Minggu, 28 Juli 2013

Kepada Masa Lalu yang Mengajariku Bermimpi

Aku selalu kagum kepada waktu yang melarutkan segala sesuatu, yang mampu melumat apasaja juga mencatatkan bait-bait cerita. Kau dan aku adalah insan dari masa lalu yang jauh, berpegangan tangan, menyusuri jalan berbatu, menuju sebuah mimpi cerah di tepi subuh.

Masa lalu itu selalu jauh, sayang. Seperti kerlip bintang berjarak tahuna cahaya, sinarnya menembus kekosongan meninggalkan sumber yang telah lama redup. Sinar dari sesuatu yang telah mati. Dan aku berdiri, memandangi dari kejauhan para pencipta kecerlangan langit malam itu.

Aku masih di sini, memandangi keindahan itu dari jauh.

Memang tidak ada sesuatu yang kekal, dan dalam kefanaan ini aku akan terus menulis. Aku punya keegoisan tentang hal ini, dan bisa berkembang kepada ketidakpedulian. Karena aku percaya bahwa seseorang hanya bertanggung jawab atas apa yang ia tulis bukan atas apa yang orang lain pahami dan pikirkan.

Bermula empat tahun yang lalu, kita memulai perjalanan ini. Banyak pencapaian-pencapain yang telah kita raih. Mimpi-mimpi yang satu-satu kita mulai. Tidak mudah memang namun tidak sesulit yang kubayangkan dahulu. Bahkan pernah di satu sudut waktu, kita bahkan tidak menyangka hal-hal tersebut bisa dicapai. Walaupun tentu tidak semuanya berjalan sempurna, ada beberapa yang mungkin belum tiba terlaksana.

Banyak hal yang masih jauh dari ideal untukku juga untukmu, tidak sedikit juga yang meragukan mimpi-mimpi itu. Namun biarkan orang lain berpikir kita akan gagal, selama kita tidak merisaukannya, aku yakin semesta akan selalu membantu kita. Akupun percaya, kamu selalu punya mimpi yang selalu bisa kau raih jika usaha itu kau mantapkan. Dan seperti biasa kita akan merayakan keberhasilan kita kemudian.

Terkadang kita menghadapi jalan buntu seakan tidak ada solusi, namun akhirnya —karena segalanya pasti punya akhir— kita bisa selesaikan. Beberapa hal juga gagal kita raih, but life must go on. Jalan kita masih panjang dan dunia bukan tempat kita menyesali segala yang tidak kita raih dalam hidup kan?

Aku masih di sini, memandangi keindahan itu dari jauh.

Sejak saat itu, empat bukuku telah terbit, kita telah bisa mencicil sebuah rumah, kendaraan, dan yang terpenting adalah anak-anak yang penuh keceriaan. Aku sadar, setelah hari itu, akan ada banyak hal yang mungkin akan aku tinggalkan seiring dengan banyak hal yang akan dilakukan. Mengurangi berkumpul dengan teman-teman menjadi bekerja lebih giat, berbagi pekerjaan rumah tangga, bermain bersama anak-anak, mengantar ke sekolah, dan yang paling menyenangkan adalah berguling-guling di kasur bersama mereka.

Melihat mereka tersenyum, berceloteh dan tertawa adalah penyejuk mata setiap orang tua. Suara riang mereka di depan pintu menyambut kepulanganku adalah energi yang mampu mengisi semangat untuk menghadapi segala masalah pekerjaan. Kata Buya HAMKA, anak-anak adalah urat tunggang dan pucuk bulat bagi peripenghidupan manusia. Dan kukira tidak akan ada yang menyangkalnya.

Aku masih di sini, memandangi keindahan itu dari jauh.

Dan mari kita mengambil langkah untuk sedikit berjeda. Karena kau tahu, kerinduan adalah konspirasi antara waktu dan jarak. Bermula pada jamuan makan malam itu —entah yang ke berapa kali, tapi bukan yang pertama pasti— hingga sampai saat ini aku masih memelihara ketakjubanku padamu. Pada celah sunyi malam yang merengkuhkan sayapnya pada setiap orang yang merindu itu kita saling membuka masa depan.

Memang ada beberapa orang yang punya keyakinan bahwa mereka siap menunggu berapa lama pun untuk mencari pasangan yang sungguh mereka sukai. Pasangan yang sempurna yang padahal tidak akan ada. Seperti kata Sean dalam Good Will Hunting, "You're not perfect, sport, and let me save you the suspense: this girl you've met, she's not perfect either. But the question is whether or not you're perfect for each other."

Dan dalam ketidaksempurnaan itulah kita bertemu. Ketika aku seumpama seseorang yang menunjukan gambar bangunan megah di depanmu, seorang yang menjajakan sebuah mimpi. Apalah arti seorang yang belum lulus kuliah, tidak punya pekerjaan tetap, tidak punya rumah dan masih mengendarai kendaraan pinjaman. Apalah artinya aku tanpa mimpi itu dan orang yang begitu meyakini bahwa itu akan terwujud?

Jodoh, pekerjaan, rizki, anak dan masa depan adalah wewenang Allah, kita hanya bisa mengejarnya sesuai takdir masing-masing. Saat ini, aku tidak sedang berusaha menjadi orang yang tercatat dalam lembaran buku-buku sejarah sebagai orang yang dikenang banyak orang, karena cukup bagiku melihatmu bahagia.

Aku masih di sini, memandangi keindahan itu dari jauh. Dan berdoa dalam syukur kepada Tuhan untuk segala anugrah nikmat dan ampunan.

Wahai Tuhan Maha Pemberi Petunjuk,

Berikanlah pada hati kami kelapangan, keterbukaan untuk menerima segala kebaikan. Kuatkanlah kami untuk terus menemukan inspirasi untuk dapat mewujudkan segala keinginan kami.

Ya Allah yang Maha Pememberi Kesejahteraan,

Anugrahkanlah kepada kami kemampuan untuk berbahagia dengan kebahagian orang lain. Jadikanlah kami jiwa-jiwa yang kaya dan berikanlah kami kemampuan menjadi kaya tanpa mengalahkan siapapun.

Ya Allah yang Maha Penyayang,

Jadikanlah kami dan anak keturunan kami orang-orang yang tetap mendirikan sholat. Ilhamkan kepada kami untuk tetap mensyukuri nikmat yang telah Engkau anugrahkan kepada kami dan kepada anak keturunan kami. Sungguh kami bertaubat kepada-Mu dan sungguh kami adalah termasuk golongan yang berserah diri.

Minggu, 14 Juli 2013

Tersesat

Masuk ke blog ini sebenarnya salah kamar. Tapi jangan dulu keluar, siapa tahu anda tersesat di tempat yang benar.

Kau Tahu Kawan #7

Orang kaya berlibur dengan bersepeda, sementara orang miskin berlibur dengan menyewa mobil. Orang kota berlibur ke desa, sementara orang desa berlibur ke kota. Kau tahu kawan, setiap orang punya keinginan yang berbeda-beda.

Berlibur

Sesuatu yang terpenting dari berlibur bukan “kemana” tapi “dengan siapa”. Kemanapun kau pergi akan tetap kesepian jika jiwamu memang kesepian. Dengan orang yang kau sayangi segalanya akan terasa lebih menyenangkan. Karena kebahagiaan itu ada di dalam.

Sabtu, 13 Juli 2013

Potong Rambut

Waktu masih kecil, sekitar umur lima sampai sepuluh tahun, gue selalu punya rambut pendek ala TNI. Sampai akhirnya gue menyadari bahwa rambut pendek gak terlalu cocok dengan bentuk kepala gue. Mulai dari situ, gue gak pernah lagi mau dipotong pendek. Kecuali terpaksa, contohnya karena dihukum botak waktu melanggar peraturan di pondok.

Setelah lulus pondok dan terbebas dari segala aturan dalam hal rambut, gue memutuskan untuk memanjangkan rambut sepanjang-panjangnya. Sebagai upaya balas dendam. Sampai akhirnya kemarin, kesalahanpun terjadi, ketika gue mengajak cewek gue ke Barbershop.
Waktu gue duduk di kursi untuk potong rambut, dan si tukang cukur sudah siap, cewek gue bilang, “Pak itu potong kayak di gambar aja.”
Tukang cukur meyakinkan, “Yang mana?”
Cewek gue nunjuk salah satu gambar di dinding. Gambar Shane West Life. Dia bilang ke gue itu bagus, supaya lebih fresh.


Tapi yang dia gak tau, dengan model rambut pendek spike, kepala lonjong gue cuma akan tampak seperti inseminasi buatan antara mentimun dan Rambutan Cipelat.
Pesan gue untuk yang mau potong rambut; jangan bawa cewek lo.


Jumat, 12 Juli 2013

Takdir

Kata 'takdir' terambil dari kata 'qaddara' yang antara lain, berarti memberi kadar atau ukuran. Jika Anda berkata, "Allah menakdirkan", itu berarti "Allah memberikan kadar atau ukuran atau batas tertentu dalam diri, sifat, dan kemampuan makhluk-Nya."
Segala sesuatu, kecil atau besar, telah ditetapkan oleh Allah takdir baginya. Bacalah, (Allah) yang menciptakan segala sesuatu lalu Dia menetapkan atasnya qadr/ketetapan dengan sesempurna-sempurnanya (QS al-Furqan [25]: 2). Lalu, matahari beredar di tempat peredarannya, demikian itulah takdir/ukuran yang ditentukan oleh (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui (QS Yasin [36]: 38).
Peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam raya ini, dari sisi kejadiannya, dalam kadar/ukuran tertentu, pada tempat dan waktu tertentu, itulah yang dinamai takdir. Tidak ada sesuatu tanpa takdir, termasuk manusia. Peristiwa-peristiwa tersebut berada dalam pengetahuan dan ketentuan Tuhan.
Manusia mempunyai kemampuan terbatas sesuai dengan ukuran yang diberikan Allah kepadanya. Makhluk ini, misalnya, tidak dapat terbang. Ini merupakan salah satu takdir/ukuran batas kemampuan yang dianugerahkan Allah kepadanya. Dia tidak mampu melampauinya, kecuali jika dia menggunakan akalnya untuk menciptakan suatu alat.
Namun, akalnya pun mempunyai ukuran/batas yang tidak mampu dilampaui. Manusia berada di bawah hukum-hukum Allah sehingga segala yang kita lakukan pun tidak terlepas dari hukum-hukum yang telah mempunyai kadar dan ukuran tertentu.
Hanya saja, karena hukum-hukum tersebut cukup banyak, dan kita diberi kemampuan memilih—tidak sebagaimana matahari dan bulan, misalnya—maka kita dapat memilih yang mana di antara takdir/ukuran-ukuran yang ditetapkan Tuhan itu yang sesuai dengan kita. Pilihan adalah hak kita.
Ketika di Syam (Suriah, Palestina, dan sekitarnya) terjadi wabah, Umar bin Khaththab yang ketika itu bermaksud berkunjung ke sana membatalkan rencana beliau. Dan ketika itu, tampillah seseorang bertanya, "Apakah Anda lari/menghindar dari takdir Tuhan?" Umar ra menjawab, "Saya lari/menghindar dari takdir Tuhan ke takdir-Nya yang lain."
Berjangkitnya penyakit adalah berdasarkan hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya. Bila seseorang tidak menghindar darinya, dia akan menerima akibatnya. Akibat yang menimpanya itu juga adalah takdir. Akan tetapi, bila dia menghindar dan luput dari marabahaya, maka itu pun takdir. Bukankah Tuhan telah menganugerahkan manusia kemampuan untuk memilah dan memilih?
Surga atau neraka adalah akibat dari pilihan manusia masing-masing. Bukankah Allah telah menegaskan, Kami telah memberikan petunjuk kepadanya (manusia) dua jalan (baik dan buruk) (QS al-Balad [90]: 10) dan Dia juga menyatakan, Katakanlah, "Kebenaran bersumber dari Tuhanmu, maka siapa yang ingin (beriman) silakan beriman, dan siapa yang ingin (kufur) silakan kufur." (QS al-Kahfi [18]: 29). Pilihan dan dampak-dampaknya itulah yang dinilai Tuhan dan atas dasarnya Allah menetapkan balasan dan ganjaran.
Allah mengetahui segala sesuatu, sebelum, saat, dan sesuatu terjadinya. Akan tetapi, pengetahuan ini, tidak ada kaitannya dengan pilihan manusia. Jika seorang siswa yang diketahui malas sehingga guru mengetahui bahwa siswa itu takkan lulus ujian, apakah pengetahuan sang guru yang menyebabkan dia tak lulus? Tentu saja bukan. Nah, analogikanlah ini dengan pengetahuan Allah yang mencakup segala sesuatu itu. Demikian, wallahu a‘lam.