Rabu, 18 Mei 2016

Tetap Menjadi Santri di Era Media Sosial

“Nah jadi begitu.” Aloey menutup ceritanya, “Jadi Ahok sama Abi itu masih ada setrumnya. Masih nyambung. Musalsal.” Ia berkesimpulan. Menggebu-gebu.

“Iya, musalsal.” Saya menjawab, “Musalsal bil ngawuriyah!”

“Gua nggak ngerti nyambungnya darimana, Luy!” Ahmad Rifa’i bin Haji Muchtar sependapat.
Guru kami, Syaikhuna Baesuni Ibrahim mattaanallahu fi tulihayatihi— hanya manggut cengar-cengir melihat perdebatan saya dan Fa’i melawan Aloey. Aloey yang nggak bisa menjelaskan lebih terperinci tentang perihal hubungan Kiyai dan Ahok enteng saja menjawab, “Ya kali aja ada hubungannya.”

Nama lengkap sahabat dan saudara kami itu Syahrul Munir bin Sya’ban, tapi kami anak pondok biasa memanggilnya Aloey, atau waktu diskusi malam itu kami menjulukinya Ahoker. Kebetulan sipitnya melebihi Ahok.

Malam itu kami berkumpul, setelah membaca Burdah di depan makan Kiyai dalam rangka milad ma’had kami tercinta. Hari itu saya kerja shift malam dan baru beberapa jam saja tidur, tapi entah kenapa saya kuat bertahan semalam lagi begadang untuk ngobrol dengan mereka. Mengesampingkan bahwa jam 8 pagi nanti saya ada wawancara dengan BAN-PT di kampus.
Dari cuplikan cerita tentang Ahok itu, obrolan melebar tentang pemimpin non-muslim, merembet kepada diskusi tentang Yahudi-Nasrani, Khilafah, fatwa-fatwa MUI, perbedaan pandangan di kalangan kiyai NU, mistisme Islam di Nusantara, demokrasi, Cordoba, penerapan syariat Islam, Ijtihad Jama’i, Maslahatul Mursalah, Borobudur, Atlantis, Homo Erectus Soloensis, terpilihnya Sadiq Khan sebagai walikota London dan lain-lain. Tidak lupa cerita tentang kenangan-kenangan dengan Kiyai dan mentertawakan kenangan-kenangan bodoh kami waktu masih nyantri.

Saya senang berdiskusi dengan anak pondok, karena walaupun sering berbeda pendapat tapi tidak pernah saling mengkafirkan. Pada dasarnya diskusi adalah sarana untuk menambah pengetahuan dan pengalaman, untuk melatih berpikir, adu argumen, menumbuhkan sikap toleransi juga kebebasan pribadi. Tidak ada menang atau kalah dalam diskusi, yang ada adalah kemaslahatan bersama. Dalam bertukar pikiran, setuju dan tidak setuju adalah hal yang wajar. Di satu kesempatan saya setuju dengan Aloey, di lain kesempatan tidak. Begitulah, diskusi tidak perlu ngotot ingin menang atau sependapat dan yang terpenting harus punya adab dan sopan santun.

Dulu, waktu kami masih mondok, kami sering memanfaatkan kekosongan kelas karena tidak ada guru, dengan berdiskusi. Berdiskusi tentang apa saja; pelajaran, isu-isu politik, isu kontroversial yang sedang hangat dan macam-macam. Saya dan Fa’i hampir selalu berbeda pendapat. Bahkan sampai sekarang. Mungkin orang luar yang melihat kami begitu akrab akan bingung, betapa kami yang ketika berdebat di kelas sangat frontal, tapi ketika di pondok bisa berbagi celana dalam. Walaupun sering berbeda pendapat, kami tetap berteman dan tidak pernah melecehkan pribadi. Kalaupun ada kunyah atau Laqob yang terlontar karena candaan, kami terima dengan ikhlas atas dasar keakraban. Berbeda sekali dengan era media sosial saat ini.

Di era medi sosial ini, berbeda pendapat adalah berarti bersiap untuk diolok-olok dan dilecehkan. Saya sering membaca komentar dari beberapa akun yang mudah sekali menyalahkan dengan tanpa argumen. Tidak jarang pendapat yang disalahkan itu adalah pendapat otoritas keagamaan, para ulama yang santun, guru besar, kiyai pengasuh pesantren dan orang-orang yang level keilmuannya jauh di atas mereka yang menyalahkan. Bagi saya tidak masalah berbeda pendapat atau mendebat, asalkan dengan argumen disertai dengan sopan santun, bukan seenaknya saja tanpa hormat, tanpa adab. Su’ul adab kami menyebutnya. Itulah mengapa saya agak malas berdiskusi di media sosial.

Biasanya mereka yang tidak bisa membalas argumen sering malah menyerang pribadi dan berasumsi macam-macam, su’u dzon. Mereka tidak terbiasa dengan perbedaan pendapat. Tidak terbiasa mendengar pendapat yang aneh. Mereka kagetan dan menyerang siapa saja yang nggak sependapat dengan golongan mereka. Jika tidak bisa mengeluarkan sanggahan yang argumentatif, maka kemudian menyerang pribadi.

Argumen yang bagus adalah argumen logis yang didukung dengan bukti dan kutipan dari kitab-kitab yang ulama tulis. Menyerang pribadi bukanlah argumen. Menjelekan dan mengolok-olok pribadi bukanlah argumen. Mengklaim salah satu ulama adalah ‘ulama su’ tanpa menyanggah pendapatnya juga bukan argumen. Dan disamping tidak diajarkan, mengolok-olok tidak menjadikan pengolok-olok lebih baik dari yang diolok-olok. Malah mencerminkan kualitas seorang yang tidak mampu membahas argumen.

Di tataran yang lebih luas, Qur’an mengajarkan: "Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan." (QS al-An'am 6: 108). Kita dilarang dengan tegas untuk menistakan Tuhan dan sesembahan agama lain. Jika terhadap penganut agama lain saja kita dilarang memaki, apalagi kepada ulama kita sendiri. Itulah akhlak yang diajarkan Qur'an.

Banyak pelajaran dari diskusi ngalor-ngidul-begadang-sampai-subuh itu. Selain efek samping masuk angin, diskusi itu semakin menyadarkan kami untuk lebih tawadhu. Guru kami Bang Baesuni Ibrahim rahimahullah secara tidak langsung mengajarkan kepada kami bagaimana bertawadu. Beliau yang bahrul fahhamah masih mau mendengarkan pendapat kami yang masih belajar, yang tidak jarang bertentangan dengan pendapat beliau. Pengetahuan beliau luas, namun beliau tidak merasa diri yang paling benar. Tidak seperti orang yang baru belajar, beliau menghargai kami yang masih mencari pemahaman. Beliau adalah kiyai, guru dan panutan kami. Mattaanallahu fi tuulihayatihi.

Senin, 16 Mei 2016

Para Pembenci

Seperti biasa, sehabis salat maghrib, Pak Haji dan pemuda itu bercakap-cakap. Di tengah percakapan, pemuda itu minta ijin untuk membuka ponsel pintarnya. Ada pesan yang masuk, katanya. Sejenak membaca ponselnya, pemuda itu bicara, “Apa sih maunya orang ini?”

Pak Haji memperhatikan pemuda itu. Ia tahu sebentar lagi ia akan mendengar penjelasan.

“Aneh, orang ini benci membabi-buta.” Kata pemuda itu, “Mereka ini nggak mau tabayun dulu ya, sebelum komentar. Apa mereka nggak ada kerjaan lain selain komentar buruk, sumpah serapah dan nggak sopan. Apa mereka nggak capek ya?”

Pemuda itu menumpahkan segala unek-unek tentang haters yang menyerangnya di media sosial kapada Pak Haji. Setelah mendengat seluruh curhatan pemuda itu, sambil tersenyum Pak Haji bertanya, “Kamu kenal baik dengan orang-orang itu?”

“Nggak terlalu sih.” Pemuda itu cepat menjawab.

“Lalu kenapa kau ambil pusing?”

“Mereka sudah keterlaluan, Pak Haji.” Pemuda itu tidak terima.

Masih sambil tersenyum, Pak Haji bilang, “Harusnya kamu kasihan kepada mereka.”

“Kasihan?” nada pemuda itu seperti minta penjelasan.

“Kamu pikir menjadi pembenci itu mudah?” Pak Haji melontarkan pertanyaan retorik, kemudian mengelus-elus jenggot putihnya, “Membenci itu bukanlah perkara yang gampang dan menyenangkan. Ia mengerogoti hati dan menyiksa. Betapa seseorang bisa awut-awutan melihat orang yang dibenci senang. Menderita melihat orang lain senang. Semakin mereka membenci, semakin hati mereka tertutup. Pembenci sejatinya adalah seorang yang sedang sakit jiwa. Maka sepantasnya kita kasihan kepada mereka, kan?”

Pemuda itu diam, merenungi kata-kata Pak Haji.
Pak Haji melanjutkan, “Yang kedua, menyayangi itu adalah ajaran agama. Seorang penyayang akan disayang Tuhan, dan dengan menyayangi yang ada di bumi, malaikat di langit akan balas menyayangi. Sementara membenci, apalagi sampai berlaku tidak adil kepada yang dibenci adalah dilarang. Jadi mereka para pembenci itu tidak melaksanakan ajaran agama mereka.”

Pemuda itu diam, merenungi kata-kata Pak Haji. Betapa pemuda itu hampir saja membenci para pembenci-pembencinya.

Jumat, 13 Mei 2016

TV

Di rumah, saya tidak punya TV, sementara di kantor salah satu tugas saya adalah nonton TV.

Sudah lama saya nggak punya TV, dan sampai sekarang belum berpikir untuk membelinya. Walaupun begitu, saya merasa beruntung, karena kalau punya TV, apa bedanya di kantor dengan di rumah.

Karena jarang nonton TV, supaya nggak ketinggalan berita, istri saya biasanya tanya apa hal yang sedang hangat diberitakan. Saya sebenarnya malas menjelaskan, tapi istri saya bilang supaya dia nggak kuper waktu bergaul dengan ibu-ibu komplek, maka saya cerita, “Ada dua buronan BLBI ketangkep.”

“Oya? Siapa?” istri saya penasaran.

“Hartawan dan Hartanto.” Saya bilang, “Tau?”

“Nggak.”

“Aku rasa nama mereka terlalu duniawi.”

“Maksudnya?”

“Harta. Harta kan duniawi.”

“Trus mau dikasih nama apa?”

“Yang ukhrowi gitu,”

“Apa?”

“Ya, apa kek. Miftahul Jannah gitu.”

“Nanti korupsi sapi.”