Sabtu, 30 Desember 2017

menunggu langit berwarna jingga

Sambil menunggu langit berwarna jingga,
ia menyusun rindu di tepi pantai itu,dilepasnya sepatu,
dibenamkan kaki pada pasir yang masih hangat

Sambil menunggu langit berwarna jingga,
ia melukis janji ungu yang masih terlipat rapih dalam saku baju
--dekat dengan jantungnya

Sambil menunggu langit berwarna jingga,
ia biarkan ombak menghapus jejak langkahnya yang ragu,
dirahasiakan setianya menanti sampai matahari berwarna darah

Sambil menunggu langit berwarna jingga,
digengamnya yang tak terucap pada akad jiwa



Senin, 25 Desember 2017

Seorang yang Memilih Bersepeda

Sepeninggal istrinya, Edogawa seperti kehilangan kemampuanya menggaet wanita. Satu hal yang saya prediksi menjadi alasan kenapa jodoh sang Playboy Cap Gayung itu seret; terlalu banyak bersenggama dengan sepeda.

Saya mengenal Edo dan Mira, mendiang istrinya, sejak MTs dan sampai bulan-bulan terakhir sebelum istrinya wafat, saya masih sering main ke tempat Edo. Waktu itu dia baru mulai gandrung dengan komunitas Sepeda Federal Bekasi. Sementara saat itu —atas hasutan istri, saya baru mulai mengenal Food Combining; sebuah sekte yang mempercayai bahwa manusia semestinya memilah-milih makanan juga waktu-waktu tertentu untuk memakan makanan agar semakin sehat.

Istri saya mempengaruhi Mira dengan ajaran itu. Suatu siang, Edo menghubungi saya lewat BBM, “Bini gua diracunin apa ama bini lu? Pagi-pagi gua disuguhin sarapan buah doang. Udah kayak burung betet gua.”

Saya membalas pesan itu dengan emoticon tawa. Kesengsaraan memang perlu dibagi-bagi. Pengalaman saya dengan agama Food Combining lebih mengenaskan. Pernah suatu malam sepulang kerja, saya disuguhi makan malam berupa nasi putih dan lalapan. Tanpa sambel. Sambil makan, dalam hati saya terus menerus meyakinkan diri sendiri bahwa saya manusia, “Saya manusia. Saya manusia. Bukan kambing.”

Kembali ke sepeda. Suatu sore, saya dan Deni main ke tempat Edo untuk membicarakan bola, jodoh dan banyak hal. Termasuk rencana untuk manjat Gede yang beberapa hari sebelumnya telah kami bahas di grup WA.

“Udah kita bertiga aja, Do. Akhir tahun. Gimana?” Saran saya ke tuan rumah.

“Aduh. Berat gua ninggalin anak-anak, Mi.” Edo menolak.

“Het, duda. Kagak ada yang laen alesannya.” Deni berkomentar, “Udah lu bawa aja anak lu sekalian.”

Keputusan dari pertemuan itu akhirnya kami batal hiking. Diam-diam saya bertanya ke Edo, “Jadi rencana lu ngisi liburan akhir tahun apa?”

“Gua niat mau ke Dieng. Ngegowes.”

“Serius?”

“Iya.”

“Sendiri?”

“Iya.”

Sampai akhir percakapan, dan sampai sekarang, saya nggak ngerti apakah kepala Edo masih berisi gumpalan otak. Saya menduga, karena kebanyakan mengayuh sepeda, perlahan-lahan otaknya turun dan pindah ke pedal. Dengan begitu, konon ia bisa bercakap-cakap dengan sepedanya sehabis Tahajud.

Hari ini 25 Desember 2017, saat orang-orang meributkan selamat natal, di sanalah ia bersama dirinya dan sepeda. Di negeri di atas awan.

Saya mengerti, ia bersepeda selain untuk kesehatan dan menjaga kewarasan, juga untuk merayakan kehidupan. Dengan bersepeda waktu tempuh menjadi lebih lambat dibanding menggunakan kendaraan bermotor. Dengan begitu ia bisa menikmati moment. Menikmati setiap kayuhan dan nyawa dengan penuh rasa syukur. Itu filosofi yang ia dapat dari bersepeda, selain juga kalimat Einstein, "Life is like riding a bicycle. To keep your balance, you must keep moving."

Ia pernah menulis di status Fb tentang kegundahan hatinya, “Hasrat besar dibalik semuanya. Semua yang tak terkatakan. Semua yang tak terelakkan. Semua yang tak pernah tuntas saya pahami. Semua yang membabi-buta tanpa ampun. Semua yang begitu bergemuruh. Semua yang tak mau reda. Semua yang terus menghantam relung-relung yang paling dalam. Yang memberi makna pada semua yang tak penting. Yang menyalakan lilin-lilin di malam-malam sunyi. Yang mencerahkan hari-hari syahdu. Yang membuat senja merona merah membara. Yang membuat saya merasa ada sekaligus tiada.”

Saya mendoakan kebaikan untuk kawan saya itu. Semoga selamat dalam perjalanan. Keep moving forward.

Selamat Natal ala Al-Quran

Ada tiga sisi dalam ajaran Islam yaitu akidah yang harus dipahami dan diyakini, syariah yakni ktentuan-ketentuan hukum yang diamalkan, dan akhlak yaitu norma-norma yang hendaknya menghiasi interaksi manusia.

Teks keagamaan yang berkaitan dengan aikidah, menghindari redaksi-redaksi yang dapat menimbulkan kerancuan pemahaman. Kata “Allah”, misainya, tidak digunakan oleh Al-Quran ketika masyarakat masih memahaminya dalam pengertian yang keliru (Amatilah wahyu-wahyu awal yang diterima Rasul). Nabi sering menguji pemahama umat tentang Tuhan, misalnya beliau tidak sekalipun bertanya, “Di mana Tuhan?” Tertolak riwayat yang menggunakan redaksi seperti itu karena ia menimbulkan kesan keberadaan Tuhan pada satu tempat, hal yang mustahil bagi-Nya dan mustahil pula diucapkan Nabi. Dengan alasan serupa, para ulama terdahulu enggan menggunakan kata “ada” atau “keberadaan Tuhan” tetapi menggunakan istilah “wujud Tuhan”.

Akidah diajarkan Nabi dengan jelas, tegas, tanpa penahapan dan banyak perincian. Ini berbeda dengan syariah. Pada mulanya shalat diwajibkan hanya dua kali sehari, dan ketika itu berbicara sambal shalat pun masih dibolehkan. Ada juga semacam kompromi dalam pelaksanaan syariah, namun tidak mungkin membicarakan masalah ini di sini. Tetapi yang jelas, segala cara ditempuh untuk memelihara kemurnian akidah.

Para pakar dari berbagai agama sepakat bahwa kerukunan umat beragama yang harus diciptakan, tidak boleh mengaburkan apalagi mengorbankan akidab. Sikap yang diduga dapat mengaburkan pun dicegahnya. Dalam kaitan inilah Islam melarang umatnya menghadiri upacara ritual keagamaan non-Muslim, seperti perayaan Natal. Karena betapapun Islam menjunjung tinggi Isa Almasih, namun pandangannya terhadap beliau berbeda dengan pandangan umat Kristiani.

Di sisi lain harus pula diakui bahwa ada ayat Al-Quran yang mengabadikan ucapan selamat Natal yang pernah diucapkan oleb Nabi Isa, tidak terlarang membacanya, dan tidak keliru pula mengucapkan “selamat” kepada siapa saja, dengan catatan memahami dan menghayati maksudnya menurut Al-Quran, demi kemurniaan akidah. Mungkin bagi seorang awam sulit memahami dan menghayati catatan ini. Nah, di sinilah para pemimpin dan panutan umat dituntut agar bersikap arif dan bijaksana sehingga sikapnya tidak menimbulkan pengeruhan akidah dan kesalahpahaman kaum awam.

Dalam suasana Natal yang dirayakan oleh umat Kristen, pada tempatnya umat Islam mengenang dan menghayati ucapan Selamat Natal yang diucapkan oleh Isa a.s. dan diabadikan Al-Quran: Salam sejahtera untukku pada hari kelahiranku, wafatku dan kebangkitanku kelak (QS 19:33). Namun, harus pula diingat bahwa sebelum mengucapkan salam tersebut ditegaskan oleh Al-Quran bahwa beliau adalah hamba Allah yang diperintahkan shalat, zakat, mengabdi kepada ibu, tidak bersikap congkak, dan tidak pula celaka (lihat QS 19: 30-32), dan ditutup ucapannya dengan berkata kepada umatnya: Sesungguhnya Allah adalah Tuhanku dan Tuhanmu, maka sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus (QS 19:36).

Inilah Selamat Natal ala Al-Quran. Adakah seorang Muslim yang enggan atau melarang ucapan Selamat Natal dengan maksud demikian, sambil mempertimbangkan situasi dan kondisi di mana diucapkan? Rasanya dan logikanya: Tidak! Semoga perasaan dan logika itu tidak keliru, dan tidak pula disalahpahami. []


Diambil dari buku Lentera Hati; Kisah dan Hikmah Kehidupan (Mizan, 1994), karangan Prof. Dr. M. Quraish Shihab

Yesus Kristus a.k.a. Isa Almasih a.s.

Berikut saya kutipkan penjelasan Habib Quraish Shihab tentang pandangan Muslim terhadap nabi Isa a.s. yang saya ambil dari buku beliau Lentera Hati; Kisah dan Hikmah Kehidupan (Mizan, 1994). Silahkan dibaca dan direnungi.



Al-Quran mengisahkan kelahiran Isa Almasih a.s. dan kisahnya ditutup dengan ucapan sang bayi agung yang baru lahir itu: “Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.” (QS 19: 33).

Demikianlah Al-Quran mengabadikan ucapan selamat pertama dari dan untuk Nabi Suci itu yang dibaca setiap saat oleh kaum Muslim. Bagi seorang Muslim dicegah membedakan seorang nabi dengan nabi yang lain (QS 2:285).

Kita percaya kepada Isa a.s. sebagaimana kita percaya kepada Muhammad saw. Keduanya adalah hamba dan utusan Allah. Kita mohonkan curahan shalawat dan salam untuk mereka berdua sebagaimana kita mohonkan untuk seluruh nabi dan rasul. Sebab seluruh nabi dan rasul datang membawa ajaran ilahi walaupun dengan perincian dan ciri yang berbeda.

Isa a.s. datang membawa kasih: “Kasihilah seterumu dan doakan orang yang menganiayamu.” Beliau datang mengarahkan sekaligus melihat sisi balk dari seluruh makhluk: “Ketika beliau bersama murid-muridnya menemukan bangkai di perjalanan, murid-muridnya sambil menutup hidung berkat: ‘Alangkah busuk bau bangkai ini’. Beliau bersabda: ‘Alangkah putih giginya.’” Beliau datang menghidupkan jiwa, karenanya beliau mengecam sikap ahli Taurat yang hanya melihat dan mempraktikkan teks-teks ajaran secara kaku, tanpa menghayati makna dan tujuannya.

Sayang, beliau mendapat tantangan. Musuh-musuhnya memancing kesalahan ucapan beliau untuk dijadikan dalih melaporkannya kepada penguasa. Namun, ciri bahasanya yang manis dan penuh perumpamaan itu tidak memberi peluang untuk maksud jahat tersebut: “Bayarkanlah kepada Kaisar barang yang Kaisar punya dan kepada Allah bararng yang Allah punyai.

Banyak persoalan yang berkaitan dengan kehidupan Almasih yang dijelaskan oleh sejarah sehingga harus diterima sebagai kenyataan oleh siapapun, tetapi ada juga yang tidak dibenarkannya atau paling tidak diperselisihkan. Di sini kita berhenti untuk merujuk kepada akidah dan kepercayaan kita masing-masing.

Agama menuntut setiap umatnya memelihara kesucian akidah. la tidak boleh ternodai meskipun sedikit dan dengan dalih apa pun. Agama –sebelum negara menuntutnya- telah menegaskan agar kerukunan umat terpelihara. Salah, bahkan dosa, bila kerukunan dikorbankan atas nama agama, dan salah serta dosa pula bila kesucian akidah ternodai oleh dan atas nama kerukunan.

Bagaimana hubungan dan kedudukan Almasih di sisi Tuhan? Bagaimana kesudahan beliau? Apakah beliau disalib atau yang disalib orang lain yang mirip beliau? Apakah beliau diangkat ke langit dengan ruh dan jasadnya atau ruhnya saja, ataukah “pengangkatannya” dalam arti majazi? Apakah beliau akan datang lagi ke bumi? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang tidak mungkin terjawab oleh ilmu pengetahuan dan sejarah, namun telah dijawab oleh akidah kepercayaan.

Dostoyevski (1821-1881), seorang pengarang Rusia kenamaan, dalam salah satu karyanya berimajinasi tentang kedatangan kembali Isa Almasih. Terlepas dari penilaian terhadap imajinasi itu, namun dapat dipastikan bahwa bila beliau datang, banyak hal yang akan beliau luruskan bukan saja sikap dan ucapan yang mengaku sebagai umatnya, tetapi juga sikap umat Nabi Muhammad saw.

Itulah Isa putra Maryam yang mengucapkan kata-kata yang benar, mereka berbantah-bantahan tentang kebenarannya (QS 19: 34). Salam sejahtera semoga tercurah kepada beliau dan kepada seluruh hamba dan utusan Allah, dan semoga kedamaian menyentuh seluruh umat. []

Minggu, 24 Desember 2017

Maulid dua Nabi

Maulid Nabi Muhammad saw. dan Hari Raya Natal seperti biasa berdekatan peringatannya. Ada tulisan bagus dari Habib Quraish Shihab yang membahas tentang itu. Silahkan disimak.

Secam umum, orang berpendapat bahwa tahun pertama penanggalan Miladi adalah tahun kelahiran Isa Almasih. Ini telah dikenal oleh bangsa-bangsa Eropa sejak 532 M, ketika mereka -atas usul salah seorang pemuka agama- menetapkan penanggalan Masehi. Namun demikian, tidak sedikit agamawan dan sejarahwan yang menolak tahun itu, antan lain, dengan dalih bahwa di dalam Perjanjian Baru di nyatakan bahwa Almasih lahir pada masa pemerintahan Herodes, sedangkan tokoh ini dikabarkan meninggal sekitar empat tahun sebelum tahun pertama penanggalan Miladi itu.

Tanggal 25 Desember sebagal tanggal kelahiran isa juga diragukan oleh sebagian orang dengan berbagai dalih dan alasan. Sebagai Muslim atau Kristen, boleh jadi kita dapat mentolerir perbedaan pendapat tersebut, tetapi yang tidak dapat kita terima adalah keraguan sebagian orang akan kehadiran Almasih di pentas bumi ini. Sejak abad ke-18, rnuncul sekelompok peneliti yang beranggapan bahwa Almasih adalah tokoh fiktif -bahkan hampir semua pembawa agama kecuali Nabi Muhammad saw. Mereka meragukan wujudnya dengan dalih bahwa nama Isa as. tidak disebut-sebut dam sejarah yang berbicara tentang periode yang disebut sebagai masa kehadirannya dan bahwa kisah hidup beliau yang diuraikan selama ini sama dengan kisah tokoh-tokoh khayal yang dikenal sebelumnya.

Bukan hanya agamawan yang menolak keraguan di atas. Sederetan ilmuwan membuktikan kekeliruannya pula. Sebagai Muslim atau Kristen, kita yakin sepenuhnya bahwa -sebagaimana Muhammad saw.- Isa as. pun pemah hadir di pentas bumi ini walaupun boleh jadi kita berbeda tentang tanggal dan tahun kelahirannya. Kalau demikian, yang perlu kita pertanyakan dan renungkan adalah tujuan kehadirannya. Di sini jawabannya bisa banyak, ada yang disepakati dan ada pula yang diperselisihkan. Marilah kita singkirkan yang diperselisihkan dan mencari titik temu.

Hemat saya, salah satu yang dapat disepakati adalah bahwa isa dan Muhammad datang untuk umat manusia. Keduanya mengaku sebagai “anak manusia”. Berulang kali istilah ini ditemukan dalam Perjanjian Baru, dan berulang kali pula Al-Quran memerintahkan Muhammad saw. untuk menyatakan dirinya sebagai manusia seperti manusia lain. Keduanya datang membawa rahmat Ilahi.
“Aku datang membebaskan bumi,” sabda Isa.
Aku rahmat bagi seluruh alam,” sabda Muhammad.

Keduanya datang membela yang lemah, membebaskan yang tertindas, dan mengulurkan tangan kepada semua yang membutuhkan.

Ketika seorang datang kepada Almasih dan menyatakan telah melaksanakan perintah Tuhan, berupa “Tidak berzina, tidak membunuh, tidak mencuri, dan seterusnya,” Almasih berkata kepadanya: “Ada satu yang belum engkau kerjakan. Pergilah dan jual barangmu serta berikan kepada fakir miskin.” Beliau juga bersabda: “Siapa yang memiliki dua baju hendaklah dia memberi yang tidak memilikinya, siapa yang memiliki makanan maka hendaklah ia memberi yang tidak punya.

Muhammad saw. juga demikian, beliau berkata: “Carilah aku di tengah-tengah masyarakat yang lemah.” Kepada yang berkecukupan beliau bersabda: “Kalian mendapat kemenangan dan memperoleh rezeki berkat orang yang lemah. Mereka adalah saudara-saudaramu, berilah mereka makan dari apa yang kamu makan, serta pakaian seperti apa yang kamu pakai.”

Di sinilah salah satu tempat pertemuan Muhammad saw. dan Isa a.s. dan dari sanalah mereka berjalan seiring bergandengan tangan dan dari sana pula umat mereka dapat bertemu dan berjalan bergandengan, khususnya di bumi Pancasila ini.

Terlepas apakah kelahiran Almasih bertepatan dengan 25 Desember ataupun tidak, namun seorang Muslim dianjurkan untuk membaca firman Allah yang antara lain menceritakan ucapan beliau pada saat kelahirannya.

Salam sejahtera dilimpahkan kepadaku pada hari aku dilahirkan, diwafatkan, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali (QS 19: 33). Semoga damai di bumi dan sejahtera umat manusia. []

Diambil dari: Isa a.s. dan Muhammad saw. Bergandengan Tangan, Lentera Hati; Kisah dan Hikmah Kehidupan (Mizan, 1994).

Sabtu, 16 Desember 2017

Festival Dongeng Internasional 2017

Minggu pagi itu saya tidak berencana pergi kemanapun, sampai istri saya menyarankan untuk mengajak anak-anak ke sebuah acara di Perpustakaan Nasional RI.

Harusnya hari itu kami menjenguk seorang kawan yang baru selesai operasi, tapi karena istri saya radang ternggorokan, rencana itu batal. Saya sedang leyeh-leyeh di kasur ketika istri saya memberitahu bahwa ada Festival Dongeng Internasional di Jakarta.

“Ajak anak-anak ke sana gih, Bang!” ia menyarankan.

“Sekarang?”

“Iya. Ini hari terakhir.”

Setelah menimbang beberapa alat transportasi, akhirnya kami memutuskan untuk menggunakan ojek dan kereta. Pukul 09:00 pagi, bekal makan siang disiapkan. Untuk orang yang bepergian tanpa membawa anak, perjalanan mendadak apalagi hanya ke Jakarta dari Bekasi adalah hal yang bisa dilakukan sambil juggling. Namun tidak begitu pergi dengan dua anak kecil. Bersama anak-anak, kejadian sederhana seperti menyiapkan bekal – memakai baju – menyiapkan kendaraan – pergi – sampai tujuan – bersenang-senang akan menjadi kegiatan yang membangkitkan keinginan masa lalu untuk melakukan vasektomi.

Hari itu kebetulan saya dan keluarga menginap di tempat Mamah —panggilan saya untuk mertua, jadi saya membawa anak-anak pulang untuk mengambil baju dan sepatu. Semua yang harus saya ambil di rumah saya catat di HP. Kartu Multitrip KAI, tiket langganan KRL Jabodetabek, menjadi barang yang saya catat paling awal. Sesampai di rumah, kegaduhan dimulai.

Nada: Pak, tolong kancingin baju dong!

Saya: Bentar ya, bapak lagi ngorder ojek dulu. Dari tadi gak bisa-bisa nih.

Safa: Aku pake rok ini aja ya, pak?

Saya: Jangan. Pake celana panjang aja biar gampang.

Safa: Pak, kakak mukul aku tuh.

Saya: Jangan berantem dong. Kita kan mau pergi.

Nada: Ih siapa yang mukul? Kamu tuh yang mukul.

Safa: Kamu!

Nada: Kamu!

Safa: Kamu!

Nada: Kamu!

Safa: Kamu!

Nada: Kamu!

Kepala saya pecah.

Safa merajuk ingin dilayani. Nada bersikap seperti kakak yang tegas bahkan sedikit kejam. Saya sedang mengisi air minum di botol ketika istri saya mengirim pesan bahwa telur yang saya goreng lupa dimasukan ke dalam kantung bekal.

Setelah beberapa keributan itu, akhirnya saya dapat sinyal dan bisa memesan ojek. Di tengah jalan menuju stasiun, saya ingat kalau Kartu Multitrip kereta tertinggal di rumah. Bodoh! Saya mengutuk diri sendiri.

Stasiun Bekasi Timur Minggu pagi itu sepi. Saya membeli tiket dan menunggu kereta. 10 menit menunggu, kereta datang. Kami menelusuri gerbong kereta yang lebih lenggang tapi sia-sia. Semua gerbong penuh sumpek berisi manusia-manusia ikan asin. Pihak stasiun mengumumkan melalui pengeras suara untuk tidak memaksa masuk ke dalam kereta, lebih baik menunggu kereta selanjutnya. Saya menuruti, tanpa saran itupun, secara naluri tidak mungkin saya mengajak anak-anak masuk ke dalam kereta yang berjubel Prajurit Spartan.

Saya bertanya kepada keamanan stasiun, dijawab bahwa kereta selanjutnya akan datang satu jam lagi. Saat itu, jam di tangan menunjukan pukul 11:40.

Saya memandangi anak-anak, “Keretanya penuh. Kita naik kereta yang selanjutnya aja ya? Satu jam lagi. Bagaimana menurut kalian?”

Nada yang sudah mengerti tentang jam mengangguk, “Iya. Gak papa.”

Safa sepertinya clueless dan tidak menjawab apapun.

“Gimana kalau kita buka bekal kita di sini?” saran saya ke anak-anak.

Istri saya, begitu tahu harus menunggu satu jam untuk kereta selanjurnya, misuh-misuh di WA. Saya mematikan paket data.

Setelah menghabiskan bekal makan siang dan membunuh waktu sambil bermain tebak-tebakan, kereta datang. Pukul 13:15 kami masuk ke gerbong. Anak-anak masih terlihat excited dan senang, saya berhasil menjaga mood mereka. Itu yang paling penting, yang lainnnya bisa diatur.

Pukul 14:15 tiba di St. Pasar Senen setelah sebelumnya transit di St. Jatinegara. Segera saya memesan ojek untuk menuju lokasi. 15 menit kemudian kami sampai di Perpustakaan Nasional Ri di Jl. Salemba Raya. Tanpa bertanya ke satpam yang tidak jauh dari gerbang, saya mengajak anak-anak masuk ke gedung perpustakaan yang jaraknya sekitar 100 meter dari gerbang utama. Sepanjang jalan ke gedung, saya mencari petunjuk yang semestinya ada, tapi nihil. Agak aneh untuk acara internasional. Sesampainya di depan pintu gedung perpustakaan, pintu tertutup rapat. Saya baru sadar kalau salah tempat setelah kembali lagi ke gerbang utama dan bertanya ke satpam. Ternyata lokasi acara tersebut di Jalan Medan Merdeka Selatan, tepat di sebelah Balai Kota DKI. Oh, kebodohan macam apa lagi ini.

Acara dijadwalkan berlangsung dari pukul 08:30 sampai dengan 17:00 dan kami baru tiba pukul 15:00. Enam jam waktu yang saya habiskan dalam perjalanan, meladeni buruknya sinyal, kegaduhan bersama anak-anak dan kebodohan yang saya buat sendiri. Dengan waktu yang sama menggunakan pesawat, kami tentu sudah mendarat di Raja Ampat.

Kami sudah sangat terlambat, tapi acara kolaborasi dongeng internasional, dimana menampilkan seluruh pendongeng internasional yang hadir dalam festival itu, baru akan dimulai. Dibuka oleh Kak Aio sang Direktur Festival Dongeng Indonesia, ia mendongeng tentang monyet dan kelinci, yang inti kisahnya adalah tentang menghormati perbedaan. Dilanjutkan oleh Hori Yoshimi & J2net dari Jepang yang mencoba bercerita menggunakan bahasa Indonesia, cerita Doraemon, memperkenalkan karakter Doraemon, anak-anak senang terutama ketika mereka diajak bernyanyi lagu Doraemon versi Indonesia. Arthi Anand Navaneeth dari India melanjutkan dengan cerita tentang seekor gajah bernama Gajapati Gulapati yang terkena flu. Tanya Batt dari Selandia Baru bercerita tentang Kue Jahe yang dikejar-kejar banyak makhluk untuk dimakan, yang unik adalah ia mendongeng dengan menggunakan lagu, sambil bernyanyi, atau nge-rap. Seung Ah Kim dari Korea Selatan bercerita tentang bayi yang suka menangis dan harimau, yang pada akhir cerita ia kaitkan dengan awal mula ia senang mendongeng. Uncle Fat dari Taiwan selanjutnya bercerita tentang gadis kecil yang cantik dan melon, ia mengajak semua pengunjung berinteraksi dengan ceritanya, setiap kali ia bercerita, beberapa bagian penonton bersorak. Dan yang terakhir, Craig Jenkins dari Inggris Raya, bercerita tentang Raja Mustache, ia yang paling lucu dari semua pendongeng, penonton sangat terhibur. Ada seorang pendongeng yang tidak ikut sesi dongeng kolaborasi tersebut; Kiran Shah dari Singapura.

16:30 acara selesai dilanjutkan dengan sesi foto. 17:40 kami pulang. Kami beruntung, karena dari waktu yang sangat singkat itu bisa mendengarkan hampir seluruh pendongeng internasional yang hadir.

Ada hal yang lebih menyenangkan untuk saya; melihat anak-anak menikmati semua dongeng yang mereka dengarkan. Di dalam kendaraan pulang, anak-anak antusias mendengarkan saya mengulang semua cerita.

“Gimana? Apa kalian senang dengan acara tadi?” saya bertanya kepada Nada dan Safa.

“Senang!” mereka menjawab hampir bersamaan.

“Cerita apa yang paling kalian suka?”

“Emm.. Gajapati Gulapati.” Kata Nada.

“Kalo aku, Raja Mustache sama bayi yang suka nangis.” Safa memilih dua.

“Eh, aku juga suka Raja Mustache deh. Sama lagu Doraemon.” Nada menambahkan.

Saya percaya, dongeng adalah alat mendidik yang paling efektif karena menarik dan bisa mempengaruhi dengan halus, tanpa berteriak atau menceramahi. Saya mendongeng untuk mengatakan bahwa orang yang baik bukanlah mereka yang tidak pernah berbuat buruk, tapi yang menyesali perbuatan buruk dan punya keinginan untuk berubah. Saya bercerita untuk mengganti kalimat, “Membalas boleh dilakukan, namun jangan berlebihan.” atau “Tidak ada yang ingin berteman dengan pembohong.”

Dengan dongeng saya tidak perlu memberatkan diri untuk menyampaikan moral of the story; pelajaran yang dapat diambil dari sebuah cerita, karena anak-anak dengan sendirinya memahami. Bahkan mereka mengerti tentang ironi dan sinisme dalam cerita. Di atas itu semua, dongeng yang baik selalu punya cara untuk mengendap di benak setiap orang. Setiap anak.

“If you want your children to be intelligent, read them fairy tales. If you want them to be more intelligent, read them more fairy tales.” - Albert Einstein


Kamis, 07 Desember 2017

TV Kabel

“Baaang, ada tamu nih.” Istri saya setengah berteriak dari halaman.

“Iya.” Saya bergegas ke luar dari kamar.

Ternyata sales yang mau nawarin layanan TV kabel. Pasti istri saya mau ngerjain, pikir saya kemudian. Karena dia tau, apa faidahnya langganan TV berbayar kalau gak punya TV.

Sebagai tuan rumah yang baik, saya meladeni si sales, “Iya, Mas, ada apa ya?”

“Ini saya dari Transvision mau nawarin promo.. bla, bla, bla.”

Saya mendengarkan dan merespon sekedarnya, “Oh gitu, Mas.”

Istri saya memberi kode lewat kedipan. Awalnya saya nggak paham, tapi lama kelamaan saya mengerti maksudnya. Sales yang saya ajak ngobrol adalah mbak-mbak bukan mas-mas. Saya ketahui setelah melihat anting emas di kedua telinganya. Saya merasa berdosa.

Ya tapi bukan salah saya juga. Potongan rambutnya cepak, pake jaket, celana jeans dan sepatu kets. Tapi melihat respon dari awal, saya kira dia sudah biasa dengan panggilan itu. Dari tampangnya sepertinya dia mau bilang, “Santay! Lu orang yang ke seribu dua puluh tiga yang manggil gua mas.”

Dia juga nggak bilang dari awal kalau bukan mas-mas. Maksud saya, dia kan bisa bilang dengan sopan, “Maaf pak, saya bukan mas-mas, saya mbak-mbak. Gak liat nih anting saya? Saya juga suka main Barbie dan pake legging macan tutul kok!”

Si sales tetap menjelaskan panjang lebar. Saya tetap mendengarkan Set-up itu. Tunggu Punch Line saya, kata saya dalam hati.

“Iya. Promonya sih bagus, Mbak.” Saya memberi jeda, “Tapi saya gak punya TV.”

Sales diam.

Suasana hening sesaat sampai akhirnya si sales tertawa.

Saya tidak ikut tertawa.

Diam menikmati.

Rabu, 06 Desember 2017

Time heals Adil, but not in the skin

Pagi itu, beberapa menit setelah dokter UGD menyatakan bapak meninggal, saya menghubungi kawan saya Njay. Dia adalah guru di tempat Adil, adik bontot saya, mondok.

Saat itu Adil sedang ada Ulangan Semester. Dalam bayangan saya, Adil telah belajar super keras untuk mengangkat nilainya lagi. Untuk mendapat rangking lagi. Karena saingannya tidak main-main; cucu kiyai.

Saya menelpon Njay. Saya tahu kemudian bahwa Njay sendiri yang mengantar Adil pulang, tanpa diberitahu bahwa bapaknya meninggal. Adil mungkin sedikit curiga dijemput saat ulangan sedang berlangsung, tapi belum bisa menerka ada apa.

“Ayo, Dil. Ikut abang bentar.” Mungkin Njay ngomong gitu.

“Ada apa, Bang Njay?”

“Ayo ikut aja!”

Adil sempet rangking 1, kemudian disalip. Mungkin saat penjemputan itu Adil berpikir akan sebuah rencana subversif; Biar gue gak bisa rangking lagi nih. Gagal rebound dah gue. Malah udah taroan goceng-goceng lagi. Rese.

Njay mengantar Adil memakai motor. Di tengah jalan, kecurigaan Adil akan sabotase memudar. Seiring dia mengenal jalan yang dilalui. Maka sampai di rumah, begitu melihat bendera kuning, Adil mulai emosional. Tidak mungkin hanya karena ayam peliharaannya mati ada bendera kuning. Kalimat Muhasabah yang biasa dipakai becandaan, “Bayang kaaaan! Ada bendera kuning di depan rumah muuuu!” sudah tidak lucu lagi.

Turun dari motor, Adil sudah terlihat sedih. Ia sudah melihat nama di bendera kuning. Ia sudah tahu siapa yang meninggal. Begitu sampai di depan rumah, Adil menghampiri sesuatu yang ditutup kain putih.

“Bapaaak!” Adil histeris.

“Sabar, Dil!” Orang-orang menenagkan.

“Diem luh!” Adil semakin emosional. Mengibaskan tangan.

“Sabar, Dil!” Orang lain menenangkan.

“Jangan peganging gue!” Adil berontak.

“Bukan gitu, Dil.” Kata saya sambil mendekat, “Jenazah bokap di sana. Itu yang lu tangisin baskom amal.”

“Oh ini baskom amal?” Adil menyeka air mata dan pindah.

Wajar Adil menjadi anak yang paling sedih, karena dia adalah anak bontot dan paling dekat dengan bapak. Sangat dekat. Saking dekatnya, mereka joinan rokok. Joinan ngopi. Nggak, nggak. Becanda. Yang bener, Adil waktu kecil disapih pake kopi. Kalian pikir Adil gosong gitu karena apa? Ampas kopi nyerep ke kulit.

Sepanjang hari itu Adil menangis tanpa henti dan tidak bisa diajak bicara. Disuruh ngaji nggak bisa, di minta bantuin gotong jenazah gak mau. Hanya menangis. Kami memindahkan Adil ke kamar. Mungkin karena lelah menangis, atau lelah karena semalam bergadang bikin kebetan, akhirnya ia tertidur.

Adil kalau sudah tidur, Korea Utara meledak juga dia nggak akan tahu. Saya membangunkan Adil untuk salat zuhur. Tapi sia-sia. Mengulet pun tidak. Saya menyerah dan meninggalkan dia di kamar. Baru selangkah meninggalkan kamar, saya mendengar suara isak. Adil menangis lagi. Berlanjut. Goodbye and Cry Album Vol. II.

Kejadian itu sudah dua tahun berlalu. Seiring bertambahnya tahun, kesedihan akan kehilangan semakin memudar. Berganti dengan hal-hal yang di luar dugaan. Saya bisa melihat kelucuan dari kejadian itu. Bahkan saya pernah bermimpi, seperti di sinetron Indosiar —dimana ada karakter yang mati tapi hidup lagi, bapak hidup lagi. Jadi kuburan yang ada adalah kuburan palsu. Saya terbangun dengan perasaan geli sendiri. Saya membayangkan bapak berada di sebuah tempat di dunia ini. Mungkin di Maldives, sedang berjemur di bawah sinar matahari.

Benar apa yang dikatakan orang bahwa waktu yang akan menyembuhkan. Tidak sekedar itu, saya mendapat hal lain, bahwa waktu juga yang mendekatkan. Entah mengapa, saat ini saya merasa lebih dekat dengan bapak. Bukan berarti saya percaya arwahnya gentayangan, bisa nyurupin orang atau bisa dimasukin ke dalam botol minyak. Bukan.

Kedekatan itu bukan secara fisik. Walaupun ada suatu waktu, terutama ketika melihat orang yang perawakannya mirip bapak, saya jadi teringat beliau. Biasanya saya segera mendoakan dan mengirimkan Al Fatihah. Kedekatan yang saya maksud lebih kepada kedekatan secara kebatinan.

Saya pernah menulis bahwa perkara terbesar dari kehilangan orang terdekat adalah penyesalan terhadap apa yang belum kita lakukan. Itu yang paling awal terasa. Lambat laun kemudian kita mengikhlaskan bahwa tidak semua yang kita inginkan terwujud. Sekarang, saya berada di sebuah fase dimana saya memahami bahwa kematian bukanlah hal yang memisahkan. Saya merasa masih terhubung. Saya yakin di alam kubur beliaupun merasakan. Itu sebabnya Nabi mengajarkan untuk mengucapkan salam ketika memasuki area pemakaman. Artinya mereka memang masih berada di sana.

Ya, sekarang saya merasa lebih dekat dengan bapak, bukan lagi secara fisik, tapi spiritual.

Al Fatihah!

Kamis, 30 November 2017

Donat

Melalui pesan WA saya bilang ke seorang kawan, “Catet, Ti. Gua pernah ngantri dua jam demi dua kotak donat.”

Dia membalas cepat sambil memberi emoticon tertawa, “Bentar dulu, siapa tau sampe 4 jam!”

Padahal gerai donat itu belum dibuka, tapi antrian sudah sampai 100 orang. Padahal itu hari kerja. Dalam hati saya membatin, “ini orang gak pada gawe apa? Pagi-pagi buta gini udah ngantri donat. Tukang nasi uduk gak pada jualan apa?”

Di tengah mengantri itu, di depan saya ada dua orang ibu-ibu haji sedang bercakap-cakap, “Kalau gak nurutin anak mah saya males ngantri begini.”

Dalam hati saya bilang, “Anak lu bu haji…. Durhaka!”

Yang lebih kasihan adalah tukang Gojek. Antrian sudah mencapai 200 orang. Begitu dateng abang-abang Gojek diminta ngantri sama satpam. Melihat antrian panjang dia istigfar dan menelpon minta dikensel. Tapi melihat ada yang lebih menderita dari saya menjadi hal yang melegakan. Jadi setiap ada yang datang dan mengantri di belakang 200 orang itu, saya selalu bilang, “Makan tuh donat!”

Kalau ngantri untuk membeli bahan pokok seperti beras saya masih paham. Atau ngantri buat foto sama presiden. Logika macam apa antri panjang demi diskonan sekotak donat. Orang gila. Dan yang membuat saya semakin kesal adalah saya termasuk orang itu.

Rabu, 01 November 2017

Pada bunga, kenangan, dan hutan yang merencanakan perpisahan

Untuk P.

1.
seekor burung terjatuh ke tengah hutan,
ke rimbun bayang-bayang pohon besar

sekuntum bunga matahari, yang terlalu khawatir dengan
kehidupan orang lain menyapa, “bagaimana perasaanmu?”

berkeping-keping katanya

2.
di atas ada langit yang menyembunyikan semesta;
beberapa luka yang terbuka dan cakrawala
putih tempat semua kata kehilangan suara

Ia mengikat rindu dan beberapa rasa sesal
dari rengkuhan sayap patah
tidak cukup waktu untuk mengatakan cinta yang ungu,
dalam puisi, masa lalu dan kenangan selalu berwarna jingga

perkara paling besar dari mencintai adalah tersakiti,
mereka yang kau benci tidak menyentuh,
hanya oleh mereka yang kau cintai kau luruh

3.
satu-satunya tempat yang ia punya
adalah mimpi; ruang waktu yang gelisah,
pagi yang cerah dan hal-hal yang disimpan dalam hati

ia selalu senang akan rumah dengan atap alang-alang yang nyaman
ketika turun hujan di bulan juni yang tabah
dengan rintik dingin yang tempias merembas jendela-jendela jiwa

tempat kehawatiran, jatuh cinta, suara tawa dan buku-buku yang belum selesai dibaca

pada sebuah jendela,
ia mengingat hari ketika ayahnya berpulang
kepulangan yang panjang

4.
Ia bertawakal pada aliran sungai panjang yang airnya bening
tempat surai emasnya bisa hanyut dalam hening

setelah 90 hari terbaring kaku di atas batu
tidak ada hujan hari itu, juga salju

bunga, kenangan dan hutan merencanakan perpisahan
pada hari terakhir ia di jenggala,
kepadanya ia bilang, “datanglah datang,
akan kusambut kau dengan pelukan,”

hutan membalas dalam diam;
kamu bisa pulang kapan saja
boleh tersesat di ranting mana yang kau suka
dan jangan lupa tertawa

Jumat, 18 Agustus 2017

Orang Sakti yang Menggampar balik Dunia dengan Tangan Kosong

Awalnya saya menganggap Amirudin seorang jenius, ternyata saya salah. Ia orang sakti. Setidaknya, sejauh pembacaan saya terhadap Wali Songo, belum pernah saya temukan ada yang punya Karomah bisa mematikan orang hidup dan kemudian menghidupkannya lagi.

Saya akan cerita tentang alasan ia bisa disebut ~kera~ orang sakti nanti. Sekarang, saya akan bercerita siapa itu Amirudin dan terakhir kali bertemu. Ia adalah kawan semasa Mts. Minggu pagi itu, sepulang kerja, saya berencana mampir ke rumahnya. Menengok anak ke empatnya yang baru lahir beberapa hari sebelumnya.

“Bang, WA gua gak dijawab?” kata saya di telpon, “Baru bangun tidur lu ya?”

“Iya. Jadi kesini?” responnya dengan suara serak.

“Jadi. Ini masih di Prumnas tiga. Bentar lagi saya kesana.”

“Siap! Ane tunggu!”

“Mandi dulu jangan lupa!”

Sebelumnya, lewat WA Amir memberikan ancer-ancer. Berikut saya kutipkan:
“kluar.jln raya setia mekar .lngsung star k rawa klong tugu masuk dalam..lurus ada begall .lihat k depan ada gapura masuk dalam.nanya aja pak RT.napin supena.”

Saya nggak punya masalah dengan gaya menulis para alay. Tapi melihat tulisan dengan kosa kata dan instruksi yang aneh, dengan tanda baca yang bikin mata saya parkinson, saya yakin kalau Amir adalah salah satu alay yang sedang mencoba bertaubat ke jalan yang benar tapi dengan bimbingan ustad yang jarinya jempol semua.

Membaca “begall” dengan dua buah “ll” dalam pesan itu, membuat saya berpikir apakah saya harus membawa laskar jihad agar sampai ke rumahnya dengan aman. Belakangan saya tahu bahwa yang dimaksud adalah “bengkel”.

Huh!
Sejak lulus Mts saya belum pernah ke rumahnya lagi, ditambah penjelasan yang hanya bisa dibaca oleh para pembuat koding, maka saya rewel bertanya melalui WA. Jawaban pamungkasnya membuat saya ragu dan ingin salat istikhoroh:

“nanti klu main..nanya aja d tugu knal semu sama ane”

Padahal, jarak dari Tugu Rawa Kalong ke rumah Amir masih sekitar satu setengah kilo lagi. Kecuali dia Ahmad Dhani yang gagal jadi bupati Bekasi, hanya ada dua kemungkinan penjelasan, antara Amir mau ngerjain saya atau dia mantan maling kotak amal masjid yang pernah diarak keliling kampung.

Satu jam setelah telpon, saya tiba di jalan dekat rumahnya. Amir sedang menunggu saya di pinggir jalan. Belum mandi. Dengan tampang yang tidak banyak berubah dari semenjak dulu saya mengenalnya. Mirip almarhum Taufik Savalas. Tentu tanpa kain kafan.

Saya kemudian dituntun menelusuri jalan kecil menuju rumahnya.

“Nih, Mi. Patokannya pu un ini.” Amir menunjukan pohon belimbing wuluh sejangkauan orang dewasa tepat di samping rumahnya. Kening saya berkerut. Bagaimana cara pohon yang bisa ditaro di pot plastik yang letaknya di dalam gang sempit ini bisa jadi patokan rumahnya?

Suatu saat bisa saja dia bilang ke orang yang mau main, “Pokoknya, dari tugu, tanya aja rumah ane, semua pasti udah tau. Rumah yang depannya ada pohon jamur. Jamurnya di dalem oncom. Oncomnya di dalem pot. Potnya dimasukin kardus.”

Entah memang karena selera humor Amir yang gelap atau gamparan guru Bahasa inggris kami 17 tahun lalu yang membuat otaknya pindah ke perut.

Ini kisah nyata. Jadi suatu pagi di hari sekolah, sebelum sekolah full day seperti sekarang, guru Bahasa Inggris kami masuk kelas dengan tampang belum sarapan. Dengan Bahasa Inggris yang jelas ia meminta para murid mengumpulkan tugas. Banyak murid yang tidak paham. Sang guru bertanya dengan Bahasa Indonesia. Memang begitu kebiasaannya berbicara di kelas. Menggunakan Bahasa Inggris kemudian dilanjut menterjemahkannya ke Bahasa Indonesia. Hal yang sia-sia karena kami hanya fokus dengan apa yang dikatakan dalam bahasa Indonesia.

“Rty hjnc hbkl xcyhh hxfg bjhbzg bxdfhbhz hqbgdsf kjvdsfh!” terdengar di telinga kami.

“Yang belum mengerjakan tugas maju ke depan bawa buku kalian masing-masing!” beliau mengartikan instruksi yang dikatakan sebelumnya.

Ternyata lebih dari setengah kelas belum mengerjakan. Kejadian setelah itu adalah sejarah. Anak-anak di minta berbaris, buku yang mereka bawa diambil, dilipat dan ditamparkan ke pipi mereka masing-masing. Keras!

Oya, saya belum bercerita tentang kesaktian Amir menghidupkan orang mati. Jadi begini, beberapa bulan lalu, seorang kawan bernama Sunandi berhasil mengumpulkan nomor WA alumni Mts. Singkat cerita saya bertemu dengannya. Ia bercerita banyak, termasuk tentang salah seorang kawan kami yang sudah meninggal.

“Itu Felani meninggal kapan?” saya bertanya ke Nandi tentang kawan tersebut. Saya tahu berita ini karena sebelunya di grup, Amir bilang begitu. Tentu semua anggota grup saat itu kaget dan mendoakan. Orang waras mana yang bercanda tentang kematian?

Nandi kemudian bercerita. Cerita yang ia dengar langsung dari Amir. Bahwa Felani kena guna-guna, “Jadi abis pulang kerja, tiba-tiba dia sakit kepala. Kepalanya tau-tau emod. Gak lama habis itu dia meninggal.”

Bagi pembaca yang bukan orang Bekasi, “emod” adalah sebuah terminologi untuk menggambarkan tekstur empuk seperti bakpau kacang ijo yang baru dikukus.

Sampai sini, cerita berjalan wajar. Saya memang setengah percaya cerita tentang perteluhan itu. Tapi mati, apapun sebabnya tetaplah mati. Nah, kisah itu menjadi polemik karena beberapa hari setelah itu, ada kawan kami yang lain yang bilang bahwa Felani masih sehat walafiat.

Jeng, jeng, jeng!

Kalau ini film horror sudah pasti ada background suara angin, biola dengan gesekan minor dan bunyi-bunyi yang membuat bulu kuduk jigrig.

Setelah dikonfrontasi, Amir tentu tidak mau dianggap berbohong, “Beneran. Gua dapet cerita dari Pak Haji. Masa Pak Haji bohong sih?”

“Gua bukan nyalahin Pak Hajinya, Mir. Mungkin elu salah ngira orang.” Kata saya menanggapi.

“Ah, bener ah!” Amir yakin, tapi sedetik kemudian dia ragu, “tapi nanti ane samperin rumahnya langsung dah.”

Beberapa hari berselang, Amir mengunggah foto dirinya bersama Felani ke grup WA. Hari itu, seluruh anggota grup yakin kalau Amir adalah orang ~sakit~ sakti.

Saya membuka sepatu dan seragam kerja kemudian merebahkan diri di bale. Bernaung di bawah rimbun bayang-bayang pohon rindang. Angin bertiup sepoy-sepoy. Amir menyuguhkan kripik singkong dan teh manis.

Kami bercakap-cakap di teras rumah. Tentang entog, pohon jambu air, anak-anak dan hal-hal yang terlewat. Di tengah percakapan, dua orang putri Amir melintas, membantu ibu mereka menjemur pakaian. Yang satu kelas 6 SD, yang satu masih balita. Melihat anak-anak Amir yang lucu dan cakep, saya semakin percaya bahwa teori evolusi Darwin memang benar-benar terjadi.

“Ente gak ngerokok, Bang?” Amir meletakan sebungkus rokok dan korek api di atas bale.

“Nggak,” kata saya, “Gua ambil koreknya aja ya?”

Tentu saya nggak benar-benar mengambil korek apinya. Saya tahu peraturan tidak tertulis para perokok; boleh ambil berbatang-batang rokok di atas meja, tapi jangan pernah bawa pulang koreknya.

“Ente kemari mau nawarin MLM apa asuransi?” Amir to the point.

“Mau nawarin obat ambeyen, Bang.”

“Bang, emang semua orang di Tugu Rawa Kalong kenal sama ente?” saya gantian nanya.

“Kenal.” Jawab Amir pede.

“Bilangnya gimana? Rumah Amiruddin dimana? Gitu?”

“Amiruddin atau Ibnu.”

“Dari tugu ke rumah kan masih jauh. Emang ente terkenal banget yak?”

“Dulu kan ane mantan...”

“Mantan lurah?” saya kagum campur heran.

“Bukan.” Jawab Amir cepat, “Pemulung! Hahaha”

Fix. Selera humor Amir memang gelap. Cerita kawan yang masih seger buger mati karena kepalanya diteluh jadi bakpau, memberi landmark rumah dengan pohon kecil yang bahkan disenderin semut doyong, menyamakan keterkenalan Ahmad Dhani dengan pemulung. Humor yang gelap!

Bukan kali itu saja ia bercanda model itu. Walaupun pembawaannya kalem, tapi dia dikenal jail dan suka melakukan hal-hal tak terduga. Ia pernah membuat drama dengan keluar dari grup WA untuk akhirnya dimasukan kembali.

Ada lagi. Sebelum anaknya lahir, sambil memposting foto bayi, ia pernah menulis, “Alhamdulillah telah lahir di bidan anu anak perempuan bla, bla, bla…”

Spontan semua orang mengucapkan selamat dan doa untuk ibu dan anak yang baru lahir itu. Tapi di akhir percakapan, Amir dengan santai menulis, “Maaf kawan-kawan, ane tadi hanya bercanda. Istri ane belum melahirkan.”

Laaah! Mau dimasukin petasan jangwe kali lobang idungnya!

“Lu skarang bisnis apa, Mir?” Tanya saya kemudian di sela-sela makan kripik.

“Nganggur, Bang!”

“Serius lu?”

“Serius!” Nada suara Amir tegas tapi tenang, “Masa beginian ane becanda? Emang beneran nganggur, masa mau bilang kerja?”

Saya bingung mau membalas apa. Menawarkan gabung MLM juga sudah tidak mungkin. Ketenangan Amir menjawab pertanyaan itu menandakan dia adalah seorang pengangguran profesional bersertifikat. Keep Nganggur and Calm, istilahnya. Kalau itu terjadi pada saya, dijamin, setiap pagi saya akan melihat istri saya mengasah pisau dapur.

Saya tidak sedang mengolok-olok dan menganggap itu sebagai satu hal yang asing dan jauh, tapi sesuatu yang normal dan dekat. Sangat dekat. Almarhum bapak saya menganggur dalam waktu yang lama. Bertahun-tahun bekerja serabutan bahkan pernah berjualan cendol keliling. Kami sekeluarga jadi lebih religius karena sering berpuasa. Itulah masa-masa dimana kami, lima orang bersaudara, makan dijatah, hanya dua kali sehari, dengan takaran tertentu. Seperti gamparan guru Bahasa Inggris, dunia memang terkadang menghajar keras tanpa ampun. Tidak memberi batas dan peringatan.
Sejak saat itu, bagi saya, pengangguran dan kemiskinan bukan lagi masalah kemalasan, tapi keberpihakan. Bahkan Presiden Soekarno sejak dahulu sudah menegaskan, “Kita ini tidak bodoh, tapi dibodohkan. Kita ini tidak miskin, tapi dimiskinkan oleh sebuah sistem.”

Saya kagum dengan sikap dan ketenangan Amir dalam menghadapi masalah. Bahkan menghadapinya dengan jenaka. Dalam kelas, Amir memang tidak dikenal. Oh, maksud saya, di sekolah manapun ukurannya sama; yang dikenal adalah siswa yang paling pintar dan paling nakal. Apa yang diantara keduanya akan dilupakan. Tapi kehidupan yang sebenarnya ada di luar pagar sekolah. Mengutip Abdul Gofur, siswa terajin dan terpandai di kelas, yang kalau bel istirahat berbunyi memilih membuka buku untuk mengerjakan soal-soal matematika ketimbang berhambur keluar untuk jajan, “Kesuksesan atau kegagalan seseorang itu gak tergantung dengan nilai-nilai di dalam kelas.”

Sampai hari ini, kami masih berselisih pendapat tentang pemukulan oleh guru Bahasa Inggris. Ada yang masih dendam, namun kebanyakan bersikap acuh dan melupakan. Wajar saja, tahun 1997-2000 adalah tahun maraknya tawuran antar sekolah, dimana orang bisa dengan ringan bilang ketika ditanya tentang kawannya yang absen, “Oh, si Jeky gak masuk hari ini, lagi di rumah sakit. Lehernya kebacok samurai waktu tawuran kemaren.”

Ya, kami hidup di masa-masa itu. Maka dunia bagi kami tidak lagi terlalu menakutkan. Ia bisa saja menampar dengan kuat, tapi kami bisa menggampar balik sama kuatnya dengan tangan kosong.

“Makasih ya bang udah berkunjung.” Amir menyalami saya yang sudah berada di atas motor untuk pulang.

“Iya, sama-sama, Mir. Semoga sehat terus ya, Mir.” Kata saya sambil menepuk-nepuk perutnya yang buncit. Prediksi saya, anak kelimanya akan lahir beberapa bulan lagi dari perut itu.

Bagi orang sesakti dia, itu hal yang enteng saja.

Jumat, 28 Juli 2017

Drama, Fantasy dan Tidak Penting Lagi Apa Filmnya

“Trust me, women are expert in history of their romantic life!” Katamu mengakhiri perdebatan tentang film pertama yang kita tonton di bioskop. Aku percaya ingatanmu, selama itu tidak tentang dimana kamu meletakan kunci.

Cerita itu berakhir di jalanan London, lima tahun setelah kolera membunuh suaminya. Ini adalah adegan sebelum ia berpapasan dengan selingkuhan yang sekarang telah ia anggap seperti kotoran kucing. 

Kitty tampak anggun dengan gaun putih, menggandeng seorang anak laki-laki yang tidak pernah mengenal wajah ayahnya. Siang itu teduh, suasana khas jalan-jalan eropa, beku seperti lukisan kelabu dengan lanskap pucat. Hilir mudik orang-orang berjalan di trotoar, bergegas tanpa senyum sapa. Di depan toko bunga, wanita itu tertegun sejenak memandangi jejeran mawar.

“Konyol ya?” Kitty seperti berbicara sendiri, “Bunga-bunga ini akan mati dalam seminggu. Sangat tidak sebanding dengan harganya.”

Ia memandang bocah berusia lima tahun itu, yang punya nama sama dengan nama ayahnya, “Bagaimana menurutmu, Walter?” 

“Bunga-bunga itu bagus!”

“Oya?” Kitty dan Walter tersenyum.

“Ya, kamu benar.” Kitty menarik tangan mungil anak itu dan melanjutkan perjalanan. 

Seingatku, begitulah akhir The Painted Veil, film pertama yang kamu pinjamkan. Semasih ada Rental Odiva. Cerita pahit namun penuh makna tentang seorang istri yang berselingkuh dalam pernikahan cinta-bertepuk-sebelah-tangan. Film dengan percakapan penuh sinisme ini memberikan pelajaran berharga tentang perselingkuhan, cinta yang belum berkembang, kematian dan tentu saja penyesalan. Mei-tan-fu, daerah terpencil di pedalaman pegunungan China yang penuh wabah kolera, membuat pasangan suami istri itu mengenal diri dan masalah mereka lebih dalam.

Kita juga tahu film tentang cinta yang bertepuk sebelah tangan namun dengan akhir yang lebih manis; The Tiger and the Snow. Tingkah kocak Attilio untuk menarik hati Vittoria, sampai kenekatan pergi ke Bhagdad untuk menyelamatkan wanita yang tidak akan menikahinya sampai ia melihat harimau di kota Roma berjalan di atas salju. Pada adegan akhir film, hati kita dibuat hangat mengenang ketulusan Attilio. Memang tidak diceritakan apakah Attilio dan Vittoria menikah (lagi), namun jangan khawatir, dalam dunia nyata mereka memang telah menjadi suami istri.

Tentang pernikahan, Ira & Abby memberikan kita pemahaman aneh yang aku istilahkan dengan menikah dalam ketidakmenikahan. Film ini memberi pertanyaan besar di benak setiap orang; mengapa menikah? Kata orang-orang dahulu, pernikahan adalah ujian pertama cinta. Romeo dan Juliet atau Laila dan Majnun belum teruji dalam rumah tangga. Bisa jadi mereka bercerai setelah menikah karena tidak bahagia atau cinta mereka surut. Kamu bisa bertanya kepada Brad Pitt tentang hal itu.

Di luar itu, Mae Braddock dalam Cinderella Man atau Jane Hawking dalam The Theory of Everything menampilkan kualitas karakter terbaik wanita dalam menjalani rumah tangga yang tidak selamanya berjalan seperti yang mereka angankan. Paling tidak, kedua istri tersebut tidak memutuskan bunuh diri seperti dalam The Road.

The Road; film paling murung yang pernah kita tonton. Kamu tahu, bencana alam dan kehidupan tanpa harapan dalam film itu lebih depresif dibanding seluruh lagu-lagu Adele dijadikan satu atau hidup dalam kepungan zombie pemakan otak. Dengan suasana kelabu dan dingin karena bencana alam yang entah apa, seorang ayah dengan anak laki-lakinya mencoba bertahan hidup. Dan pada akhirnya, kita mendapat kesan bahwa di tengah kehidupan yang suram, kelaparan dan tanpa harapan, pilihan untuk tetap menjadi baik semakin sulit. Betapapun sulitnya hidup, selalu ada pilihan untuk tetap menjadi baik. Namun, kita pasti sepakat, tentang menjadi baik, positif dan suka cita ditengah tekanan dan ketidakadilan, belum ada yang lebih berkesan dari Life is Beautiful.

Entah kamu sadari atau tidak, film dan buku-bukulah yang awalnya menyatukan kita. Aku suka Drama, dan kamu suka Fantasy. Itu hal yang kecil saja. Dengan sedikit paksaan, aku bisa menikmati Fantasy. Kita mengerti, dalam setiap hubungan akan selalu ada perbedaan, tapi selama itu tidak prinsip, hidup akan baik-baik saja. Untuk hal-hal tertentu, kita memang dituntut untuk menyukai hal yang tidak disuka. Seperti kamu tahu, akhirnya aku memilih novel Fantasi The Hobbit —yang cerita dalam versi film lebih aku suka— untuk penelitian skripsi.

Film-film Fantasy adalah yang terbanyak ditonton umat manusia sepanjang sejarah. Aku coba menerka mengapa. Mungkin begini, dalam dunia yang semakin rasional, pelepasan kepada yang magis menjadi keperluan. Fantasy memberikan ruang untuk menghibur dan menyelamatkan manusia modern dari realitas kehidupan yang serba rutin. Orang-orang butuh melihat hal-hal yang mustahil terjadi di dunia sehari-hari. Mereka butuh menikmati sesuatu yang fantastis; aneh, mistis, tidak bisa dipercaya, ganjil.

Aku lebih suka Realistic Drama karena banyak relefansinya dengan kehidupan seharai-hari. Drama, terutama yang bagus, memberiku perasaan telah hidup dalam kehidupan yang lain. Seperti novel, film yang bagus membuat kita serasa hidup pada banyak kesempatan yang berbeda.

Lagi-lagi perbedaan itu hal yang remeh saja. Apapun jenis filmnya, satu hal yang selalu dapat kita ambil; karakter. Kita bisa belajar melalui lika-liku pengalaman hidup mereka, terkapar tidak berdaya, hampir mati, menggigil ditikam kesepian, dihantam keputusasaan dan kehilangan harapan, dihadapkan dengan alam liar, binatang buas, manusia pemakan manusia, zombie.

Untuk yang terakhir, seperti kamu pasti lebih tahu bahwa zombie bukanlah masalah utama, tapi bagaimana orang-orang dalam kepungan zombie itu bersikap. Apakah zombie yang membuat mereka kejam? Dengan atau tanpa zombie, manusia-manusia baik akan selalu baik, sementara yang jahat akan jahat. Itulah karakter; satu hal yang tersisa dari seorang ketika semua yang ada padanya hilang.

Karakter tidak bisa berkembang dalam air telaga yang tenang. Hanya melalui gelombang dan riak arung jeram pengalaman jiwa diperkuat, ambisi terinspirasi, dan kesuksesan tercapai. Ia dibangun sedikit demi sedikit. Puncaknya, karakter dan keyakinan adalah warisan terbesar yang akan kita jaga untuk anak-anak kita kelak. Maka pada pengalaman dan cerita-cerita orang lain itu kita meminjam, hal-hal yang tidak pernah kita bayangkan.

Ingatkah kamu pada malam-malam penuh mimpi buruk? Ketika hujan turun lambat dan panjang. Dalam ingatan-ingatan tentang segala hal yang menghantui tidurmu. Pada kehidupan yang paling buruk. Kehilangan orang-orang yang kau cintai. Mimpi kecelakaan pada anak-anak, atau dikejar-kejar buaya albino. Apakah itu menakutkanmu?

Ketakutan-ketakutan itu seperti Richard Parker, seekor harimau Benggala dalam Life of Pi, yang kehadirannya membuatmu waspada. Tanpa Richard Parker, Pi pasti mati kebosanan. Karena tidak menemukan ketegangan dan tujuan hidup. Ketakutan pada hewan buas itu membuat hidupnya punya ujung.

Akhirnya —karena memang semua punya akhir, hidup ini adalah tentang seberapa kuat hatimu mengikhlaskan beban. Kamu mengendalikan penuh reaksi yang kau berikan. Segala di luarmu tidak bisa kau kendalikan, maka untuk apa dirisaukan?

Aku selalu percaya pada pesona waktu, yang merekam segala debar jiwa, dan tidak pernah sumbang mengalunkan dirasah kisah. Kenang-kenanglah cerita manis kita pada waktu yang membeku di relung ingatan. Tentang senja, suara tawa, pelukan dan hal-hal yang tidak bisa diganti dengan uang.
Pada malam ketika kita keluar dari ruangan bioskop, selepas menonton film yang akan kita lupakan dua hari kemudian. Sambil berpegangan tangan kita kemudian berdebat tentang betapa buruknya beberapa adegan dan saling bertanya mengapa hal ini bisa begitu dan hal itu bisa begini. Sambil sekuat kewarasan aku menjawab segala pertanyaan dengan awalan seandainya.

Malam bergegas normal, anak-anak belum tidur. Mereka selalu senang menunggu kita pulang. Kamu menyebut itu kelebihan gula, aku menyebutnya cinta. Bersama mereka, hidup kita tidak pernah lagi sama. Aku merasa menjadi manusia yang lebih beres. Dan dalam dirimu, aku melihat kebaikan yang banyak.

Putri ke-tiga kita telah lahir bulan ini. Sekarang, setelah punya adik baru, Nada dan Safa tidur terpisah. Awalnya berat, terutama Safa, tapi pelan-pelan mereka senang. Bahkan keduanya girang sekali waktu dibelikan kasur baru. Padahal, kitapun sebenarnya kangen tidur bersama mereka lagi.

Pada beberapa waktu yang belum terlalu lama, ketika mereka mengompol karena terlalu senang dengan mainan yang baru mereka dapat, kita kesal. Tapi sekarang, dihadapan waktu yang terus berdetak, rumah beserta segala hiruk-pikuk hati di dalamnya begitu merindukan.

Anak-anak itu bukan mereka yang 1-2 tahun yang lalu yang masih mungil, mereka tetap manis, namun sudah bertambah dewasa. Sementara hidup kita bergerak maju dan semakin tua, bukan mundur seperti kehidupan Benjamin dalam The Curious Case of Benjamin Button. Pelan-pelan, sedikit demi sedikit, mereka tumbuh dan melesat, karena mereka anak panah kehidupan, sementara kita busurnya. Busur harus melepaskan anak-anak panah jika ingin mereka melesat. Tentu sesuai waktu, dengan perlahan dan penuh ketenangan, agar tepat sasaran. Begitulah hidup ini semestinya dijalani, seperti alunan gamelan yang tenang, perlahan, penuh ritme dan jauh dari hingar-bingar. Seperti kehidupan sepasang kekasih dalam Before Midnight.

Demikianlah. Demikianlah kita belajar dari film-film yang pernah kita tonton. Kita akan melakukan itu lagi bersama. Tidak untuk 100 tahun kedepan, tapi sepanjang hidup kita.  

Kamis, 27 Juli 2017

Aira Fatimatuzzahra; Sebuah Nama untuk Dua Orang Nenek

Saya hanya tertawa ketika Safa (4 th), menyebut cabang bayi dalam kandungan ibunya sebagai Anak Baru.

Saya membayangkan Safa jadi pemeran antagonis di sinetron ABG labil RCTI. Dengan tampang sengak, dia akan merundung si Anak Baru, “Oh, jadi elo anak baru dari perut ibu?! Jangan sok kecentilan loe ye. Pokoknya ibu itu cuma sayang sama gueh, eloh nyusu air tajin dan tidur di kotak bayi ajaah,”

Sadis.

Nada (6 th), ketika pertama kali diberitahu akan punya adik lagi juga bertingkah lucu. Malam itu, di dalam kamar sebelum tidur, dia merespon kabar itu dengan mata berbinar dan senyum lebar, “Beneran, Bu?”

“Iya,” ibunya menjawab singkat.

Nada diam sebentar. Seperti berpikir. Tersenyum. Sedetik kemudian dia bertanya lagi, “Beneran, Bu?”

Lagi-lagi ibunya menjawab ya.

“Bayinya sekarang dimana?” Nada bertanya.

“Ada di dalam perut ibu,”

Nada kembali diam, senyum, dan bertanya lagi, “Beneran, Bu?”

Pertanyaan itu diulang beberapa kali. Sambil senyumnya makin merekah.
Jika saja kejadian itu direkam dan diunggah ke medsos, pasti akan viral bahkan sampai ditonton para Lemur di pedalaman Madagaskar.

Saya juga masih ingat ketika Nada dan Safa lahir. Saya masih bisa merasakan debaran ketika menunggu mereka di ruang tunggu Rumah Sakit. Ketika melihat mereka untuk pertama kali, rasanya seperti bertemu seseorang pada first blind date, dan orang yang kamu temui melebihi segala ekspektasimu. Rasanya hyjtwxcvbghtszmlqwpxfghtr. Ya, seperti itu.

Nada lahir 7 tahun yang lalu di RSUD Bekasi, yang ceritanya saya abadikan dalam Di Bawah Bendera Sarung. Sementara Safa lahir 2 tahun setelahnya. Pagi itu pukul 9. Istri saya dibawa masuk ke ruang operasi untuk di-Cesar. Saya menunggu di ruang tunggu sambil memperhatikan seorang ibu yang menggendong bayi kembar. Di kakinya gelendotan seorang anak laki-laki yang mungkin usianya 4-5 tahun. Meminta perhatian lebih dari ibunya yang sedang kerepotan menggendong dua bayi.

“Iya, nanti kalau sudah sampai rumah ya,” kata ibu tiga balita itu, “Kalau di sini mana ada yang jual?”

Anak yang dibujuk tetap merengek. Ibunya tetap sabar.

Saya membayangkan berada di posisi ibu itu. Tiga anak. Masih kecil-kecil. Semuanya minta diperhatikan. Pasti repot sekali. Seketika nyali saya ciut.

“Kembar ya, bu?” saya berbasa-basi ketika rengekan anaknya mereda.

“Iya, kembar tiga,” sang ibu menjawab sambil senyum, “yang satu ditinggal di rumah sama neneknya,”

Saya semakin ciut.

Alhamdulillah, putri ke tiga saya telah lahir. Kelahiran ini —sebagaimana setiap kelahiran anak-anak sebelumnya, membuat saya menjadi pribadi yang lebih baik.

Kami memanggilnya Aira Fatimatuzzahra, meminjam nama kedua neneknya dengan harapan nama itu membawa keberkahan dalam hidupnya. Karena rida dan kasih sayang mereka adalah hal yang selalu kami harapkan. Semoga Allah mengampuni dosa kedua orang tua kami dan selalu menjaga dan menyayangi mereka.

Akhirnya, hanya kepada Allah kami memohon pertolongan dan kekuatan. Meminta ampunan atas segala kesombongan dan keangkuhan.

Wahai Tuhan Maha Pemberi Petunjuk, Berikanlah pada hati kami kelapangan, keterbukaan untuk menerima segala kebaikan. Kuatkanlah kami untuk terus menemukan inspirasi untuk dapat mewujudkan segala keinginan kami.

Wahai Allah Yang Maha Sempurna, lengkapilah usaha kami yang selalu tidak pernah paripurna.
Wahai Allah yang Maha Pememberi Kesejahteraan, Anugrahkanlah kepada kami kemampuan untuk berbahagia dengan kebahagian orang lain. Jadikanlah kami jiwa-jiwa yang kaya dan berikanlah kami kemampuan menjadi kaya tanpa mengalahkan.

Wahai Allah Pemilik Masa Depan, cukupilah masa depan kami. Cukupilah kami yang tak punya penghasilan tetap, karena yang tetap hanya pemberian-Mu.

Wahai Tuhan Yang Maha Pengampun, maafkanlah segala dosaku dan keluargaku, ampunilah segala kehilafan kami yang tak kunjung selesai.

Wahai Allah yang Maha Penyayang, Jadikanlah kami dan anak keturunan kami orang-orang yang tetap mendirikan salat. Ilhamkan kepada kami untuk tetap mensyukuri nikmat yang telah Engkau anugrahkan kepada kami dan kepada anak keturunan kami. Sungguh kami bertaubat kepada-Mu dan sungguh kami adalah termasuk golongan yang berserah diri.

Sabtu, 24 Juni 2017

Buku Baru di Hari Baru

Desember 2015, saya dan seorang kawan, penulis yang sangat berbakat, Vira Luthfia Annisa, membuat proposal menulis keroyokan dengan tema Parenthood.

Singkat cerita, kami mendapatkan beberapa penulis yang siap untuk berkontribusi. Pertengahan tahun 2016, proposal tersebut kami tawarkan ke sebuah penerbit, namun ditolak. Penolakan itu mungkin karena kami hanya mengajukan proposal dan belum berbentuk naskah utuh, pikir saya waktu itu.
Kami kemudian membuat target untuk merampungkan proyek bersama ini, sayang banyak dari kami yang karena kesibukan dan lain hal, tidak memenuhi target yang diharapkan.

“Gue optimis naskah kita akan terbit, Vir!” begitu saya bilang ke Vira. Naskah saya pernah ditolak puluhan penerbit, jadi pesimis dengan ide yang akan ditulis menjadi buku adalah hal yang di luar bayangan saya.

Oktober 2016, saya mendapat WA dari Vira tentang perlombaan menulis yang diadakan oleh Penerbit Lingkar Antarnusa. Entah bagaimana, ide dan ketentuan menulis yang dilombakan sangat mirip dengan proposal yang pernah kami buat. Saking miripnya, sempat terbersit di benak saya bahwa mungkin ada yang membocorkan proposal kami ke penerbit tersebut. Tentu itu pikiran yang tidak membawa saya kemana-mana. Maka saya mengembangkan pikiran yang lebih positif bahwa saat kamu menginginkan sesuatu, seluruh alam semesta akan bersatu membantu meraihnya.

Saya mengirimkan 6 tulisan, namun hanya dua yang terpilih. Sementara Vira, dari 5 tulisan yang dikirim, semuanya terpilih. Jadi mengerti kan kenapa di awal tulisan saya sebut ia berbakat?




Ps:
  • Buku ini diterbitkan dengan metode print on demand, diterbitkan berdasarkan pemesanan. Karena itu, mohon maaf, buku ini tidak tersedia di toko buku.
  • Keuntungannya, buku ini bisa dibeli dengan cara yang lebih mudah dan kekinian, tanpa repot-repot pergi ke toko buku. Bisa dipesan melalui: inbox FB Lomba Nulis, e-mail: katabercerita@gmail.com, WA: 087739057244.
  • Harga Buku: Rp 50.000,- Spesifikasi: ISBN: 978-602-6688-01-9, Jumlah halaman: 224, Halaman kertas isi: bookpaper 57 gsm, Kertas sampul: ivory 260 gsm.
  • Please share the note

Jumat, 26 Mei 2017

Apa yang Tidak Saya Ceritakan Kepada Nada Ketika Saya Bercerita Tentang Kematian

Sudah dua kali saya masuk ke lubang kubur.

Dalam Islam, penguburan jenazah adalah hal yang begitu dekat dan cepat. Seorang anak bisa memandikan, mengkafani, mensalati dan turun ke liang kubur untuk mengazani jenazah orang tua mereka. Itu hal yang biasa dan lumrah terjadi.

“Langsung tidur ya. Bapak mau jemput ibu dulu. Kalau besok bangun pagi, bapak ajak ke makam Mbah.” Nada gelendotan di tangan saya malam itu. Dari sorot matanya, saya tahu 10 menit lagi ia akan tertidur. Pada hari yang biasa, untuk membuat cepat naik ke kasur, saya akan menghipnosisnya, atau menceritakan dongeng yang saya buat sendiri tentang Unyil yang terkurung sendirian di gudang belakang sekolah, atau bercerita tentang seorang anak yang bisa mendengar dengan mata.

Lima hari sebelumnya, dari Fikri saya tahu bahwa ibu meminta saya untuk menamai nisan bapak. Saya mengajak Adil, adik saya yang lain, tapi anak yatim itu sulit sekali dibangunkan, seperti ada Papeda lengket yang menyumpal kedua matanya setiap pagi.

Dan di sinilah saya bersama Nada, di depan nisan putih, membawa dua kaleng cat.

“Ini kuburan siapa, pak?” pertanyaan pertama Nada beberapa saat setelah kami masuk ke komplek pemakaman keluarga itu.

“Kuburan Empi,” Empi adalah sebutan orang Betawi untuk ibu dari nenek/kakek.

“Kok kuburannya enggak di sebelah sana?”

“Iya, supaya gak terlalu dekat dengan jalan. Lagian kan di sini masih luas?”

“Kalo itu kuburan siapa?”

“Kuburan suami Empi.”

“Kalo yang itu?”

“Kuburan kembaran Empi.”

“Emang Empi punya kembaran?”

Ia cerewet dan terus bertanya. Ada 235 pertanyaan. Setiap sepuluh pertanyaan, diakhiri dengan kalimat, “Pak ayo kita pulang, lama banget sih, banyak semut nih,”

Semakin lama, pertanyaan-pertanyaan itu semakin sulit, sementara saya berkonsentrasi agar tidak salah menulis.

Langit belum bersinar sempurna. Seekor tikus berjalan melintasi pemakaman.

“Oh, nanti di sini berarti kuburan nenek ya?” Nada menunjuk tanah di samping makam yang sedang saya tulis.

“Belum tentu. Tergantung yang meninggal duluan,”

“Oh, Husna ya?”

Husna adalah sepupu Nada yang berumur 2 tahun. Saya tidak tahu apa yang ada di kepala anak umur 6 tahun tentang kematian. Dan saya pun tidak akan membacakan Sutardji, “dari hari ke hari / bunuh diri pelan-pelan // dari tahun ke tahun / bertimbun luka di badan // maut menabungKu / segobang-segobang”

Apa yang orang tahu dari kematian dan kehidupan setelahnya, ibarat setetes air dari jarum yang dicelupkan ke air laut, dibandingkan dengan air samudra. Tidak ada orang yang tahu kapan kematian mereka. Dan Ramadhan, tidak pernah gagal untuk selalu mengingatkan kita pada orang-orang yang telah mangkat.

Sementara kehidupan, yang merupakan kawan karib kematian, bukanlah sahabat yang bisa diandalkan. Kehidupan ini seperti Richard Parker, seekor harimau Benggala dalam Life of Pi. Betapapun Pi menganggap Richard Parker sebagai kawan seperjalanan, harimau itu tidak peduli. Pada akhirnya, Pi memahami arti dari seluruh kehidupan ajaib yang ia jalani, “I suppose in the end, the whole of life becomes an act of letting go, but what always hurts the most is not taking a moment to say goodbye.”

“Kok kuburan Embah ada begininya sih?” sambil tanganya membuat bentuk seperti gundukan, “Kok kuburan Empi rata? Kenapa?”

“Itu yang kecil kuburan siapa?”

“Pak ayo kita pulang, lama banget sih, banyak semut nih,”

Kamis, 23 Maret 2017

101 Seni Mengasuh

“Nggak semua orang bisa dihipnotis.” Istri saya berkomentar.

“Selama tidak dungu dan mengerti bahasa, semua orang bisa dihipnotis.” Saya menjelaskan.

“Waktu itu aku dihipnotis nggak berhasil.”

“Siapa bilang? Aku berhasil hipnotis kamu untuk nggak bisa dihipnotis.”

Istri saya tertawa karena menganggap saya bercanda. Andai dia tahu kalau dia juga saya hipnosis waktu nerima lamaran saya.

Penggunaan kata dan Bahasa yang tepat adalah perangkat yang diperlukan untuk menjangkau alam bawah sadar. Pakar hipnosis harus sangat cakap dalam berbahasa, guna mencari cara bagaimana menyentuh alam bawah sadar pasien. Bisa melalui metafora, tantangan, cerita, sinisme, mengacaukan pikiran untuk memfokuskannya dan lain-lain. Ada juga hipnosis terselubung yang bisa membuat orang menjalankan sugesti tanpa ia menyadari sedang dihipnosis. Namun sekali lagi, kunci dari semua itu ada di kemahiran berbahasa.
Anak-anak lebih mudah dihipnosis karena imajinasi mereka tinggi dan menyukai pengalaman baru. Nada (5 th) girang dan dengan penuh semangat mengatakan ke ibunya, “Bu, tangan kakak tadi jadi kayu.”

Memang sebelum itu, saya menghipnosis Nada dan mengatakan bahwa tangannya telah menjadi kayu. Pada kesempatan lain, saya membuat ia bisa merasakan tangannya terangkat ringan seperti ada tali yang menarik. Di kesempatan yang berbeda, hipnosis membuat ia melupakan angka empat. Ia menghitung seluruh jari tangannya berjumlah sebelas. Nada bergairah dengan pengalaman-pengalaman baru itu, tapi untuk pengalaman yang terakhir, tentu saja ibunya khawatir.

Saya tidak mempelajari hipnosis hanya untuk bersenang-senang. Saya menggunakan untuk mengurangi kram di urat leher ketika menyuruh anak-anak gosok gigi atau tidur siang. Saya juga menerapkan pada mereka untuk meringankan sesak nafas, tidak takut ketinggian, menjadi lebih percaya diri dan berbagai hal lain yang tak terbatas. Ya, saya menerapkan hipnosis dalam parenting. Anak-anak telah dianugrahi imajinasi yang tidak ada tandingannya, dan setelah mereka tahu bagaimana menggabungkan relaksasi dengan imajinasi, mereka akan memiliki bekal yang sangat berharga bagi kehidupan mereka.

Saya percaya bahwa seiring kemajuan ilmu pengetahuan, manusia menjadi semakin efisien. Ilmu pengetahuan berkembang, begitu juga ilmu pengetahuan tentang mengasuh anak. Ada banyak metode atau teori parenting yang saya dapat, entah dari buku, social media, seminar, workshop dan lain-lain. Namun, tidak jarang dengan berbagai macam informasi dan teori tentang parenting, membuat orang tua bingung. Tidak jarang teori-teori tersebut malah bertentangan. Lagipula, lebih mudah mengatakan teori-teori itu daripada melakukannya.

Belakangan saya ketahui bahwa mengasuh anak adalah seni. Kita tidak bisa hanya mencontoh apa yang ada dalam buku atau seminar. Jika apa yang dicontohkan dalam teori tidak bekerja, perlu ada modifikasi dan penyesuaian. Buku-buku parenting bukan manual book yang harus diterapkan dengan presisi dan kita berhadapan dengan mamalia kompleks dengan tingkat intelegensi yang tinggi, sehingga terkadang diperlukan penyesuaian tergantung keadaan. Hal itu juga membuat kita tidak mudah putus asa hanya karena satu cara tidak bisa diterapkan. Selama prinsip, nilai utama atau tujuannya sama, cara yang dilakukan boleh berbeda-beda. Cara yang beragam itulah yang dipelajari lewat pengalaman. Dan untuk yang satu itu saya tidak pernah merasa pintar.

Karena Ikan Bukanlah Tujuan, yang Utama Adalah Kolornya

Pukul 13:15

Saya baru tiba di rumah ketika membaca pesan di grup WA yang mengajak kumpul di tempat Edogawa.

“Bentar ki. Gw nglurusin kaki dulu inih.” Saya membalas chating.

Pukul 13:30 

“Begini nih Fahmi kalo maen ke tempat guah. Pake kolor doang.” Edo menyambut di depan pintu, “Mana kolor kagak pernah ganti dari jaman mondok lagi.”

Saya cuma nyengir. Perasaan saya nggak enak. Kolor akan jadi trademark saya hari ini, pikir saya kemudian.

Pukul 14:30 

“Makan di tempat mancing aja.” Si gondrong Moses mengusulkan. Wartawan TV itu memang ngebet nyari tempat mancing di Bekasi.

“Emang mao mancing dimana, Bang?” saya tanya ke tuan rumah.

“Danau Cibereum!” Edogawa mantap.

“Di GrandWis, Mi.” Suhayat menjelaskan setelah saya tanya dimana.

“Oh, KotWis! Deket dong!” kata saya. Suhayat bingung.

“Pake mobil lu aja, Ses! Kan ada bagasinya.” Furqon, si veteran perang Vietnam, mengusulkan.
Bagasi mobil dibuka, tas berisi kompor dan peralatan masak dimasukan. Tanpa banyak berdebat, tanpa banyak rencana, kami, 5 orang kawan mondok, masuk ke Corolla 88 dan meluncur ke arah timur Bantar Gebang. Misi kami hari itu: strike ikan gabus terbesar di Danau Cibereum!

Dalam perjalanan, kami bercanda dan mengenang keakraban yang terjeda. Kami lulus pesantren tahun 2003, itu artinya sudah 14 tahun kelulusan dari sekolah yang menyatukan kami, itu artinya sudah 14+1 tahun dari AADC pertama tayang, dan kami belum bisa move on dari Dian Sastro.

Saya menganggap pesantren kami sebagai pesantren NU non-formal, karena memang walaupun amalan-amalan di pesantren seperti tahlil, qunut, rawi-an saat Maulid, kitab-kitab yang dibaca dan lain-lain sangat NU, tapi Kiyai Muhajirin (Allah yarham) tidak pernah aktif atau ikut organisasi NU formal. Walaupun lagi, karena lebaran sering nggak bareng dengan pemerintah, sering kami malah dianggap Muhammadiyah. Saya nggak punya masalah dengan Muhammadiyah, kawan-kawan saya banyak yang Muhammadiyah bahkan Salafi dan kami bergaul dengan baik, tapi orang NU yang dianggap Muhamadiyah itu lucu. Sangat lucu. Sama lucunya dengan yang menganggap Ceban itu Goceng.

Pukul 15:30

Tiba di lokasi, kami berjalan beriringan. Moses dan Edo di depan, Furqon dan Suhayat mengikuti, sementara saya paling buncit.

Belum jauh kami berjalan, seekor bencong dengan betis CR7 datang dari arah berlawanan. Memang sebelumnya Hayat bilang kalau bencong di sini ganas-ganas, dan melihat makhluk yang kami hadapi sekarang membuktikan kalau Hayat memang pemerhati bencong kelas dunia.

Bencong mendekat dan mencolek Edo, kemudian melewati dan senyum ke Hayat dan Furqon.

“Pait, pait, pait,” kata saya dalam hati ketika bencong tinggal satu tebasan golok di hadapan. Sambil memainkan hape, saya pura-pura nggak peduli.

“Baaanggg,” kata si bencong dengan suara sengau ke arah saya, “Kok pake kolor sih…”

Refleks saya pegang kuat-kuat tali kolor.

Pukul 16:00

Setelah makan toge goreng, kami mencari spot yang bagus buat mancing. Moses sang pakar mancing menentukan lokasi. Lima buah joran dikeluarkan dan kami memancing.

Power Ranger; Zordon adalah yang mukanya paling lebar
Spesialis mancing janda

Spesialis mancing bencong

Cepak Kim Jong-un

Pakar bencong internasional

“Do, ayolah masak aer buat ngopi!” saya mengajak.

“Kopinya ketinggalan di mobil.” Kata Furqon sambil betulin kacamata.

“Pada pinter banget dah!” saya mulai misuh, “Ini tas isinya peralatan masak dibawa, trus kopi ditinggal di mobil?! Mo ngopi pake aer rawa lu pada! Mending bawa kopi aja, kita bisa minta aer panas sama tukang warung!” Saya sewot.

“Ngomong aja luh, Malih!” Edo membalas, “Udah lu ambil kopi di mobil sana. Sekalian ambilin rokok gue yang ketinggalan,”

Saya mau saja ambil kopi, tapi melihat kelakuan bencong yang kata Edo bisa striptis di batang bambu, saya nggak yakin bisa balik dengan selamat. Jadi ini bukan sekedar perkara mengambil kopi, tapi pertaruhan mempertahankan keperjakaan. Dan dengan kolor yang saya kenakan, saya akan jadi sasaran empuk setiap predator seksual.

Maka kami, lima orang berpendidikan tinggi ini, nggak ada yang mau menebus kebodohan membawa panci tanpa kopi, dengan mempertaruhkan kehormatan keluarga. Slogan kami hari itu; Mending nggak ngopi daripada pulang ngangkang!

Sambil mancing, kami berguyon tentang banyak hal. Kelucuan di kalangan santri memang tradisi. Sekeras apapun perdebatan kami di social media, ketika bertemu kami pasti tetap bercanda. Karena menurut kami, tidak ada masalah yang perlu terlalu serius diurusi sampai melupakan keakraban dan guyonan. Kami mewarisi kelucuan dari abang dan guru-guru kami.

Saya masih ingat ketika seorang guru mengubah nama kawan kami Abdurahman menjadi Omen, atau kisah abang kelas yang kesetrum karena menggantung celana dalam basah di kabel, atau kelakuan iseng mengeluarkan paksa kawan yang lagi mandi dari kamar mandi dengan tanpa pakaian. Maka saya mengabadikan kelucuan-kelucuan di pesantren itu —dengan cara menertawakan diri sendiri— dalam Badung Kesarung dan Di Bawah Bendera Sarung.

Sehabis ngaji santri doyan nongkrong sambil ngopi, atau terkadang sambil main poker. Membicarakan banyak hal dari mulai bola, negara sampai Qoul Qodim dan Jadid Imam Syafi’i. Dengan kondisi komunal semacam itu, maka melucu dan berguyon dengan hal-hal sekitar kami yang terkadang rumit menjadi kemampuan yang melekat.

Zaman sekarang, saya cenderung risih dengan santri yang kusut, runyam dan setiap posting ngajak bacok-bacokan. Ditambah lagi lupa adab dan akhlak. Kurang ngopi, istilah kami.

Pernah saya menulis status lucu-lucuan mempertanyakan apakah Tuhan punya akun di media sosial sehingga banyak yang berdoa di sana. Saya berharap status itu dapat komen, “Tuhan udah nggak mainan fesbuk, akhi. Sekarang pindah ke IG. Kalo mau add Malaikat Izroil aja nih. wkwkwkwk”. Tidak saya sangka, komentar-komentar atas status itu terlalu serius. Ada yang nulis, “Mau ngingetin aja takut lo lupa. Tuhan memang ada dimana-mana.”

Tentu saja saya mengerti tentang doktrin bahwa Tuhan ada dimana-mana, bahkan lebih dekat dari urat leher, tapi membayangkan Tuhan punya akun fesbuk itu lucu. Kalau mau serius, saya bisa saja membalas komentar-komentar itu dengan penjelasan Mujassimah Musyabbihah, tapi jawaban itu akan terasa seperti kanebo kering; kaku.

Saya paham nggak semua orang mengerti saya sedang bercanda, apalagi itu isu sensitif. Maka sekarang saya sudah insaf dan jarang nulis status guyonan yang sensitif seperti itu lagi. Saya nggak mau lagi bercanda bahwa Tuhan itu seorang pria 40 tahun yang tinggal di Dusun Krajan. Dia bisa terserang flu bahkan Ambeien.

Kelucuan dan menertawakan diri sendiri itu tingkat yang paling tinggi dari pengetahuan. Orang yang mengerti tidak akan merasa tersakiti dengan guyonan. Orang yang penuh pemahamannya, memberi jarak dan melihat dari jauh setiap masalah agar akal sehat bisa mencerna. Mengutip Charlie Chaplin, “Life is a tragedy when seen in close-up, but a comedy in long-shot.” Atau dalam bahasa yang lebih ringkas tragedy + time = comedy.

Sedikit lebih panjang, Gus Dur menulis, “Rasa humor dari sebuah masyarakat mencerminkan daya tahannya yang tinggi di hadapan semua kepahitan dan kesengsaraan. Kemampuan untuk menertawakan diri sendiri adalah petunjuk adanya keseimbangan antara tuntutan kebutuhan dan rasa hati di satu pihak dan kesadaran akan keterbatasan diri di pihak lain. Kepahitan akibat kesengsaraan, diimbangi oleh pengetahuan nyata akan keharusan menerima kesengsaraan tanpa patahnya semangat untuk hidup. Dengan demikian humor adalah sublimasi dari kearifan sebuah masyarakat.”

Tentu kami nggak terus-terusan guyon, kami mengerti batasan. Kami mengerti terlalu banyak tertawa mematikan hati, tapi terlalu sedikit tertawa juga bisa membuat hati cepat terkena serangan jantung.

Pukul 16:00

Sampai hari remang, kami nggak mendapat ikan seekorpun, tapi pemandangan, suasana dan keakraban hari itu sangat kami nikmati.

“Kurang bahagia gue blom narik ikan.” Kata si gondrong.

“Tadi kolornya Fahmi bukannya lu tarik?” Edo bales.

“Bah, belut listrik itu mah! Lu enak udah dicubit bencong.”



Matahari hampir tenggelam, langit bersemburat warna jingga dengan siluet gunung salak di kejauhan. Danau, langit, pelangi, gunung dan senja bersatu menampilkan gambaran alam paling subtil yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Bayang-bayang segala sesuatu memanjang mengingatkan saya akan sajak Sapardi.

Aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami 
yang telah menciptakan bayang-bayang. Aku dan bayang-bayang tidak bertengkar 
tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan.