Kamis, 30 Juni 2016

ziarah

Anak itu merangkak keluar dari masjid menuju hutan, 
tempat dimana ia mungkin dikuburkan,
nanti jika tidak hujan. 

Di sana ia bertemu sunyi yang menggigil dipeluk angin malam. 
Duduk di atas nisan tua yang juga kedinginan. 
Angin menggoyang dedaunan 
menggoda semedi sepi. 

“Apa yang lebih senyap dari lindap malam di dalam hutan?” katanya.
“Aku, perpustakaan dalam hati yang dirajam kenangan.” 

Ia kembali membuka kata, 
“Alam, aku berdiri di muka jelaga ajal, 
berdoa agar tanah kering di hati bisa bersemi.”
 
Petang kembali bercerita tentang terpenjara kegaduhan siang. 
Andai semua suara dimatikan, mungkin akan bisa mendengar denyut nadi sendiri,
berderap bagai langkah kaki pasukan Uhud menggetarkan takabur dosajiwa. 

Di atas hutan langit gelap,
tidak terdengar lagi beduk petasan atau bunyi berisik telpon 
Gelisah akan pulang, rindu dan bukubuku 

Ia ingin langit mendung di jalan pulang. 
Hujan telah kadung mencintainya, 
dan ia mesra dengan hujan. 

Air menetes dari ujung rambut hitam. 
Membasahi tanah kuburan merah.

Tiba-tiba ia kehilangan suara. 
Tiba-tiba ada sembilu di tenggorokan. 
Detikdetikmencekikleherwaktu yang d a t a n g t e r l a m b a t 

subuh berkumandang, “Yang terucap akan terlupakan, 
yang dalam hati akan tetap di sana.”