Sabtu, 17 November 2018

Ki Hadjar, Hakikat Pendidikan dan Merancang Jalan Kebahagiaan

Istri saya, waktu SD dulu, pernah stress dan tidak percaya diri karena mendapat nilai 70. Saya pribadi tidak bisa membayangkan stress karena nilai pada usia tersebut; usia dimana saya masih suka mencoret-coret tembok dan makan krayon.


Suatu malam kawan saya Petra mengirim sebuah puisi berbahasa inggris dan 5 pertanyaan terkait dengan puisi itu. Saya menjawab semua pertanyaan dari buku kelas 4 SD milik murid privat Petra itu dengan mudah. Ia setuju dengan semua jawaban saya karena sesuai dengan apa yang ia ajarkan. Ia mengaku hanya butuh second opinion dari soal yang telah diberi nilai itu, karena 2 dari 5 pertanyaan itu disalahkan oleh sang guru sekolah.

“Maminya ngamuk nih, gak terima anaknya dikasih nilai 60. Besok katanya mau dateng ke sekolah buat ketemu sama gurunya.” Petra menjelaskan.

“Kasian gurunya.” Kata saya.

“Anaknya yang lebih kasian. Diomelin sama maminya sampe nangis sesenggukan. Dihukum suruh cuci piring.”

“Kalau maminya yakin jawaban anaknya salah, buat apa dateng ke sekolah?”

“Kayaknya dia belum yakin.”

“Kalau belum yakin salah, kenapa anaknya diomelin dan dihukum? Saya gagal paham.”

“Nah itu dia.”

“So, we agree on one thing here.” Saya mengakhiri.

Ada pertanyaan yang terus mengusik setelah kejadian itu; Apa hakikat dan tujuan pendidikan sebenarnya?

… mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.

Itu bukan kata saya. Itu saya kutip dari buku Ki Hadjar Dewantara, Bagian Pertama - Pendidikan, halaman 20, paragraf terakhir sebelah kiri bawah. Selengkapnya silahkan baca sendiri. Saya sangat menyarankan guru atau siapapun yang ingin mengerti tentang pendidikan untuk membacanya. Buku yang berisi kumpulan tulisan Ki Hadjar itu sangat penting jika ingin mengerti tentang pendidkan. Sayangnya, setiap guru yang saya tanya, belum pernah membacanya. Tahu pun tidak.

Kumpulan tulisan setebal 500-an halaman tersebut disusun menjadi 8 bab inti. Dari mulai Pendidikan Nasional, Politik Pendidikan, Pendidikan Anak-anak, Pendidikan Kesenian, Pendidikan Keluarga, Ilmu Jiwa, Ilmu Adab dan terakhir Bahasa. Sebagai anak pondok, cukup menarik memperhatikan dalam buku itu juga dibahas sistem pondok atau asrama sebagai sistem nasional yang telah ada sejak lama dan sesuai dengan budaya Indonesia. Membaca seluruh isinya saya seperti disajikan pemikiran pendidikan modern. Apa yang beliau tulis adalah apa yang dipraktekan di Finlandia, negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia.

Dalam sesi wawancara, seorang guru di Finlandia menjelaskan bahwa mereka berusaha mengajarkan anak didik untuk bisa berpikir mandiri dan kritis terhadap apa yang mereka pelajari. Seorang guru lain berkata, “We try to teach them to be happy person, to respect others and respect themself.”
Kemudian ia ditanya, “Jadi anda sangat fokus dengan kebahagiaan?”

“Ya, sangat.” Sang guru menjawab.

“What the hell do you teach?”

“I teach Math.”

“Jadi sebagai seorang guru Matematika, anda mengatakan bahwa hal yang paling utama yang anda inginkan terhadap murid-murid ketika mereka lulus adalah mereka bisa bahagia dan memperoleh kehidupan yang bahagia?”

“Ya betul.”

“Dan anda adalah guru Matematika.”

Mentri pendidikan Finlandia mengatakan bahwa anak-anak murid di sana tidak diberikan PR agar mereka punya banyak waktu untuk mejadi anak-anak, untuk menikmati hidup karena mereka hanya punya waktu sedikit untuk menjadi anak-anak. Kepala Sekolah dari sekolah yang punya jam belajar paling sedikit di belahan Barat Bumi itu mengatakan bahwa otak peserta didik harus santai, karena jika murid hanya “belajar”, “belajar” dan “belajar”, maka mereka akan berhenti berpikir, dan itu pekerjaan yang tidak berguna. Anak-anak harusnya punya banyak waktu untuk melakukan hal-hal lain setelah sekolah, seperti bermain, berkumpul bersama keluarga, olah raga, bermain musik, membaca. Guru di negara dimana murid-muridnya mendapat nilai terbaik itu mengatakan bahwa nilai bukanlah tujuan utama, tapi memperoleh kebahagiaan. Orang dengan pemikiran pendidikan yang sempit akan kepayahan menerima konsep ini.

Finlandia percaya bahwa banyak hal yang bisa membuat bahagia karena kebahagiaan adalah sumberdaya yang tak terbatas. Ia ada dimana-mana dan berlimpah. Untuk menjadi bahagia kita tidak butuh merebutnya dari orang lain. Kita tidak perlu berebut kebahagian karena ia bukanlah kompetisi yang jika seseorang sudah dapat, maka orang lain akan kehilangan. Jika mereka menang maka kamu kalah. Tidak seperti itu. Bahagia bukan tentang mengambil semuanya dan tidak menyisakan untuk orang lain. Kita bisa menempuh cara masing-masing untuk bahagia.

Nilai tidak pernah menjadi tujuan utama pendidikan. Kecerdasan, banyaknya pengetahuan dan kepintaran bukan juga tujuan melainkan alat. Ki Hadjar menulis, “Pengetahuan, kepandaian janganlah dianggap maksud atau tujuan, tetapi alat, perkakas, lain tidak. Bunganya yang kelak akan jadi buah, itulah yang harus kita utamakan. Buahnya pendidikan yaitu matangnya jiwa, yang akan dapat mewujudkan hidup dan penghidupan yang tertib dan suci dan manfaat bagi orang lain.” Buah-buah pendidikan itulah yang jadi tujuan, menjadi hasil yang bisa dipetik dikemudian hari. 

Saya tidak mengatakan bahwa nilai tidak penting, tapi dalam 3 komponen proyeksi pendidikan abad 21, nilai tidak lagi menjadi sesuatu yang ada di atas kertas. 3 komponen tersebut adalah Karakter (yang bisa dibagi dua; Karakter Moral seperti iman, taqwa, jujur, rendah hati dll. dan Karakter Kinerja seperti ulet, kerjakeras, tangguh, tepat waktu dll.), Kompetensi (berpikir kritis, kreatif, komunikatif dan kolaboratif), dan Literasi atau Keterbukaan Wawasan (wawasan baca, budaya, teknologi dan keuangan). Komponen-komponen tersebut terkadang tidak bisa dinilai dengan bentuk angka, tapi karya, portofolio dan pembuktian di kehidupan nyata. Ditambah lagi perkiraan World Economic Forum (WEF) bahwa 65% anak-anak SD saat ini akan bekerja di bidang yang belum ada sekarang. Jadi mengagung-agungkan nilai di atas kertas tidak akan relevan lagi pada masa yang akan datang.

Saya tidak ingin mengatakan bahwa ijazah dan pendidikan formal tidak penting, profesi seperti dokter dan ustadz misalnya, memerlukan pendidikan formal yang jelas, membutuhkan ketersambungan sanad keilmuan yang sahih, namun marilah kita kembali fokus pada tujuan pendidikan, sehingga pemahaman dan rancangan pendidikan akan mengacu pada tujuan tersebut.
Harus juga dipahami bahwa mendidik adalah merancang masa depan, tentang menyiapkan generasi baru, maka tanggungjawab melakukan itu bukan hanya di sekolah, tapi juga di rumah. Itulah mengapa edukasi pendidikan kepada orang tua menjadi penting. Saya selalu menyarankan kepada kawan-kawan yang mengurusi sekolah untuk bisa memberikan edukasi pendidikan kepada orang tua murid. Sehingga kondisi guru dan orang tua murid menjadi selaras. 

Memang sulit mengubah paradigma pendidikan masa lalu yang usang. Prinsip dalam memberi hukuman contohnya, seringkali tidak menjadikan anak insaf. Saya pernah menemui beberapa guru dan orang tua yang melupakan prinsip dasarnya. Satu dari tiga syarat hukuman yang perlu dipegang adalah ia harus selaras dengan kesalahannya. Jika anak datang terlambat, maka hukumannya adalah pulang lebih lama. Bukan malah hukuman yang tidak ada kaitannya, seperti mempermalukan di depan siswa lain, membersihkan kelas (yang memang merupakan kewajibannya) atau menulis “aku tidak akan datang terlambat” sebanyak seribu kali. Itu siksaan yang mengakibatkan anak merasa tidak dicintai. Bahkan Ki Hadjar percaya bahwa dalam pendidikan modern, pendidikan yang merdeka, hukuman dan ganjaran harus dihilangkan atau sebisa mungkin dihindari. Agar anak melakukan atau tidak melakukan sesuatu bukan karena mengharap ganjaran atau takut pada hukuman —sekali lagi saya menyarankan untuk membaca Ki Hadjar.

Hakikat pendidikan yang sebenarnya bukanlah membentuk, tapi menumbuhkan. Jika kita membayangkan anak-anak adalah benih tanaman, maka ketika masih menjadi benih tentu belum terlihat batang, akar, daun atau hal-hal lain yang bisa dilihat pada tanaman. Sehebat apapun biji, tidak akan memperlihatkan seluruh komponen tanaman. Nanti ketika sudah tumbuh berkembang barulah terlihat. Kadangkala kita melihat dan memperlakukan benih seperti kita melihat dan memperlakukan tanaman yang sudah besar. Kita menginginkan benih ini mempunya semuanya seperti tanaman. Kita ingin melihat anak-anak mempunyai hal-hal yang belum kelihatan.

Benih yang baik memerlukan lahan yang subur dan iklim yang sesuai. Rekayasa untuk membuat lingkungan baik untuk tumbuhnya anak didik itulah lahan pendidikan, baik di sekolah, di rumah dan lingkungan. Ki Hadjar mengibaratkan pendidik itu seperti petani, petani hanya dapat menuntun tumbuhnya padi. Ia dapat mengemburkan dan membuat tanah subur untuk tanaman, namun walaupun begitu ia tidak dapat mengganti kodrat tanaman padi. Misalnya ia tidak bisa menjadikan padi tumbuh seperti jagung, ia juga tidak bisa memeliharanya seperti memelihara tanaman kedelai. Petani harus takluk pada kodrat padi. Ia dapat memperbaiki keadaannya, membuatnya menjadi tanaman yang lebih bagus daripada tanaman yang tidak dipelihara, tapi tetap tidak mengganti kodrat tanaman tersebut. Begitulah seharusnya pendidikan itu. 

Tentu kita tidak bisa semata-mata mencontoh Finlandia hanya dari segi sedikitnya jam belajar, menghilangkan PR dan Ujian Nasional. Ada hal yang lebih mendasar yang menjadikan sistem pendidikan di sana berhasil; kemandirian guru yang besar, proses belajar yang berbasis siswa dan sistem penilaian dengan tujuan mengembangkan kompetensi siswa. Jangan dilupakan juga bahwa kemandirian, saling percaya dan motivasi untuk mencapai kompetensi adalah budaya yang sudah mengakar di Finlandia, itulah fondasi yang menjadikan sistem pendidikan di sana sukses. Itulah juga yang dibahas oleh Ki Hadjar, keterkaitan sistem pendidikan dengan budaya dan karakteristik bangsa.
 
Asas pendidikan yang mendasar seperti itu mesti dihayati oleh pendidik. Saya pribadi dan istri memilih homeschooling salah satunya karena kami melihat banyak prinsip-prinsip yang diusung oleh Ki Hadjar tidak dilakukan. Saya tidak menyalahkan sistem pendidikan yang ada, karena arah pendidikan di Indonesia menurut saya sudah tepat. Hanya dibutuhkan waktu yang sedikit lebih lama untuk menuju ke ideal, dan kami merasa tidak punya waktu selama itu untuk menunggu. 

Pertanyaan selanjurnya adalah apakah dengan menjadi praktisi homeschooling, mengetahui beberapa teknik dan teori pendidikan, kami menjadi orang tua yang ideal?

Sama sekali tidak. Saya belajar bahwa tidak ada orang tua yang sempurna. Tidak saya, tidak juga istri saya. Sebagai orang tua, kami terkadang merasa baik, terkadang juga merasa begitu buruk.
Ada sebagian orang tua mengangap pola asuh mereka adalah pola asuh terbaik, sambil menduga pola asuh lainnya inferior. Kita menilai diri sendiri dan orang lain dengan menggunakan mitos orang tua sempurna yang tidak pernah ada. Tidak ada orang tua yang sempurna, yang ada adalah orang tua yang terus belajar. Belajar untuk lebih mencintai dan menghargai anak-anaknya. Karena cinta adalah ruh pendidik.

Children Learn What They Live oleh Dorothy Low Nolte *

Jika anak banyak dicela, dia akan terbiasa menyalahkan.
Jika anak banyak dimusuhi, dia belajar menjadi pemberontak.
Jika anak hidup dalam ketakutan, dia selalu merasa cemas dalam hidupnya.
Jika anak sering dikasihani, dia belajar meratapi nasibnya.
Jika anak dibesarkan dalam olok-olok, dia akan menjadi seorang pemalu.
Jika anak dikelilingi rasa iri, dia tak akan puas dengan apapun yang dimilikinya.
Jika anak dibesarkan dalam pengertian, dia akan rumbuh menjadi penyabar.
Jika anak senantiasa diberi dorongan, dia akan berkembang dengan percaya diri.
Jika anak dipuji, dia akan terbiasa menghargai orang lain.
Jika anak diterima dalam lingkungannya, dia akan belajar menyayangi.
Jika anak tidak banyak dipersalahkan, dia akan senang menjadi diri sendiri.
Jika anak dibesarkan dalam kejujuran, dia akan terbiasa melihat kebenaran.
Jika anak ditimang tanpa berat sebelah, dia akan besar dalam nilai keadilan.
Jika anak dibesarkan dalam rasa aman, dia akan mengendalikan diri dan mempercayai orang lain.
Jika anak tumbuh dalam keramahan, dia akan melihat bahwa dunia itu sungguh indah.


* terjemahan puisi oleh Aar Sumardiono dalam buku 55 Prinsip & Gagasan Homeshooling