Rabu, 18 November 2015

Begini Rasanya Punya Anak

Setiap ayah mungkin pernah mengalami ini. Ketika pulang kerja dengan perasaan sangat capek kemudian disambut riang oleh anaknya di depan pintu, seketika lelahnya menguap.

Pagi itu, sudah dua hari saya nggak bertemu kedua putri saya, Nada 5 dan Safa 3. Mereka berdua menyambut dengan senyum paling cantik yang mereka punya. Salah satu dari mereka minta digendong. Di saat yang sama, salah satu dari mereka mau ditemani bermain puzzle. Keduanya nggak mau ngalah. Saya sedang menggendong Safa ketika Nada merengek minta ditemani bermain. Ia terus merengek, dan untuk mengakhiri rengekannya saya menjawab, “Gantian ya kak. Tangan bapak kan cuma duabelas.”

Nada seperti memahami sinisme dan berhenti merengek.

Istri saya meminta mereka nggak mengganggu saya, karena setelah sarapan bapak harus tidur, kasian capek abis kerja, begitu katanya. Kedua anak saya seperti mengerti, tapi saya tetap membiarkan mereka bermain bersama saya.

Setelah puas mengerjai saya dengan berbagai macam permainan yang mereka minta mainkan bersama, saya mandi dan bergegas tidur. Safa minta ikut menemani saya tidur dan ingin dibacakan dongeng, tapi setelah dongeng selesai diceritakan, dia malah pergi, nggak jadi tidur. Modus standar wanita.

Ada-ada saja hal menarik yang bisa diceritakan ketika berinteraksi dengan anak-anak. Bahkan hal yang nggak pernah saya pikirkan sebelumnya. Pernah suatu ketika Safa bertanya, “Kok dedek baik, pak?”

Dia bertanya kenapa dia baik. Apakah ini pertanyaan tentang mengapa dia harus berbuat baik atau mengapa perbuatan dia bisa disebut baik, saya nggak terlalu paham. Tapi kedua kemungkinan pertanyaan itu menurut saya juga nggak ada yang lebih mudah untuk dijawab. Karena pertanyaan tentang bagaimana satu perbuatan bisa disebut baik atau mengapa orang harus menjadi baik adalah pertanyaan yang seharusnya ditanyakan ke Dalai Lama.

Pernah juga ia bermain telpon-telponan, dan memulai untuk berpura-pura menghubungi seseorang dengan kata-kata yang mengingatkan saya kepada Cak Lontong, “Hallo orang lain?”

Pada waktu yang lain, ketika di dalam mobil, sepupu yang seumur dengannya, bertanya, “Eh Safa, ada polisi tuh,”

“Mana?” jawab Safa antusias.

“Itu,” Bee sepupunya menunjuk ke luar jendela.

“Oh iya,” kata Safa, “ada polisi, ayo kita merem!”

Masih di mobil yang sama, dalam perjalanan ke Bandung itu, Bee bilang, “Eh Safa, ada mobil tuh,”

“Mana?”

“Itu,” Bee menunjuk ke luar jendela.

“Oh iya, ayo kita tabrak!”

Nada, kakaknya juga nggak jauh berbeda. Ia pernah bertanya, “Kakak nanti nikah sama siapa?”

Saya lupa jawaban saya waktu itu, tapi entah mengapa saya nggak terlalu khawatir, karena keresahan itu akan selalu ada di benak sebagian besar populasi wanita di muka bumi sampai hari kiamat.

Anak-anak cenderung penasaran dan banyak bertanya tentang hal-hal baru. Pertanyaan mereka juga terkadang susah dijawab. Terutama yang berkaitan dengan yang abstrak seperti kebahagiaan, keadilan atau bahkan kematian.

Pernah ketika habis pulang tahlilan, Nada bertanya, “Siapa pak yang meninggal?”

“Temen bapak.”

“Temen bapak itu siapa?”

“Ibunya teteh Wafa.” Nada diam, seperti mengingat nama yang barusan saya sebut. Ia kenal Wafa, anak kawan saya yang berbeda umur dua tahun di atasnya. Sedetik kemudian, dengan nada yang terdengar iba, ia bertanya, “Kok meninggal?”

Aduh, pertanyaan apa lagi ini. Kalau ada teman sebaya saya bertanya hal yang sama, tentu saya enteng saja menjawab, “Ya karena takdir lah, brooo!”. Tapi untuk anak usia lima tahun, jawaban “karena takdir” adalah jawaban yang akan menimbulkan pertanyaan yang akan lebih sulit dijawab.

“Karena sakit.” Saya jawab dengan sederhana.

“Kok sakit bisa meninggal?” ia lagi bertanya.

“Iya,” saya mejawab cepat. Nada memandang saya, masih menunggu jawaban yang agak panjang. Saya meneruskan, “Semua orang pasti meninggal, kak. Bisa anak kecil, anak bayi, orang muda, orang tua. Bisa kapan aja, bisa dimana saja. Bisa karena sakit atau hal yang lain.”

Nada diam, kemudian bertanya tanpa penekanan, “Kok bapak enggak meninggal?”

Enak banget jadi anak-anak, seperti punya privilege untuk bertanya tentang apa saja. Tanpa pretensi untuk menyudutkan, menghina atau merendahkan. Pertanyaan murni karena ingin tahu. Keingintahuan murni seperti itu yang sepertinya hilang dari orang dewasa. Orang dewasa cenderung take it for granted, terutama tentang persoalan-persoalan keimanan.

Saya akui selain menyenangkan, anak-anak juga kadang menjengkelkan; minum ES saat batuk, tidak membereskan mainan, melanggar janji yang mereka buat sendiri, tidak menelan makanan dalam mulut, bermain dengan air yang membuat baju yang baru diganti basah, membuat rumah berantakan, dan melakukan hal-hal lain yang kebanyakan orang tua melarang, yang sering hanya bisa dihentikan dengan teriakan atau bentakan. Padahal kalau mau dilihat secara jujur, mereka hanya menjadi diri mereka sendiri, mereka hanya sedang menjadi anak-anak.

Betapapun menjengkelkannya mereka, semua orang tua mungkin akan setuju bahwa lebih banyak hal-hal yang menyenangkan. Mereka terlalu lucu dan menggemaskan dengan segala potensi dan perbedaan masing-masing. Tidak akan ada orang tua yang tega melihat mereka menangis, bahkan melihat anaknya menangis karena suatu hal yang katanya untuk kebaikan mereka sendiri, disuntik contohnya.

Pernah suatu malam, saya menggendong Nada yang setengah tertidur, sehabis kembali dari rumah sakit. Ia pulang ke rumah dengan tiga bekas tusukan jarum suntik. Dua di tangan kanan, satu di tangan kiri. Bahkan salah satu bekas suntikan di tangan kanan, ditusukan oleh dokter dengan sangat tega. Jarum itu disuntikan di bawah kulit lengan, mungkin sedikit merobek dagingnya.

Kita akan melakukan satu tes lagi ya, Test Mantoux, kata dokter itu sebelum melakukan tindakan kejam, yang saya jawab dengan kerutan di kening. Ketika saya melihat suster menyiapkan jarum suntik, saya mulai paham apa yang akan mereka lakukan. Saya segera membujuk Nada untuk tiduran. Seraya menenangkannya saya bilang, “Sekali lagi ya, kak. Nanti bukunya bapak tambahin satu, jadi tiga.”

Belum lagi jarum menusuk lengannya, ia menangis memohon dan menolak. Saya dan Nada telah menunggu 5 jam untuk dua tes sebelumnya, Rontgen dan tes darah, agar memperoleh kepastian tentang virus sialan macam apa yang ada dalam tubuhnya. Dan untuk penungguan 5 jam itu Nada harus dihadiahi satu suntikan lagi? Menyenangkan sekali.

Saya bertanya kepada dokter, apa harus di lengan dok, gak bisa di pantat? Apa harus sekarang? Dokter menjawab iya. Ia malah meminta saya untuk membantu tindakan sadisnya, dan saya terpaksa membantu. Sesi terakhir itu diakhiri dengan tangis histeris. Padahal dua tes sebelumnya Nada lewati dengan tanpa air mata setetespun, dengan bujukan akan saya belikan Ensiklopedia jika nggak menangis ketika disuntik, ia setuju untuk diambil darah. Hanya sekali saja, sekaliii saja, kata saya pertama kali.

Tapi suster menemukan arteri yang tipis di balik siku kanannya, ia telah menusuk lengan itu dan menarik jarumnya lagi. Oh, kata saya dalam hati, suster sialan, saya harus berjanji lagi, “Satu lagi ya kak, nanti bapak beliin dua buku.” Satu lagi jarum menusuk jalan nadi di balik siku kiri, dan ia tidak menangis. Seketika saya sadar, ia adalah anak kecil yang paling berani yang pernah saya temui.

Saya nggak bisa membayangkan apa yang ada di kepala orang tua yang tega menyiksa anak-anak bahkan membunuh anak kandung sendiri. Mereka bukan saja nggak pantas jadi orang tua, tapi juga manusia. Perasaan menjadi orang tua dan manusia tidak saja datang karena kita mengurus anak yang lahir dari darah kita sendiri, hubungan orang tua dan anak bukan datang semata-mata kerena hubungan darah, tapi datang dari kesediaan dan kesadaran kita untuk membayar hutang kehidupan yang Tuhan berikan. Karena kata Gibran, anak kita bukanlah milik kita, mereka tidak berhutang apapun kepada kita, tapi berhutang kepada masa depan mereka masing-masing.

Pagi itu, lamat-lamat antara lelap dan terjaga, saya masih mendengar Nada dan Safa bermain sambil bernyanyi.

Pippo, pippo... laba-laba sasedo, labalado... antede, antede, pippo...

Dengan punya anak, saya mulai percaya bahwa seorang bisa jatuh cinta pada orang yang sama berkali-kali setiap hari, bahkan dengan intensitas yang terus membesar.

Minggu, 15 November 2015

Tentang Kebahagiaan

“Apa hal yang bisa membuat setiap orang bahagia?” suatu hari seorang cucu bertanya kepada kakeknya.

Setelah berpikir sejenak, sang kakek menjawab, “Yang membuat seseorang bahagia itu ada di dalam diri, bukan di luar.”

Si cucu agak bingung dengan jawaban itu dan kembali bertanya, “Lalu bagaimana cara menuju kebahagiaan, apa jalannya?”

Sang kakek tertawa kecil seraya menjawab, “Bahagia itu jalan, nak, bukan tujuan.” Setelah menguasai suaranya, sang kakek melanjutkan, “Baiklah nak, aku ingin bertanya serius, sebenarnya apa yang menyebabkanmu tidak bahagia?”

Orang lain.”

“Begini saja. Pergilah ke Pak Hasan, kawan kakek yang tukang sayur di pasar itu. Menurut kakek, dia adalah orang yang paling bahagia di dunia. Tanyalah tentang kebahagiaan kepadanya.”

Sang cucu datang ke rumah yang disebutkan untuk menumpang menginap, beralasan minta diajari berdagang. Ia tidak mau langsung menanyakan perihal maksud kedatanganya. Ia terlebih dahulu ingin melihat kegiatan dan aktifitas keseharian orang itu. Ia ingin tahu apa yang menyebabkan kakeknya bilang bahwa orang tua itu adalah orang yang paling bahagia di dunia.

Setelah tiga hari menginap, pemuda itu tidak menemukan kegiatan atau perilaku yang istimewa dari Pak Tua. Segala yang ia kerjakan sama seperti tukang sayur lain kerjakan. Tidak ada yang istimewa. Tidak ada yang menyebabkan ia bisa dianggap sebagai orang paling bahagia di muka bumi. Hanya saja, memang ia mudah sekali gembira, seperti hampir semua hal bisa membahagiakannya.

Di hari terakhir menginap, pemuda itu bertanya, “Apa yang membuat hidup bapak bahagia?”

“Ya seperti yang kamu lihat sekarang ini. Kehidupan inilah yang membuat saya bahagia.” Jawab Pak Tua cepat.

“Apa semua orang harus hidup seperti ini untuk bahagia?” pemuda itu terdengar makin penasaran.

Pak Tua diam sebentar, kemudian bertanya balik, “Ada apa dengan hidupmu anak muda, sehingga kamu menginginkan kehidupan orang lain?”

Pemuda itu terkesiap. Seperti terpukul dengan pertanyaan barusan. Ia sadar apa yang dimaksud Pak Tua, untuk berhenti memikirkan dan membandingkan kehidupannya dengan kehidupan orang lain. Pemuda itu hampir tidak mampu bertanya lagi.

Pak Tua meneruskan, “Dengki dengan pencapaian orang lain hanya akan menghambatmu untuk bahagia. Bahagialah dengan kebahagiaan orang lain.”






·

Kamis, 12 November 2015

Tentang Sebuah Novel yang Baru Saja Saya Tulis

Kalau saja ia bisa membunuh, sudah dua kali saya mati ditikam deadline yang saya buat sendiri.

Saya memberi deadline satu bulan, tapi ternyata novel itu rampung dalam waktu dua bulan lebih beberapa hari. Guru menulis saya pernah mengajarkan bahwa naskah yang baik sebaiknya diselesaikan dengan cepat. Jika tidak, mungkin saja naskah itu kurang baik. Sebagai orang yang baru belajar menulis, saya percaya saja dengan ajaran itu (tanpa mempertanyakan seberapa cepat itu cepat?). Nggak ada ruginya juga. Saking percayanya saya dengan ajaran menulis cepat, saya meninggalkan naskah-naskah setengah jadi yang nggak jadi-jadi.

Sebelum naskah terakhir ini ditulis, saya telah merancang beberapa tema dan jalan cerita lain untuk ditulis, tapi saya nggak pernah seyakin ketika menulis ini. Ternyata keyakinan akan cerita juga bisa membut menulis lebih cepat.

Sekarang naskah ini sudah selesai. Mari kita beri judul naskah ini Ilusi. Dan ini novel “serius” pertama saya.

Awalnya saya sempat ragu, kerena tulisan-tulisan saya sebelum ini (terutama dalam menulis cerita) menggunakan cara pandang komedi. Tapi dukungan positif dari kawan-kawan yang sudah membaca naskah awal Ilusi membuat saya yakin untuk meneruskannya. Saya bersyukur punya kawan-kawan yang bersedia, dengan sedikit paksaan di tengah kesibukan mereka mencari sesuap nasi, untuk membaca, mengoreksi, menilai dan memberikan pertimbangan terhadap Ilusi, sebelum naskah itu diajukan ke penerbit. Terimakasih untuk kawan-kawan yang telah meluangkan waktu untuk melakukannya. Penilaian kalian sangat berguna dalam merevisi dan mengedit naskah ini. Nama kalian akan saya abadikan (kata abadi ini terdengar puitis sekali kawan-kawan) di halaman terimakasih, selain juga dapat satu eksempar gratis nanti setelah terbit. Bayaran yang sesuai kan? :)

Walaupun begitu, bukan berarti saya akan berhenti menulis komedi. Saya ingin membuat pembatasan untuk menulis komedi pada pengalaman hidup saya saja. Untuk cerita fiksi, saya memilih untuk bercerita secara “serius” (sudah dua kali saya menulis kata itu dalam kutip, karena tidak menemukan kata lain yang pas), karena mungkin memang pengaruh kebanyakan referensi yang saya baca.

Ada tiga hal yang memicu saya untuk menulis novel ini; Norwegian Woods, cerita pribadi seorang kawan dan status sebuah facebook. Ironis, karena ketika menulis —ada semacam ritual yang biasa saya lakukan ketika sedang berkutat dengan naskah baru— saya menonaktifkan facebook yang menjadi salah satu sumber inspirasi itu.

Memang berbeda penulis berbeda juga cara dan waktu yang nyaman untuk menulis. Baru akhir-akhir ini saya memahami bahwa saya lebih nyaman menulis ketika tidak ada gangguan dari manapun, baik suara ataupun kegiatan lain. Saya lebih nyaman dan akan lebih banyak menulis jika tidak disambi dengan pekerjaan lain atau bersamaan dengan melakukan kegiatan lain. Saya lebih nyaman menulis dalam kondisi hening tanpa gangguan. Pada beberapa keadaan, sambil mendengarkan lagu-lagu santai. Intinya saya butuh fokus ketika menulis, untuk menjadikan menulis menjadi lebih mudah dan nyaman.

Bukan berarti saya tidak bisa menulis jika tidak ada kondisi tersebut. Bahkan pada kenyataannya, saya lebih sering menulis di tengah-tengah kegiatan lain. Sering sekali saya menulis di depan komputer kantor, ketika semua kerjaan kantor selesai, atau bahkan sambil mengerjakannya. Namun sekali lagi, saya lebih nyaman menulis ketika tidak ada gangguan dari manapun.

Beberapa penulis punya kondisi kenyamanan menulis masing-masing. Haruki Murakami menulis pada pagi hari, setelah selesai berlari, tanpa gangguan. Penulis sehat, istilah saya. Ada juga penulis yang lancar dan hidup gairah menulisnya sehabis bangun tidur, antara pukul 8 sampai 10 pagi. Ada juga yang nyaman menulis waktu tengah malam, ketika orang-orang kebanyakan telah terlelap, ditemani lantunan musik klasik. Dan macam-macam. Tidak ada yang lebih benar antara metode kenyamanan satu penulis dengan penulis yang lain. Semua itu adalah selera yang tidak bisa diukur dengan benar atau salah.

Ada juga penulis yang bisa memulai ceritanya jika ia telah menemukan Karakter yang kuat, ada juga dengan Alur yang solid, ada juga dimulai dengan Seting Waktu atau Tempat, ada juga yang memulai dari Moral of Story yang ingin disampaikan, ada juga yang menggabungkan elemen-elemen tersebut. Sekali lagi, tidak ada yang lebih benar antara metode kenyamanan satu penulis dengan penulis yang lain untuk memulai cerita mereka. Semua itu adalah selera yang tidak bisa diukur dengan benar atau salah. Ya saya ingat, sudah dua kali saya menuliskannya.

Jika diminta tiga kata untuk menggambarkan novel ini, saya akan meneyebut: kehilangan, schizophrenia, dan —yes, absolutely— cinta.

Ide cerita ini berawal dari pengalaman saya bertemu bahkan pernah dipukul botol air mineral kosong oleh orang gila di pasar. Bukan, bukan saya menceritakan pengalaman setengah lucu campur bikin gondok itu ke dalam novel ini. Pengalaman bertemu dengan beberapa orang gila di pinggir jalan bahkan tidak jauh dari rumah, membuat saya berpikir dan bertanya-tanya. Apa latar belakang pendidikan mereka? Darimana Mereka? Mengapa mereka bisa hidup menggelandang di jalan? Apa penyebab kegilaan mereka? Apa mereka punya keluarga? Kemana keluarganya? Apa mereka punya anak istri? Bagaimana mereka makan? Bagaimana kalau sakit? Kehujanan?

Kegelisahan itu akhirnya tertuang dalam novel ini. Di Indonesia, saya belum pernah membaca novel dengan latar belakang karakter utama skizophrenik. Itu murni kesalahan saya karena kuper. Ketika mencari di google, saya hanya menemukan tidak lebih dari lima novel (termasuk memoar) dengan latar belakang schizophrenia. Jadi menurut saya novel ini bisa menjadi salah satu sumber bacaan agar lebih banyak orang yang mengerti penyakit mental tersebut dan semakin bisa berempati pada si penderita. Masih banyak kasus pemasungan di Indonesia adalah bukti bahwa banyak orang yang kurang mengerti tentang penyakit ini. Lebih dari itu, novel ini mencoba menjawab pertanyaan besar; apakah terlalu sayang kepada seseorang bisa membuatmu gila?

Terimakasih telah membaca. Mudah-mudahan, setelah proses editing dan revisi yang tidak begitu lama, Ilusi cepat mendapat penerbit.

Your ameen is welcome! :)