan Rasullulah SAW tersebut, semua pandangan para sahabat tertuju ke pintu masjid. Mereka menduga penghuni surga itu tentu seorang yang luar biasa.

Tidak lama kemudian masuklah ke dalam masjid seseorang yang wajahnya masih basah dengan air wudu, sambil menjinjing alas kaki. Apa gerangan keistimewaan orang itu, sehingga Rasullulah SAW menjamin masuk surga? Anehnya tidak seorang pun dari sahabat Nabi SAW yang mau bertanya, walaupun sebenarnya mereka ingin mengetahui jawabannya.

Keesokan harinya, yaitu hari kedua dan ketiga, kejadian seperti di atas berulang kembali. Pada hari kedua dan ketiga Nabi SAW tetap bersabda bahwa orang itu calon penghuni surga. Abdullah ibnu Umar (sahabat Nabi SAW) penasaran. Beliau ingin melihat langsung apa yang dilakukan oleh calon penghuni surga itu sehari-harinya. Abdullah ibnu Umar mendatangi rumah calon penghuni surga itu, dan beliau minta izin utnuk tinggal di rumah orang itu selama tiga hari tiga malam.

Selama tiga hari tiga malam Abdullah ibnu Umar memerhatikan, mengamati bahkan mengintip apa saja yang diperbuat oleh calon penghuni surga itu. Memang ibadah wajib selalu dikerjakan oleh penghuni surga itu, tetapi ibadah khusus seperti malam dan puasa sunah tampaknya penghuni surga itu tidak mengerjakannya. Hanya saja kalau terbangun dari tidurnya ia menyebut nama Allah (zikir) di tempat tidurnya, tetapi itu hanya sejenak saja, dan tidurnya pun berlanjut.

Pada siang hari si penghuni surga itu bekerja dengan tekun. Ia ke pasar, sebagaimana halnya orang lainnya yang pergi ke pasar. “Pasti ada sesuatu yang disembunyikan atau aku tidak sempat melihatnya apa yang dilakukan penghuni surga itu. Aku harus berterus terang kepadanya” demikian ucapab Abdullah ibnu Umar dalam hatinya.

“Apakah yang Anda perbuat sehingga Anda mendapat jaminan surga?” tanya Abdullah.

“Apa yang Anda lihat itulah” jawab penghuni surga.

Dengan kecewa Abdullah ibnu Umar bermaksud kembali saja ke rumahnya, tetapi tiba – tiba tangannya dipegang oleh si penghuni surga seraya berkata, “Apa yang Anda lihat itulah yang saya lakukan, ditambah sedikit lagi yaitu saya tidak pernah iri hati terhadap seseorang yang dianugerahi nikmat oleh Allah. Tidak pernah pula saya melakukan penipuan dalam segala kegiatan saya” [i]

----------------------------------------------------------------------

[i] Kisah dikutip dari buku Lentera Hati - M. Quraish Shihab



Kau Tahu Kawan #9

Sesuatu yang menimpamu sekali, tidak akan menimpamu untuk kali yang ke dua. Tapi sesuatu yang menimpamu untuk yang ke dua akan menimpamu untuk yang ke tiga.

5 Hal Tentang Tanggungjawab Orang Tua Kepada Anak

Baru-baru ini media ramai meberitakan tentang anak SMP yang membuat video porno di sekolah. Sebagai seorang yang punya dua anak perempuan, saya mencoba merasakan apa yang dirasakan ayah dari anak yang melakukan perbuatan tersebut.

Setelah berita tersebut tersebar, seluruh eleman masyarakat tersentak dan saling menyalahkan satu sama lain. Tentu kita bisa menyalahkan dan mengkambinghitamkan banyak pihak. Dari mulai pemerintah, pendidik, orang tua, sampai teknologi. Namun dalam tulisan ini, saya tidak sedang ingin menyalahkan siapapun. Saya hanya merasa iba kepada pelaku, yang menurut KPAI adalah korban bullying. Bukan hanya yang di-bully tapi juga yang mem-bully. Mereka semua adalah korban. Bagaimanapun mereka anak-anak yang masih punya masa depan yang panjang.

Mari kita introspeksi dan mengambil pelajaran dari peristiwa ini. Paling tidak, kasus ini semakin mengingatkan semua orang bahwa seks usia dini itu dekat sekali dengan kita. Oleh karena itu saya mencoba mengumpulkan beberapa hal yang menjadi tanggungjawab orang tua untuk melindungi anak-anak mereka dari kasus serupa.

1. Membatasi HP, TV dan Teman

Tentu merupakan tanggungjawab orang tua untuk mencegah anak-anak mereka mengakses pornografi sebelum masanya. Karena menurut Paula Hall dalam survei untuk bukunya Understanding and Treating Sex Addiction, akses mudah pada pornografi, terutama secara online dan pendidikan seks yang buruk, harus disalahkan untuk remaja yang menderita kecanduan seks. Ia menyatakan bahwa hampir setengah dari mereka yang menderita kecanduan umumnya pertama bersinggungan dengan pornografi sebelum mereka berusia 16 tahun.

Mengatur anak-anak memnonton tayangan televisi juga merupakan hal yang penting. Ini tidak berarti anak-anak tidak boleh menonton TV sama sekali, namun orang tua memilihkan tontonan yang sesuai untuk mereka. Setelah anak-anak sudah mulai mengerti, orang tua juga dihimbau untuk mendampingi mereka pada acara-acara tertentu.

Mengatur anak-anak untuk berteman juga tidak kalah pentinggnya. Pada beberapa kesempatan, pengaruh teman bisa lebih berkesan terhadap anak-anak daripada pengaruh orang tua. Apalagi pada anak-anak balita yang belum terlalu mengerti bagaimana memilih teman yang baik. Disitulah peran orang tua. Untuk anak-anak yang sudah lebih besar juga dapat ditanamkan pemahaman bahwa teman mampu mempengaruhi perilaku seseorang. Dengan demikian anak pun dapat memilih teman yang baik. Jelaskan perilaku positif menurut nilai dan norma yang dianut dalam agama, keluarga dan masyarakat.

2. Memberi Pendidikan Seks

Pendidikan seks merupakan suatu informasi tentang persoalan seksualitas manusia, seperti proses terjadinya pembuahan, kehamilan sampai kelahiran, tingkah laku seksual, hubungan seksual, dan aspek-aspek kesehatan secara jelas dan benar.

Orang tua mungkin baru menyadari pentingnya pendidikan seks setelah mengetahui bahwa kasus pergaulan bebas meningkat dari tahun ke tahun. Pendidikan seks —sesuai umur anak tentunya— diperlukan untuk mengantisipasi, mengetahui, dan mencegah kegiatan seks bebas dan mampu menghindari dampak negatifnya.

3. Mencontohkan

Buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya. Peribahasa itu dapat digunakan untuk mengatakan bahwa anak adalah manifestasi orang tuanya. Dalam tahap ini, peran orang tua dalam memberikan contoh sangat berdampak luar biasa kepada anak. Sebagaimana kita tahu bahwa anak memiliki sifat meniru yang sangat baik, dan seorang yang paling dekat ditiru adalah orang tua mereka.

Contoh baik seorang bapak dan ibu adalah hal yang fundamental, terutama dalam pendidikan akhlak seorang anak. Jangan harapkan anak anda menjadi rajin, menepati janji, tidak berbohong, penyabar dan lain sebagainya jika ia melihat orang tua mereka tidak melakukannya.

4. Menumbuhkan Tanggungjawab

Mengajarkan tanggungjawab kepada anak adalah tugas wajib lainnya. Orang tua seharusnya mengenalkan bahwa di dunia ini ada hukum yang tak terlihat bahwa apa yang kau berani perbuat, harus juga kau berani tanggung konsekuensinya.

Tanggungjawab tidak hanya berguna untuk mengajarkan tentang sesuatu memiliki konsekuensi, namun juga mengajarkan anak untuk dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan baik. Juga mendorong anak melakukan kewajibannya tanpa perlu banyak diperintah dan diawasi, sekalipun itu tugas yang tidak menyenangkan untuknya. Anak yang bertanggungjawab juga memiliki kendali diri yang kuat, sehingga membuatnya tidak cepat frustasi ketika menghadapi kesulitan.

Tentu sangat mengesalkan ketika mendapati anak tidak mengakui atau tidak mau bertanggungjawab atas sesuatu yang telah ia kerjakan. Oleh karena itu orang tua seharusnya bangga terhadap anak yang berani mengakui kesalahannya dan bersedia menerima konsekuensi dari perbuatan tersebut.

5. Menerima

Orang tua sering sekali menuntut hal-hal yang melebihi kemampuan dan keinginan anaknya. Sehingga faktanya, banyak kasus yang menyebutkan bahwa anak-anak lebih suka menghabiskan waktunya bersama teman-temannya karena mereka merasa tidak diterima secara utuh oleh ke dua orang tuanya.

Bagaimanapun orang tua harus bisa menerima anak mereka apa adanya. Apalagi jika jika orang tua mendapati anak mereka melakukan hal-hal yang tidak diinginkan. Tidak ada satu orangtuapun yang mau anaknya terjebak pada kasus yang memalukan, namun sesuatu yang telah kita rancang tidak selamanya berjalan seperti apa yang kita mau. Maka jika setelah kita berusaha untuk menghindari anak-anak kita dari hal tersebut namun hal itu masih saja menimpa, maka hal yang paling masuk akal adalah menerimanya. Baik atau buruk, mereka anak kita.

Penerimaan kita terhadap anak akan menjadi bekal bagi dirinya untuk menjadi penopang yang berarti untuk kehidupan selanjutnya.






Berkomunikasi di Facebook

Beberapa hari yang lalu saya mengaktifkan kembali akun facebook setelah beberapa bulan deactivated. Paling tidak ada tiga alasan akun itu deaktifasi. 1. Sedang fokus dengan naskah. 2. Jenuh. 3. Butuh bergaul dengan manusia di dunia nyata.

Di luar tiga alasan itu, saya —seperti kebanyakan orang lain— menikmati memakai berbagai social media. Namun belakangan saya sadari ada hal unik dalam pergaulan saya, terutama FB, yang tidak mungkin saya temui di dunia nyata.

Sebagai informasi awal, saya menarima permintaan teman dari siapa saja. Tidak peduli dari akun dengan nama Toko Hape Roxy atau, yang lebih parah, akun dengan nama Nikita Willy dengan PP Nikita Willy (entah saya harus senang atau nelangsa). Kawan saya bilang saya gila, tapi itulah bentuk tanggungjawab saya sebagai publik figur. *betulin sarung*

Keunikan tersebut ada dalam hal penyebutan nama dan kata ganti orang pertama dan kedua ketika berkomentar di sana. Ehmm begini, akan saya jelaskan penyebutan nama saya di dunia nyata terlebih dahulu agar lebih mudah memahaminya.

Dari mulai MI sampai sekarang ini, saya punya banyak macam panggilan. Waktu MI kawan-kawan memanggil dengan pangilan akrab Fahmi atau Ami. Itu juga yang digunakan kawan-kawan dan adik-adik di rumah. Adik-adik memanggil saya abang dan saya berkomunikasi dengan mereka dengan kata ganti lo gue. Begitu juga kawan-kawan di sekolah, kita berkomunikasi dengan kata ganti lo dan gue.

Meningkat ke Tsanawiyah dan Aliyah di pondok pesantren, panggilan saya mulai berubah. Ada yang memanggil Nailal, Fahmi, abang atau Iko Uwais. Kata ganti untuk berkomunikasi pun berubah menjadi ane dan ente. Walaupun gue dan lo masih lebih dominan.

Ketika kuliah di Pekalongan, saya memakai nama pena Al-Fahmi di beberapa tulisan yang saya publikasikan dan banyak kawan memanggil saya Al. Kata ganti yang kami gunakan untuk berkomunikaai pun berubah menjadi aku dan kamu. Pada beberapa kawan kami saling memanggil nama. Sepupu-sepupu di sana memanggil saya Mas Fahmi.

Ketika saya kembali ke Bekasi dan bekerja menjadi admin sekaligus guru cadangan di sebuah SDIT dan SMPIT, saya dipanggil Bapak Nailal. Kata gantinya berubah menjadi saya dan kamu. Ketika menjadi teacher di IEC pun tidak berubah. Hanya diinggriskan. Saya dipanggil Mr Nailal atau Sir tanpa nama. Kawan-kawan kuliah memangil Nailal, Al, Lal atau Nai. Kata ganti berubah menjadi I dan you atau lo dan gue. Ketika bekerja di tempat lain saya dipanggil berbeda lagi. Maka bisa disimpulkan panggilan saya sebagai berikut.

Orang pertama: aku, saya, gue, ane, I atau nama.

Orang ke dua tunggal saya panggil: lo, ente, kamu, you atau nama.

Panggilan saya: Pak, lo, Fahmi, Ami, Bang, Sir, Mister, Mas Nailal, Al, Lal, Nai, Nail, atau Nyet.

Nah, inti dari tulisan ini adalah, saya menemukan fakta bahwa orang-orang di FB terkesan sok akrab dan terkadang betkomentar bukan pada tempatnya, berkomentara atau bertanya di bawah status, foto atau Note yang tidak ada hubungan dengan status, Note atau foto tersebut misalnya.

Sampai saya pernah berada di sebuah situasi dimana saya harus menjawab komen dengan kata ganti saya, gue, aku, I dan ane dalam sebuah posting. Tentu itu agak aneh dan janggal. Bukan saya tidak mau menyamakan tanggapan dengan satu kata ganti saja (saya atau gue misalnya), tapi memang tidak bisa dan tidak mungkin. Kabar baiknya —atau mungkin buruk— saya harus bisa menulis hal yang bisa diterima oleh semua kalangan di sana.

Sulit? Pasti.



Rabu, 13 November 2013

Hukum Berzinah di Indonesia

Terkuaknya banyak prilaku seks bebas akhir-akhir ini sebenarnya tidak terlalu mengagetkan saya. Karena sebelumnya sudah banyak survey yang dilakukan menunjukan bahwa prilaku tersebut, juga seks usia dini mengalami peningkatan, termasuk di Indonesia. Terbukti dengan peringkat pengunduh video porno yang menempatkan Indonesia menjadi salah satu posisi tertinggi. Ini adalah fakta yang sangat memprihatinkan. Apalagi jika ditinjau dari perspektif agama-agama di indonesia yang sepakat bahwa perzinahan adalah perbuatan dosa, bahkan dalam Islam merupakan dosa besar. Menjadi semakin menarik ketika di negara berketuhanan dan beradat ketimuran ini, belum memberlakukan pasal perzinahan untuk lajang dalam KUHP-nya.

Dalam KUHP, pasal perzinahan hanya dikenakan kepada pria atau wanita yang sudah menikah. Pasal 284 KUHP mendefinisikan zina sebagai perbuatan persetubuhan yang dilakukan laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya. Itupun berlaku sebagai delik aduan dari istri, suami, atau pihak ketiga yang merasa dicemarkan oleh adanya tindakan tersebut. Artinya tidak bisa dipidana jika pezina diketahui karena hasil sweeping petugas. Dalam pengertian yang lebih sederhana, pelaku perzinaan tidak dianggap melanggar hukum selama tidak ada yang merasa dirugikan. Kalaupun ada suami atau istri yang merasa dirugikan dan mengadukannya ke pihak berwajib, maka hukumannya pun terbilang ringan, hanya 9 bulan.

Namun kabarnya, akan ada revisi pada KUHP di Indonesia, termasuk dalam pasal perzinahan lajang ini. Kita tunggu saja apa jadinya.

Manusia dan Faktor Penggeraknya

Menurut Sigmun Freud, seluruh aktifitas atau perbuatan manusia didasari oleh libido atau nafsu seks yang ada pada tiap jiwa manusia. Jika hal tersebut benar, maka dapat disimpulkan bahwa nafsu seks ternyata bukan hanya semata-mata untuk urusan kawin.

Bagi yang baru mendengar teori ini, mungkin bertanya-tanya. Bagaimana bisa nafsu seks dalam diri manusia bukan semata-mata untuk tujuan seks? Untuk lebih jelasnya, juga untuk memahami mengapa tuhan menganugrahkan nafsu seks yang besar kepada anak muda, silahkan baca tulisan ini.

Pendapat Freud memang revolusioner pada zamannya, namun tetap saja, seberapapun manusia mencurahkan perhatian dan usaha untuk mengetahui dirinya, pengetahuan manusia tentang manusia —terutama menyangkut unsur immaterial— masih menjadi misteri. Begitu kira-kira yang diungkapkan Dr. A. Carrel dalam bukunya Man the Unknown.

Oleh karena itu, di sini saya ingin menghubungkan pendapat Freud dengan pandangan Islam. Menurut Quraish Shihab —dalam penjelasannya mengenai manusia— manusia dibagi pada beberapa bagian, yaitu: fithrah, nafs, qalb, dan ruh. Namun di sini saya membatasi penjelasan hanya kepada nafs saja.

Menurut penjelasan beliau, nafs dalam Al-Quran mempunyai aneka makna, sekali diartikan sebagai totalitas manusia, di kali lain ia menunjuk kepada apa yang terdapat dalam diri manusia yang menghasilkan tingkah laku, kata itu juga digunakan untuk menunjuk kepada "diri Tuhaan". Secara umum juga dapat dikatakan bahwa nafs menunjuk kepada sisi dalam manusia yang berpotensi baik dan buruk, nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna untuk berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan.

Namun penjelasan tentang keterkaitan istilah "libido", "nafs" dan "nafsu" (dalam Bahasa Indonesia) ini masih membutuhkan penelitian teks yang lebih mendalam.

Sabtu, 26 Oktober 2013

Mengapa Menikah?

Akhir bulan ini tiga orang teman saya menikah. Ketika mereka mengabarkan berita itu, saya dengan enteng bertanya, kenapa menikah?

Jawaban mereka berbeda-beda, ada yang menjawab untuk meneruskan keturunan, ada yang berterus terang karena usia yang semakin menua dan ada yang memilih tidak menjawab. Saya pun tidak banyak mendebat alasan atau bukan alasan mereka, karena merekalah yang akan menjalankan pernikahan, jadi seharusnya merekalah yang memahami untuk apa mereka menikah, tanpa doktrin dari siapapun.

Niat adalah hal yang paling penting dalam Islam. Karena itu penyebab ibadah seseorang diterima atau ditolak. Segala perbuatan pasti punya niat. Ia ada di hati dan tidak bisa dimanipulasi. Karena tidak ada satu orang pun yang tahu apa yang ada dalam hati selain dirinya sendiri, dan tentu saja Tuhan. Apa yang diniatkan begitulah jadinya. Menikah karena menginginkan keturunan, maka begitulah jadinya. Ia akan mendapatkannya. Menikah karena usia yang semakin menua, maka begitulah jadinya. Ia juga akan mendapatkannya.

Karena niat begitu penting maka saya mengenal beberapa orang yang tidak mau menikah karena mereka tidak menemukan tujuan yang pas dari pernikahan untuk mereka. Mereka tidak mau didikte oleh masyarakat dan adat istiadat. Mereka berpikir kalaulah mereka mau menikah nanti itu karena mereka mau menikah bukan karena paksaan atau tuntutan dari siapapun. Mereka tidak mengaggap meneruskan keturunan dan umur adalah tujuan yang pas. Ditambah lagi karena mereka mungkin menemukan alasan-alasan yang tidak sejalan dengan prinsip mereka seperti menikah karena melihat orang lain menikah, takut kesepian, merasa bersalah dan kasihan (telah sekian lama pacaran), desakan orang tua dan karena materi. Atau, gabungan dari semua alasan-alasan tersebut.

Menurut saya, tidak ada dari alasan-alasan tersebut yang benar atau salah. Masing-masing akan menemukan tujuannya. Sebagaimana segala hal juga mempunyai tujuan masing-masing. Namun tujuan yang mana yang paling ideal itulah pertanyaan selanjutnya. Dan sudah semestinya kita meniatkan pernikahan pada hal yang lebih tinggi dari hal-hal tersebut.

Segala puji bagi Allah Sang pemilik Hati, Penguasa Hati dan Maha membolak-balikkannya.

Selamat menikah kawan-kawan. Selamat menempuh hidup yang tidak benar-benar baru.

Sabtu, 19 Oktober 2013

Sebuah Cerita untuk Kakak

Seperti biasa, bersama senja yang hampir padam, anak itu pulang. Pada trotoar, ia manghitung langkah yang tak ingin sudah. Seperti tidak ingin sampai di rumah.

Dalam kepalanya masih bergelayut teori-teori kehidupan dari para dosen, tentang hidup dan bagaimana seorang seharusnya hidup. Tentang moral dan bagaimana seharusnya orang bermoral. Juga tentang filsafat hidup yang absurd. Anak itu mencoba menghitung, sudah berapa semester ia kuliah; lima semester.

Ia jenuh dengan rutinitas ini. Ia ingin bebas seperti angin. Adakah orang yang mengerti aku, teriaknya dalam hati. Setiap kali menapaki jalan yang dilaluinya setiap sore selama beberapa tahun itu, ia merasa seperti musafir. Bukan, bukan merasa, tapi itulah keinginannya. Ia ingin berjalan pada jalan itu, pada senja itu, pada kesendirian itu selama-lamanya bak musafir —kesendirian kadang membuat orang berpikir macam-macam.

Setelah kematian ayahnya tepat dua tahun tiga belas hari yang lalu, ia selalu ingat pesannya.

“Azalea!” ujar ayahnya yang terbaring lemah di rumah sakit, beberapa hari sebelum kanker membunuhnya, “Kamulah satu-satunya anak yang paling dekat dengan ayah. Maukah kau memenuhi permintaan terakhir ayah. Ayah merasa umur ayah tidak akan lama lagi. Maukah kau?”

Anak itu mengangguk. Dalam keadaan seperti itu ia selalu ingin memenuhi permintaan apapun. Sambil dalam hati ia masih terus berharap, berdoa agar tuhan masih mau memanjangkan umur ayahnya.

Dengan suara yang lemah ia melanjutkan, “Jika memang tuhan mencabut nyawaku, aku ingin kamu dan kakak-kakakmu rukun. Kerena pertengkaran dengan saudara tidak ada gunanya sama sekali…”

Kata-kata itu mengiang, melengking halus dalam relung telinganya. Bersamaan dengan itu ia teringat saudara-saudara kandungnya; empat orang kakak dan satu orang adik. Dua orang kakak yang jauh umurnya telah menikah dan tinggal jauh di luar kota, adik satu-satunya masih duduk di bangku SD. Sementara dua kakak yang lain yang lebih dekat umur dengnanya tidak bisa banyak diharapkan. Dia semakin terpukul karena kakak yang paling dekat umur dengannya, saat ini jarang sekali pulang ke rumah. Memang begitu sikapnya, bahkan semenjak ayahnya masih hidup. Entah apa yang dilakukan penganguran itu di luar sana bersama teman-temannya.

Semilir angin membawa debu jalanan dan meniupkannya pada rambut si anak. Sesekali ia mengusap peluh pada dahinya dengan sapu tangan. Terkadang ia memiringkan badan berbagi jalan pada trotoar dengan pedagang kaki lima dan pejalan kaki yang berbeda arus dengannya. Suara bising kendaraan yang lalu-lalang menyadarkan dirinya akan keegoisan Jakarta.

Dalam hiruk pikuk itu ia meneruskan pikirannya sendiri.

Ia teringat ibu; wanita tua dan sakit-sakitan. Semenjak kematian sang ayah, ibunya menjadi sosok yang pemurung, tak banyak bicara. Biaya hidup dari uang pensiun suami dan anak tertua cukup untuk menghidupinya. Itu membuat ia semakin berat melakukan aktifitas.

Sekali lagi dalam renungan itu ia ingin marah. Ia ingin mencaci dan teriak dengan suara paling keras yang ia miliki. Tapi juga di tengah kemarahan itu, ia selalu merindukan masa kecilnya. Masa ketika ia masih dimanja, masih senang ditemani. Masa-masa terindah dengan ayah dan kakak-kakaknya. Ia merindukan masa-masa itu. Ia kangen kakak dengan umur paling dekat, ketika ia mengajaknya ke taman, selalu setiap hari Minggu. Tetapi itu dulu, ketika ia masih dianggap menggemaskan. Masa-masa yang tidak mungkin terulang kembali. Sekarang, ia merasa masa-masa itu telah jauh sekali berlalu.

Senja di barat hampir di telan gelap. Waktu bergulir tanpa peduli pada pikiran dan nasib orang-orang di dalamnya. Zaman berganti terus menerus, selalu memaksa orang untuk beradaptasi. Terkadang menghancurkan setiap harapan.

Pada trotoar yang panjang itu, ia masih mengulum desah. Terus berharap trotoar itu makin panjang dan panjang.

Satu kelokan lagi ia sudah sampai rumah.


Bekasi, 19 Oktober tujuh tahun yang lalu

Berdoa di Status Facebook

Saya pernah menulis status facebook: “Banyak orang yang berdoa kepada tuhan di status facebook mereka, seakan-akan tuhan punya account di sini.”

Dan mendapat komentar sebagai berikut.

Qurotul Aeni:
TUHAN punya account dimana mana..terlebh bgi orang2 snantiasa berdzkr menybut Nama Nya.

DirtyHarry CleanestHot:
Lho. Tuhan memang ada dimana mana!

Ira Lathief:
in case you forget, but God is everywhere

Nyra Al-Mushaffa:
seperti orang yaahudi yang meratap di tembok penebus dosa..
pernah berfkir seperti itu ga? wall=tembok kan?

Kazay Zainudin Ajah:
heheh.. kita butuh amin dari banyak orang.

Orang-orang beriman percaya bahwa tuhan ada dimana-mana. Namun saya memilih percaya bahwa Tuhan nggak punya akun facebook, sebagaimana saya meyakini bahwa Tuhan nggak bertangan, bermata, atau berbentuk seperti manusia.

Imam Ali Karamallahu Wajhah pernah menjelaskan, “.... kesempurnaan Kesucian-Nya ialah menolak sifat-sifat-Nya, karena setiap sifat merupakan bukti bahwa (sifat) itu berbeda dengan apa yang kepadanya hal itu disifatkan, dan setiap sesuatu yang kepadanya sesuatu disifatkan berbeda dengan sifat itu. Maka barangsiapa melekatkan suatu sifat kepada Allah (berarti) ia mengakui keserupaan-Nya, dan barangsiapa mengakui keserupaan-Nya maka ia memandang-Nya dua, dan barangsiapa memandang-Nya dua, mengakui bagian-bagian bagi-Nya, dan barangsiapa mengakui bagian-bagian bagi-Nya (berarti) tidak mengenal-Nya, dan barangsiapa tidak mengenal-Nya maka ia menunjuk-Nya, dan barangsiapa menunjuk-Nya (berarti) ia mengakui batas-batas bagi-Nya, dan barangsiapa mengakui batas-batas bagi-Nya (berarti) ia mengatakan jumlah-Nya.”

Saya tidak ingin melarang orang untuk berdoa di facebook —lagi pula siapa saya?, hanya saja ingin mengingatkan “tatakrama” doa menurut Islam.

Doa berasal dari bahasa arab الدعاء yang artinya seruan, panggilan, ajakan atau permintaan. Do’a secara pengertian syara’ adalah: memohon kebaikan kepada Allah SWT dengan penuh ketulusan hati, pengharapan, ketundukkan dan kerendahan. Kita juga mengenal ungkapan bahwa doa adalah inti dari ibadah.

Berikut ini ada beberapa pertanyaan dan jawaban berkaitan dengan doa yang saya kumpulkan dari berbagai sumber.

Kapan sebaiknya berdoa dan dimana?

Ada waktu dan tempat tertentu dimana doa lebih diijabah oleh Allah, diataranya: pada Hari Arafah, Bulan Ramadhan, Hari Jum’at, sepertiga terakhir dari malam, waktu Sahur, ketika sedang sujud, ketika turun hujan, antara adzan dan iqamat, saat mulai pertempuran, dalam ketakutan, di atas bukit Shafa atau Marwah, di Masjidil Haram dan sebagainya.

Apakah doa harus diucapkan dalam hati atau terdengar oleh orang lain?

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim bahwa ada seorang Badui datang kepada Nabi dan bertanya, “Apakah Tuhan itu dekat sehingga kami dapat munajat kepada-Nya, ataukah jauh sehingga kami harus menyeru-Nya? Maka Nabi terdiam dan sebagai jawabannya turunlah surat Al-Baqarah 186 yaitu: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka (katakanlah) bahwasanya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia berdo’a kepada-Ku”…

Apakah ucapan amin dari banyak orang membuat doa itu lebih cepat terkabul?

Dari Habib bin Maslamah Al Fihri, ia mengatakan, “aku telah mendengar Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: ”Tidak berkumpul sebuah kaum muslim, berdoa sebagian dari mereka dan mengamini sebagian yang lain, kecuali Allah Ta’ala menjawab doa mereka”

Apakah dengan mendoakan orang lain (tanpa orang itu tahu karena tidak sedang bersamanya) mendatangkan kebaikan juga untuk kita?

Allah subhanahu wata’ala berfirman, "Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang Mukmin, laki-laki dan perempuan." (Muhammad: 19).

Dan dalam riwayat dalam Shahih Muslim, dari Abu ad-Darda` RA bahwa Rasulullah pernah bersabda, "Doa seorang Muslim untuk saudaranya dalam keadaan ghaib (tidak ada bersamanya) adalah mustajab (dikabulkan), di samping kepalanya terdapat seorang malaikat yang ditugaskan, setiap dia mendoakan saudaranya dengan kebaikan, maka malaikat yang ditugaskan terhadapnya tersebut mengucapkan, 'Amin (ya Allah kabulkanlah) dan kamu mendapatkan (kebaikan) semisalnya'."

Diriwayatkan dalam kitab Abu Dawud dan at-Tirmidzi dari Ibnu Amr RA, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Sesungguhnya doa yang paling cepat dikabulkan adalah doa seseorang secara ghaib (jauh dari orang yang didoakannya tersebut) yang ditujukan untuk orang yang ghaib (tidak bersama-nya)."

------------------------------------------------------

Saya mengira, ketika kita berdoa di sebuah status, it’s just simply saying to other that we are praying to God. Tanpa embel-embel bahwa tuhan ada dimana-mana apalagi sampai punya akun facebook.

Tentang Bagaimana Gue Mulai Terinspirasi dan Menulis

Di luar beberapa wanita yang gue nggak bisa sebutkan nama mereka satu persatu, ada dua orang yang menginspirasi gue untuk menulis.

Pertama Ahmad Rifa’i bin Haji Muchtar, kawan masa kecil. Yang ke dua Hoeda Manis, kawan waktu kuliah. Ahmad Rifa’i adalah penulis dan pemikir berbakat. Walau belum satupun karyanya yang diterbitkan. Sementara Hoeda Manis telah melanglang buana dan telah menulis puluhan buku, mulai dari novel, cerpen, gaya hidup, buku “how to”, fiksi dan non-fiksi. Secara singkat Hoeda adalah penulis serba bisa.

Rifa’i memang belum punya karya yang diterbitin, tapi gaya penulisannya mencerminkan bakatnya yang kuat. Dalam tulisan-tulisannya, atau lebih tepat cerpen-cerpennya, terasa kesadaran akan dirinya sendiri. Sebagian besar opini. Deskripsi ruangnya asik. Analoginya masuk akal, metaforanya cantik. Ia juga menulis puisi. Menurut gue, ia menulis dengan hati. Karena kebanyakan yang ia tulis adalah keresahan-keresahan yang ia rasakan. Menulis adalah cara untuk menuangkan segala perasaan, itu salah satu yang gue pahami. Dan ia melakukannya dengan elegan.

Tapi sayang akhir-akhir ini Rifa’i sudah jarang menulis cerpen lagi. Ia bukannya nggak mau menulis lagi, tapi seprtinya segala inspirasinya memudar satu-satu. Mungkin ia telah berdamai dengan dunia, karena kalau gue baca kembali tulisan-tulisannya yang dahulu, penuh dengan gugatan kepada dunia dan lingkungan di sekelilingnya, gugatan kepada kenyamanan dan kestabilan. Gaya-gaya tulisan anak muda yang mengebu-gebu dengan segala macam pemikiran dan ide yang ia dapat dari buku-buku yang ia baca.

Sementara Hoeda adalah seorang introvert pekerja keras yang brilliant. Lima tahun yang lalu kalian tidak akan menemukan nama orang ini di google. Bukan karena ia tidak eksis, tapi karena ia tidak ingin terkenal. Entah kenapa. Tapi akhir-akhir ini ia mulai muncul. Carilah buku-bukunya di google, tapi buku-buku yang tidak kau temukan di sana niscaya jauh lebih banyak.

Mereka berdualah yang awal mula membuat gue menulis. Hari ini gue mau ngucapin terimakasih.

Jumat, 30 Agustus 2013

Kau tahu Kawan #8

Kau tahu kawan, kebanyakan penulis mendapatkan sebagian besar penghasilan mereka bukan dari menulis.

Naskah yang dalam Tiga Tahun Belakangan Ini Berkali-Kali Gue Revisi Itu Akhirnya Ditolak Sebuah Penerbit Karena Alasan Follower

“Reputasi tidak bisa dibeli, follower bisa dibeli—bahkan secara resmi. Reputasi dibangun dari keahlian, kemampuan, bahkan bakat, juga kerja keras bertahun-tahun. Ia tak terbeli oleh uang, karena harganya tak ternilai.“ - Hoeda Manis


Ehm, dulu gue pernah berniat membeli follower. Tapi akhirnya niatan itu gue urungkan.

Awalnya gue coba-coba search di Google tentang cara memperbanyak follower dan menemukan link yang bisa memberikan follower secara gratis dan berbayar. Gue coba yang gratis. Dan benar, beberapa menit setelah mendaftar di situs tersebut, follower gue langsung bertambah drastis. Sekali lagi, hanya dalam hitungan menit!

Namun, ketika melihat dengan takjub penambahan follower di akun twiter itu, detik itu juga hati kecil gue merasa nggak tenang dan terusik. I know that’s not the decision that I’m gonna take. Akhrinya gue memutuskan untuk membatalkan sarana menadapatkan follower tersebut dan mengganti password di twiter. Dan dengan cepat, follower yang mulai bertambah itu berkurang atau beramai-ramai unfollow. Gue kembali menjadi fakir follower.

Gue nggak punya masalah dengan orang yang punya banyak follower atau sering disebut selebtwit. Apalagi yang mendapatkan followernya dengan jalan yang benar, bukan yang berbayar. Dan gue tahu banyak orang yang di-follow karena twit-twit mereka bukan karena keartisan atau keterkenalan mereka di dunia nyata. Mereka dinilai dan dihargai karena apa yang mereka tulis. Itu menurut gue keren! Dengan jalan itu gue juga mau punya banyak follower.

Tapi kemudian gue juga tahu kalau ada beberapa orang —bahkan orang terkenal— yang memiliki jutaan follower di Twitter, ternyata mendapatkan follower-nya dengan cara membeli. Bahkan mereka membelinya secara resmi melalui Twitter. Coba saja buat akun twitter, pasti lo akan disodori setumpuk akun untuk di-follow. Nah, merekalah pembeli follower resmi via twiter.

Sampai di sini gue takjub.

Sampai suatu saat gue tahu dari twitter bahwa akun @hiumacan pernah ditolak sebuah penerbit di Jogja karena tidak bisa memenuhi sarat dari penerbit tersebut; punya 200,000 folower. Ini gila. Dan kalau nggak mengalami sendiri, gue juga nggak akan percaya bahwa ada penerbit yang menilai penulis dari aktifitasnya di twitter dan dunia maya bukan karena kualitas naskahnya. Ya, kemarin gue mengirim naskah ke sebuah penerbit di Jakarta dan resmi ditolak karena alasan yang kurang lebih sama.

I don’t have any problem with the publishers and can deal with the rejection from them. Sudah puluhan kali gue ditolak oleh penerbit dan nggak pernah sakit hati. Gue rela dan ikhlas dengan penolakan tersebut. Karena mereka menolak naskah tersebut berdasarkan penilaian atas naskahnya, karena tidak sesuai dengan visi misi, tidak sesuai dengan standar penulisan, atau karena naskah gue dianggap belum layak diterbitkan dengan alasan A B C D. Kalaupun ada penerbit yang blak-blakan bilang naskah itu jelek dan berkualitas sampah, gue masih bisa terima itu. Sekali lagi gue rela dan ikhlas kalau penerbit menolak naskah karena alasan-alasan yang berkaitan dengan naskah. Yang gue nggak bisa terima adalah naskah itu ditolak karena tidak adanya cukup banyak follower di twiter. Itu adalah hal yang menurut gue sakit.

Dan yang lebih mengenaskan adalah penerbit tersebut bilang bahwa naskah itu belum dibaca. Oh, my God! Naskah yang paling lama gue tulis itu ditolak bahkan sebelum dibaca. Suram sekali.

Di akhir penolakan itu sang editor bilang, “Hal yang utama kami deteksi di awal adalah aktivitas sang penulis di dunia maya. Itu cukup. Jadi, saran saya, perbaiki aktivitas dunia maya untuk menaikkan grade dan porsi tawarmu.”

Mau gimana lagi?

Gue pun pasrah dan mencoba menghargai cara penilaian penerbit terhadap sebuah naskah. Menolak naskah, apapun alasannya adalah hak penerbit. Tentu mereka punya pertimbangan sendiri. Penerbit mana yang tidak mau untung? Penerbit mana yang nggak memikirkan keterbelian naskah yang mereka cetak? Penerbit mana yang mau rugi karena naskah yang mereka cetak nggak laku?

Ya, gue mencoba mengerti dasar-dasar penilain mereka. Gue mencoba menganalisa apa yang ada di kepala penerbit-penerbit tersebut. Mereka ingin supaya buku terbitan mereka laris dipasaran. Mereka berpikir bahwa banyaknya follower berbanding lurus dengan jumlah buku yang akan terjual. Semakin banyak follower, semakin mudah menjualnya. Itu mungkin salah satu cara untuk bisa menjual buku lebih banyak. Dan sah-sah saja.

Ya, mereka mungkin punya data akan hal tersebut. Mereka punya neraca yang bisa dilihat berkaitan dengan hasil penjualan buku dengan keaktifan penulis di dunia maya. Dan gue nggak punya data lain yang bisa membantahnya. Gue nggak punya data yang bisa mengatakan bahwa penulis yang selebtwit nggak menjamin penjualan bukunya akan bagus. Atau banyak orang yang menjadi penulis sukses terlebih dahulu baru kemudian baru punya twiter. Atau ada banyak penulis-penulis besar dan terkenal yang bukan selebtwit atau jarang ngetwit. Ya, gue nggak punya data yang valid tentang hal tersebut. Namun ada satu hal yang gue tahu; rating blog itu bisa dibuat, follower itu bisa dibeli dan keaktifan di dunia maya itu bisa dengan mudah dibuat bahkan dalam semalam. Googling aja kalo nggak percaya.

Benar memang, sarat punya banyak follower di twitter, rating blog yang tinggi atau keaktifan di dunia maya atau apapun sarat yang diajukan penerbit untuk menerima atau menolak naskah adalah wewenang penerbit yang tidak bisa diganggu oleh penulis. Namun sarat ini juga harus jelas, seperti mencantumkannya dalam website mereka. Agar penulis bisa menimbang-nimbang dan mempersiapkan ke mana mereka akan mengirim naskah. Ini lebih fair.

Huh… Mungkin yang dikatakan Ryan Aditya Achadiat di akunnya ‏@aditryan ada benarnya, “TV penyembah rating. Penerbit penyembah selebtwit.”

Rabu, 28 Agustus 2013

Selangkah Menuju Surga

“Orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” - (QS. Az-Zumar: 18)

Keimanan memang sesuatu yang abstrak dan sulit dikatakan bentuknya. Perjalanan untuk menuju keimanan juga terkadang naik turun bahkan berputar seperti roda. Bisa saja hari ini seseorang tidak mempercayai sesuatu, tapi di lain hari berubah. Hidayah bisa datang kapan dan dimana saja. Begitulah, banyak jalan orang memeluk agama Islam. Ada yang karena keturunan, budaya, ilmu pengetahuan, sejarah, akal, ibadah, Muhammad, Al Qur’an dan lain-lain.

Ketulusan para mualaf memeluk Islam, bahkan dari yang sebelumnya membenci Islam, mengingatkan kita pada kisah Umar Bin Khattab ketika baru masuk Islam. Sebelum mengenal Islam, Umar bin Khattab adalah penentang dan pembenci Islam yang paling keras. Bahkan ia berusaha membunuh Nabi Muhammad dan menghalang-halangi setiap orang yang ingin memeluk Islam. Tetapi hidayah memang datang tak terduga, justru ketika ia mengenal Muhammad dari dekat, ketika ia merasakan mukjizat Al Qur’an, ia mengalami lompatan iman yang luar biasa. Dan setelahnya adalah sejarah, dia menjadi salah satu orang yang paling dikenal dalam Islam, menjadi salah satu dari Khulafa Ar-Rasyidin. Ia menjadi Singa Padang Pasir karena keberanian dan pengorbanannya membela Islam dan melindungi Sang Rasul. Kisah Umar Bin Khattab tersebut mengingatkan kita bahwa kebencian merupakan salah satu bagian dari absurditas iman yang terkadang malah mengantarkan seseorang pada iman yang paling tinggi.

Akhir-akhir ini, sering kita dengar tentang pandangan yang negatif terhadap Islam, ada juga yang mengolok-olok Nabi Muhammad melalui kartun, atau membuat film dan tayangan yang menggambarkan Islam sebagai agama yang merusak. Tetapi, kebencian bukanlah akhir dari segalanya, mereka yang membenci itu bisa jadi hanya belum tahu apa-apa tentang Islam, tentang Muhammad, tentang Al Qur’an lalu kebencian mengusai hati mereka.

Dalam buku ini, pembaca akan disajikan beberapa kisah mualaf yang tidak biasa, yang kontras dengan Islam. Mereka yang pada awalnya sangat bertolak belakang dengan Islam, mereka yang punya profesi atau hobi yang bertolak belakang dengan nilai-nilai Islam, mereka yang sangat tidak mengenal bahkan membenci Islam.

Saat ini, ada seorang wanita Punk asal Newcastle-Inggris yang dibesarkan di tengah-tengah keluarga liberal menjadi seorang Muslimah. Hal yang sama juga terjadi pada seorang wanita penggila pesta asal Preston-Inggris, seorang Polisi Wanita di Amerika, seorang mantan Yakuza yang menjadi Imam Masjid, Politikus dari partai yang membenci Islam di Belanda, pembuat karikatur nabi Muhammad, sampai preman Tanah Abang Jakarta dan masih banyak lagi. Ada juga yang meyakini agama ini karena melihat kenyataan dalam umat Islam yang bertolak belakang dengan yang ia bayangkan sebelumnya. Mereka adalah bagian dari kaum Muslim yang tersebar di seluruh dunia saat ini. Mereka adalah mualaf yang berasal dari latar belakang yang berbeda-beda.

Dalam buku ini akan diceritakan tentang awal mula mereka tertarik kepada Islam. Apa yang membuat mereka tertarik kepada Islam? Bagaimana cara mereka masuk Islam? Apa tanggapan keluarga dan orang-orang terdekat mereka ketika tahu mereka masuk Islam? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lain yang akan dijawab dalam buku ini.




Melalui buku ini, penulis ingin berbagi hikmah melalui kisah, tentang kenyataan bahwa kebencian mungkin hanyalah bentuk dari ketidaktahuan, atau ketidakingintahuan. Kisah-kisah dalam buku ini juga sekaligus mengingatkan kita untuk lebih menyebarkan nilai-nilai keagungan agama ini. Bila kita menyebarkan nilai-nilai luhur Islam, bila kita menyebarkan keagungan Muhammad, bila kita lebih mengedepankan Islam sebagai rahmat bagi alam semesta, bisa jadi orang-orang yang selama ini membenci Islam jadi akan berbalik memendam cinta yang paling dalam. Bisa jadi mereka seperti Umar Bin Khattab kepada Islam.

Minggu, 18 Agustus 2013

Syiah dan Sunni

Akhir-akhir ini banyak yang memposting dan menyebarkan tulisan-tulisan tentang kesesatan Syiah. Saya bukan orang Syiah, tapi juga bukan pembencinya. Menurut saya membenci itu butuh energy yang luar biasa, sehingga saya memilih menyalurkan energy tersebut ke arah yang lain yang lebih berguna. Untuk menulis tulisan ini misalnya.

Saya dibesarkan ditengah-tengah paham Sunni, namun juga terbuka dengan perspektif dan pendapat golongan yang lain. Waktu kelas dua Aliyah di pesantren, saya telah membaca tentang Syiah (Islam Aktual karya Jalaluddin Rakhmat) dan Mu’tazilah (Islam Rasional karya Harun Nasution) dan bisa menerima pemikiran-pemikiran mereka. Saya selalu ingin ber-tabayun dan ingin mengerti pemikiran-pemikiran golongan lain.

Menurut saya keyakinan itu perspektif, karena itu orang yang memaksakan keyakinannya kepada orang lain itu sakit. Orang-orang bisa punya perspektif yang berbeda-beda dan bahkan berdebat, tapi pemaksaan kehendak adalah tindakan yang menciderai kemerdekaan. Dan alangkah mengerikannya tindakan orang yang memaksa orang lain untuk meyakini keyakinannya.

Lalu apakah saya tidak takut menjadi atau mendukung golongan yang sesat?

Entahlah.

Jika ditanyakan kepada orang Sunni, maka mereka akan mengatakan syiah itu sesat. Dan jika ditanyakan kepada orang Syiah, maka mereka akan mengatakan Sunni itu sesat. Begitupun jika ditanya kepada golongan-golongan lain. Lalu siapa yang benar?

Umat islam tentu sangat akrab dengan hadits yang berbunyi, “Umatku kelak akan terpecah-pecah ke dalam 73 golongan yang berbeda-beda, dan hanya satu dari mereka yang selamat.”

Dalam hadits tersebut, Nabi tidak menegaskan secara jelas siapa satu kelompok yang selamat itu. Hal ini menyebabkan sebagian golongan Islam tertentu mengklaim sebagai satu-satunya kelompok yang selamat. Kosekuensi logisnya, mereka menganggap sesat semua kelompok Islam lain. Ini terutama terjadi dalam ranah teologi Islam.

Dalil tersebut yang biasanya dijadikan pembenar bagi intoleransi sesame muslim. Namun saya menemukan tulisan Akhmad Sahal dalam Koran Tempo yang memandang hal ini secara lebih santai dan cerah. Ia menulis tentang bahwa menjadi sesat itu tidak mudah. Ia menjelaskan tentang pandangan Imam Al-Ghazali, sang Hujjatul Islam yang sangat dihormati oleh kalangan Sunni itu.

Dalam bukunya Fayshal al Tafriqah baina al-Islam wa al-Zandaqah, beliau membantah kesimpulan bahwa hadits ramalan tersebut menyuburkan intoleransi dengan beberapa alasan:

Pertama, hadits tersebut memang menyebutkan hanya satu kelompok Islam yang selamat, tapi yang dimaksud di sini adalah satu golongan yang langsung masuk surga secara ekspres, tanpa hambatan. Sedangkan kelompok-kelompok muslim lain mungkin perlu melewati fase “pencucian” dulu di neraka, tapi setelah itu bakal masuk surga juga. Dengan kata lain, mayoritas golongan dan sekte dalam Islam pada akhirnya akan terselamatkan semua di akhirat.

Kedua, hadits di atas bukanlah satu-satunya versi yang ada. Al-Ghazali mengutip versi lain yang justru bertolak belakang dengan hadits yang pertama. Bunyinya begini: “umatku akan terpecah-pecah ke dalam 71 golongan, semuanya selamat kecuali satu kelompok.”

Selanjutnya, beliau berargumen bahwa pilar fundamental dalam keimanan sesungguhnya hanya tiga: iman kepada keesaan Allah, kepada Muhammad sebagai Rasulullah, dan kepada datangnya hari kiamat. Baginya, seseorang baru bisa disebut kafir kalau tidak percaya kepada ketiga hal pokok tersebut. Sedangkan di luar wilayah fundamental tersebut adalah soal-soal sekunder, sekadar cabang-cabang agama, yang apabila seorang muslim menyangkalnya sekalipun tidak menjadikannya kafir.

Lebih lanjut tentang Sunni dan Syiah, Prof. Quraish Shihab menulis dalam bukunya Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan. Mungkinkah?, bahwa Sunni dan Syiah adalah dua mazhab yang berbeda. ”Kesamaan-kesamaan yang terdapat pada kedua mazhab ini berlipat ganda dibandingkan dengan perbedaan-perbedaan dan sebab-sebabnya. Perbedaan antara kedua mazhab – dimana pun ditemukan – adalah perbedaan cara pandang dan penafsiran, bukan perbedaan dalam ushul (prinsip-prinsip dasar) keimanan, tidak juga dan Rukun-rukun Islam.”

Mungkin, Sunni dan Syiah sampai hari kiamat nanti tidak bisa disatukan dan akan terus ada. Tapi bisakah kita tidak saling menjelekan kemudian menghormati pandangan orang lain? “Saling” disini berarti kedua belah pihak atau pihak-pihak yang merasa benar mau meninggalkan ego-mereka untuk lebih toleran.

Kemudian saya berpikir tentang haji. Kemana hilangnya persatuan dalam haji? Ketika melaksanakan ibadah haji, tidak terlihat perbedaan itu. Mereka melaksanakan rukun yang sama, menyembah Allah yang satu, ke kiblat yang sama, juga shalat mengikuti imam yang satu tanpa repot-repot berdebat bahwa seharusnya yang menjadi imam adalah dari golongan mereka. Kemana hilangnya persatuan haji itu dalam “dunia nyata”.

Memang saya hidup, beribadah dan belajar ajaran-ajaran mazhab Sunni, namun tidak pernah sedikitpun terbersit di hati untuk menjadikan sunni sebagai agama. Agama saya tetap islam. Dan bisakah kita berpegangan pada berpedoman bangsa kita, “Bhineka Tunggal Islam”?

Ah, jangan-jangan saya yang nanti dikafirkan dan dianggap sesat.

Penerbit-penerbit

Berikut ini adalah beberapa nama penerbit beserta link prosedur mengirimkan naskah.
  1. Andi Publisher http://andipublisher.com/sub-05-prosedur-penulisan.html
  2. Bentang Pustaka http://bentangpustaka.com/kirim-naskah/
  3. Bukune http://www.bukune.com/index.php/component/content/article/2-uncategorised/166-syarat-pengajuan-naskah
  4. Dahara Prize http://daharaprize.com/
  5. Diva Press http://www.divapress-online.com/page/naskah.html
  6. Elex Media Komputindo http://www.elexmedia.co.id/
  7. Gagas Media http://www.gagasmedia.net/index.php/kirim-naskah
  8. Gardien Mediatama http://www.gradienmediatama.com/
  9. Gramedia Pustaka Utama http://www.gramediapustakautamas.com/
  10. Grasindo http://www.grasindo.co.id/index.php?mib=kirimnaskah.detail
  11. Indiva Media Kreasi http://indivamediakreasi.com/naskah/
  12. KPG (Kepustakaan Popular Gramedia) http://www.penerbitkpg.com/
  13. Leutika http://www.leutikabooks.com/
  14. Mediakita http://www.mediakita.com/uncategorised/18-mengirimkan-naskah
  15. Pustaka Pesantren http://www.pustakapesantren.com/
  16. Tangga Pustaka http://www.tanggapustaka.com/kirim-naskah.html
  17. Wahyu media http://www.wahyumedia.com/cara-kirim-naskah
  18. Penerbit Indonesia Tera http://indonesiatera.com/index.php/kirim-naskah1
  19. Ruang kata http://www.ruangkata.com/
  20. Transmedia Pustaka http://www.transmediapustaka.com/kirim-naskah
Setelah mengerti prosedur pengiriman dan jenis naskah apa yang dibutuhkan penerbit, maka jangan takut untuk mengirimkan naskahmu ke penerbit-penerbit tersebut. Bagaimanapun mereka membutuhkan penulis dan naskah, karena dengan adanya naskahlah mereka bisa meneruskan bisnis dan bertahan. Jadi pertanyaan penting selanjutnya adalah; dimana naskahmu, proklamator?

Apa? Kamu takut ditolak dan gagal? Oh, mungkin kamu tidak cocok untuk menjadi penulis, menjadi presiden mungkin lebih cocok untukmu.

Minggu, 04 Agustus 2013

Women The Unknown

Pada dinding bangunan suci di China tertulis, “Apakah yang diketahui ikan menyengkut air, merpati menyangkut udara, kucing menyangkut wadah? Apakah yang diketahui laki-laki menyangkut perempuan?”

“Tiada”

“Siapa yang mengetahui hakikat, akan tahu rahasia perempuan.”

Minggu, 28 Juli 2013

Kepada Masa Lalu yang Mengajariku Bermimpi

Aku selalu kagum kepada waktu yang melarutkan segala sesuatu, yang mampu melumat apasaja juga mencatatkan bait-bait cerita. Kau dan aku adalah insan dari masa lalu yang jauh, berpegangan tangan, menyusuri jalan berbatu, menuju sebuah mimpi cerah di tepi subuh.

Masa lalu itu selalu jauh, sayang. Seperti kerlip bintang berjarak tahuna cahaya, sinarnya menembus kekosongan meninggalkan sumber yang telah lama redup. Sinar dari sesuatu yang telah mati. Dan aku berdiri, memandangi dari kejauhan para pencipta kecerlangan langit malam itu.

Aku masih di sini, memandangi keindahan itu dari jauh.

Memang tidak ada sesuatu yang kekal, dan dalam kefanaan ini aku akan terus menulis. Aku punya keegoisan tentang hal ini, dan bisa berkembang kepada ketidakpedulian. Karena aku percaya bahwa seseorang hanya bertanggung jawab atas apa yang ia tulis bukan atas apa yang orang lain pahami dan pikirkan.

Bermula empat tahun yang lalu, kita memulai perjalanan ini. Banyak pencapaian-pencapain yang telah kita raih. Mimpi-mimpi yang satu-satu kita mulai. Tidak mudah memang namun tidak sesulit yang kubayangkan dahulu. Bahkan pernah di satu sudut waktu, kita bahkan tidak menyangka hal-hal tersebut bisa dicapai. Walaupun tentu tidak semuanya berjalan sempurna, ada beberapa yang mungkin belum tiba terlaksana.

Banyak hal yang masih jauh dari ideal untukku juga untukmu, tidak sedikit juga yang meragukan mimpi-mimpi itu. Namun biarkan orang lain berpikir kita akan gagal, selama kita tidak merisaukannya, aku yakin semesta akan selalu membantu kita. Akupun percaya, kamu selalu punya mimpi yang selalu bisa kau raih jika usaha itu kau mantapkan. Dan seperti biasa kita akan merayakan keberhasilan kita kemudian.

Terkadang kita menghadapi jalan buntu seakan tidak ada solusi, namun akhirnya —karena segalanya pasti punya akhir— kita bisa selesaikan. Beberapa hal juga gagal kita raih, but life must go on. Jalan kita masih panjang dan dunia bukan tempat kita menyesali segala yang tidak kita raih dalam hidup kan?

Aku masih di sini, memandangi keindahan itu dari jauh.

Sejak saat itu, empat bukuku telah terbit, kita telah bisa mencicil sebuah rumah, kendaraan, dan yang terpenting adalah anak-anak yang penuh keceriaan. Aku sadar, setelah hari itu, akan ada banyak hal yang mungkin akan aku tinggalkan seiring dengan banyak hal yang akan dilakukan. Mengurangi berkumpul dengan teman-teman menjadi bekerja lebih giat, berbagi pekerjaan rumah tangga, bermain bersama anak-anak, mengantar ke sekolah, dan yang paling menyenangkan adalah berguling-guling di kasur bersama mereka.

Melihat mereka tersenyum, berceloteh dan tertawa adalah penyejuk mata setiap orang tua. Suara riang mereka di depan pintu menyambut kepulanganku adalah energi yang mampu mengisi semangat untuk menghadapi segala masalah pekerjaan. Kata Buya HAMKA, anak-anak adalah urat tunggang dan pucuk bulat bagi peripenghidupan manusia. Dan kukira tidak akan ada yang menyangkalnya.

Aku masih di sini, memandangi keindahan itu dari jauh.

Dan mari kita mengambil langkah untuk sedikit berjeda. Karena kau tahu, kerinduan adalah konspirasi antara waktu dan jarak. Bermula pada jamuan makan malam itu —entah yang ke berapa kali, tapi bukan yang pertama pasti— hingga sampai saat ini aku masih memelihara ketakjubanku padamu. Pada celah sunyi malam yang merengkuhkan sayapnya pada setiap orang yang merindu itu kita saling membuka masa depan.

Memang ada beberapa orang yang punya keyakinan bahwa mereka siap menunggu berapa lama pun untuk mencari pasangan yang sungguh mereka sukai. Pasangan yang sempurna yang padahal tidak akan ada. Seperti kata Sean dalam Good Will Hunting, "You're not perfect, sport, and let me save you the suspense: this girl you've met, she's not perfect either. But the question is whether or not you're perfect for each other."

Dan dalam ketidaksempurnaan itulah kita bertemu. Ketika aku seumpama seseorang yang menunjukan gambar bangunan megah di depanmu, seorang yang menjajakan sebuah mimpi. Apalah arti seorang yang belum lulus kuliah, tidak punya pekerjaan tetap, tidak punya rumah dan masih mengendarai kendaraan pinjaman. Apalah artinya aku tanpa mimpi itu dan orang yang begitu meyakini bahwa itu akan terwujud?

Jodoh, pekerjaan, rizki, anak dan masa depan adalah wewenang Allah, kita hanya bisa mengejarnya sesuai takdir masing-masing. Saat ini, aku tidak sedang berusaha menjadi orang yang tercatat dalam lembaran buku-buku sejarah sebagai orang yang dikenang banyak orang, karena cukup bagiku melihatmu bahagia.

Aku masih di sini, memandangi keindahan itu dari jauh. Dan berdoa dalam syukur kepada Tuhan untuk segala anugrah nikmat dan ampunan.

Wahai Tuhan Maha Pemberi Petunjuk,

Berikanlah pada hati kami kelapangan, keterbukaan untuk menerima segala kebaikan. Kuatkanlah kami untuk terus menemukan inspirasi untuk dapat mewujudkan segala keinginan kami.

Ya Allah yang Maha Pememberi Kesejahteraan,

Anugrahkanlah kepada kami kemampuan untuk berbahagia dengan kebahagian orang lain. Jadikanlah kami jiwa-jiwa yang kaya dan berikanlah kami kemampuan menjadi kaya tanpa mengalahkan siapapun.

Ya Allah yang Maha Penyayang,

Jadikanlah kami dan anak keturunan kami orang-orang yang tetap mendirikan sholat. Ilhamkan kepada kami untuk tetap mensyukuri nikmat yang telah Engkau anugrahkan kepada kami dan kepada anak keturunan kami. Sungguh kami bertaubat kepada-Mu dan sungguh kami adalah termasuk golongan yang berserah diri.

Minggu, 14 Juli 2013

Tersesat

Masuk ke blog ini sebenarnya salah kamar. Tapi jangan dulu keluar, siapa tahu anda tersesat di tempat yang benar.

Kau Tahu Kawan #7

Orang kaya berlibur dengan bersepeda, sementara orang miskin berlibur dengan menyewa mobil. Orang kota berlibur ke desa, sementara orang desa berlibur ke kota. Kau tahu kawan, setiap orang punya keinginan yang berbeda-beda.

Berlibur

Sesuatu yang terpenting dari berlibur bukan “kemana” tapi “dengan siapa”. Kemanapun kau pergi akan tetap kesepian jika jiwamu memang kesepian. Dengan orang yang kau sayangi segalanya akan terasa lebih menyenangkan. Karena kebahagiaan itu ada di dalam.

Sabtu, 13 Juli 2013

Potong Rambut

Waktu masih kecil, sekitar umur lima sampai sepuluh tahun, gue selalu punya rambut pendek ala TNI. Sampai akhirnya gue menyadari bahwa rambut pendek gak terlalu cocok dengan bentuk kepala gue. Mulai dari situ, gue gak pernah lagi mau dipotong pendek. Kecuali terpaksa, contohnya karena dihukum botak waktu melanggar peraturan di pondok.

Setelah lulus pondok dan terbebas dari segala aturan dalam hal rambut, gue memutuskan untuk memanjangkan rambut sepanjang-panjangnya. Sebagai upaya balas dendam. Sampai akhirnya kemarin, kesalahanpun terjadi, ketika gue mengajak cewek gue ke Barbershop.
Waktu gue duduk di kursi untuk potong rambut, dan si tukang cukur sudah siap, cewek gue bilang, “Pak itu potong kayak di gambar aja.”
Tukang cukur meyakinkan, “Yang mana?”
Cewek gue nunjuk salah satu gambar di dinding. Gambar Shane West Life. Dia bilang ke gue itu bagus, supaya lebih fresh.


Tapi yang dia gak tau, dengan model rambut pendek spike, kepala lonjong gue cuma akan tampak seperti inseminasi buatan antara mentimun dan Rambutan Cipelat.
Pesan gue untuk yang mau potong rambut; jangan bawa cewek lo.


Jumat, 12 Juli 2013

Takdir

Kata 'takdir' terambil dari kata 'qaddara' yang antara lain, berarti memberi kadar atau ukuran. Jika Anda berkata, "Allah menakdirkan", itu berarti "Allah memberikan kadar atau ukuran atau batas tertentu dalam diri, sifat, dan kemampuan makhluk-Nya."
Segala sesuatu, kecil atau besar, telah ditetapkan oleh Allah takdir baginya. Bacalah, (Allah) yang menciptakan segala sesuatu lalu Dia menetapkan atasnya qadr/ketetapan dengan sesempurna-sempurnanya (QS al-Furqan [25]: 2). Lalu, matahari beredar di tempat peredarannya, demikian itulah takdir/ukuran yang ditentukan oleh (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui (QS Yasin [36]: 38).
Peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam raya ini, dari sisi kejadiannya, dalam kadar/ukuran tertentu, pada tempat dan waktu tertentu, itulah yang dinamai takdir. Tidak ada sesuatu tanpa takdir, termasuk manusia. Peristiwa-peristiwa tersebut berada dalam pengetahuan dan ketentuan Tuhan.
Manusia mempunyai kemampuan terbatas sesuai dengan ukuran yang diberikan Allah kepadanya. Makhluk ini, misalnya, tidak dapat terbang. Ini merupakan salah satu takdir/ukuran batas kemampuan yang dianugerahkan Allah kepadanya. Dia tidak mampu melampauinya, kecuali jika dia menggunakan akalnya untuk menciptakan suatu alat.
Namun, akalnya pun mempunyai ukuran/batas yang tidak mampu dilampaui. Manusia berada di bawah hukum-hukum Allah sehingga segala yang kita lakukan pun tidak terlepas dari hukum-hukum yang telah mempunyai kadar dan ukuran tertentu.
Hanya saja, karena hukum-hukum tersebut cukup banyak, dan kita diberi kemampuan memilih—tidak sebagaimana matahari dan bulan, misalnya—maka kita dapat memilih yang mana di antara takdir/ukuran-ukuran yang ditetapkan Tuhan itu yang sesuai dengan kita. Pilihan adalah hak kita.
Ketika di Syam (Suriah, Palestina, dan sekitarnya) terjadi wabah, Umar bin Khaththab yang ketika itu bermaksud berkunjung ke sana membatalkan rencana beliau. Dan ketika itu, tampillah seseorang bertanya, "Apakah Anda lari/menghindar dari takdir Tuhan?" Umar ra menjawab, "Saya lari/menghindar dari takdir Tuhan ke takdir-Nya yang lain."
Berjangkitnya penyakit adalah berdasarkan hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya. Bila seseorang tidak menghindar darinya, dia akan menerima akibatnya. Akibat yang menimpanya itu juga adalah takdir. Akan tetapi, bila dia menghindar dan luput dari marabahaya, maka itu pun takdir. Bukankah Tuhan telah menganugerahkan manusia kemampuan untuk memilah dan memilih?
Surga atau neraka adalah akibat dari pilihan manusia masing-masing. Bukankah Allah telah menegaskan, Kami telah memberikan petunjuk kepadanya (manusia) dua jalan (baik dan buruk) (QS al-Balad [90]: 10) dan Dia juga menyatakan, Katakanlah, "Kebenaran bersumber dari Tuhanmu, maka siapa yang ingin (beriman) silakan beriman, dan siapa yang ingin (kufur) silakan kufur." (QS al-Kahfi [18]: 29). Pilihan dan dampak-dampaknya itulah yang dinilai Tuhan dan atas dasarnya Allah menetapkan balasan dan ganjaran.
Allah mengetahui segala sesuatu, sebelum, saat, dan sesuatu terjadinya. Akan tetapi, pengetahuan ini, tidak ada kaitannya dengan pilihan manusia. Jika seorang siswa yang diketahui malas sehingga guru mengetahui bahwa siswa itu takkan lulus ujian, apakah pengetahuan sang guru yang menyebabkan dia tak lulus? Tentu saja bukan. Nah, analogikanlah ini dengan pengetahuan Allah yang mencakup segala sesuatu itu. Demikian, wallahu a‘lam.

Senin, 22 April 2013

Gadget baru?

Gue coba me-list beberapa alesan kenapa gue membutuhkan gadget baru. Dan dari list yang dibuat itu, gue stuck hanya pada satu alasan. Sebenernya gue berusaha nambahin beberapa alesan lain, tapi kok kayaknya nggak jujur ya.
Ya, alasan yang satu itu adalah; biar tambah keren.

Jodoh


Ada seorang kawan yang nanya ke gue, “Kok gue belom dapet-dapet jodoh ya?”
Maksudnya, kok gue belom nikah juga ya?
Menurut gue gampang aja sih ngejawabnya, takdir.
Tapi ternyata banyak orang yang nggak puas dengan jawaban itu. Sebenernya kalo yang nanya jomblo sih tinggal gue bilang aja, “Ya lo coba gaul dong. Jangan cuma mantengin komputer kantor mulu.”
Tapi yang nanya udah punya pacar.
Trus kenapa tanya gue coba?
YA TANYA PACAR LO AJA KAPAN LO MAU DINIKAHIN!

Pembantu, Rumah dan Pulang

Sekitar tiga tahun yang lalu, gue mulai mencicil rumah KPR. Sekarang rumah itu disewakan.
Awalnya, setelah direnovasi, rumah itu akan segera diisi. Dan memang gue dan keluarga (Desy dan Nada, pada saat itu) sudah tinggal di situ untuk beberapa bulan. Tapi setelah itu kami pindah lagi ke tempat nyokap gue.
Ya, itu mesti kami lakukan ketika Safa, anak ke dua kami lahir. Pertimbangannya karena istri gue tentu butuh bantuan untuk mengurus dua orang anak. Sebenarnya sebelum Safa lahir kita telah merencanakan untuk memperoleh jasa pembantu. Dan memang kita telah dapat. Tapi satu bulan sebelum istri gue melahirkan pembantu itu kabur. Mungkin karena terlalu sering gue suruh manjat tiang listrik depan rumah.
Memang udah ada usaha untuk cari pembantu lagi, tapi ternyata cari pembantu itu nggak gampang. Nyari pembantu itu ternyata seperti nyari pasangan hidup, gampang-gampang susah. Apalagi mengingat kegemaran gue yang suka nyuruh pembantu ngepel genteng.
Pembantu itu penting bagi sebuah keluarga. Apalagi yang punya anak kecil lebih dari satu. Tapi ada beberapa keluarga yang mungkin nggak butuh —atau nggak sanggup— menyewa pembantu. Itu tentu terserah pertimbangan masing-masing.
Gue inget sebuah kisah tentang Sayidina Ali Karamalalahu Wajhah dan istrinya Fatimah Azzahra Rhadiyallahu Anha ingin meminta pembantu kepada Rasulullah. Dikisahkan oleh Sayidina Ali, suatu ketika, Fatimah mengeluhkan sakit di tangannya akibat bekas alat penggiling. Kebetulan pada saat itu nabi memperoleh seorang tawanan perang. Maka Fatimah pergi ke rumah ayahnya untuk meminta tawanan tersebut menjadi pembantu di rumahnya, namun ia tidak bertemu dengan sang nabi. Dia hanya bertemu Aisyah istri nabi. Fatimah memberitahu masksud kedatanngannya kepada Aisyah. Ketika sang nabi datang, Aisyah mengabarkan maksud kedatangan Fatimah.
Beliau mempertimbangkan permintaan Fatimah. Memang beliau mempunyai beberapa orang tawanan perang, tetapi tawanan-tawanan ini akan dijual, dan hasilnya akan disalurkan kepada orang-orang Muslim yang fakir, yang tidak mempunyai tempat tinggal dan makanan kecuali dari apa yang diberikan Rasulullah.
Kemudian Nabi mendatangi rumah Ali dan Fatimah. Ketika itu mereka hendak tidur. Ali siap berdiri, namun nabi berkata, “Tetaplah di tempatmu”. Kemudian beliau duduk di tengah Ali dan Fatimah. Beliau berkata, “Ketahuilah, akan kuajarkan kepadamu sesuatu yang lebih baik daripada apa yang engkau minta kepadaku. Apabila engkau hendak tidur, maka bertakbirlah tiga puluh empat kali, bertasbihlah tiga puluh tiga kali, dan bertahmidlah tiga puluh tiga kali, maka itu lebih baik bagimu daripada seorang pembantu.” [i]
Sekarang, setelah Safa hampir setahun, kita berniat pulang ke rumah. Tapi ternyata pulang itu bukan hanya soal berkemas dan kembali ke rumah saja. Pulang berarti menimbang-nimbang dan menata kembali keputusan. Ya, ternyata pindah rumah itu nggak mudah. Bukan karena rumah nyokap gue lebih nyaman. Tentu nyama itu relatif kan? Apalagi beberapa sisi dari rumah nyokap juga sudah seharusnya direnovasi.
Kesulitan pindah rumah itu mungkin dikarenakan akan ada banyak kebiasaan yang akan berubah. Perubahan tetangga sekitar, perubahan akses, makhluk-makhluk yang ada di rumah juga kebiasaan-kebiasaan lain. Kebiasaan sang nenek bergaul dengan cucu-cucunya, misalnya. Kita juga sudah terbiasa dengan segala hal dari rumah itu, dari barang-barang yang ada di dapur, bau kamar, sampai di bagian mana yang mesti ditaruh ember waktu hujan lebat. Meninggalkan kebiasaan yang lama dan memulai kebiasaan yang baru tentu membutuhkan adaptasi yang mungkin nggak sebentar.
Karena sejatinya, rumah bukan hanya sebuah bangunan berpintu dan lain sebagainya, ia seharusnya memberikan kedamaian, kenyamanan dan kehangatan. Dan rumah yang sebenarnya adalah tempat dimana kita bisa saling mencintai, home that our feet may leave, but not our hearts.[ii]

 


[i] Hadits Shahih, ditakhrij Al-Bukhari 4/102, Muslim 17/45, Abu Dawud hadits nomor 5062, At-Tirmidzi hadits nomor 3469, Ahmad 1/96, Al-Baihaqy 7/293. Ibnu Taimiyah menyimpulkan bahwa orang yang banyak dzikir sebelum tidur, tidak akan merasa letih. Sebab Fatimah mengeluh letih karena bekerja. Lalu Nabi mengajarkan dzikir itu. Namun Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Pendapat ini perlu diteliti lagi. Dzikir tidak menghilangkan letih. Tetapi hal ini bisa ditakwil bahwa orang yang banyak berdzikir, tidak akan merasa mendapat madharat karena kerjanya yang banyak dan tidak merasa sulit, meskipun rasa letih itu tetap ada”. Diambil dari sini
[ii] Wendell Holmes

Senin, 15 April 2013

Kiyai Munad

“Mas bangun mas! Sudah sampai terminal!”.

“Oh, gawat! Aku tertidur!” Kalimat itu yang pertama meloncat dari pikiran pemuda itu.

Pukul 03.15 pagi pemuda itu tiba di terminal. Di dalam bus tadi, kantuk membunuhnya perlahan-lahan. Membuatnya tak merasakan sakit sama sekali. Kematian yang begitu indah. Sejenis kematian yang hanya menghampiri jiwa-jiwa yang tenang. Membuka dialog panjang antara dirinya dan dirinya, dalam alam bawah sadar yang jauh.

“Mau kemana, Mas!” beberapa tukang ojek menghampirinya setelah pemuda itu turun dari bus. Pemuda itu masih berusaha mengumpulkan ingatannya tentang kota itu. Ia ingat, semalam ia tertidur di bus. Dan sekarang telah sampai di terminal. Oh, malangnya nasibku, pikirnya. Apa yang harus kulakukan? Apa aku teruskan tidurku di terminal ini? Tidur sampai fajar menyingsing dan segala sesuatunya telah memiliki warna dengan jelas. Menunggu angkot bergeliat, berlalu lalang untuk mengantarkan para ibu ke pasar membeli sayuran.

“Naek ojek aja, Mas!” para tukang ojek itu terus mendesak. Pemuda itu membayangkan dirinya tidur di terminal seperti orang gila di pojok terminal itu. Di dekat tempat sampah. Tapi siapa yang menjamin aku akan bangun dengan selamat besok pagi? Pikirnya lagi. Bisa jadi besok pagi aku menjadi gelandangan baru di kota ini, atau lebih parah menjadi orang gila baru pengganti orang gila yang sudah sepuh di pojok sana.

“Jam segini angkot belum ada yang narik, Mas!” tukang ojek lain mulai memberi alasan.

Pemuda itu mulai berpikir lagi. Tempat ibunya yang seharusnya dituju terletak jauh dari terminal, dan ia sedang  memikirkan biaya yang akan dikeluarkannya untuk naik ojek dalam jarak sejauh itu. Lagipula masih terlalu pagi, ia takut menggangu. Aku harus mampir ke tempat temanku yang dekat sini, pikir pemuda itu. Dan tidak diragukan lagi, pikirannya segera tertuju pada seorang sahabat karibnya di kota itu; Kiyai Munad. Ya, Kiyai Munad.

“Antarkan saya ke Pondok Pesantren Al-Arifiyah, Mas! Ke tempat Kiyai Munad.” Kata pemuda itu kepada seorang tukang ojek.

Ada berbagai hal yang melintas di kepalanya, dalam perjalanan bertemu kawan karibnya itu. Kenangan-kenangan waktu  mereka masih sama-sama di pesantren. Ia ingat pertemuan pada suatu siang di sebuah masjid. Ketika ia disapa oleh seseorang bermuka tirus pada kali pertama menjadi santri.

***


“Wa’alaikum salam!” jawab kiyai Munad setelah pemuda itu mengucap salam. Mereka berjabatan tangan.

“Apa kabar, Kiyai!” kata pemuda itu.

“Ah jangan panggil aku kiyai, sobat! Kita seumur. Kau membuatku merasa jauh.”

“Ma’af jika kedatanganku mengganggu wirid malammu.” Kata pemuda itu sambil menurunkan ransel yang ada di punggungnya yang terasa makin berat.

“Menghormati tamu itu lebih mulia dari apapun. Tentu kamu tahu itu kawan. Baiklah sekarang mari kubawakan ranselmu. Kita istirahat dulu di kamarku.”

“Berapa murid yang ada di pesantren ini?” tanya pemuda itu sambil berjalan menuju kamar Kiyai Munad.
“Jauh berkurang. Orang–orang sekarang lebih memilih sekolah umum. Sayang sekali kamu berhenti mondok. Jika saja dulu kau meneruskan sampai Aliyah saja, mungkin saat ini aku bisa meminta bantuanmu untuk mengurusi pesantren ini.”

“Sudahlah, toh sekarang kamu sendirianpun telah berhasil, kan!?”

“Oya, berapa hari kamu di kota ini, kawan!” kata Kiyai Munad mengalihkan pembicaraan.

“Cuma lima hari. Aku akan menginap di tempat ibu. Aku kangen beliau.”

Kiyai Munad membiarkan kawannya beristirahat. Pemuda itu mulai merebahkan diri sambil mengingat-ingat kenangannya di kota kelahirannya itu, sebelum ia berkelana entah kemana. Ah, enaknya berkelana, pikirnya tiba-tiba. Aku selalu mendapat teman-teman baru tanpa perlu bersama-sama mereka sepanjang waktu.

Kalau seseorang bergaul dengan orang yang sama setiap hari, ia cenderung menjadi terlalu merasa mengerti kepada orang lain. Terkadang ia ingin supaya orang lain berubah. Kalau orang itu tidak bisa berubah seperti yang ia kehendaki, maka ia marah. Orang tampaknya selalu merasa lebih tahu, bagaimana orang lain menjalani hidup, tapi mereka sebenarnya tidak tahu bagaimana seharusnya menjalani hidup sandiri.