Sabtu, 02 Juni 2018

Buka Puasa dan Tata Cara Menertawakan Kepahitan Hidup

“Gua punya usul,” kata saya di grup WA kelas, “abis acara buka, kita mampir ke tempat Bang Njay. Sekalian takziyah.”

Tepat hari ke delapan Ramadhan ini, guru kami semasa Aliyah, Haji Syamsuddin Bin Ma’ruf (Allah yarham) yang juga mertua dari kawan kami Zainuddin, berpulang ke rahmatullah. Maka usulan saya untuk mampir setelah acara buka bersama itu ditanggapi positif. Hanya ada satu kendala, rencana buka puasa itu terancam batal karena tuan rumah acara belum sekalipun komentar di grup.

“Elu cek sono, Lih.” Furqon memberi tanggapan, “Takutnya udah bau di rumah. Namanya idup dewekan.”

Ahmad Rifai Edogawa, duda anak dua yang rumahnya saya usulkan menjadi lokasi kumpul itu memang sama sekali tidak bisa dihubungi.

“Iya, dah.” Saya menanggapi, “Ntar sore coba gua saba.”

“Bae-bae kalo ngecek. Kalo kedapetan udah bau, jangan lu sentuh, nanti jadi tersangkanya lu!”

“Iya, iya. Ntar gua gedig dulu cantengannya, kalo kagak mingser gua tinggal.”

Sore itu, saya mendapati Edo sedang asik main game di rumahnya. Sambil menjelaskan bahwa hapenya sedang diservice, ia merespon enteng, “Gua mah silahkan aja kalo pada mau kumpul. Tapi pada bawa makanan sendiri yak. Lah di sini gua siapa yang masakin? Tapi kalo takjil doang mah gampang ntar gua sediain.”

“Iya. Ngarti gua.” Saya merespon, “Justru itu gua usulin acara di tempat lu.”

“Supaya banyak yang masakin ya?”

“Bukan. Supaya banyak yang ngatain.”

“Sue!”


Setelah mendapat konfirmasi dan menentukan hari, maka saya menyebarkan informasi penuh keprihatinan itu ke grup. Sehari sebelum acara, nomor telpon Edo masih tidak bisa dihubungi, dan tidak sebiji emotikonpun yang muncul dari dia. Anggota grup pesimis. Saya menghubungi Edo kembali menggunakan Fb Messenger.

Saya: Jadi besok anak-anak ketempat lu abis asar. Jan kemana-mana lu!
Edo: Lah serius? Ebusehhh. Gua mao kencan. Bener bener dah luh!
Saya: Gak usah kebanyakan acara dah. Tibang gowes ke alun-alun lu bilang kencan.
Edo: Emang sapa aja yang mao ke rumah?
Saya: Banyak dah. Udah pokoknya kencan batalin!
Edo: Iya dah gua batalin... Demi elu elu pade. Gagal maning dah guwah.
Saya: Berak sekebon!

Tibalah hari yang dinanti. Minggu, 27 May 2018, bertepatan dengan 11 Ramadhan 1439. Acara buka puasa bersama yang normal biasanya paling tidak dihadiri minimal lima orang, tapi sore itu normal menjadi kata yang jauh dari kami. Sampai azan magrib berkumandang, yang kumpul hanya tiga orang; saya, tuan rumah dan Deni Bagong. Bahkan untuk main Ludo pun masih kurang satu orang.

“Gong, si Moses udah sampe mana?” saya bertanya ke Deni.

“Tau tuh, keujanan katanya.”

Melalui pesan WA, Moses menjawab, “Masih di Toll.” Padahal waktu menunjukan pukul 18:19.

Maghrib sudah setengah jam berlalu dan masih kami bertiga yang bercengkrama. Di grup WA, Hayat masih membujuk kawan-kawan untuk datang. Padahal ia sendiri belum ada di lokasi.

Azan Isya berkumandang ketika Furqon dan Hayat datang. Sementara Fauzy mengkonfirmasi akan datang ba’da Isya. Sampai pukul 19:00, sudah lima orang datang. Perut baru diisi es buah dan gorengan. Rencana mencari tempat makan di sekitar rumah duda terancam batal.

“Share Loc dong. Gua salah kayaknya nih.” Moses meminta di WA.

Sambil membagi lokasi, tuan rumah merespon sewot, “Etdah.. wartawan oon juga sih luh! PeA.”

“Di google kagak ada Bantargebang soalnya.” Moses membela diri, “Awan aja nyasar kalo disuruh ke sini.” Ia bingung karena selama di jalan hujan turun deras, tapi begitu masuk Bekasi seakan-akan ia masuk ke dimensi lain. Tidak ada setetes airpun turun.

“Pan elu pernah kemari, Maliiih!” Edo makin sewot.

“Iye. Maklum belom buka.”

Saya punya kecurigaan lain. Mungkin Moses menderita rabun ayam, kondisi dimana seekor ayam belum pulang waktu maghrib karena nyasar ke kandang lain.

Hampir jam sembilan malam Moses sampai, setelah beberapa menit sebelumnya Fauzy. Kami menyambut Moses. Dengan wajah kelaparan dan kepala plontos, ia keluar dari Corolla 88.

“Lu dulu waktu mondok, disuruh pilih botak apa keluar, lu pilih keluar. Sekarang aja luh botak.” Saya menyerang.

Moses nyengir pasrah, “Ya mo gimana lagi. Yang nyuruh Tuhan ini mah.”

Wartawan TV itu memang habis ketiban pulung karena dapat tugas meliput di Riyadh, Arab Saudi. Dibantu Dubes RI, ia kemudian melaksanakan umroh.

“Untung Tuhan gak ngasih pilihan ya?” Edo berkomentar, “Coba dikasih pilihan lagi; lu mo botak apa keluar luh?”

“Lah ribed, Do!” kata saya, “Kalo keluar pondok mah gampang. Lah kalo disuruh keluar dari kekuasaan Tuhan, mo keluar kemana? Bekasi?”

Seperti biasa, ketika kumpul dengan kawan-kawan lama, kami mengingat-ingat kembali dosa-dosa masa lalu. Moses yang dikeluarin dari pesantren beberapa bulan sebelum kelulusan. Furqon yang diberhentiin dari sekolah karena kasus pacaran. Dan dosa-dosa kami yang lain yang kalau ditulis di sini bisa mengundang banyak istigfar. Bersyukur Allah masih menutupi keburukan-keburukan itu.

Selain mengingat aib masa lalu, kami membahas banyak hal dari mulai Final Champion, BIN, silogisme Rocky Gerung dan selebihnya menghina satu sama lain. Tidak ada satupun diantara kami yang sempurna, maka penghinaan akan langsung dibalas penghinaan lain. Tinggal mencari celah yang pas. Sekali ada celah, semua menghajar tanpa ampun. Hanya ada satu aturan main; harus lucu.

“Lu sebenernya penulis apa bukan sih? Gua jadi curiga.” Furqon mendapat celah ketika saya tidak mengetahui satu hal, “Emang penulis harus bego begitu ya?”

“Bukan begitu, Kong.” Deni menambahkan, “Dia kan nulis pake gugel. Bocah singit juga bisa keliatan pinter kalo gitu mah.”

Saya pasrah. Intelektualitas saya luluh lantah dihadapan mereka. Edo sang duda, Fauzy sang jomblo mendapat serangan yang lebih kejam. Dalam hal menertawakan diri sendiri, kami tidak punya tandingan. Mungkin begitu cara kami bertahan melewati kepahitan dan kesengsaraan hidup. Dengan cara menerimanya, karena sadar akan keterbatasan diri untuk melawan, tentu tanpa kehilangan semangat hidup.

Jam sembilan malam, kami tujuh orang yang sudah berkumpul memutuskan menunda makan malam dan berangkat ke tempat Njay untuk takziyah.

“Udah ajak aja Al sama Wafa.” saran saya ke Edo, setelah sebelumnya ia bilang gak mau ikut karena alasan tidak ada yang menjaga anak-anak.

“Al, pake celana sana.” kata saya kepada Al, anak laki-laki Edo yang berumur 5 tahun yang tidak pakai celana. Ia berjoget kegirangan, menggoyang-goyang tititnya. Saya menepuk jidat, tahu kalau Gernuk jatuh tidak jauh dari pohonnya.

Kami sedang bersiap-siap melangkah keluar ketika dari kejauhan datang seorang gempal dengan jenggot yang tumbuh brutal sampai ke leher; Fachrurrozy.

Setengah sepuluh malam, kami baru tiba di lokasi. Kematian orang dekat tidak pernah mudah. Tidak jarang kepergian yang tiba-tiba itu meninggalkan tanggungjawab yang belum tersiapkan. “Berat aja rasanya gantiin Abi, Mi.” Njay curhat, waktu saya tanya keadaannya, “Ane belom siap. Akhlak mertua mah udah terkenal baik di sini. Lah ane?”

Sebagai seorang kawan, saya menyemangatinya. Saya pernah merasakan kondisi itu. Keadaan yang awalnya berat, namun perlahan akan berlalu seiring bergulirnya waktu. Dalam pengalaman saya, ada kesamaan antara kematian dan kelahiran, yaitu membuat orang yang dekat dengannya menjadi lebih baik. Kami menjadi tahu batasan, mengerti bagaimana seharusnya bersikap, menjadi lebih peka dalam berhubungan dengan orang atau hal-hal lain, atau dalam bahasa yang lebih sederhana kami lebih memperhatikan akhlak.

Untuk menyempurnakan akhlak mulia, itulah tujuan diutusnya baginda nabi Muhammad. Itulah tujuan ber-Islam. Maka kami akan terus berada pada kondisi itu, dalam istilah populer yang banyak digunakan sekarang, ber-Hijrah. Berproses untuk menjadi semakin baik, atau yang dalam istilah Moses, “Menjadi musafir pencari ‘ya’ berbekal ‘tidak’.”

Begitulah kami mengenal bahwa ber-Islam adalah sebuah proses, bukan instan. Kami mengalaminya bertahun-tahun yang lalu sejak masuk pesantren dan entah akan berakhir kapan. Tantangan bagi perubahan instan dari satu titik ekstrem ke titik ekstrem lain adalah kesulitan untuk bertahan. Sementara hijrah sejatinya adalah sebuah lintasan hidup yang panjang dan bukan hasil akhir. Tidak ada seorangpun yang bisa memastikan akan wafat dalam keadaan baik, maka batas ujungnya adalah akhirat bukan dunia. Ujungnya adalah akhlak mulia.

Acara ditempat Njay diakhiri dengan doa kepada guru-guru, kawan-kawan yang telah tiada, dan kebaikan bagi diri kami di dunia dan akhirat.

Kami kembali ke rumah Edo, dan baru pukul satu dini hari selesai makan malam. Saya berdiri, memakai jaket dan siap-siap pulang.

“Lu mo ngapain?” Tanya tuan rumah.

“Pulang lah, gak enak ama bini. Lu enak gak punya bini.” sebelumnya saya bilang ke istri bahwa saya akan pulang jam 11.

“Jadi lebih enak gak punya bini maksud lu?” Edo menohok, mendapat celah.

Brengsek, kata saya dalam hati.

“Emang cuma lu doang kali yang punya bini.” timpal yang lain. Sekali lagi menggempur.

“Apa lu mao didoain gak punya bini biar enak?” semua menghajar tanpa ampun.

Saya menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal, kembali terduduk lesu, “Bagian ini nyerah dah gua.” kata saya pasrah.

Suara tawa sahut menyahut.

Hampir setengah tiga pagi saya sampai di rumah. Subuh tinggal beberapa jam lagi.