Selasa, 11 Juni 2019

Aku, Kamu dan Angin yang Mengirimkan Doa Ibu Pertiwi

Sore kelabu, tidak ada semburat senja jingga pada langit dan awan-awan di ufuk barat. Semua redup bagai mendung kesedihan.

Ibu Pertiwi duduk di serambi rumah, memandangi lanskap di kejauhan. Wajahnya murung oleh duka. Masih terngiang di telinganya, ketika siang tadi, Malin, salah satu anak kembarnya membentak, “Ibu tidak usah ikut campur urusan kami! Kami sudah besar dan bisa mengurus diri sendiri!”

Butiran bening menelusup hampir tumpah di ujung mata. Ada yang tergores di dalam dada ibu. Lara yang menusuk dalam.

“Kami hanya ingin bermain di sungai hutan! Apa salahnya?” Kundang menyetujui apa yang sebelumnya dikatakan Malin.

Azan Magrib berkumandang bersamaan ketika kedua kakak beradik itu pulang dengan tanah, pakaian kotor dan luka lebam. Ketika bermain di sungai, kedua anak itu bertengkar tentang siapa yang layak duduk di batu tertinggi di hutan. Keduanya baku hantam sampai tersungkur di lumpur. Setelah terkapar mereka sadar ucapan ibu benar.

“Maafkan kami ibu,” keduanya bersimpuh memohon maaf.

Sempat terlintas di benak Ibu Pertiwi untuk mengutuk ke dua anaknya menjadi batu. Tapi senakal apapun anak, ibu tetaplah ibu. Masih menerima permohonan maaf mereka dengan hati lapang. Tidak peduli jika kesalahan itu dilakukan berulang-ulang. Hatinya adalah samudra, rela mengorbankan segalanya tanpa pamrih. Memberi seluruh harta kekayaan dan apa yang dipunya tanpa mengharap kembali.

Hujan menetes sederas gelap malam. Angin kencang berhembus menggoyang batang Sengon, menjatuhkan beberapa helai daun yang menarikan tarian alam, menyibak rambut indah Ibu Pertiwi.

Pagi datang membawa kesejukan setelah badai semalaman. Dari atas, segalanya terlihat menawan, gunung tinggi menjulang, sawah hijau terbentang, laut biru yang dalam. Bagai sebongkah tanah surga yang Tuhan berikan.

“Nak,” Ibu Pertiwi berpesan pada suatu pagi, “Bersatulah. Berlapang dada menerima segalanya. Tidak usah saling menyalahkan. Tidak usah bertengkar. Kalian adalah saudara.”

Di seberang samudra, Negeri Puing menatap nanar ujung laut sambil berkata seakan kepada sepi, “Jangan pernah membenci ibu, jangan merusak Tanah Air yang telah melahirkanmu. Karena kalau saja kamu tau apa yang ibu telah berikan, dan kamu kehilangan Tumpah Darah akibat perang saudara, maka penyesalan yang selalu datang terlambat tidak bisa mengembalikan semuanya.”

Puing tinggalah puing. Sejarah pengingat bagi yang terlupa.

Suara getar angin bertiup mengirimkan doa Ibu Pertiwi pada yang kuasa, “Ya Tuhan, berikanlah kekuatan, keteguhan hati untuk kami dalam mengahadapi semua ini. Lindungilah kami dari kekufuran duka lara.”

“Wahai Tuhan Maha Pemberi Petunjuk, Berikanlah pada hati kami kelapangan, keterbukaan untuk menerima segala kebaikan. Kuatkanlah kami untuk terus menemukan inspirasi untuk dapat mewujudkan segala keinginan kami.”

“Ya Robb, pertebal iman kami, berikan kekuatan bagi kami untuk berlaku adil, tidak mementingkan diri sendiri, dan ampunilah segala kesombongan dan keangkuhan kami.”


2019

Senin, 03 Juni 2019

Tantangan 2 Explorasi Online - Jurnal Pertanyaan dan Jawaban Tentang Pengamatan Perumahan Familia Urban #4 - oleh Nada Narendradhitta

Ini adalah pertanyaan yang ditulis bapakku tentang Pengamatan di Perumahan Familia Urban. Aku menjawabnya langsung dan bapakku yang menuliskannya:


Pertanyaan: Siapa yang punya ide untuk membuat pengamatan ke Familia Urban? Kalau itu ide kamu, mengapa punya ide itu?
Jawaban: itu ideku, karena aku suka dan penasaran mengapa sawah dijadikan Familia Urban.

Pertanyaan: Bagaimana cara mendapat informasi tentang Familia Urban?
Jawaban: Bertanya ke petugas pemasaran.

Pertanyaan: Apakah ada yg membantumu ketika mencari nformasi?
Jawaban: Aku dibantu bapakku, naik motor ke lokasi.

Pertanyaan: Mengapa kamu butuh bantuan? Jika suatu saat kamu tidak dibantu, apakah kamu bisa?
Jawaban: Aku mesti dibantu karena jaraknya agak jauh.

Pertanyaan: Siapa yang membuat pertanyaan ke petugas pemasaran Familia Urban? Apakah kamu menanyakan pertanyaan-pertanyaan itu sendiri?
Jawaban: Yang membuat pertanyaan aku sendiri. Aku tidak menanyakan sendiri karena aku agak malu. Untuk bertanya, kadang-kadang aku berani kadang-kadang aku malu.

Pertanyaan: Apakah pertanyaan itu langsung disampaikan atau ada trik supaya tidak ketahuan kamu sedang melakukan pengamatan?
Jawaban: Ada trik supaya tidak ketahuan aku sedang melakukan pengamatan, pura-pura mau beli rumah.

Pertanyaan: Apakah informasi-informasi tersebut mudah didapatkan? Jika mudah jelaskan kenapa, jika sulit jelaskan apa kesulitannya?
Jawaban: Mudah karena dibantu dengan bapakku.

Pertanyaan: Bagaimana kamu mendapatkan informasi sejarah PT Timah? Siapa yang membantu atau menjelaskan? Dari mana sumber informasi tersebut?
Jawaban: Aku tahu informasi itu dapat dari internet dan juga bertanya-tanya.

Pertanyaan: Apakah vlog tersebut kamu yang buat atau ada yang bantu buat?
Jawaban: Dalam membuat video aku kadang-kadang aku dibantu ibuku, bapakku atau aku sendiri menggunakan tripod. Sementara yang mengedit video adalah bapakku.

Pertanyaan: Apa peran kamu dalam pembuatan video tersebut?
Jawaban: Aku yang menulis draft kata-katanya, yang mengecek tulisannya ibuku karena kadang ada kata-kata yang aku tidak tahu.

Pertanyaan: Apakah kamu mau belajar cara mengedit video? Kenapa?
Jawaban: Aku sebenarnya mau. Jadi bisa mengedit video sendiri kalau bapak atau ibuku lagi repot.

Pertanyaan: Setelah jadi video, apakah menurutmu ada yang kurang? Dari cara bicara, kualitas suara, kualitas gambar dan lain-lain?
Jawaban: Suaranya yang kurang. Kadang-kadang pelan, kadang-kadang kencang.

Pertanyaan: Apa hal yang paling sulit dari melakukan pengamatan tersebut? Dan hal apa yang paling menyenangkan?
Jawaban: Yang paling sulit adalah menulis laporannya karena ini pengalaman baru. Yang paling aku suka waktu interview dan jalan-jalan keliling.

Pertanyaan: Apakah kamu tertarik untuk mengamati hal lain yang ada di sekitarmu dan membuat laporan seperti ini?
Jawaban: Tidak ada sepertinya.

Pertanyaan: Pelajaran apa yang kamu dapat setelah melakukan pengamatan ini? Apakah ada hal baru yang kamu dapati dan pelajari?
Jawaban: Tadinya aku tidak berani bertanya dan tidak tahu cara bertanya tapi sekarang bisa. Aku baru tahu PT Timah dulunya punya penambangan timah, yang terletak jauh di Bangka Belitung. Aku belajar bahwa, semakin banyak perumahan, lingkungan jadi mudah banjir, macet dan lain-lain.

Sabtu, 01 Juni 2019

Jalan Thoriqoh Liverpuliyah

Liverpool kembali gagal. Netizen segera beraksi, kaus Mo Salah yang bertuliskan “Never Give Up” diedit menjadi “Never this Year”. Hal yang biasa bagi Qoffal yang telah kebal dengan olok-olokan tiap tahun. Karena sejatinya, memilih menjadi Liverpudlian berarti juga memilih kesengsaraan sebagai jalan hidup.

Padahal pada lima pertandingan terakhir LFC —dibandingkan dengan lima pertandingan akhir City—, ia cukup yakin tim kebanggaannya akan meraih gelar. Rupanya Liga Inggris musim ini seketat Liga Gojek, juara ditentukan sampai pertandingan akhir. Bedanya, di sana tidak ada PSSI, tempat seluruh suporter dan komentator bersatu menumpahkan kesalahan jika timnas Indonesia gagal juara. Itu persatuan yang langka. Di sana, jika timnas Inggris gagal mengangkat trofi, mereka berdebat sepanjang tahun menyalahkan apa saja, termasuk menyalahkan arah datangnya angin yang meniup poni David Beckham sehingga ia gagal pinalti.

38 pertandingan, 30 kali menang, 7 kali seri, 1 kali kalah, total poin 97. Capaian istimewa yang belum pernah sekalipun diraih sepanjang sejarah Liverpool. Sayang klub ini superior pada waktu yang keliru, hanya selisih 1 poin dari sang juara, Mancester City. 97 poin tanpa gelar juara itu ibarat punya tanah seribu hektar tapi di planet Merkurius. Bagus tapi sia-sia. Kita sama-sama tahu bahwa pujian setinggi apapun atas capain spesial itu tidak bisa disimpan di lemari trofi.

Tapi Liverpudlian garis keras tetap tidak peduli dan bangga, dan mengatakan kepada mereka untuk mulai mendukung kesebelasan lokal seperti Persibin Bintara sama juga dengan menyuruh pendukung Prabowo untuk menonton Atta Halilintar waktu kolab bareng Jokowi.

Saya kemudian memikirkan alasan yang mungkin bisa menjustifikasi kelakuan impulsif itu. Mungkin menurut Qoffal, menjadi Liverpudlian itu seperti menjadi seorang Salik yang menjalani Thariqoh Sufisme, yang lebih mementingkan kebebasan dan kesucian jiwa daripada sekedar kemenangan lahiriah. Demi menembus langit Ma’rifah dan Mahabbah.

Ia pernah menyebut saya atheis karena tidak punya klub kesayangan. Untuk tuduhan itu saya segera menjawab, “Agnostik, Bung. Atheis hanya untuk pendukung olahraga kerambol.”

Lagi pula, siapa yang mewajibkan penyuka bola harus punya klub favorit, kalau memang tidak ada klub yang menggetarkan. Tentu saya bisa menjejali diri dengan sejarah heroisme sebuah klub, sampai dipenuhi cinta, tapi mengutip Gibran, “Jangan mengira, bahwa kau dapat menentukan arah cinta, karena cinta, apabila kau telah dipilihnya, akan menentukan perjalanan hidupmu.”

Kita bisa melihat cinta jenis itu pada Bonek yang mengayuh sepeda berkilo-kilo meter demi menonton pertandingan dan menangis tersedu ketika menyanyikan Song for Pride. Atau pada pendukung capres yang unfriend kawan yang tidak se-"iman" karena malas melihat postingan mereka dan mati-matian membela junjungannya bahkan sampai memfitnah.

Tentu Gibran tidak selalu benar, karena cinta bisa datang dari Riyadloh. Itu konsep Tasawuf sederhana. Ya, mantan Internisti itu telah membuktikannya.

Suatu malam, di teras depan rumah, sambil menghembuskan asap rokok, setelah selesai bercerita tentang keinginannya membangun musola karena sakit hati tempat salatnya dipel di Masjid LDII, Qoffal bercerita tentang awal mula kecintaannya pada LFC, “Waktu ke kamar Bang Ofi tuh saya lihat ada poster Perpul. Dari situ dah saya mulai nyari tau. Saya beli dah tuh tabloid bola.”

“Buseng segitunya luh?” saya antusias sekaligus membayangkan kalau saja waktu itu Bang Ofi memasang poster Rhoma Irama, mungkin saat ini kita melihat Qoffal memelihara bulu dada sambil kemana-mana naik kuda memanggul gitar buntung.

“Lah bayangin, bang. Jaman segitu harga tabloid kan lumayan. Duit buat makan, rela saya kumpulin. Saya baca-baca, wah keren juga nih klub.”

Ia terus bercerita tentang jatuh bangun perjuangan mencintai. Ia tampaknya percaya pada frase bahwa sejarah akan berulang. Ia lupa bahwa nasib sial juga berulang. Sebagai tuan rumah dan pendengar yang baik, saya hanya bertanya sedikit yang selalu ia ladeni dengan penjelasan jembar. Kelakuan santri usia Mts yang banyak berpuasa demi membaca berita, yang lompat pagar pesantren demi pertandingan dini hari, adalah sungguh proses Tarbiyah yang melatih jiwa, selain juga memupuk mental untuk jadi atlit lompat pagar profesional yang kelak akan berlaga di olimpiade.

Mari perhatikan kembali, dalam lima pertandingan terakhir lalu, kita melihat Qoffal menampakkan tingkat relijiusitas. Lima pertandingan akhir ia Sombong, empat pertandingan akhir Taubat, tiga pertandingan akhir Sabar, dua pertandingan akhir Tawadhu, satu pertandingan akhir Zuhud, dan ketika tidak jadi juara ia Tawakkal. Bukankah itu identik dengan Maqom Spiritual sufisme?

Hanya sebagai seorang salik, ia harusnya lebih Waro’ dalam bersikap. Komposisi tim yang ia cela sebelum pertandingan dramatis melawan Barca nyatanya berhasil mempermalukan raksasa Catalunya itu 4 gol tanpa balas dan membuat Messi terlihat dongo.

Kemudian apakah mungkin Perpul juara Champion tahun ini? Tentu mudah, sungguh pertandingan ini sudah usai. Spurs bisa dikalahkan dengan enteng. Namun seperti yang saya katakan, Liverpool adalah klub yang sesuai bagi yang ingin mendalami sufisme, karena sekedar sombong saja Liverpudlian tidak mampu. Mereka selalu dibayangi Khouf dan Roja.

Ujian sebenarnya sebentar lagi akan datang, ketika ia mencapai Tajalli; juara Champion. Kalaupun tidak, ini akan menjadi ‘Aamul Hazmi seperti tahun-tahun sebelumnya, dan bagi seorang sufi yang diliputi kezuhudan, itu akan menjadi hal yang biasa saja.

Yaah, nangis dan dongkol dikit boleh lah.