Senin, 22 April 2013

Gadget baru?

Gue coba me-list beberapa alesan kenapa gue membutuhkan gadget baru. Dan dari list yang dibuat itu, gue stuck hanya pada satu alasan. Sebenernya gue berusaha nambahin beberapa alesan lain, tapi kok kayaknya nggak jujur ya.
Ya, alasan yang satu itu adalah; biar tambah keren.

Jodoh


Ada seorang kawan yang nanya ke gue, “Kok gue belom dapet-dapet jodoh ya?”
Maksudnya, kok gue belom nikah juga ya?
Menurut gue gampang aja sih ngejawabnya, takdir.
Tapi ternyata banyak orang yang nggak puas dengan jawaban itu. Sebenernya kalo yang nanya jomblo sih tinggal gue bilang aja, “Ya lo coba gaul dong. Jangan cuma mantengin komputer kantor mulu.”
Tapi yang nanya udah punya pacar.
Trus kenapa tanya gue coba?
YA TANYA PACAR LO AJA KAPAN LO MAU DINIKAHIN!

Pembantu, Rumah dan Pulang

Sekitar tiga tahun yang lalu, gue mulai mencicil rumah KPR. Sekarang rumah itu disewakan.
Awalnya, setelah direnovasi, rumah itu akan segera diisi. Dan memang gue dan keluarga (Desy dan Nada, pada saat itu) sudah tinggal di situ untuk beberapa bulan. Tapi setelah itu kami pindah lagi ke tempat nyokap gue.
Ya, itu mesti kami lakukan ketika Safa, anak ke dua kami lahir. Pertimbangannya karena istri gue tentu butuh bantuan untuk mengurus dua orang anak. Sebenarnya sebelum Safa lahir kita telah merencanakan untuk memperoleh jasa pembantu. Dan memang kita telah dapat. Tapi satu bulan sebelum istri gue melahirkan pembantu itu kabur. Mungkin karena terlalu sering gue suruh manjat tiang listrik depan rumah.
Memang udah ada usaha untuk cari pembantu lagi, tapi ternyata cari pembantu itu nggak gampang. Nyari pembantu itu ternyata seperti nyari pasangan hidup, gampang-gampang susah. Apalagi mengingat kegemaran gue yang suka nyuruh pembantu ngepel genteng.
Pembantu itu penting bagi sebuah keluarga. Apalagi yang punya anak kecil lebih dari satu. Tapi ada beberapa keluarga yang mungkin nggak butuh —atau nggak sanggup— menyewa pembantu. Itu tentu terserah pertimbangan masing-masing.
Gue inget sebuah kisah tentang Sayidina Ali Karamalalahu Wajhah dan istrinya Fatimah Azzahra Rhadiyallahu Anha ingin meminta pembantu kepada Rasulullah. Dikisahkan oleh Sayidina Ali, suatu ketika, Fatimah mengeluhkan sakit di tangannya akibat bekas alat penggiling. Kebetulan pada saat itu nabi memperoleh seorang tawanan perang. Maka Fatimah pergi ke rumah ayahnya untuk meminta tawanan tersebut menjadi pembantu di rumahnya, namun ia tidak bertemu dengan sang nabi. Dia hanya bertemu Aisyah istri nabi. Fatimah memberitahu masksud kedatanngannya kepada Aisyah. Ketika sang nabi datang, Aisyah mengabarkan maksud kedatangan Fatimah.
Beliau mempertimbangkan permintaan Fatimah. Memang beliau mempunyai beberapa orang tawanan perang, tetapi tawanan-tawanan ini akan dijual, dan hasilnya akan disalurkan kepada orang-orang Muslim yang fakir, yang tidak mempunyai tempat tinggal dan makanan kecuali dari apa yang diberikan Rasulullah.
Kemudian Nabi mendatangi rumah Ali dan Fatimah. Ketika itu mereka hendak tidur. Ali siap berdiri, namun nabi berkata, “Tetaplah di tempatmu”. Kemudian beliau duduk di tengah Ali dan Fatimah. Beliau berkata, “Ketahuilah, akan kuajarkan kepadamu sesuatu yang lebih baik daripada apa yang engkau minta kepadaku. Apabila engkau hendak tidur, maka bertakbirlah tiga puluh empat kali, bertasbihlah tiga puluh tiga kali, dan bertahmidlah tiga puluh tiga kali, maka itu lebih baik bagimu daripada seorang pembantu.” [i]
Sekarang, setelah Safa hampir setahun, kita berniat pulang ke rumah. Tapi ternyata pulang itu bukan hanya soal berkemas dan kembali ke rumah saja. Pulang berarti menimbang-nimbang dan menata kembali keputusan. Ya, ternyata pindah rumah itu nggak mudah. Bukan karena rumah nyokap gue lebih nyaman. Tentu nyama itu relatif kan? Apalagi beberapa sisi dari rumah nyokap juga sudah seharusnya direnovasi.
Kesulitan pindah rumah itu mungkin dikarenakan akan ada banyak kebiasaan yang akan berubah. Perubahan tetangga sekitar, perubahan akses, makhluk-makhluk yang ada di rumah juga kebiasaan-kebiasaan lain. Kebiasaan sang nenek bergaul dengan cucu-cucunya, misalnya. Kita juga sudah terbiasa dengan segala hal dari rumah itu, dari barang-barang yang ada di dapur, bau kamar, sampai di bagian mana yang mesti ditaruh ember waktu hujan lebat. Meninggalkan kebiasaan yang lama dan memulai kebiasaan yang baru tentu membutuhkan adaptasi yang mungkin nggak sebentar.
Karena sejatinya, rumah bukan hanya sebuah bangunan berpintu dan lain sebagainya, ia seharusnya memberikan kedamaian, kenyamanan dan kehangatan. Dan rumah yang sebenarnya adalah tempat dimana kita bisa saling mencintai, home that our feet may leave, but not our hearts.[ii]

 


[i] Hadits Shahih, ditakhrij Al-Bukhari 4/102, Muslim 17/45, Abu Dawud hadits nomor 5062, At-Tirmidzi hadits nomor 3469, Ahmad 1/96, Al-Baihaqy 7/293. Ibnu Taimiyah menyimpulkan bahwa orang yang banyak dzikir sebelum tidur, tidak akan merasa letih. Sebab Fatimah mengeluh letih karena bekerja. Lalu Nabi mengajarkan dzikir itu. Namun Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Pendapat ini perlu diteliti lagi. Dzikir tidak menghilangkan letih. Tetapi hal ini bisa ditakwil bahwa orang yang banyak berdzikir, tidak akan merasa mendapat madharat karena kerjanya yang banyak dan tidak merasa sulit, meskipun rasa letih itu tetap ada”. Diambil dari sini
[ii] Wendell Holmes

Senin, 15 April 2013

Kiyai Munad

“Mas bangun mas! Sudah sampai terminal!”.

“Oh, gawat! Aku tertidur!” Kalimat itu yang pertama meloncat dari pikiran pemuda itu.

Pukul 03.15 pagi pemuda itu tiba di terminal. Di dalam bus tadi, kantuk membunuhnya perlahan-lahan. Membuatnya tak merasakan sakit sama sekali. Kematian yang begitu indah. Sejenis kematian yang hanya menghampiri jiwa-jiwa yang tenang. Membuka dialog panjang antara dirinya dan dirinya, dalam alam bawah sadar yang jauh.

“Mau kemana, Mas!” beberapa tukang ojek menghampirinya setelah pemuda itu turun dari bus. Pemuda itu masih berusaha mengumpulkan ingatannya tentang kota itu. Ia ingat, semalam ia tertidur di bus. Dan sekarang telah sampai di terminal. Oh, malangnya nasibku, pikirnya. Apa yang harus kulakukan? Apa aku teruskan tidurku di terminal ini? Tidur sampai fajar menyingsing dan segala sesuatunya telah memiliki warna dengan jelas. Menunggu angkot bergeliat, berlalu lalang untuk mengantarkan para ibu ke pasar membeli sayuran.

“Naek ojek aja, Mas!” para tukang ojek itu terus mendesak. Pemuda itu membayangkan dirinya tidur di terminal seperti orang gila di pojok terminal itu. Di dekat tempat sampah. Tapi siapa yang menjamin aku akan bangun dengan selamat besok pagi? Pikirnya lagi. Bisa jadi besok pagi aku menjadi gelandangan baru di kota ini, atau lebih parah menjadi orang gila baru pengganti orang gila yang sudah sepuh di pojok sana.

“Jam segini angkot belum ada yang narik, Mas!” tukang ojek lain mulai memberi alasan.

Pemuda itu mulai berpikir lagi. Tempat ibunya yang seharusnya dituju terletak jauh dari terminal, dan ia sedang  memikirkan biaya yang akan dikeluarkannya untuk naik ojek dalam jarak sejauh itu. Lagipula masih terlalu pagi, ia takut menggangu. Aku harus mampir ke tempat temanku yang dekat sini, pikir pemuda itu. Dan tidak diragukan lagi, pikirannya segera tertuju pada seorang sahabat karibnya di kota itu; Kiyai Munad. Ya, Kiyai Munad.

“Antarkan saya ke Pondok Pesantren Al-Arifiyah, Mas! Ke tempat Kiyai Munad.” Kata pemuda itu kepada seorang tukang ojek.

Ada berbagai hal yang melintas di kepalanya, dalam perjalanan bertemu kawan karibnya itu. Kenangan-kenangan waktu  mereka masih sama-sama di pesantren. Ia ingat pertemuan pada suatu siang di sebuah masjid. Ketika ia disapa oleh seseorang bermuka tirus pada kali pertama menjadi santri.

***


“Wa’alaikum salam!” jawab kiyai Munad setelah pemuda itu mengucap salam. Mereka berjabatan tangan.

“Apa kabar, Kiyai!” kata pemuda itu.

“Ah jangan panggil aku kiyai, sobat! Kita seumur. Kau membuatku merasa jauh.”

“Ma’af jika kedatanganku mengganggu wirid malammu.” Kata pemuda itu sambil menurunkan ransel yang ada di punggungnya yang terasa makin berat.

“Menghormati tamu itu lebih mulia dari apapun. Tentu kamu tahu itu kawan. Baiklah sekarang mari kubawakan ranselmu. Kita istirahat dulu di kamarku.”

“Berapa murid yang ada di pesantren ini?” tanya pemuda itu sambil berjalan menuju kamar Kiyai Munad.
“Jauh berkurang. Orang–orang sekarang lebih memilih sekolah umum. Sayang sekali kamu berhenti mondok. Jika saja dulu kau meneruskan sampai Aliyah saja, mungkin saat ini aku bisa meminta bantuanmu untuk mengurusi pesantren ini.”

“Sudahlah, toh sekarang kamu sendirianpun telah berhasil, kan!?”

“Oya, berapa hari kamu di kota ini, kawan!” kata Kiyai Munad mengalihkan pembicaraan.

“Cuma lima hari. Aku akan menginap di tempat ibu. Aku kangen beliau.”

Kiyai Munad membiarkan kawannya beristirahat. Pemuda itu mulai merebahkan diri sambil mengingat-ingat kenangannya di kota kelahirannya itu, sebelum ia berkelana entah kemana. Ah, enaknya berkelana, pikirnya tiba-tiba. Aku selalu mendapat teman-teman baru tanpa perlu bersama-sama mereka sepanjang waktu.

Kalau seseorang bergaul dengan orang yang sama setiap hari, ia cenderung menjadi terlalu merasa mengerti kepada orang lain. Terkadang ia ingin supaya orang lain berubah. Kalau orang itu tidak bisa berubah seperti yang ia kehendaki, maka ia marah. Orang tampaknya selalu merasa lebih tahu, bagaimana orang lain menjalani hidup, tapi mereka sebenarnya tidak tahu bagaimana seharusnya menjalani hidup sandiri.

Di Sebuah Perpustakaan

Sudah seratus dua puluh satu hari pemuda itu mengamati si gadis. Setiap kali si gadis melangkahkan kakinya ke ruang perpustakaan, ia selalu menyempatkan diri untuk bisa memandangnya. Mencari posisi yang pas untuk melihatnya dengan jelas.

Pemuda itu berada di rak sebelah, ketika si gadis sedang asik mencari buku. Gadis itu menyita seluruh perhatiannya. Dari rak yang bersebelahan itu, sesekali ia mencuri-curi pandang, diam-diam melihat mata si gadis. Mata itu selalu mengingatkannya pada sebuah oase di tengah padang gurun. Aku berani menukar semua yang aku punya sekarang ini demi memandang mata indah itu, pikir pemuda itu.

Tapi posisi yang paling pas untuk menikmati keindahan gadis itu secara utuh adalah ketika ia duduk menyendiri di sebuah sudut pada sebuah bangku di perpustakaan itu. Begitu setiap hari ia selalu menyempatkan diri untuk membaca buku. Sesekali si pemuda juga melihat buku yang dibacanya.  

Kali ini dia memakai baju biru langit dengan beberapa garis klim putih pada bahunya. Dengan jeans ketat yang selalu ia pakai setiap akhir pekan. Tapi aku lebih suka melihatnya mengenakan rok, pikir pemuda itu. Rok yang biasanya ia pakai hari Senin, dengan rombe dari pangkal pinggul hingga ujung mata kaki. Membuatnya memancarkan keanggunan seorang wanita. Tapi sesekali aku juga suka melihatnya memakai jeans. Membuatnya terlihat mandiri.

“Manis” gumam pemuda itu, “Ah, andai ada kata yang lebih bagus dari itu?”

Pemuda itu masih terus mencuri-curi pandang gadis itu, ketika si gadis telah selesai memilih buku-buku dan membawanya ke sebuah bangku pada sudut perpustakaan.

Sesekali ada keinginan untuk mendekati si gadis kemudian mengatakan segala yang terlintas dalam kepalanya. Semuanya. Semua perasaan tentangnya. Ia ingin mengungkapkan rayuan yang telah lama ia susun dalam sudut hatinya. Namun bagaimana mungkin? Menatapnya saja ia tak punya keberanian. Emh, tak punya kesanggupan lebih tepatnya.

Sebuah Percakapan dengan Pak Tua

Pemuda itu mulai mencari kesibukan lain untuk membunuh kebosanannya. Ia mencoba jalan-jalan sendiri. Bersepeda.

Ia mengayuh sepeda sambil terus membiarkan segala hal memasuki pikirannya. Ia memikirkan novelnya yang tak pernah selesai, acara tadi malam, kenangan bersama seorang gadis dan banyak lagi. Pikirannya melompat-lompat.

Sampai ia tiba pada sebuah gang dimana ia tahu ada seorang tua yang dulu sering ia ajak bicara. Kakek itu salah seorang pengurus gereja. Gereja yang sepertinya lebih tua dari umur si kakek.

“Apa kabar, Kek!” pemuda itu memulai.

“Baik!”

“Itu mobil punya siapa ya?” tiba-tiba si kakek bertanya. Pemuda itu melihat mobil yang dipandangi si kakek.

 “Yang mana, Kek?” si pemuda mencoba mencari penjelasan lebih.

“Yang di depan rumah itu.”

“Oh, punya Haji Muhsin mungkin. Itukan rumahnya.”

“Oh, bagaimana kabarmu anak muda?”

“Baik, Kek! Gak pernah sebaik ini.”

“Bagaimana sekolahmu?”

“Ah?” pemuda itu ragu si kakek masih ingat tentang dia. Ia mulai menyelidik “Apa kakek masih ingat siapa saya?”.

“Sebenarnya aku lupa siapa kamu. Aku hanya menebak-nebak saja. Kalau begitu ceritakan tentangmu supaya aku bisa ingat lagi.” Pemuda itu kemudian menceritakan kenangan-kenangannya dengan si kakek. Tentang percakapan-percakapan yang pernah mereka bicarakan. Tentang kesukaan si kakek yang masih diingat pemuda itu, dan tentang apapun. Sampai akhirnya pemuda itu diam. Mereka diam.

“Itu mobil punya siapa ya?” si kakek bertanya di sela-sela diamnya.

“Mobil yang mana, Kek?”

“Yang di depan rumah itu.”

“Oh, punya Haji Muhsin mungkin. Itukan rumahnya.”

“Oh, mungkin!” jawab kakek. Ia diam beberapa saat kemudian tiba-tiba bicara, “Anak muda! Kamu tahu apa itu bahasa cinta?”

Pemuda itu memandang heran wajah si kakek, mencoba menerka arah pembicaraan. Kakek itu acuh menerima pandangan mengherankan itu. Namun akhirnya si pemuda tidak bisa menerka arah pertanyaan itu dan menggeleng sekenanya.

“Bahasa cinta adalah bahasa yang lebih tua daripada manusia,” kata si kakek kemudian, “sesuatu yang meletupkan daya yang sama manakala dua pasang mata beradu pandang.”

Pemuda itu mencoba memahami bahasa filsafatis dan puitis yang dilontarkan si kakek, namun gagal. Ia tetap tidak mengerti maksud si kakek. Pemuda itu diam. Si kakek yang sepertinya tahu makna kediamannya  melanjutkan, “Cinta adalah bahasa dunia yang murni. Bahasa yang tidak membutuhkan penjelasan, seperti halnya jagad raya ini yang tidak memiliki penjelasan dalam perputarannya dalam ruang waktu yang tak berujung.”

Anak itu masih terus berusaha berpikir.

“Kamu paham?”

“Belum, Kek! Tapi akan coba kupikirkan.”

“Orang-orang yang saling bertengkar sampai akhirnya saling membunuh karena masalah agama adalah salah satu golongan yang belum mengerti arti bahasa cinta yang universal itu, Nak!” kata-katanya terputus. Sepertinya ia sedang memikirkan sesuatu yang lebih dalam. Kakek tua itu memandang jauh ke lanskap. Dari matanya ada keraguan yang menggantung. Ia terdiam. Anak itu menunggu apa lagi yang akan dikatakan kakek tua itu.

“Itu mobil punya siapa ya?” si kakek tiba-tiba bertanya lagi. Si pemuda melihat sekelilingnya dan menemukan mobil yang sama yang beberapa waktu lalu ditanyakan si kakek tua.

“Mobil yang di depan rumah itu, Kek?”

“Ya,”

Mungkin punya Haji Muhsin.”

“Oh, mungkin!”

“Memang kenapa?” pemuda itu makin penasaran.

“Ah, aku hanya iseng bertanya.”

Percakapan dengan seseorang, apalagi orang yang telah sepuh memang membutuhkan teknik tersendiri. Salah-salah ia tersinggung dan marah. Makin tua seseorang terkadang ia kembali lagi seperti anak-anak, egois, keras dan lucu. Ditambah lagi penyakit khas orang tua; pikun.

Setengah jam pemuda itu berbicara dengan pak tua, percakapannya selalu berakhir dengan pertanyaan yang sama; itu mobil punya siapa ya? Sudah delapan kali pak tua itu menanyakannya, dan delapan kali juga pemuda itu menjawabnya dengan sabar.

Pemuda itu merasa percakapan itu sudah cukup dan berkeinginan untuk pulang. Ia berpamitan. Si kakek mempersilahkan. Tapi sebelum mereka berpisah si kakek menyanyakan pertanyaan yang tidak pernah disangka oleh si pemuda, “Tadi sudah berapa kali aku bertanya tentang mobil itu?”

Minggu, 14 April 2013

Pada Sebuah Subuh

Ia bangun pukul empat tiga puluh dan segera bergegas memenuhi panggilan muadzin dari masjid terdekat. Walaupun begitu, tetap saja ia selalu menajdi orang yang terakhir tiba di sana. Dia selalu takjub dengan pemandangan langit subuh. Alangkah ruginya orang yang tidak bisa menikmati keagungan ini, pikirnya ketika melihat rasi bintang yang beraneka ragam pada langit yang cerah itu. Pemandangan itu membuatnya memperlambat jalannya menuju masjid. Setiap hari ia melakukannya, tapi tidak pernah sekalipun ia merasa bosan. Beginilah indahnya langit pedesaan, pikirnya lagi.

Sepulang menikmati jalan-jalan subuh, ia kembali menikmati pekerjaan yang seharusnya dikerjakan anak perempuan; menyiram dan menyapu lantai tanah yang telah menjadi keras seperti gerabah, mencuci piring-piring kotor bekas makan malam, dan juga mencuci pakaian. Sesekali ia merasa bosan dengan aktifitas itu, tapi kebosanan itu meredup bahkan hilang ketika ia mengingat bahwa pagi itu ia akan pergi kuliah, dan di kampus ia akan bertemu dengan teman-temannya. Sambil menimba air dari dalam sumur yang mungkin sudah seumur dengan ayahnya, ia bersenandung riang. 

Kecuali ban sepeda made in Japan, yang memang dari kemarin minta di tambah angin, pagi itu segalanya berjalan wajar seperti semestinya. Dengan rasa sukur dan senyum yang mengembang di bibirnya ia memulai hari. Pagi yang indah dan penuh syukur. Walaupun banyak yang mengatakan hidupnya begitu prihatin, tapi ia masih bisa tersenyum karena masih banyak yang bisa ia syukuri.

Dua ribu lima puluh kali kayuhan sepeda atau sekitar 6.150 meter ia sampai di depan perbatasan desa itu dan menitipkan sepedanya di tempat penitipan sepeda. Setelah itu, ia naik dua kali kendaraan umum dan sampailah ia di kampusnya yang dekat dengan laut.

Sabtu, 06 April 2013

Pada Suatu Siang

Siang itu aku bangun dengan kepala berat. Suara musik dangdut koplo berteriak dari speaker aktif tidak jauh dari tempatku tidur. Suara itu pasti yang membangunkanku. Perlu beberapa detik sampai ingatan akan tempat itu terkumpul. Ya, ini tempat kostku. Pasti Joni, kawan satu kost, yang menyetel lagu sialan itu keras-keras, pikirku kemudian. Mataku mengerjap menajam mencari sosok bergigi tonggos di ruangan gelap itu. Nihil. Di kamar itu hanya ada aku sendiri.
Bau abu rokok, alkohol dan keringat tercampurbaur oleh kipas angin yang berptar penuh bunyi di langit-langit kamar. Aku meraih hand phone, ada tiga miscall dari kekasihku, layar menunjukan pukul 12:12. Setelah segala indraku penuh, aku mulai mendengar suara khotib dari kejauhan lewat pengeras suara. Itu hari Jumat dan lagi-lagi aku telat sholat. Segera aku meloncat dan menyelesaikan urusan kamar mandi. Mudah-mudahan masih dapat rakaat ke dua, harapku setelah mengunci kamar kost dari luar.  
Sampai di masjid, imam telah sampai di ujung ruku rakaat ke dua. Aku segera bertakbir dan mengikuti. Shola wa la nawa, nawa wa la shola. Niatnya Sholat Jumat, sholatnya Sholat Dzuhur. Sholatnya Sholat Dzuhur, niatnya Sholat Jumat.