Jumat, 30 Desember 2016

hari ini puisi sedang cuti

Katamu, 
sekarang puisi yang rendah hati sudah menjadi api 

Ada yang mengira membaca puisi, 
padahal frustasi 

Adalah puisi inti ibadah, 
penuh harap ia bermunajat dalam sujud yang khidmat

Saat malam datang, aku ingin puisi mengingatmu,
menghembuskan angin sejuk dan keheningan,
yang merindumu sedingin hujan, 
pada akhir kemarau panjang 

Maka aku menyusun puisi setinggi Everest,
buat dikirim padamu,
karena batas adalah langit 

Dan pada suatu pagi, ketika puisi pergi,
ia mengajakmu berdandan,
memugar awan di wajahmu yang temaram 

Jika nanti malam aku bermimpi,
aku ingin jadi puisi yang panjang untuk malam,
untuk kata, untuk langit juga untuk kau 





Selamat ulang tahun,
Yang fana itu kata, kamu puisi

Jumat, 09 Desember 2016

Pulang

Pulang favorit saya: jalanan lancar, mendung, sejuk. Sampai rumah disambut anak-anak; bercanda, bermain, ngobrol. Makanan enak, semua sehat. Mau tidur hujan turun, berderai tidak besar, atap tidak bocor.

Minggu, 6 Desember 2015, bukan pulang favorit saya. Malam itu, sepanjang jalan hujan turun. Sampai rumah nggak ada orang. Di kamar saya tidur ditemani diri sendiri dengan perasaan ditindih sepi.

Pagi hari, selepas subuh, istri saya telpon, minta segera ke rumah ibu, karena bapak sakit.
Sampai sana, bapak sudah tidak sadarkan diri. Dan 30 menit kemudian meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit. Hari itu, selepas salat asar, jenazah dikuburkan.

Itu salah satu hari tersingkat dalam hidup saya. Beberapa orang bilang, "Baru kemarin sore saya lihat Pak haji lewat depan rumah."

Andai semua orang datang dan pulang beramai-ramai, mungkin tidak ada yang merasa ditinggalkan. Sayang, dunia bukan tempat istimewa. Pram pernah menulis bahwa hidup ini bukan seperti pasarmalam, “Di dunia ini manusia bukan berduyun-duyun lahir dan berduyun-duyun pula kembali pulang. Seorang-seorang mereka datang. Seorang-seorang mereka pergi.”

Hari itu memang bukan pulang yang saya suka, tapi saya yakin itu adalah kepulangan yang terbaik untuk bapak.

Selasa, 16 Agustus 2016

Tidak Ada yang Benar-benar Siap Menghadapi Kematian yang Tiba-tiba

“Kok hapeku nggak ada ya? Kamu liat gak?” tanya saya ke istri.

“Nggak.” Kata istri saya yang sedang mencuci pakaian.

Saya sadar hape tidak ada di tempat biasa saya letakan ketika mau pergi beli sayur. Biasanya saya mencatat apa yang mau dibeli di note hape. Setelah mencari di beberapa tempat lain dan nihil, akhirnya saya pergi ke tukang sayur tanpa hape.

Pulang dari tukang sayur, saya tidur. Antara setengah tertidur dan terjaga, terdengar suara dari arah dapur.

“BAANGG! YA AMPUN, BANG! ASTAGFIRULAH HALADZIM! HAPE ABANG KECUCI!”

Saya lompat dari atas kasur dan mendapati istri saya memegang hape yang basah.

“Maaf ya, Bang.” Kata istri saya.

Tanpa melepas pandangan dari almarhum hape, saya mengambilnya. Saya menerawang kejadian sebelumnya. Pagi itu, setelah sampai rumah, saya mencopot celana jeans dan meletakannya di samping mesin cuci. Beberapa menit kemudian istri saya mencucinya bersama pakaian-pakaian lain, tanpa sadar bahwa hape saya, yang masih ada di kantong celana, ikut tergiling.

Nokia 300 adalah hape yang terakhir kali dipakai almarhum bapak, dan sekarang saya pakai beserta nomor telpon dan segala isinya. Di dalamnya masih ada kontak kawan-kawan bapak, beberapa SMS, panggilan telpon keluar dan masuk juga foto-foto. Kata orang, hape adalah bagian dari diri manusia masa kini. Saya tidak mau terdengar terlalu melankolis tentang benda ini, tapi memang inilah benda yang terakhir kali dipegang almarhum bapak sebelum meninggal.

Pagi itu, bapak bangun dengan kepala berat, sambil tiduran dia menelpon atasannya minta izin tidak masuk kerja. Setelah menelpon, bapak tidak sadarkan diri, bahkan hape masih tertempel di kupingnya. Sampai akhirnya beliau meninggal di dalam kendaraan menuju rumah sakit.

Tidak ada yang lebih mengagetkan daripada kematian yang tiba-tiba. Sheila on 7 bilang, “kau takkan pernah tahu apa yang kau miliki hingga nanti kau kehilangan.” Hukum itu berlaku bagi siapa saja, tidak peduli mengerti ataupun tidak. Berengsek benar memang.

Setelah saya preteli, keringkan dengan handuk dan hair dryer, hape itu saya kubur dalam beras. Hari ini sudah terhitung lima hari, tapi saya belum berani menghidupkan kembali. Memang ada kemungkinan hape itu masih bisa nyala, tapi ada kemungkinan juga tidak. Untuk kemungkinan yang terakhir, saya merasa belum siap. Karena bagaimanapun, tidak ada yang benar-benar siap menghadapi kematian yang tiba-tiba.

Kamis, 28 Juli 2016

Feels Like Summer

Matahari bersinar redup di pojok timur langit ketika kita keluar rumah. Sinar itu merambati bumi, menghangatkan pagi yang masih dingin. Hujan yang mengguyur sehari sebelumnya memerahkan tanah, meruapkan aroma yang khas. Kabut tipis di jalan mulai hilang, seiring lalu lalang kendaraan dan kegiatan yang mulai menggeliat, sebagian udara segar terangkat naik, sebagian menyesaki rongga paru-paru. Hari ini kita akan jalan-jalan, kataku.

Aku masih ingat dengan jelas pemandangan di jalan itu; lurus di tepi sungai ke arah timur. Di sebelah selatan, siluet punggung Gunung Gede yang masih berselimut kabut terlihat malu-malu. Sementara di belakang kita, samar-samar terlihat Gunung Salak yang kebiruan, terbilas bersih oleh hujan lembut bulan Desember.

Kita mengejar matahari. Angin dingin pagi melintasi padang sawah yang hijau kekuningan, menepuk-nepuk wajah, kemudian berlalu entah kemana. Langit biru cerah berhias kapas awan putih memenuhi lanskap, membuat mata terasa sakit jika terus memandangnya. Sungai lebar di pinggir jalan mengalir tenang ke arah barat.

Suasana begitu jernih, tidak ada suara musik yang menyumbat telinga, tak banyak kendaraan yang melintas bersama atau berlawanan dengan arah kita. Diliputi semua itu, dari atas Revo, kita bercerita banyak hal tentang perjalanan; jembatan, sungai di bawah sungai, dan asal usul nama-nama tempat dan jalan.

Aku telah merencanakan perjalanan itu jauh hari dengan hati-hati dan penuh perhitungan. Mensurvey jalan dan rute —bahkan yang belum pernah aku lalui sekalipun—, juga tempat-tempat untuk berhenti.

“Pertama kita akan beli roti dan air mineral untuk sarapan,” kataku ketika sampai di parkiran sebuah ruko yang menjulang tinggi dengan kincir angin gaya Belanda di atasnya.

“Kita kemana setelah ini?” katamu.

“Kita akan piknik di pinggir danau. Tapi sebelumnya, aku akan ajak kamu lewat pemandangan bagus.”

Aku tidak benar-benar mengerti tentang definisi pemandangan bagus, yang aku pahami, kita membuat pemandangan menjadi indah karena kita punya perspektif tersendiri tentang pemandangan itu. Seperti Guido dalam Life Is Beautiful, yang menggambarkan kepada anaknya tentang hidup dan dunia yang tetap harus dijalani dengan riang di tengah kebencian kepada kaumnya. Jadi bukan semata-mata pemandangan, perspektif dan perasaan kita yang menentukan pemandangan itu indah atau tidak.

Lagipula, kita sedang tidak tergesa, maka mari kita nikmati hal-hal kecil yang luput; keabadian pada sebutir pasir dan keindahan pada sekuntum bunga liar.

“Bang.” Kamu bilang, tidak beberapa lama setelah kita duduk di pinggir danau sambil mengunyah Crossant Keju, “Aku boleh nanya satu pertanyaan?”

“Akan kujawab tiga pertanyaan.”

“Nggak usah. Satu aja.” Kamu tersenyum.

“Oke.”

“Jadi bait terakhir dari puisi itu maksudnya apa?”

Beberapa hari yang lalu aku sudah menjelaskan simbol dalam puisi, berharap dengan itu kamu bisa mengambil makna sendiri. Bukankah pengarang mati setelah karyanya selesai? Tapi sepertinya itu tidak berlaku kepadaku. Penjelasan tentang diksi, imaji, gaya bahasa, rima, rasa, makna dan tujuan dalam puisi mungkin juga tidak akan banyak menolong, karena yang kamu mau adalah makna dariku.

“Kamu mengerti tentang Sakinah, Mawaddah dan Rahmah?” tanyaku retoris memulai menjelaskan Stanza terakhir puisi itu, “Sakinah itu seperti air danau di hadapan kita; tenang, tentram, damai, aman, terlindungi. Aku kira kita sudah dan sedang mendapatkan perasaan itu sekarang, /seperti rasa yang pernah kita alami./”

Kamu diam mendengarkan. Sinar matahari menembus sela-sela batang pohon menampilkan bayangan langit di permukaan air danau. Beberapa ekor capung hinggap di batang ilalang kemudian terbang digoyang angin semilir.

“Mawaddah bisa diartikan cinta. Sakinah akan meningkat menjadi Mawaddah. Jadi setelah Sakinah, kita bisa merasakan Mawaddah yang sesungguhnya. Sementara Rahmah berasal dari sifat Allah, yang lebih bermakna ruhiyah atau qolbiyah. Berbeda dengan Mawaddah yang lebih bersifat fisik, Rahmah tak lagi menilai fisik dan duniawi. Dan semua itu —ketenangan, cinta dan kasih sayang—, terjadi di dalam hati, /ketika ilalang bergoyang menggerakan serat-serat hati./

Burung Gereja hinggap di ranting pohon, bercicit sebentar kemudian terbang.

Kita baru akan beranjak dari piknik singkat itu ketika sebuah motor dengan dua orang satpam menghampiri, dan mengingatkan bahwa tempat itu rawan kejahatan karena sepi. Sebaiknya ke tempat lain, Pak, kata salah satunya dengan sopan.

Kita cengar-cengir sendiri ketika keduanya berlalu, seperti dua orang anak kecil yang kepergok menghabiskan cokelat dalam kulkas; dosa kecil yang kita nikmati. Sungguh aku sudah memprediksi jadwal patroli mereka, karena bagaimanapun danau itu memang bukan tempat rekreasi umum.

Kendaraan kembali menyusuri jalan lurus namun berbukit dengan jejeran pohon palem dan pohon-pohon yang kita tidak kenal namanya, menjulang tinggi seperti cemara, berbaris rapih seperti prajurit. Ketika jalan menanjak, kita bisa melihat pohon-pohon itu seperti ditelan permukaan jalan, dan ketika jalan menurun, kita melihat pohon-pohon itu semakin kecil menjauh.

“Jadi kenapa malam itu kamu nangis?” tanyaku di atas kendaraan yang sedang melaju.

“Gak tau.”

“Bukan karena aku lupa nyuci keset-keset kotor?”

“Bukan.”

“Trus kenaapa?”

“Nggak tau. Memang waktu itu aku lagi sensitip aja.”

“Aku pikir malam itu kamu mau bilang, ‘Aku tahu abang selingkuh!’”

“JADI ABANG SELINGKUH?!”

Aku tertawa lepas.

Benar yang Hoeda bilang, perempuan tidak menginginkan pesaing, bahkan jika si pesaing dapat ia kalahkan, bahkan jika ia tidak benar-benar ada.


“Ada satu tempat lagi yang akan aku tunjukan.” kataku, “I save the best for last.”

“Show me!”

“Ini dia.” Kataku setelah sampai di bagian paling tinggi di jalan itu.

“Apa istimewanya jalan ini?” kamu bingung melihat jalan turun dan menanjak sejauh kira-kira dua kilometer di hadapanmu, dengan semak belukar liar di beberapa sisi jalan, sementara di kejauhan, kamu bisa melihat hamparan pemakaman dengan sebuah bangunan seperti masjid di tengahnya.

“Jalan ini istimewa karena kita ada di puncaknya.”

Kamu mengernyitkan dahi, mungkin bingung. Aku tersenyum, dalam hati ingin menyanyikan sebuah lirik; when I am with you, there's no place I'd rather be.

Inilah perjalanan yang akan kukenang, seperti adegan terakhir dalam We Bought a Zoo. Perjalanan yang membangkitkan rasa yang lama; debaran ketika melakukan hal-hal untuk pertama kali, gairah yang meluap-luap, usaha untuk menjelaskan hal-hal yang membuatmu terkesan, perasaan dekat sekaligus khawatir. Di atas semua itu, aku ingin tetap memelihara kekagumanku padamu.

Aku selalu tertarik dengan para pengembara yang memiliki kepasrahan para sufi. Berjalan dalam kehidupan fana, menetap sebentar kemudian bergegas melanjutkan perjalanan setelah merobohkan tenda. Bagi mereka, perjalanan adalah kehidupan dan kehidupan adalah perjalanan. Dalam perjalanan, yang terpenting adalah menikmati saat ini dan tidak terlalu takut dengan masa depan yang belum terjadi. Kau dan aku adalah musafir dari masa lalu, berpegangan tangan, menyusuri jalan berbatu, menuju sebuah mimpi cerah di tepi subuh yang jauh.

Jangan khawatir, selama kita bersama, aku yakin kita bisa pergi sejauh yang kita inginkan. Seperti yang orang Afrika bilang, “If you want to go fast, go alone. If you want to go far, go together.”
Di tengah dunia yang hingar-bingar, penuh kebencian, rasisme, fitnah dan caci maki ini, kita dipaksa untuk tetap bersikap jernih dan bahagia. Hal itu mudah saja, karena kita hanya tinggal mencari hal yang telah ada di dalam diri kita, di sanalah kebahagiaan kita yang sejati. Rumah dimana anak-anak menyambut dengan riang di depan pintu. Berebut ingin berbicara kegiatan mereka satu-satu.

Setelah singgah sebentar di masjid dengan payung besar seperti di Masjid Nabawi, kita melanjutkan perjalanan. Bersama kita fragmen kecil waktu seperti membeku, juga bersama awan yang berarak di langit biru. Di ujung jauh, mendung musim ini menggantung, tapi musim apapun, bersamamu rasanya sama saja, Feels Like Summer.

Time of our lives, wonder of surprise, 
The open blue skies reflecting in our eyes, 
In a photograph, captured as we laugh, Like we always do. 
 
Clear country air, ever-free from care, 
True friendship that we share, joy beyond compare, 
In a perfect place, see the sunny days, Coming into view.
  
Once you were here, the worries disappeared,  
It all became clear, nothing left to fear, 
You have got my back, Keeping me on track, Like you always do. 
  
Time of our lives, such a sweet surprise,  
Together we survive, ever starry-eyed,  
Beyond any price, pure as paradise, Coming into view.
  
If we get lost on a grey cloudy day, 
Let's stick together we'll always find our way.
   
Cause everyday feels like summer with you,  
Everything feels like starting a new,  
Everyday feels like summer with you. (*)  

Di atas motor,
segala hal selain kita hilang.
Dan keinginanku sederhana saja,
bersamamu sampai pulang.

(*) song by Tim Wheeler

Sabtu, 23 Juli 2016

Kancil, Perundungan dan Belajar Menjadi Orangtua

Satu hari tantrum Safa kambuh. Ia berteriak sambil menangis minta mandi di halaman depan. Dengan Nada, Saya sudah pernah menghadapi tantrum sejenis ini, jadi saya punya pengalaman untuk mengatasinya.

Saya dekati Safa kemudian berbisik di telinganya, “Safa dengarkan bapak. Mari kita buat semuanya jelas. Bapak akan mendengarkan Safa selama Safa mau mendengarkan bapak.”

Safa berhenti menangis.

“Kita kerjasama.” Kata saya kemudian, “Safa bisa diajak kerjasama?”

Dia mengangguk.

Saya membolehkannya mandi di halaman depan, seperti kemauannya. Sambil menyaratkan, “Kalau bapak bilang sudah, kita sepakat untuk berhenti. Oke?”

“Oke.” Ia menjawab jelas.

Setelah waktunya cukup, saya minta Safa untuk handukan. Dia sudah mendekat untuk dihanduki tapi kemudian mengejek saya dan berlari kembali ke halaman depan.

Saya tidak kaget dengan kelakuan itu.

Nada pernah melakukan hal yang lebih parah. Ia menangis sambil berteriak di depan sebuah mal besar di Jakarta. Hari itu kami pulang dari menghadiri sebuah acara di sana, dan sedang menunggu kendaraan yang akan menjemput. Saya dan istri sudah lelah, begitu juga Nada. Ia mungkin hanya ingin mencari perhatian, dan berhasil menarik perhatian kami, bahkan perhatian semua pengunjung mal dan para satpam.

Kabar baiknya, itulah tantrum terakhir Nada. Sudah hampir lima bulan sejak peristiwa itu dan sampai sekarang, ia tidak pernah melakukannya lagi. Saya tahu Nada sangat menyesal dengan kejadian itu. Sampai sekarang, ia tidak lagi berteriak untuk meminta apapun.

Banyak orang tua yang tidak sabar dan melakukan jalan pintas dengan membentak bahkan memukul. Saya dan istri tidak pernah memukul anak kami. Dan tentu kami tidak akan membiarkan orang dewasa manapun melakukannya dengan sengaja, dengan alasan apapun. Walaupun begitu kami bukan orang tua yang sempurna. Pertama kali tantrum, saya pernah membentak Nada. Itu meredakannya untuk sesaat, dan membuat saya menyesal untuk selama-lamanya.

Zaman telah berubah. Cara mendidik juga berubah. Ilmu pengetahuan berkembang, begitu juga ilmu pengetahuan tentang mendidik anak. Kita tidak bisa hidup dengan terus meyakini bahwa bumi ini datar seperti piring, ketika banyak bukti menyatakan bahwa bumi ini bulat. Membentak, memukul, mempermalukan, melecehkan, merundung adalah cara mendidik yang seharusnya ditinggalkan.

Banyak orang yang kemudian bernostalgia tentang masa kecil mereka yang diperlakukan kasar oleh orang tua juga oleh guru di sekolah, dan ternyata sekarang mereka hidup baik-baik saja, bahkan sukses. Jika demikian, kekerasan pada anak tidaklah masalah.

Apakah memang begitu?

Saya tidak bisa menjawabnya dengan hitam-putih, karena manusia adalah mahluk yang kompleks. Namun, penelitian membuktikan bahwa usia anak-anak adalah usia dimana trauma ditanam. Seiring bergulirnya waktu, memang ada anak-anak yang bisa terlepas dari trauma tersebut saat dewasa, tapi juga ada anak-anak yang tidak. Penelitian membuktikan bahwa kekerasan pada anak akan menimbulkan luka psikologis yang berkepanjangan.

Karena tidak tahu anak yang mana yang bisa bertahan dan anak yang mana yang tidak, maka sebaiknya mendidik dengan cara kekerasan pada anak-anak ditiadakan. Mengikuti Qowaidul Fiqh; Ad-Dhararu Yuzalu, kemudharatan/kerugian itu harus dihilangkan. Lagipula, “balas dendam” untuk memperlakukan kasar anak karena pernah diperlakukan kasar adalah sejenis lingkaran setan yang harus diputus.

Menanggapi kasus guru yang melakukan kekerasan kepada muridnya, pendapat kita kemudian terbelah. Pro dan kontra. Saya pribadi tidak akan terima jika ada guru yang memukul anak saya. Namun saya juga tidak akan melaporkannya langsung ke kantor polisi, karena saya tahu di sekolah, juga di website Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, ada cara untuk melaporkan tindakan pelanggaran seperti itu.

Melaporkan tindakan guru tersebut langsung ke pihak berwajib menandakan orang tua ingin lepas tangan dari pendidikan anak, dari keterlibatan di sekolah, dari komite orang tua di sekolah. Kita tentu tidak mau jika nanti anak kita ketahuan berbuat kriminal di sekolah seperti mencuri, sekolah tidak memanggil orang tua tapi langsung melaporkan ke kantor polisi (saya akui analogi ini tidak apple to apple).

Di lain pihak, membela guru tersebut dengan membabi buta adalah juga tindakan yang berlebihan. Ditambah lagi kekalapan dengan melakukan cyber bullying (bahkan oleh media nasional) kepada si anak, dengan menyebar foto meme si anak yang sedang merokok. Atau menyebarkan berita fitnah tentang tidak diterimanya anak itu di beberapa sekolah.

Melakukan kekerasan kepada murid adalah pelanggaran. Itu yang tertulis dalam undang-undang. UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak, pasal 54 menyatakan: Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak Kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain. Jadi bagaimanapun, perbuatan itu salah.

Semua anak pernah nakal. Presiden Jokowi pernah, bahkan presiden Obama sering menghisap ganja waktu muda. Saya nggak bermaksud supaya anak-anak ikut teriak “sate”, “nasi goreng”, dan nyimeng seperti Obama. Bukan, bukan itu maksudnya. Maksud saya, setiap anak punya “kancil” dalam diri mereka. Masalahnya, orang dewasalah yang menyebabkan “kancil” di diri anak-anak menjadi semakin besar dengan cara menanganinya dengan tindakan kekerasan. Anak-anak adalah peniru yang baik.

Saya sadar bahwa tidak ada orang tua atau guru yang sempurna. Sebagai orang tua, saya terkadang merasa baik, terkadang juga merasa begitu buruk. Saya beberapa kali berteriak dan membentak anak saya. Apakah saya bangga? Tidak sama sekali. Bahkan setelah amarah saya reda, saya merasa bersalah. Saya berteriak kepada anak saya dengan alasan yang sangat sepele. Saya merasa menjadi orang tua yang paling arogan.

Saya mengerti bahwa orang tua tidak boleh membentak, membanding-bandingkan, mengkritik, memukul, mengancam dan lain-lain. Seharusnya orang tua memberikan dorongan, pujian, dukungan, penerimaan, pengakuan, solusi dan lain-lain. Kita tahu, teori dan aturan-aturan mengasuh anak itu hal yang paling mudah dikatakan tapi paling sulit dilakukan. Belum lagi jika melihat latar belakang metode parenting. Antara barat atau timur, Muslim atau bukan, kota atau desa, dan lain-lain.
Ada sebagian orang tua mengangap pola asuh mereka adalah pola asuh yang terbaik, sambil menganggap pola asuh selainnya tidak lebih baik. Kita menilai diri sendiri dan orang lain dengan menggunakan mitos orang tua sempurna yang padahal tidak pernah ada.

Tidak ada orang tua yang sempurna, yang ada adalah orang tua yang terus belajar. Belajar untuk lebih mencintai dan menghargai anak-anaknya. Di situlah kerendahan hati untuk mengakui kesalahan diperlukan. Karena bagaimana mungkin seorang bisa memperbaiki kesalahan tanpa tahu apa kesalahannya? Jadi, mari kita akui kesalahan kita, membuka diri terhadap kesalahan itu, kemudian mau belajar untuk memperbaiki.

Wallahu ‘alam.

Kamis, 30 Juni 2016

ziarah

Anak itu merangkak keluar dari masjid menuju hutan, 
tempat dimana ia mungkin dikuburkan,
nanti jika tidak hujan. 

Di sana ia bertemu sunyi yang menggigil dipeluk angin malam. 
Duduk di atas nisan tua yang juga kedinginan. 
Angin menggoyang dedaunan 
menggoda semedi sepi. 

“Apa yang lebih senyap dari lindap malam di dalam hutan?” katanya.
“Aku, perpustakaan dalam hati yang dirajam kenangan.” 

Ia kembali membuka kata, 
“Alam, aku berdiri di muka jelaga ajal, 
berdoa agar tanah kering di hati bisa bersemi.”
 
Petang kembali bercerita tentang terpenjara kegaduhan siang. 
Andai semua suara dimatikan, mungkin akan bisa mendengar denyut nadi sendiri,
berderap bagai langkah kaki pasukan Uhud menggetarkan takabur dosajiwa. 

Di atas hutan langit gelap,
tidak terdengar lagi beduk petasan atau bunyi berisik telpon 
Gelisah akan pulang, rindu dan bukubuku 

Ia ingin langit mendung di jalan pulang. 
Hujan telah kadung mencintainya, 
dan ia mesra dengan hujan. 

Air menetes dari ujung rambut hitam. 
Membasahi tanah kuburan merah.

Tiba-tiba ia kehilangan suara. 
Tiba-tiba ada sembilu di tenggorokan. 
Detikdetikmencekikleherwaktu yang d a t a n g t e r l a m b a t 

subuh berkumandang, “Yang terucap akan terlupakan, 
yang dalam hati akan tetap di sana.”

Rabu, 18 Mei 2016

Tetap Menjadi Santri di Era Media Sosial

“Nah jadi begitu.” Aloey menutup ceritanya, “Jadi Ahok sama Abi itu masih ada setrumnya. Masih nyambung. Musalsal.” Ia berkesimpulan. Menggebu-gebu.

“Iya, musalsal.” Saya menjawab, “Musalsal bil ngawuriyah!”

“Gua nggak ngerti nyambungnya darimana, Luy!” Ahmad Rifa’i bin Haji Muchtar sependapat.
Guru kami, Syaikhuna Baesuni Ibrahim mattaanallahu fi tulihayatihi— hanya manggut cengar-cengir melihat perdebatan saya dan Fa’i melawan Aloey. Aloey yang nggak bisa menjelaskan lebih terperinci tentang perihal hubungan Kiyai dan Ahok enteng saja menjawab, “Ya kali aja ada hubungannya.”

Nama lengkap sahabat dan saudara kami itu Syahrul Munir bin Sya’ban, tapi kami anak pondok biasa memanggilnya Aloey, atau waktu diskusi malam itu kami menjulukinya Ahoker. Kebetulan sipitnya melebihi Ahok.

Malam itu kami berkumpul, setelah membaca Burdah di depan makan Kiyai dalam rangka milad ma’had kami tercinta. Hari itu saya kerja shift malam dan baru beberapa jam saja tidur, tapi entah kenapa saya kuat bertahan semalam lagi begadang untuk ngobrol dengan mereka. Mengesampingkan bahwa jam 8 pagi nanti saya ada wawancara dengan BAN-PT di kampus.
Dari cuplikan cerita tentang Ahok itu, obrolan melebar tentang pemimpin non-muslim, merembet kepada diskusi tentang Yahudi-Nasrani, Khilafah, fatwa-fatwa MUI, perbedaan pandangan di kalangan kiyai NU, mistisme Islam di Nusantara, demokrasi, Cordoba, penerapan syariat Islam, Ijtihad Jama’i, Maslahatul Mursalah, Borobudur, Atlantis, Homo Erectus Soloensis, terpilihnya Sadiq Khan sebagai walikota London dan lain-lain. Tidak lupa cerita tentang kenangan-kenangan dengan Kiyai dan mentertawakan kenangan-kenangan bodoh kami waktu masih nyantri.

Saya senang berdiskusi dengan anak pondok, karena walaupun sering berbeda pendapat tapi tidak pernah saling mengkafirkan. Pada dasarnya diskusi adalah sarana untuk menambah pengetahuan dan pengalaman, untuk melatih berpikir, adu argumen, menumbuhkan sikap toleransi juga kebebasan pribadi. Tidak ada menang atau kalah dalam diskusi, yang ada adalah kemaslahatan bersama. Dalam bertukar pikiran, setuju dan tidak setuju adalah hal yang wajar. Di satu kesempatan saya setuju dengan Aloey, di lain kesempatan tidak. Begitulah, diskusi tidak perlu ngotot ingin menang atau sependapat dan yang terpenting harus punya adab dan sopan santun.

Dulu, waktu kami masih mondok, kami sering memanfaatkan kekosongan kelas karena tidak ada guru, dengan berdiskusi. Berdiskusi tentang apa saja; pelajaran, isu-isu politik, isu kontroversial yang sedang hangat dan macam-macam. Saya dan Fa’i hampir selalu berbeda pendapat. Bahkan sampai sekarang. Mungkin orang luar yang melihat kami begitu akrab akan bingung, betapa kami yang ketika berdebat di kelas sangat frontal, tapi ketika di pondok bisa berbagi celana dalam. Walaupun sering berbeda pendapat, kami tetap berteman dan tidak pernah melecehkan pribadi. Kalaupun ada kunyah atau Laqob yang terlontar karena candaan, kami terima dengan ikhlas atas dasar keakraban. Berbeda sekali dengan era media sosial saat ini.

Di era medi sosial ini, berbeda pendapat adalah berarti bersiap untuk diolok-olok dan dilecehkan. Saya sering membaca komentar dari beberapa akun yang mudah sekali menyalahkan dengan tanpa argumen. Tidak jarang pendapat yang disalahkan itu adalah pendapat otoritas keagamaan, para ulama yang santun, guru besar, kiyai pengasuh pesantren dan orang-orang yang level keilmuannya jauh di atas mereka yang menyalahkan. Bagi saya tidak masalah berbeda pendapat atau mendebat, asalkan dengan argumen disertai dengan sopan santun, bukan seenaknya saja tanpa hormat, tanpa adab. Su’ul adab kami menyebutnya. Itulah mengapa saya agak malas berdiskusi di media sosial.

Biasanya mereka yang tidak bisa membalas argumen sering malah menyerang pribadi dan berasumsi macam-macam, su’u dzon. Mereka tidak terbiasa dengan perbedaan pendapat. Tidak terbiasa mendengar pendapat yang aneh. Mereka kagetan dan menyerang siapa saja yang nggak sependapat dengan golongan mereka. Jika tidak bisa mengeluarkan sanggahan yang argumentatif, maka kemudian menyerang pribadi.

Argumen yang bagus adalah argumen logis yang didukung dengan bukti dan kutipan dari kitab-kitab yang ulama tulis. Menyerang pribadi bukanlah argumen. Menjelekan dan mengolok-olok pribadi bukanlah argumen. Mengklaim salah satu ulama adalah ‘ulama su’ tanpa menyanggah pendapatnya juga bukan argumen. Dan disamping tidak diajarkan, mengolok-olok tidak menjadikan pengolok-olok lebih baik dari yang diolok-olok. Malah mencerminkan kualitas seorang yang tidak mampu membahas argumen.

Di tataran yang lebih luas, Qur’an mengajarkan: "Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan." (QS al-An'am 6: 108). Kita dilarang dengan tegas untuk menistakan Tuhan dan sesembahan agama lain. Jika terhadap penganut agama lain saja kita dilarang memaki, apalagi kepada ulama kita sendiri. Itulah akhlak yang diajarkan Qur'an.

Banyak pelajaran dari diskusi ngalor-ngidul-begadang-sampai-subuh itu. Selain efek samping masuk angin, diskusi itu semakin menyadarkan kami untuk lebih tawadhu. Guru kami Bang Baesuni Ibrahim rahimahullah secara tidak langsung mengajarkan kepada kami bagaimana bertawadu. Beliau yang bahrul fahhamah masih mau mendengarkan pendapat kami yang masih belajar, yang tidak jarang bertentangan dengan pendapat beliau. Pengetahuan beliau luas, namun beliau tidak merasa diri yang paling benar. Tidak seperti orang yang baru belajar, beliau menghargai kami yang masih mencari pemahaman. Beliau adalah kiyai, guru dan panutan kami. Mattaanallahu fi tuulihayatihi.

Senin, 16 Mei 2016

Para Pembenci

Seperti biasa, sehabis salat maghrib, Pak Haji dan pemuda itu bercakap-cakap. Di tengah percakapan, pemuda itu minta ijin untuk membuka ponsel pintarnya. Ada pesan yang masuk, katanya. Sejenak membaca ponselnya, pemuda itu bicara, “Apa sih maunya orang ini?”

Pak Haji memperhatikan pemuda itu. Ia tahu sebentar lagi ia akan mendengar penjelasan.

“Aneh, orang ini benci membabi-buta.” Kata pemuda itu, “Mereka ini nggak mau tabayun dulu ya, sebelum komentar. Apa mereka nggak ada kerjaan lain selain komentar buruk, sumpah serapah dan nggak sopan. Apa mereka nggak capek ya?”

Pemuda itu menumpahkan segala unek-unek tentang haters yang menyerangnya di media sosial kapada Pak Haji. Setelah mendengat seluruh curhatan pemuda itu, sambil tersenyum Pak Haji bertanya, “Kamu kenal baik dengan orang-orang itu?”

“Nggak terlalu sih.” Pemuda itu cepat menjawab.

“Lalu kenapa kau ambil pusing?”

“Mereka sudah keterlaluan, Pak Haji.” Pemuda itu tidak terima.

Masih sambil tersenyum, Pak Haji bilang, “Harusnya kamu kasihan kepada mereka.”

“Kasihan?” nada pemuda itu seperti minta penjelasan.

“Kamu pikir menjadi pembenci itu mudah?” Pak Haji melontarkan pertanyaan retorik, kemudian mengelus-elus jenggot putihnya, “Membenci itu bukanlah perkara yang gampang dan menyenangkan. Ia mengerogoti hati dan menyiksa. Betapa seseorang bisa awut-awutan melihat orang yang dibenci senang. Menderita melihat orang lain senang. Semakin mereka membenci, semakin hati mereka tertutup. Pembenci sejatinya adalah seorang yang sedang sakit jiwa. Maka sepantasnya kita kasihan kepada mereka, kan?”

Pemuda itu diam, merenungi kata-kata Pak Haji.
Pak Haji melanjutkan, “Yang kedua, menyayangi itu adalah ajaran agama. Seorang penyayang akan disayang Tuhan, dan dengan menyayangi yang ada di bumi, malaikat di langit akan balas menyayangi. Sementara membenci, apalagi sampai berlaku tidak adil kepada yang dibenci adalah dilarang. Jadi mereka para pembenci itu tidak melaksanakan ajaran agama mereka.”

Pemuda itu diam, merenungi kata-kata Pak Haji. Betapa pemuda itu hampir saja membenci para pembenci-pembencinya.

Jumat, 13 Mei 2016

TV

Di rumah, saya tidak punya TV, sementara di kantor salah satu tugas saya adalah nonton TV.

Sudah lama saya nggak punya TV, dan sampai sekarang belum berpikir untuk membelinya. Walaupun begitu, saya merasa beruntung, karena kalau punya TV, apa bedanya di kantor dengan di rumah.

Karena jarang nonton TV, supaya nggak ketinggalan berita, istri saya biasanya tanya apa hal yang sedang hangat diberitakan. Saya sebenarnya malas menjelaskan, tapi istri saya bilang supaya dia nggak kuper waktu bergaul dengan ibu-ibu komplek, maka saya cerita, “Ada dua buronan BLBI ketangkep.”

“Oya? Siapa?” istri saya penasaran.

“Hartawan dan Hartanto.” Saya bilang, “Tau?”

“Nggak.”

“Aku rasa nama mereka terlalu duniawi.”

“Maksudnya?”

“Harta. Harta kan duniawi.”

“Trus mau dikasih nama apa?”

“Yang ukhrowi gitu,”

“Apa?”

“Ya, apa kek. Miftahul Jannah gitu.”

“Nanti korupsi sapi.”

Rabu, 16 Maret 2016

Kunci Surga

Iblis dan pengikutnya sedang berkumpul di pinggir jalan ketika seorang anak muda lewat, membungkuk dan memungut sesuatu.

“Aha, kunci surga!” pekik anak muda itu girang.

Pengikut Iblis terlihat sangat khawatir. Hampir saja salah satu dari mereka melompat untuk merampas kunci itu jika saja iblis tidak melarangnya.

“Jangan!” kata iblis melarang, “Biarkan saja ia memilikinya.”

“Mungkin kunci yang ia ambil palsu.” Seorang pengikut iblis menyimpulkan.

“Tidak. Itu kunci asli.” iblis menjawab mantap.

“Apa tuan tidak takut ia akan mengajak banyak orang untuk masuk surga?” Tanya pengikut iblis yang lain penasaran.

“Sama sekali tidak.” Sang iblis menjawab santai, “kalian tahu apa yang sebenarnya akan ia lakukan setelah memegang kunci itu?”

Para pengikut iblis diam. Tidak menjawab. Mereka tahu itu pertanyaan retorik. Mereka tahu sebentar lagi ia akan menjelaskan sesuatu.

Iblis melanjutkan, “Seperti biasa, ia akan menggunakannya untuk dia dan kaumnya sendiri. Ia akan merasa paling benar dan mudah menyesatkan yang lain. Ia tidak membiarkan golongan lain masuk surga yang ia merasa telah ia punya. Dia berpikir pintu surga itu hanya satu, dan dengan memiliki satu kunci, ia mengangap telah menguasai seluruh pintu-pintu surga beserta isinya. Dengan kunci itu, ia akan bersikap sekakan-akan telah menjadi Tuhan.”

Selasa, 15 Maret 2016

100 Kenangan

“Kalau aku meninggal, apakah mereka semua akan berkumpul?” suatu hari simbah pernah bertanya.

Setelah berpikir sejenak, saya menjawab, “Mbuh!”  


Beberapa tahun yang lalu, saat masih kuliah, saya tinggal bersama nenek. Jika di rumah, sebagian besar waktu, selain membaca buku, saya habiskan untuk mengobrol dengan beliau. Banyak hal yang ia bicarakan, tapi yang paling sering, dan selalu ia bicarakan, adalah tentang anak-anaknya. Tentang bapak, paman dan bibi saya, yang beberapa diantara mereka telah tinggal jauh; di luar kota, di luar negeri, bahkan di luar dunia [baca: akhirat].  

Tidak jarang ia fokus bercerita tentang kejadian tertentu yang ia anggap sepesial. Ia bercerita seakan-akan itu pertama kali ia menceritakannya. Dengan gaya, intonasi, diksi, dan semangat yang sama seperti yang sering saya dengar. Ya, saya telah mendengar cerita itu berulang-ulang dan simbahpun tahu kalau dia telah menceritakan kepada saya berulang-ulang. Saya pikir itulah derita menjadi orang tua, atau mungkin begitulah derita menjadi manusia. Bahwa a moment can last forever, tidak peduli berapa lamapun kamu hidup.  

Jadi ketika ia bertanya apakah anak-anaknya akan berkumpul ketika ia meninggal, saya menguras seluruh pikiran untuk menjawabnya. Saya paham mengapa beliau menanyakan hal itu. Beliau dilumpuhkan stroke, menjalani hari-hari dari atas dipan sambil mengetahui beberapa anaknya meninggal lebih dahulu. What question do you expect her to ask

Bisa saja saya menjawab pertanyaan itu dengan jawaban-jawaban lain yang beraneka ragam, tapi “mbuh” adalah jawaban filosofis yang mampu mewakili jawaban-jawaban itu.  

Seratus hari yang lalu bapak saya meninggal dunia. Umurnya 59, dan akan terus seperti itu. Di hari wafatnya, kami, lima orang anak beliau yang masih hidup berkumpul —belakangan saya tahu dari catatan harian bapak yang saya baca setelah beliau wafat, kami punya satu adik perempuan yang meninggal dalam kandungan ibu.  

Sebagai anak tertua, saya merasa bertanggung jawab untuk mengatur apa yang harus dikerjakan.  Saya dan Fikri kebagian tugas untuk memandikan, mengkafani dan menguburkan. Dua adik perempuan saya kebagian membaca Al Quran. Sementara si bontot Adil tidak bisa mengerjakan apa-apa selain menangis. Dia menangis sampai kelelahan dan tertidur, ketika dibangunkan untuk salat dzuhur, ia terbangun dan lanjut menangis. Sebenarnya seluruh anggota keluarga kami menangis pada hari itu, tapi melihat kemampuan Adil mengangis, kami menjadi minder. 

Malam itu saya pulang ke rumah dengan badan remuk. Untuk orang yang biasa bekerja di depan komputer, pekerjaan fisik menggotong keranda adalah hal yang membuat otot kaku. Dengan kelelahan semacam itu, seharusnya mudah saja bagi saya untuk tidur.  Tapi tidur bukan hanya masalah tubuh, ia juga berkaitan dengan batin. Pikiran saya belum bisa diajak berdamai. Saya meminta ijin kepada istri saya keluar kamar untuk menulis. Malam itu pukul 11, di hari normal, istri saya pasti melarang, tapi malam itu, ia seperti sadar bahwa larangannya tidak akan berguna. 

Apa yang saya tulis pada layar laptop malam itu? 

Kenangan. 

Semua orang pasti mati, tapi tidak dengan kenangan. Ada banyak kenangan dengan almarhum yang masih saya ingat, baik yang masih jelas atau samar-samar, terutama kenangan-kenangan semasa kecil.  Saya ingat beberapa kenangan masa kecil yang tidak lengkap, kadang hanya teringat kejadian, tanpa tempat dan waktu. Kenangan-kenangan puluhan tahun lalu itu samar, tapi jernih, seperti tidak bisa lepas. Lekat seperti bayangan. Semakin beranjak dewasa, saya mengerti bahwa suatu hari nanti, sebagian kita hanya akan jadi ingatan bagi sebagian yang lain, dan dalam semua kenangan itu kita hidup.

Ada satu kenangan dengan bapak yang saya tulis kemudian, dan tanpa saya sadari menjelma puisi. Saya beri judul puisi itu Di Samping Bapak Pada Suatu Petang. 

Kami berjalan ke utara,   
bersisian di pinggir jalan 
Entah dimana, entah kapan

Kita bergandengan tangan,   
bersama kami ada petang dan waktu yang bergerak maju 

Aku masih kecil, matahari besar bersinar terik   
Membuat bayang-bayang memanjang ke arah timur

Bapak memindahkanku dari sebelah barat ke sisi yang lain 
Menjadikanku berada dalam naung panjang bayang tubuhnya  

Ia menoleh ke arahku, 
dari belakang kepalanya bersinar matahari, 
Ia bilang, “Kita seperti berada dalam puisi Sapardi”  

Di Samping Bapak Pada Suatu Petang

Kami berjalan ke utara,
bersisian di pinggir jalan
Entah dimana, entah kapan

Kita bergandengan tangan,
bersama kami ada petang dan waktu yang bergerak maju

Aku masih kecil, matahari besar bersinar terik
Membuat bayang-bayang memanjang ke arah timur

Bapak memindahkanku dari sebelah barat ke sisi yang lain
Menjadikanku berada dalam naung panjang bayang tubuhnya

Ia menoleh ke arahku,
dari belakang kepalanya bersinar matahari,

Ia bilang, “Kita seperti berada dalam puisi Sapardi”

Kamis, 10 Maret 2016

Kejahatan vs Kebaikan



Seorang murid datang bertemu gurunya, “Guru, beritakan kepadaku tentang kebaikan dan kejahatan.”

“Menjadi baik atau menjadi jahat itu mudah,” sang guru, yang kepalanya telah penuh dengan uban, berucap dengan nada datar, “yang sulit adalah bertahan untuk menjadi salah satu dari keduanya.”
Sang murid menegakkan duduknya, tertarik dengan penjelasan yang baru saja ia dengar. 

Pria beruban itu meneruskan, “Seorang yang ingin bertahan untuk selalu berbuat baik, perlu motivasi yang tinggi. Begitu juga ketika seorang ingin bertahan untuk selalu berbuat jahat. Keduanya perlu motifasi yang tinggi.” 

“Apa yang memotifasi orang untuk berbuat baik, Guru?” 

“Menurutmu apa?” sang guru balik bertanya. 

Setelah berpikir sejenak, anak muda itu berkata, “Mungkin agama.” 

“Mungkin agama,” sang guru mengulang, sambil menata kalimatnya ia kembali bertanya, “bagaimana kamu melihat orang-orang yang mengaku beragama tetapi melakukan pembantaian?”

“Menurutku itu tergantung manusianya, Guru.” Sang murid menjawab cepat, “Bisa juga ia tidak taat terhadap ajaran agama yang ia anut, sehingga berbuat jahat. Karena prinsipnya, agama mengajarkan berbuat baik kepada sesama, kepada yang seiman ataupun tidak. Begitu menurutku, Guru.” 

Sang guru tersenyum, tidak berkomentar. 

Setelah diam cukup lama, sang murid kembali bertanya, “Apakah ajaran agama bisa dijadikan motif dan penguat untuk seseorang melakukan kejahatan?”

“Bisa saja.” Sang guru berujar, masih dengan suara datar, “Sebagaimana orang yang tidak beragama juga bisa melakukan kejahatan dengan motif yang berbeda-beda.” 

Sang murid pulang dengan pikiran yang lebih cerah. Orang yang percaya kepada Tuhan bisa saja berbuat jahat, sebagaimana juga orang yang sama sekali tidak percaya kepada Tuhan bisa saja berbuat baik, begitu yang ada dalam pikirannya. Kejahatan dan kebaikan tidak berkaitan lurus dengan keimanan seseorang. Iman itu baik, tapi keimanan saja tidak cukup.


Senin, 11 Januari 2016

Ernest Hemingway on Writing

“There is no rule on how to write. Sometimes it comes easily and perfectly; sometimes it's like drilling rock and then blasting it out with charges.” - “There is nothing to writing. All you do is sit down at a typewriter and bleed.” - “But sometimes when I was starting a new story and I could not get it going, I would sit in front of the fire and squeeze the peel of the little oranges into the edge of the flame and watch the sputter of blue that they made. I would stand and look out over the roofs of Paris and think, 'Do not worry. You have always written before and you will write now. All you have to do is write one true sentence. Write the truest sentence that you know.' So finally I would write one true sentence, and then go on from there.”

“Do you suffer when you write? I don't at all. Suffer like a bastard when don't write, or just before, and feel empty and fucked out afterwards. But never feel as good as while writing.” - “For a long time now I have tried simply to write the best I can. Sometimes I have good luck and write better than I can.” - “Since I had started to break down all my writing and get rid of all facility and try to make instead of describe, writing had been wonderful to do.”

“As a writer, you should not judge, you should understand.” - “If a writer stops observing he is finished. Experience is communicated by small details intimately observed.” - “A writer should write what he has to say and not speak it.” - “Good writing is good conversation, only more so.” - “Any man's life, told truly, is a novel...”

“All good books are alike in that they are truer than if they had really happened and after you are finished reading one you will feel that all that happened to you and afterwards it all belongs to you: the good and the bad, the ecstasy, the remorse and sorrow, the people and the places and how the weather was. If you can get so that you can give that to people, then you are a writer.”

“I believe that basically you write for two people; yourself to try and make it absolutely perfect; or if not that then wonderful. Then you write for who you love whether they can read or write or not and whether they are alive or dead.” - “You can write any time people will leave you alone and not interrupt you. Or rather you can if you will be ruthless enough about it. But the best writing is certainly when you are in love.”

“Writing, at its best, is a lonely life. Organizations for writers palliate the writer's loneliness but I doubt if they improve his writing. He grows in public stature as he sheds his loneliness and often his work deteriorates. For he does his work alone and if he is a good enough writer he must face eternity, or the lack of it, each day.”

“If the reader prefers, this book may be regarded as fiction. But there is always the chance that such a book of fiction may throw some light on what has been written as fact.” - “People who write fiction, if they had not taken it up, might have become very successful liars.”

“The first draft of anything is shit.” - “I write one page of masterpiece to ninety-one pages of shit. I try to put the shit in the wastebasket.” - “I always try to write on the principle of the iceberg. There is seven-eighths of it underwater for every part that shows.” - “Write drunk; edit sober.”

“All modern American literature comes from one book by Mark Twain called Huckleberry Finn. American writing comes from that. There was nothing before. There has been nothing as good since.” - “A man's got to take a lot of punishment to write a really funny book.” - “It's harder to write in the third person but the advantage is you move around better.”

“Once writing has become your major vice and greatest pleasure only death can stop it.”


Minggu, 10 Januari 2016

Death in the Afternoon - Ernest Hemingway

When writing a novel a writer should create living people; people not characters. A character is a caricature. If a writer can make people live there may be no great characters in his book, but it is possible that his book will remain as a whole; as an entity; as a novel. If the people the writer is making talk of old masters; of music; of modern painting; of letters; or of science then they should talk of those subjects in the novel. If they do not talk of these subjects and the writer makes them talk of them he is a faker, and if he talks about them himself to show how much he knows then he is showing off. No matter how good a phrase or a simile he may have if he puts it in where it is not absolutely necessary and irreplaceable he is spoiling his work for egotism.

Prose is architecture, not interior decoration, and the Baroque is over. For a writer to put his own intellectual musings, which he might sell for a low price as essays, into the mouths of artificially constructed characters which are more remunerative when issued as people in a novel is good economics, perhaps, but does not make literature. People in a novel, not skillfully constructed characters, must be projected from the writer’s assimilated experience, from his knowledge, from his head, from his heart and from all there is of him. If he ever has luck as well as seriousness and gets them out entire they will have more than one dimension and they will last a long time. A good writer should know as near everything as possible. Naturally he will not. A great enough writer seems to be born with knowledge. But he really is not; he has only been born with the ability to learn in a quicker ratio to the passage of time than other men and without conscious application, and with an intelligence to accept or reject what is already presented as knowledge.

There are some things which cannot be learned quickly and time, which is all we have, must be paid heavily for their acquiring. They are the very simplest things and because it takes a man’s life to know them the little new that each man gets from life is very costly and the only heritage he has to leave. Every novel which is truly written contributes to the total of knowledge which is there at the disposal of the next writer who comes, but the next writer must pay, always, a certain nominal percentage in experience to be able to understand and assimilate what is available as his birthright and what he must, in turn, take his departure from. If a writer of prose knows enough about what he is writing about he may omit things that he knows and the reader, if the writer is writing truly enough, will have a feeling of those things as strongly as though the writer had stated them. The dignity of movement of an ice-berg is due to only one-eighth of it being above water.

A writer who omits things because he does not know them only makes hollow places in his writing. A writer who appreciates the seriousness of writing so little that he is anxious to make people see he is formally educated, cultured or well-bred is merely a popinjay. And this too remember; a serious writer is not to be confounded with a solemn writer. A serious writer may be a hawk or a buzzard or even a popinjay, but a solemn writer is always a bloody owl.