Rabu, 30 Desember 2015

Perempuan Berkalung Hujan

Ketika kau hadir, hujan turun dan para malaikat bertasbih
sambil menulis status, dan jaringan internet mendadak terputus. 

“Buongiorno, Principessa!” kataku.
Terakhir ketemu, kamu sedang berkalung hujan, 
dan apa yang kulakukan selalu sangkal. 

Katamu, “seharusnya tak kau temui aku.” 
Andai semua lelaki bisa tahu, hidup ini pasti tidak semakin asu 

rindu yang berwarna ungu 
sudah menjadi kayu bakar kering 
yang mudah menyulut dan terbakar

Tanyamu, "Siapa yang lebih edan dari cemburu gemuruh hujan?"
Aku, aku yang merasa nyaman dalam derai ingatan. 

kita pergi ke hutan,
di sana masih ada manjamu, 
tersimpan dalam ranting-ranting waktu   

gelisahku membunuh sepi
ketika ilalang bergoyang menggerakan serat-serat hati
seperti rasa yang pernah kita alami

Karawang, 30 Desember 2015  




Selamat ulang tahun,
yang fana itu usia, kamu abadi



Minggu, 13 Desember 2015

Kenangan dan Doa untuk Bapak



Saya berjanji pada diri saya sendiri untuk bersedih, menangis dan berduka sekedarnya atas kematian bapak dan selanjutnya kembali bahagia karena bisa mengenang segala kebaikan beliau kepada saya dan keluarga.

Kematian orang yang terdekat, secara tiba-tiba, tidak pernah mudah, karena tidak ada orang yang benar-benar siap ditinggal orang yang dicintai. Urusan terbesarnya ada pada yang ditinggalkan, karena tiba-tiba kami dihajar kenangan, teringat banyak hal yang belum tuntas dilakukan untuk membahagiakan beliau, banyak kesalahan yang belum sempat dimintai maaf, dan segala macam penyesalan yang selalu datang terlambat.

Sejak di pesantren saya tahu sebuah ungkapan, “Cukuplah kematian menjadi nasehat dan pemberi pelajaran.” Maka sekarang saya memilih untuk mengingat kebaikan beliau.

Sebagai manusia beliau tidak sempurna, namun untuk saya beliau adalah bapak yang sempurna dalam ketidaksempurnaannya. Bapak hampir bisa mengerjakan segala hal. Menjahit, membuat kandang ayam, membuat kandang kambing, membuat kandang burung serta perangkap burung, membuat layang-layang, membuat lemari, membuat rak buku, memasang lantai rumah, memperbaiki atap, mendongeng, menggambar, menulis indah, berpidato, membuat radio transistor, menginstalasi listrik, dan lain-lain.

Bapak tidak mewarisi banyak harta benda, tapi hal tak terhingga yang tidak bisa diukur dengan uang.

Bapak mengajarkan kami anak-anaknya banyak hal; salat, membaca Quran (bahkan beberapa adik saya, sampai lancar membaca Quran, tidak mengaji di tempat lain selain bersama beliau), membuat ketupat, menambal ban, membuat pagar, naik sepeda dan macam-macam. Ringkasnya, beliau adalah Madrasah pertama bagi kami.

Saya kenal Gamelan Kiyai Kanjeng dan musikalisasi puisi Emha Ainun Nadjib dari beliau, lagu-lagu dangdut, Melayu, soundtrack filem Flashdance, Queen, Rhoma Irama, Mus Mulyadi, Diana Yusuf, juga Nasida Ria.

Saya belajar menyukai sastra terutama puisi dari beliau. Saya suka membaca catatan bapak, mulai dari puisi, unek-unek, catatan harian, bunga tidur, gagasan dari tahun 1976 s/d 2013. Saya tahu, beliau lebih suka mengungkapkan perasaan hatinya melalui tulisan. Untuk beliau, menulis menjadi katarsis yang melegakan.







Bapak mengijinkan saya masuk pesantren. Membebaskan keinginan saya untuk menjadi apa yang saya mau. Ketika saya lulus Aliyah, beliau yang meyuruh saya untuk meneruskan kuliah, walaupun akhirnya di tengah jalan Drop Out. 

Hubungan seorang ayah dengan anak laki-laki memang tidak bisa digambarkan dengan terang, karena beliau lebih banyak mencontohkan melalui perbuatan daripada perkataan. Dari bapak saya belajar tentang pantang menyerah dan berusaha, maka dengan mental yang beliau tanamkan saya bisa meneruskan kuliah kembali sampai lulus. Beliau selalu mendukung saya sampai saya menikah. 

Saya merasakan perjuangan beliau untuk mencari nafkah untuk keluarga, menjadi buruh pabrik garmen, pedagang kelontong, omprengan antar kota, buruh angkut pabrik, penjahit, pembuat mabel (beliau berangkat kerja menggunakan sepeda ontel hijau, suatu hari saat melewati tanjakan di depan rumah, karena beban yang terlalu berat roda sepedanya pengok), penjual cendol, peternak ikan hias, MLM, petani getah karet, sampai menjadi petugas di Sudin Jakarta Timur. 

Sebagai seorang suami beliau banyak membantu istri. Mencuci, memasak (walaupun nggak seenak masakan ibu), menyapu, mengepel, membersihkan rumah, mengurus anak, mengantar jemput, sampai belanja di pasar atau hanya sekedar beli garam di warung dekat rumah. 






Sebagai manusia bapak mungkin punya beberapa kesalahan, tapi saya menjadi saksi bahwa beliau telah menjadi ayah yang baik bagi anak-anaknya, suami yang baik bagi istrinya, saudara yang baik bagi keluarganya, dan manusia yang baik bagi masyarakat lingkungan tinggal beliau. 

Sekali lagi, kamatian telah datang, menjadi pengingat bagi yang hidup, bahwa sebesar apapun hidup kita, hanya amal perbuatan yang dibawa ke akhirat.



Entah di alam kubur ada wifi atau nggak —kalaupun ada bapak juga nggak punya akun fb, tapi saya percaya bapak merasakan, kami, anak-anak beliau, sedang mengenang segala kebaikan hati beliau serta mendoakan kebaikan di akhirat. 

Semoga Allah, dengan segala rahmat dan kasih sayang-Nya, menyayangi, ma'afkan dan mengampuni segala dosa beliau. 

Semoga Yang Maha Pengasih dan Penyayang, meridhoi amal perbuatan baiknya di dunia, dan menjadikan amal dari perbuatan baiknya menjadi penolong, senantiasa mengalir, dan tidak meluputkan kami akan pahalanya. 

Semoga Yang Maha Pengampun, membebaskannya dari siksa kubur dan neraka, melapangkan kubur, dan menjadikan kuburnya menjadi taman surga. 

Ya Allah, dengan Rahmat-Mu, dan hanya dengan itu, masukanlah beliau ke dalam surga. 

--------------------------------------------------------------------
Kepada para pembaca yang pernah berinteraksi dengan beliau, atau tolong bisa meneruskan pesan ini kepada yang pernah berinteraksi dengan beliau, jika bapak punya salah ketika bergaul, baik dalam perkataan atau perbuatan, yang disengaja ataupun tidak, saya sebagai anak beliau memohon maaf yang sebesar-besarnya. Jika ada masalah hutang piutang yang harus beliau lunasi, silahkan menghubungi kami anak-anak belaiu, Nailal Fahmi, Fikri Adif (Vicry Betawie), Tis’ah Maulida (Tis'ah Zeronine), Diyah Khoirunnisa, dan Ahmad Fatwa Adil 
Ini malam ke tujuh kepergian Bapak Haji Abdul Wahab Abdi bin Mualif, mohon keikhlasannya untuk mengirimkan Al Fatihah untuk beliau. Alfatihah... 

Rabu, 18 November 2015

Begini Rasanya Punya Anak

Setiap ayah mungkin pernah mengalami ini. Ketika pulang kerja dengan perasaan sangat capek kemudian disambut riang oleh anaknya di depan pintu, seketika lelahnya menguap.

Pagi itu, sudah dua hari saya nggak bertemu kedua putri saya, Nada 5 dan Safa 3. Mereka berdua menyambut dengan senyum paling cantik yang mereka punya. Salah satu dari mereka minta digendong. Di saat yang sama, salah satu dari mereka mau ditemani bermain puzzle. Keduanya nggak mau ngalah. Saya sedang menggendong Safa ketika Nada merengek minta ditemani bermain. Ia terus merengek, dan untuk mengakhiri rengekannya saya menjawab, “Gantian ya kak. Tangan bapak kan cuma duabelas.”

Nada seperti memahami sinisme dan berhenti merengek.

Istri saya meminta mereka nggak mengganggu saya, karena setelah sarapan bapak harus tidur, kasian capek abis kerja, begitu katanya. Kedua anak saya seperti mengerti, tapi saya tetap membiarkan mereka bermain bersama saya.

Setelah puas mengerjai saya dengan berbagai macam permainan yang mereka minta mainkan bersama, saya mandi dan bergegas tidur. Safa minta ikut menemani saya tidur dan ingin dibacakan dongeng, tapi setelah dongeng selesai diceritakan, dia malah pergi, nggak jadi tidur. Modus standar wanita.

Ada-ada saja hal menarik yang bisa diceritakan ketika berinteraksi dengan anak-anak. Bahkan hal yang nggak pernah saya pikirkan sebelumnya. Pernah suatu ketika Safa bertanya, “Kok dedek baik, pak?”

Dia bertanya kenapa dia baik. Apakah ini pertanyaan tentang mengapa dia harus berbuat baik atau mengapa perbuatan dia bisa disebut baik, saya nggak terlalu paham. Tapi kedua kemungkinan pertanyaan itu menurut saya juga nggak ada yang lebih mudah untuk dijawab. Karena pertanyaan tentang bagaimana satu perbuatan bisa disebut baik atau mengapa orang harus menjadi baik adalah pertanyaan yang seharusnya ditanyakan ke Dalai Lama.

Pernah juga ia bermain telpon-telponan, dan memulai untuk berpura-pura menghubungi seseorang dengan kata-kata yang mengingatkan saya kepada Cak Lontong, “Hallo orang lain?”

Pada waktu yang lain, ketika di dalam mobil, sepupu yang seumur dengannya, bertanya, “Eh Safa, ada polisi tuh,”

“Mana?” jawab Safa antusias.

“Itu,” Bee sepupunya menunjuk ke luar jendela.

“Oh iya,” kata Safa, “ada polisi, ayo kita merem!”

Masih di mobil yang sama, dalam perjalanan ke Bandung itu, Bee bilang, “Eh Safa, ada mobil tuh,”

“Mana?”

“Itu,” Bee menunjuk ke luar jendela.

“Oh iya, ayo kita tabrak!”

Nada, kakaknya juga nggak jauh berbeda. Ia pernah bertanya, “Kakak nanti nikah sama siapa?”

Saya lupa jawaban saya waktu itu, tapi entah mengapa saya nggak terlalu khawatir, karena keresahan itu akan selalu ada di benak sebagian besar populasi wanita di muka bumi sampai hari kiamat.

Anak-anak cenderung penasaran dan banyak bertanya tentang hal-hal baru. Pertanyaan mereka juga terkadang susah dijawab. Terutama yang berkaitan dengan yang abstrak seperti kebahagiaan, keadilan atau bahkan kematian.

Pernah ketika habis pulang tahlilan, Nada bertanya, “Siapa pak yang meninggal?”

“Temen bapak.”

“Temen bapak itu siapa?”

“Ibunya teteh Wafa.” Nada diam, seperti mengingat nama yang barusan saya sebut. Ia kenal Wafa, anak kawan saya yang berbeda umur dua tahun di atasnya. Sedetik kemudian, dengan nada yang terdengar iba, ia bertanya, “Kok meninggal?”

Aduh, pertanyaan apa lagi ini. Kalau ada teman sebaya saya bertanya hal yang sama, tentu saya enteng saja menjawab, “Ya karena takdir lah, brooo!”. Tapi untuk anak usia lima tahun, jawaban “karena takdir” adalah jawaban yang akan menimbulkan pertanyaan yang akan lebih sulit dijawab.

“Karena sakit.” Saya jawab dengan sederhana.

“Kok sakit bisa meninggal?” ia lagi bertanya.

“Iya,” saya mejawab cepat. Nada memandang saya, masih menunggu jawaban yang agak panjang. Saya meneruskan, “Semua orang pasti meninggal, kak. Bisa anak kecil, anak bayi, orang muda, orang tua. Bisa kapan aja, bisa dimana saja. Bisa karena sakit atau hal yang lain.”

Nada diam, kemudian bertanya tanpa penekanan, “Kok bapak enggak meninggal?”

Enak banget jadi anak-anak, seperti punya privilege untuk bertanya tentang apa saja. Tanpa pretensi untuk menyudutkan, menghina atau merendahkan. Pertanyaan murni karena ingin tahu. Keingintahuan murni seperti itu yang sepertinya hilang dari orang dewasa. Orang dewasa cenderung take it for granted, terutama tentang persoalan-persoalan keimanan.

Saya akui selain menyenangkan, anak-anak juga kadang menjengkelkan; minum ES saat batuk, tidak membereskan mainan, melanggar janji yang mereka buat sendiri, tidak menelan makanan dalam mulut, bermain dengan air yang membuat baju yang baru diganti basah, membuat rumah berantakan, dan melakukan hal-hal lain yang kebanyakan orang tua melarang, yang sering hanya bisa dihentikan dengan teriakan atau bentakan. Padahal kalau mau dilihat secara jujur, mereka hanya menjadi diri mereka sendiri, mereka hanya sedang menjadi anak-anak.

Betapapun menjengkelkannya mereka, semua orang tua mungkin akan setuju bahwa lebih banyak hal-hal yang menyenangkan. Mereka terlalu lucu dan menggemaskan dengan segala potensi dan perbedaan masing-masing. Tidak akan ada orang tua yang tega melihat mereka menangis, bahkan melihat anaknya menangis karena suatu hal yang katanya untuk kebaikan mereka sendiri, disuntik contohnya.

Pernah suatu malam, saya menggendong Nada yang setengah tertidur, sehabis kembali dari rumah sakit. Ia pulang ke rumah dengan tiga bekas tusukan jarum suntik. Dua di tangan kanan, satu di tangan kiri. Bahkan salah satu bekas suntikan di tangan kanan, ditusukan oleh dokter dengan sangat tega. Jarum itu disuntikan di bawah kulit lengan, mungkin sedikit merobek dagingnya.

Kita akan melakukan satu tes lagi ya, Test Mantoux, kata dokter itu sebelum melakukan tindakan kejam, yang saya jawab dengan kerutan di kening. Ketika saya melihat suster menyiapkan jarum suntik, saya mulai paham apa yang akan mereka lakukan. Saya segera membujuk Nada untuk tiduran. Seraya menenangkannya saya bilang, “Sekali lagi ya, kak. Nanti bukunya bapak tambahin satu, jadi tiga.”

Belum lagi jarum menusuk lengannya, ia menangis memohon dan menolak. Saya dan Nada telah menunggu 5 jam untuk dua tes sebelumnya, Rontgen dan tes darah, agar memperoleh kepastian tentang virus sialan macam apa yang ada dalam tubuhnya. Dan untuk penungguan 5 jam itu Nada harus dihadiahi satu suntikan lagi? Menyenangkan sekali.

Saya bertanya kepada dokter, apa harus di lengan dok, gak bisa di pantat? Apa harus sekarang? Dokter menjawab iya. Ia malah meminta saya untuk membantu tindakan sadisnya, dan saya terpaksa membantu. Sesi terakhir itu diakhiri dengan tangis histeris. Padahal dua tes sebelumnya Nada lewati dengan tanpa air mata setetespun, dengan bujukan akan saya belikan Ensiklopedia jika nggak menangis ketika disuntik, ia setuju untuk diambil darah. Hanya sekali saja, sekaliii saja, kata saya pertama kali.

Tapi suster menemukan arteri yang tipis di balik siku kanannya, ia telah menusuk lengan itu dan menarik jarumnya lagi. Oh, kata saya dalam hati, suster sialan, saya harus berjanji lagi, “Satu lagi ya kak, nanti bapak beliin dua buku.” Satu lagi jarum menusuk jalan nadi di balik siku kiri, dan ia tidak menangis. Seketika saya sadar, ia adalah anak kecil yang paling berani yang pernah saya temui.

Saya nggak bisa membayangkan apa yang ada di kepala orang tua yang tega menyiksa anak-anak bahkan membunuh anak kandung sendiri. Mereka bukan saja nggak pantas jadi orang tua, tapi juga manusia. Perasaan menjadi orang tua dan manusia tidak saja datang karena kita mengurus anak yang lahir dari darah kita sendiri, hubungan orang tua dan anak bukan datang semata-mata kerena hubungan darah, tapi datang dari kesediaan dan kesadaran kita untuk membayar hutang kehidupan yang Tuhan berikan. Karena kata Gibran, anak kita bukanlah milik kita, mereka tidak berhutang apapun kepada kita, tapi berhutang kepada masa depan mereka masing-masing.

Pagi itu, lamat-lamat antara lelap dan terjaga, saya masih mendengar Nada dan Safa bermain sambil bernyanyi.

Pippo, pippo... laba-laba sasedo, labalado... antede, antede, pippo...

Dengan punya anak, saya mulai percaya bahwa seorang bisa jatuh cinta pada orang yang sama berkali-kali setiap hari, bahkan dengan intensitas yang terus membesar.

Minggu, 15 November 2015

Tentang Kebahagiaan

“Apa hal yang bisa membuat setiap orang bahagia?” suatu hari seorang cucu bertanya kepada kakeknya.

Setelah berpikir sejenak, sang kakek menjawab, “Yang membuat seseorang bahagia itu ada di dalam diri, bukan di luar.”

Si cucu agak bingung dengan jawaban itu dan kembali bertanya, “Lalu bagaimana cara menuju kebahagiaan, apa jalannya?”

Sang kakek tertawa kecil seraya menjawab, “Bahagia itu jalan, nak, bukan tujuan.” Setelah menguasai suaranya, sang kakek melanjutkan, “Baiklah nak, aku ingin bertanya serius, sebenarnya apa yang menyebabkanmu tidak bahagia?”

Orang lain.”

“Begini saja. Pergilah ke Pak Hasan, kawan kakek yang tukang sayur di pasar itu. Menurut kakek, dia adalah orang yang paling bahagia di dunia. Tanyalah tentang kebahagiaan kepadanya.”

Sang cucu datang ke rumah yang disebutkan untuk menumpang menginap, beralasan minta diajari berdagang. Ia tidak mau langsung menanyakan perihal maksud kedatanganya. Ia terlebih dahulu ingin melihat kegiatan dan aktifitas keseharian orang itu. Ia ingin tahu apa yang menyebabkan kakeknya bilang bahwa orang tua itu adalah orang yang paling bahagia di dunia.

Setelah tiga hari menginap, pemuda itu tidak menemukan kegiatan atau perilaku yang istimewa dari Pak Tua. Segala yang ia kerjakan sama seperti tukang sayur lain kerjakan. Tidak ada yang istimewa. Tidak ada yang menyebabkan ia bisa dianggap sebagai orang paling bahagia di muka bumi. Hanya saja, memang ia mudah sekali gembira, seperti hampir semua hal bisa membahagiakannya.

Di hari terakhir menginap, pemuda itu bertanya, “Apa yang membuat hidup bapak bahagia?”

“Ya seperti yang kamu lihat sekarang ini. Kehidupan inilah yang membuat saya bahagia.” Jawab Pak Tua cepat.

“Apa semua orang harus hidup seperti ini untuk bahagia?” pemuda itu terdengar makin penasaran.

Pak Tua diam sebentar, kemudian bertanya balik, “Ada apa dengan hidupmu anak muda, sehingga kamu menginginkan kehidupan orang lain?”

Pemuda itu terkesiap. Seperti terpukul dengan pertanyaan barusan. Ia sadar apa yang dimaksud Pak Tua, untuk berhenti memikirkan dan membandingkan kehidupannya dengan kehidupan orang lain. Pemuda itu hampir tidak mampu bertanya lagi.

Pak Tua meneruskan, “Dengki dengan pencapaian orang lain hanya akan menghambatmu untuk bahagia. Bahagialah dengan kebahagiaan orang lain.”






·

Kamis, 12 November 2015

Tentang Sebuah Novel yang Baru Saja Saya Tulis

Kalau saja ia bisa membunuh, sudah dua kali saya mati ditikam deadline yang saya buat sendiri.

Saya memberi deadline satu bulan, tapi ternyata novel itu rampung dalam waktu dua bulan lebih beberapa hari. Guru menulis saya pernah mengajarkan bahwa naskah yang baik sebaiknya diselesaikan dengan cepat. Jika tidak, mungkin saja naskah itu kurang baik. Sebagai orang yang baru belajar menulis, saya percaya saja dengan ajaran itu (tanpa mempertanyakan seberapa cepat itu cepat?). Nggak ada ruginya juga. Saking percayanya saya dengan ajaran menulis cepat, saya meninggalkan naskah-naskah setengah jadi yang nggak jadi-jadi.

Sebelum naskah terakhir ini ditulis, saya telah merancang beberapa tema dan jalan cerita lain untuk ditulis, tapi saya nggak pernah seyakin ketika menulis ini. Ternyata keyakinan akan cerita juga bisa membut menulis lebih cepat.

Sekarang naskah ini sudah selesai. Mari kita beri judul naskah ini Ilusi. Dan ini novel “serius” pertama saya.

Awalnya saya sempat ragu, kerena tulisan-tulisan saya sebelum ini (terutama dalam menulis cerita) menggunakan cara pandang komedi. Tapi dukungan positif dari kawan-kawan yang sudah membaca naskah awal Ilusi membuat saya yakin untuk meneruskannya. Saya bersyukur punya kawan-kawan yang bersedia, dengan sedikit paksaan di tengah kesibukan mereka mencari sesuap nasi, untuk membaca, mengoreksi, menilai dan memberikan pertimbangan terhadap Ilusi, sebelum naskah itu diajukan ke penerbit. Terimakasih untuk kawan-kawan yang telah meluangkan waktu untuk melakukannya. Penilaian kalian sangat berguna dalam merevisi dan mengedit naskah ini. Nama kalian akan saya abadikan (kata abadi ini terdengar puitis sekali kawan-kawan) di halaman terimakasih, selain juga dapat satu eksempar gratis nanti setelah terbit. Bayaran yang sesuai kan? :)

Walaupun begitu, bukan berarti saya akan berhenti menulis komedi. Saya ingin membuat pembatasan untuk menulis komedi pada pengalaman hidup saya saja. Untuk cerita fiksi, saya memilih untuk bercerita secara “serius” (sudah dua kali saya menulis kata itu dalam kutip, karena tidak menemukan kata lain yang pas), karena mungkin memang pengaruh kebanyakan referensi yang saya baca.

Ada tiga hal yang memicu saya untuk menulis novel ini; Norwegian Woods, cerita pribadi seorang kawan dan status sebuah facebook. Ironis, karena ketika menulis —ada semacam ritual yang biasa saya lakukan ketika sedang berkutat dengan naskah baru— saya menonaktifkan facebook yang menjadi salah satu sumber inspirasi itu.

Memang berbeda penulis berbeda juga cara dan waktu yang nyaman untuk menulis. Baru akhir-akhir ini saya memahami bahwa saya lebih nyaman menulis ketika tidak ada gangguan dari manapun, baik suara ataupun kegiatan lain. Saya lebih nyaman dan akan lebih banyak menulis jika tidak disambi dengan pekerjaan lain atau bersamaan dengan melakukan kegiatan lain. Saya lebih nyaman menulis dalam kondisi hening tanpa gangguan. Pada beberapa keadaan, sambil mendengarkan lagu-lagu santai. Intinya saya butuh fokus ketika menulis, untuk menjadikan menulis menjadi lebih mudah dan nyaman.

Bukan berarti saya tidak bisa menulis jika tidak ada kondisi tersebut. Bahkan pada kenyataannya, saya lebih sering menulis di tengah-tengah kegiatan lain. Sering sekali saya menulis di depan komputer kantor, ketika semua kerjaan kantor selesai, atau bahkan sambil mengerjakannya. Namun sekali lagi, saya lebih nyaman menulis ketika tidak ada gangguan dari manapun.

Beberapa penulis punya kondisi kenyamanan menulis masing-masing. Haruki Murakami menulis pada pagi hari, setelah selesai berlari, tanpa gangguan. Penulis sehat, istilah saya. Ada juga penulis yang lancar dan hidup gairah menulisnya sehabis bangun tidur, antara pukul 8 sampai 10 pagi. Ada juga yang nyaman menulis waktu tengah malam, ketika orang-orang kebanyakan telah terlelap, ditemani lantunan musik klasik. Dan macam-macam. Tidak ada yang lebih benar antara metode kenyamanan satu penulis dengan penulis yang lain. Semua itu adalah selera yang tidak bisa diukur dengan benar atau salah.

Ada juga penulis yang bisa memulai ceritanya jika ia telah menemukan Karakter yang kuat, ada juga dengan Alur yang solid, ada juga dimulai dengan Seting Waktu atau Tempat, ada juga yang memulai dari Moral of Story yang ingin disampaikan, ada juga yang menggabungkan elemen-elemen tersebut. Sekali lagi, tidak ada yang lebih benar antara metode kenyamanan satu penulis dengan penulis yang lain untuk memulai cerita mereka. Semua itu adalah selera yang tidak bisa diukur dengan benar atau salah. Ya saya ingat, sudah dua kali saya menuliskannya.

Jika diminta tiga kata untuk menggambarkan novel ini, saya akan meneyebut: kehilangan, schizophrenia, dan —yes, absolutely— cinta.

Ide cerita ini berawal dari pengalaman saya bertemu bahkan pernah dipukul botol air mineral kosong oleh orang gila di pasar. Bukan, bukan saya menceritakan pengalaman setengah lucu campur bikin gondok itu ke dalam novel ini. Pengalaman bertemu dengan beberapa orang gila di pinggir jalan bahkan tidak jauh dari rumah, membuat saya berpikir dan bertanya-tanya. Apa latar belakang pendidikan mereka? Darimana Mereka? Mengapa mereka bisa hidup menggelandang di jalan? Apa penyebab kegilaan mereka? Apa mereka punya keluarga? Kemana keluarganya? Apa mereka punya anak istri? Bagaimana mereka makan? Bagaimana kalau sakit? Kehujanan?

Kegelisahan itu akhirnya tertuang dalam novel ini. Di Indonesia, saya belum pernah membaca novel dengan latar belakang karakter utama skizophrenik. Itu murni kesalahan saya karena kuper. Ketika mencari di google, saya hanya menemukan tidak lebih dari lima novel (termasuk memoar) dengan latar belakang schizophrenia. Jadi menurut saya novel ini bisa menjadi salah satu sumber bacaan agar lebih banyak orang yang mengerti penyakit mental tersebut dan semakin bisa berempati pada si penderita. Masih banyak kasus pemasungan di Indonesia adalah bukti bahwa banyak orang yang kurang mengerti tentang penyakit ini. Lebih dari itu, novel ini mencoba menjawab pertanyaan besar; apakah terlalu sayang kepada seseorang bisa membuatmu gila?

Terimakasih telah membaca. Mudah-mudahan, setelah proses editing dan revisi yang tidak begitu lama, Ilusi cepat mendapat penerbit.

Your ameen is welcome! :)

Senin, 27 Juli 2015

Kisah Seorang Pemuda yang Membaca The Alchemist

Tahun 2007. Pada kursi panjang di ruangan itu, seorang anak muda berpakaian rapih duduk menunggu acara dimulai. AC meruapkan bau pewangi ke seluruh ruangan. Sementara di luar, matahari pagi di musim panas yang selalu tepat waktu, bersinar jumawa. Pemuda itu menjadi salah satu peserta yang paling awal tiba. Suasana masih sepi. Baru beberapa menit kemudian, beberapa orang datang memenuhi ruangan. Beberapa orang lewat di depan pemuda itu tanpa menegur. Beberapa orang hanya melempar senyum.

Dua puluh menit kemudian acara dimulai. Dalam acara, ia bertemu dengan seorang wanita yang kelak menjadi istrinya. Itu adalah pertemuan pertama mereka. Wanita itu menjadi salah satu pengisi acara. Ia pintar dan mandiri, itu kesan pertama pemuda itu. Semakin lama mengenalnya lebih dekat, setiap orang akan setuju bahwa ia memiliki segala hal untuk menjadi seorang wanita yang sempurna.

Bertahun-tahun kemudian, pemuda itu berpikir bahwa bagaimana dua orang yang awalnya tidak saling kenal bertemu adalah sebuah rahasia semesta. Bagaimana dua orang itu kemudian menjalin persahabatan sampai akhirnya menikah juga merupakan jalan yang misterius. Mungkin jika mereka tidak ikut acara tersebut, mereka tidak akan bertemu. Namun mungkin juga mereka bisa bertemu di tempat dan waktu yang lain, seperti memang jalannya sudah begitu. Pemuda itu mengenal hal tersebut dengan istilah maktub.

Hari bergerak maju, sampai suatu waktu, mereka menjadi rekan kerja yang sangat akrab. Menjadi kawan dekat. Suatu hari, ketika pemuda itu ulang tahun, ia dihadiahi sebuah buku yang selalu ia bicarakan dengan si wanita, The Alchemist.

Buku itu bercerita tentang sesuatu yang sederhana.Tentang Santiago, seorang pengembala domba yang ingin membuktikan mimpinya. Suatu hari, ketika sedang tidur pada sebuah gereja yang terbengkalai —dengan atap yang sudah runtuh dan sebatang pohon sycamore yang sangat besar tumbuh di empat sakristi pernah berdiri— ia bermimpi tentang harta karun di sebuah negeri yang jauh, negeri piramida-piramida. Setelah melawati berbagai macam rintangan dan keraguan, akhirnya ia sampai di tempat yang sangat ia kenal dalam mimpinya. Namun sebelum ia sempat menggali harta karun itu, ia bertemu perampok. Sang perampok bertanya dari mana Anak itu berasal dan apa tujuannya datang ke tempat itu. Karena takut dibunuh, Anak itu menjawab jujur bahwa ia pernah bermimpi tentang harta karun di bawah sebuah piramida dan ia datang untuk membuktikan mimpi tersebut. Tak disangka perampok tersebut tertawa. Perampok itu mengatakan betapa bodohnya Anak itu percaya dengan mimpi. Perampok itu mengatakan bahwa dulu ia juga pernah bermimpi tentang harta karun yang ada pada sebuah gereja yang terbengkalai —dengan atap yang sudah runtuh dan sebatang pohon sycamore yang sangat besar tumbuh di tempat sakristi pernah berdiri, pada sebuah negeri dimana rumput tumbuh subur dan para gembala mengembalakan domba mereka. Sang perampok tidak jadi membunuh Anak itu, dan Anak itu kembali ke tempatnya berasal. Di sana, ia menemukan harta karunnya.

Pemuda itu telah membaca The Alchemist bertahun-tahun sebelum ia bertemu dengan wanitanya, namun buku hadiah itu begitu istimewa karena diberikan pada hari ulang tahunnya disertai doa yang paling tulus yang pernah ia dapat.

Begitulah hubungan mereka terjalin dengan wajar. Obrolan yang asik, diskusi yang sengit, beserta beberapa keinginan dan tujuan yang saling bersinggungan. Sampai akhirnya, mereka tiba pada pengakuan diam-diam, penuh debar, penuh kegugupan.

Ingatan sungguh aneh, seketika ia bisa menghangatkan hati, di sisi lain, ia juga bisa mencabiknya menjadi bagian-bagian kecil. Seperti elang yang tiba-tiba menancapkan cakar yang dalam pada diri manusia yang sering terlalu cepat bergegas.

Pemuda itu ingat, suatu pagi setelah bangun tidur, sekonyong-konyong ia tertancap pada sebuah kalimat dalam The Alchemist: “Remember that wherever your heart is, there you will find your treasure.”

Dan yang terlintas dikepalanya adalah segera melamar wanitanya.

Sebelum pagi yang mencerahka itu, ia telah membaca kalimat tersebut beberapa kali, namun belum pernah menjadi begitu menyentuh. Ia tidak peduli tentang enam tahun selisih usia dengan wanitanya. Kini hatinya telah memilih.

Ayah pemuda itu berbisik kepadanya sebelum pernikahan, “Jangan terlalu khawatir terhadap penilaian orang lain. Kamu tidak bertanggung jawab atas apa yang mereka pikirkan, tapi apa yang kamu kerjakan. Jalanilah apa yang telah mantap kau putuskan.”

Ah, mencerahkan sekali kalimatnya, pikir pemuda itu dalam hati. Ia curiga ayahnya juga membaca The Alchemist, “If someone isn't what others want them to be, the others become angry. Everyone seems to have a clear idea of how other people should lead their lives, but none about his or her own.”

Pemuda itu siap. Menikah adalah tentang kesiapan mental yang di dalamnya terdapat kerelaan untuk berkorban. Sebagaimana hal-hal lain di dunia, dalam pernikahan juga ada permasalahan. Setiap pasangan akan menghadapi segala persoalan yang mungkin belum pernah mereka hadapi sebelumnya. Mengatakan menikah selalu menyenangkan adalah hal yang tidak seimbang. Lagipula, hukum menikah, menurut kesepakatan fuqoha, juga berbeda antara satu orang dan orang lain, mulai dari wajib bahkan sampai haram. Jadi menikah atau tidak adalah perkara yang tidak selalu mudah, dan tidak adil menanyakan orang lain, apalagi yang tidak dikenal baik, dengan pertanyaan, “Kapan nikah?” karena menikah memang tidak wajib bagi semua orang.

Pemuda itu sadar. Ia mengerti bahwa dengan menikah ia akan menghadapi dua keaadaan. Makin berkembang atau makin stagnan dan beku. Pernikahan dapat membunuh segala potensinya. Dihentikan oleh istri dan anak-anak, dikhawatirkan oleh soal-soal rumah tangga dan dikalahkan oleh keselamatan keluarga. Ia sadar, setelah hari itu, akan ada banyak hal yang mungkin akan ia tinggalkan seiring dengan banyak hal lain yang akan dilakukan. Ia akan jarang punya waktu untuk sekedar mengunjungi kawan-kawan lama.

Ia siap dengan mental dan sadar akan masalah dan resiko. Namun kesiapan dan kesadaran saja tidak selalu cukup untuk mengalahkan kekhilafan. Suatu hari, ketika pemuda itu berselisih paham dengan wanitanya, ia curhat kepada seorang kawan. Orang bilang, pria tua di persimpangan jalan itu adalah Mikhail; artinya pemberi sejuk bagi hati-hati yang haus. Ia selalu bisa mendengar keluh kesah dan cerita apa saja, dari siapa saja. Orang-orang yang bercerita selalu senang. Ia hanya bicara seperlunya, sesekali berpendapat dan bertanya, selebihnya menyimak makna.

“Bagaimana kabar kedua putrimu?” pria tua memulai berbasa-basi, tidak lama setelah pemuda itu duduk di sampingnya.
“Mereka baik.” Pemuda itu menjawab cepat.
“Setelah mereka dititipkan kepadamu, apa yang kau rasakan?”
“Aku seperti punya dua jantung tambahan yang berdetak bersamaan dalam dadaku.”
“Menyenangkan?”
“Menyenangkan juga mengkhawatirkan.” Pemuda itu berhenti sebentar, mencari kata-kata yang tepat, “Aku merasa punya semangat ganda, seperti mampu berlari tiga kali marathon, tapi di sisi lain aku tahu bahwa satu waktu jantung akan berhenti berdetak, karena mereka hanya titipan.”

Persimpangan jalan itu tidak ramai, tidak juga sepi. Pada sebuah taman penuh pohon rindang tidak jauh dari persimpangan itu mereka duduk pada sebuah balai-balai bambu.

“Aku butuh menjadi Professor Xavier.” Ujar pemuda itu kepada si pria tua setelah hening yang lama.
“Tidak Wolverine?”
“Ia tidak bisa membaca mbakyuku.” Pemuda itu seperti menemukan emosinya, “Aku kudu memahami apa yang tidak ia katakan. Ia senang mengatakan yang bukan ia maksudkan.”
“Tidak ada yang lebih buruk dari itu,”
“Apa yang anda bisa sarankan untukku?” pemuda itu mengharap.
“Hatinya sebentuk daun kering, dalam dunia sendiri yang terasing.” Pria tua berkomentar, tapi terdengar seperti berpuisi, “Kamu harus telah selesai dengan hidupmu ketika memutuskan menikah.”

Pemuda itu pulang dengan kepala berat. Kata-kata pria tua itu menghujam berakar bercabang dalam dirinya. Setelah menikah seharusnya ia tidak bersikap mau menang sendiri. Seharusnya ia telah selesai dengan urusan sepele itu. Terkadang dia berpikir bahwa dia memang sesekali menjadi begitu brengsek.

Ia sering menganggap istrinya boros, tidak punya management waktu yang baik dan terlalu menyulitkan diri dengan hal-hal remeh. Sementara, sebagai suami, pemuda itu sering lupa bahwa ia juga tidak sempurna; sering berprasangka, kurang komunikasi, tidak mendengarkan, cuek, keras kepala, jorok, dan mengkritik istri di depan anak-anak.

Sekarang ia mengerti tentang saran dari kawan yang memintanya untuk selesai dengan diri sendiri, yaitu tentang mengurangi keegoisan dan menjalin komunikasi yang baik. Ia ingat sebuah dialog pada The Zahir, ketika Esther memberikan penjelasan kenapa ia senang meliput perang.

“Aku tidak tahu, tapi dengan pergi ke sana aku bisa melihat bahwa, seaneh apa pun kedengarannya, orang merasa bahagia waktu mereka dalam perang. Bagi mereka, dunia ini punya arti. Seperti kukatakan tadi, kekuatan pengorbanan mereka demi suatu tujuan mulia memberi arti bagi hidup mereka. Mereka mampu memberikan cinta yang tak terbatas, karena mereka tidak bisa kehilangan apa pun lagi, tidak ada lagi yang tersisa. Prajurit yang menderita luka fatal tidak pernah minta pada tim medis, ‘Tolong selamatkan aku!’ Kata-kata terakhir mereka biasanya, ‘Katakan pada istri dan anak-anakku, aku sayang pada mereka.’ Pada saat-saat terakhir mereka, mereka bicara tentang cinta!”

Begitulah seharusnya orang yang telah selesai dengan dirinya. Sesekali pemuda itu membayangkan berbicara kepada tim medis, “Katakan pada istri dan anak-anakku, mereka adalah kenangan terbaik di dunia.”

Ia terus belajar untuk menjadi ideal. Tidak bisa menjadi sempurnya memang, namun berusaha untuk memperbaiki segala kekurangan, juga kembali bangkit setelah kegagalan. Walaupun terkadang, ia merasa begitu dungu dengan kerap melakukan kesalahan yang berulang. Beruntung istrinya bisa memahami dan memaafkan kebodohannya.

Beberapa tahun setelah menikah, kehawatiran-kehawatiran yang pemuda itu risaukan tentang potensinya tidak terjadi, berganti dengan hal-hal yang tidak pernah ia duga. Ia terus berkembang dan mungkin akan terus berkembang. Seperti Jane Hawking dalam The Theory of Everything, wanitanya membantu pemuda itu menjadi jauh lebih hebat. Menyelesaikan kuliah, menulis beberapa buku dan membuka setiap kemampuan mengagumkan yang dimilikinya. Ya, tidak perlu Mario Teguh untuk tahu bahwa behind every great man there's a great woman.

Pemuda itu tidak pernah ragu dengan pilihan hati yang ia ambil bertahun-tahun yang lalu sampai sekarang —karena “You will never be able to escape from your heart. So it's better to listen to what it has to say.”— dan ingin terus menjalani setiap momen hidupnya dengan tanpa penyesalan. Hidup mengajarkan semua orang bahwa segalanya adalah tentang momen. Kehidupan selalu bergerak maju, sesaat saja momen terlewat, bahkan satu detik saja terlewat, ia tidak bisa diulang. Ia tidak seperti acara TV yang jika kamu terlewat menyaksikannya, kamu bisa melihatnya di youtube. Hidup juga mengajarkan bahwa momen yang nyata adalah sekarang. Tentang betapa berharganya momen, lebih tepat kamu menanyakannya kepada orang yang sedang sekarat.


Pemuda itu menginginkan momen-momen itu. Setahun terakhir ini ia menikmati momen beranjak dewasa bersama wanitanya, mengukir kenangan-kenangan manis bersama anak-anak, menikmati masa kecil mereka yang akan berlalu sangat cepat. Kepolosan dan kekanak-kanakan mereka yang tidak akanlama, yang akan segera menjadi kenangan. Ia ingin merawat kenangan baik itu dalam ingatannya. Karena suatu hari nanti, sebagian kita hanya akan jadi ingatan bagi sebagian yang lain, dan dalam semua kenangan itu kita hidup.


Selasa, 17 Maret 2015

Percakapan Pemuda dan Pak Haji Sehabis Salat Maghrib

Di dalam sebuah surau, setelah selasai wirid, pemuda itu bertanya kepada Pak Haji, “Aku selalu gagal dalam banyak hal.” Katanya memulai, “Ketika mau menikah dengan wanita yang aku mau, aku gagal. Ketika aku ingin sukses menjalankan bisnis, aku gagal. Bahkan aku gagal untuk hal yang sangat remeh seperti memasak nasi di rice cooker.”

Pak Haji tersenyum sambail manggut-manggut, “Kamu itu punya kelebihan.”

Pemuda itu bingung, “Maksud Pak Haji? Bagaimana selalu gagal bisa menjadi kelebihan?”

“Ya begitulah. Satu hal yang mungkin kamu butuhkan; melihatnya dari perspektif yang berbeda.” Pak Haji mengelus-elus jenggotnya, “Kamu bilang kamu selalu gagal dalam segala hal kan?”

“Iya.” Pemuda itu yakin.

“Segala hal?”

“Hampir semua hal.”

“Kalau begitu, berusahalah untuk gagal.”

Pemuda itu mengernyitkan alis makin tidak mengerti. Pak Haji seperti bisa memahami, kemudian mengulang, “Ya, lihatlah dari pandangan yang baru. Kalau kamu berusaha untuk sukses tapi gagal, cobalah berusaha untuk gagal,” Pak Haji diam sejenak, sambil kembali mengelus-elus jenggot ia melanjutkan, “Kalau kamu bilang kamu selalu gagal, berarti kamu pun akan gagal ketika berusaha untuk gagal, jadi kamu akan sukses.”

Jumat, 13 Maret 2015

Anak-anak, Sekolah dan Sikap Belajar

“Education is what remains after one has forgotten everything he learned in school.” - Albert Einstein

“If you want your children to be intelligent, read them fairy tales. If you want them to be more intelligent, read them more fairy tales.” - Albert Einstein


Waktu kecil saya adalah anak yang suka membangkang, sisa-sisanya mungkin masih terlihat sampai sekarang. Tentu pembangkangan itu tidak selalu terkatakan, kebanyakan terpendam dalam hati. Di dalam hati, saya bisa membangkang dengan bebas. Menurut saya waktu itu, orang dewasa angkuh karena suka memaksakan kehendak.

Maka ketika punya anak, saya sudah menyiapkan mental untuk menghadapi pembangkangan mereka. Menurut saya, punya anak itu perlu pemikiran sejauh 50 tahun ke depan. Karena memiliki anak ketika seorang belum siap mental dan material adalah tindakan yang sadis. Saya merasa sudah siap dengan segala hal tentang mereka, termasuk jika mereka suka membangkang seperti bapaknya dulu. Like father like son, heh?

Pembangkangan yang masih saya ingat sampai sekarang adalah ketika saya menolak untuk suka Matematika. Tidak membangkang dengan kata-kata memang, tapi dengan perbuatan. Itu terjadi waktu MI, waktu guru saya menyuruh menghapalkan perkalian sampai seratus. Ketika hari pengujian datang, saya berpura-pura sakit dan membolos. Oh, sejak kecil kemampuan numerik saya memang dangkal, bahkan sampai kelas 3 MI saya tidak bisa berhitung sampai seratus.

Menurut saya pembelajaran lebih butuh kesesuaian dan implementasi. Jadi jangan ajarkan anak membaca, tapi kenalkan dan tumbuhkan kecintaan kepada buku-buku cerita yang perlu ia baca sendiri. Jangan ajarkan mereka berhitung, tapi tunjukan kepada mereka pentingnya tahu harga sebuah mainan. Dengan begitu mereka termotifasi. Mereka butuh motifasi dan dorongan, bukan paksaan. Dengan mendekatkan kegunaan membaca dan berhitung, mereka akan termotifasi, dan terbangkitkan kesenangan dan keinginannya. Apa yang bisa mengalahkan keinginan anak-anak jika mereka ingin? Bahkan keinginan, passion dan energi mereka sulit dibayangkan orang dewasa.

Anak kecil (terutama usia PAUD, 0-6 tahun) adalah pembelajar sejati. Mereka belajar dari kesalahan dan pengalaman. Mereka tidak pernah takut salah, selalu ingin tahu dan mencoba. Bagi mereka segala hal yang baru itu menarik dan memancing keingintahuan.

Menyuruh anak-anak itu belajar adalah dengan menyuruh mereka bermain. Dengan bermain mereka belajar olah raga, storytelling, berhitung, mengenal warna, membaca, berbicara, drama, menyusun tak tik, jujur dan lain-lain. Tapi mereka juga rentan intimidasi, tidak suka direndahkan, benci dibanding-bandingkan, dan lain-lain. Mereka cenderung ingin dihargai dan didengarkan. Mereka juga peniru yang mahir. Mereka mencontoh apa yang ada di sekeliling mereka. Jadi menyuruh anak-anak salat adalah hal yang sia-sia, jika mereka tidak menemukan contoh dan teladan. Begitu yang saya pahami dulu, yang akhirnya mendapat justifikasi ketika saya kuliah dan mengenal teknik-teknik pengajaran.

Sampai sekarang, saya masih tidak suka Matematika. Saya tidak menyalahkan sekolah atau guru saya, tapi juga tidak menyalahkan diri saya sendiri. Bahkan waktu kelas dua Aliyah, ketika saya mendapat angka 5 untuk nilai Matematika di rapot, saya masih bersikap biasa saja dan tidak marah kepada siapapun.

Pada dasarnya saya tidak benci berhitung, selama saya merasa itu berguna untuk saya. Sewaktu Aliyah, saya senang dengan mata pelajaran Falak (Astronomi) dan selalu mendapat nilai bagus. Saya senang menghitung lamanya siang dan malam, menghitung awal pergantian bulan juga kapan terjadi gerhana. Selama saya mendapat nilai bagus dalam pelajaran-pelajaran yang saya suka, saya cenderung mengabaikan nilai-nilai buruk pada belajaran yang tidak saya suka. Buat saya, itu adalah hal yang wajar dan fair saja.

Hari ini saya kembali memikirkan sikap itu, juga inti dari sikap belajar. Terimakasih untuk ibu-bapak yang sangat terbuka dengan sikap saya waktu itu.


Kamis, 26 Februari 2015

Desain Sampul Terbaik - ISLAMIC BOOK AWARD 2015

"I don't believe in the kind of magic in my books. But I do believe something very magical can happen when you read a good book." — J.K. Rowling


Hari ini saya mengucapkan selamat kepada buku Di Bawah Bendera Sarung yang memenangkan Desain Sampul Terbaik dalam ISLAMIC BOOK AWARD 2015. Selamat kepada desainer sampulnya Kang Agung Wulandana, Mbak Dyah Agustine sebagai editor dan Mizan Pustaka sebagai penerbit.




Bagi yang belum baca buku ini, berikut beberapa review:


Di Bawah Bendera Sarung

by 
really liked it 4.00  ·   Rating Details  ·  7 Ratings  ·  2 Reviews
"Saudara-saudara sekalian yang terhormat," kata menteri yang katanya sering puasa Senin-Kamis itu memulai sambutan.

"Meskipun Bapak-bapak Kiai yang ada di sini tahajud siang-malam, belum tentu lebih mulia dari seorang yang mengerti teknologi," lanjutnya berapi-api.

Mendengar sambutan itu banyak dari kiai yang tersinggung, tapi nggak mungkin langsung mendebatnya. Menit berikutnya, para kiai satu demi satu meninggalkan ruangan. Para santri beranggapan bahwa para kiai mungkin tersinggung karena pak menteri melecehkan keberadaan mereka di mata para santrinya. Tapi, ternyata bukan. Di luar ruangan, seorang kiai berkomentar tentang sambutan sang menteri, "Mana ada tahajud siang-malam."




Apa jadinya jika seorang jebolan pesantren menuliskan pengalaman hidupnya sebagai santri dengan sudut pandang humor?
 (less)
Paperback134 pages
Published September 2014 by Pastel

COMMUNITY REVIEWS

(showing 1-10 of 10)
Vivi
Dec 27, 2014Vivi rated it really liked it
Shelves: indonesia
kocak dan lucu. sayangnya ceritanya kurang banyak. :p.
Apriastiana Dian
Dec 12, 2015Apriastiana Dian rated it really liked it
Tadinya ngira kalau buku ini murni nyeritain kehidupan di pesantren, tapi ternyata cuma di beberapa bab aja. Plusnya dari buku ini mungkin dari humor Islami yang disuguhkan.
Nida Fadilah
Nida Fadilahmarked it as to-read
May 06, 2015
Ali
Alirated it really liked it
Mar 22, 2015
Ananda
Anandarated it really liked it
Jan 09, 2015
Ipink
Ipinkrated it it was amazing
Nov 06, 2014
Nailal Fahmi
Sep 24, 2014Nailal Fahmi rated it really liked it  ·  (Review from the author)
Dyah
Dyahrated it liked it
Jul 13, 2015