Minggu, 18 Agustus 2019

Naturalis

Saya tidak terlalu mengerti apa kriteria penilaian sehingga selulus TK Safa diberi peringkat Kecerdasan Naturalis. Mungkin karena lebih sering dan senang bermain di luar kelas. Bahkan saya atau ibunya sering sengaja untuk terlambat menjemput Safa dari sekolah karena tahu ia tidak mau pulang buru-buru, ia senang bermain di lingkungan sekolah yang banyak pohon. Maka ketika beberapa hari yang lalu Safa dan kakaknya masuk UGD karena keracunan biji jarak, kami tidak terlalu kaget kalau ternyata Safa biang keladinya.

Dulu Safa pernah menangis tanpa alasan, hanya untuk merasakan air matanya sendiri. Ia berhenti menangis, menyeka air di sudut mata menggunakan ujung telunjuk, kemudian menjilatnya. Setelah itu ia meneruskan menangis, berhenti untuk menyeka air mata kemudian menjilatnya lagi.

Apakah Naturalis ada kaitannya dengan eksperimen dan besarnya keingintahuan? Saya tidak tahu. Yang saya mengerti adalah semua orang pernah kecil dan punya rasa ingin tahu yang berbeda-beda terhadap sesuatu. Sewaktu kecil saya sering bermain dengan biji jarak, entah untuk diadu, sebagai biji congklak, atau hal-hal lain, tapi tidak untuk dimakan. Apakah “Naturalisme” yang membuat Safa punya kesimpulan untuk memasukan benda seperti kotoran tikus itu ke dalam mulut?

Sebagai orang tua saya hanya khawatir ketika besar ia akan menjadi pawang hewan, keluar masuk hutan dan mati dimakan buaya. Istri saya punya kehawatiran lain, karena Safa santai dan tidak menurut waktu pertama kali disuruh berhenti memakan biji beracun itu, mungkin ia khawatir kalau Safa kelak menjadi Charles Darwin. Oke itu berlebihan.

Setiap anak punya keunikan masing-masing, kecerdasan yang berbeda-beda. Terkadang kompleks dan butuh seumur hidup untuk orang tua sadar dan mensyukuri anugerah itu.

#homeschoolingsafa #portofoliosafa

Sabtu, 17 Agustus 2019

Cerita Nada dan Safa

August 20, 2017

Bendera merah putih kami hilang. Saya dan istri sudah mencari kemana-mana bahkan sejak sebelum bulan Agustus, tapi nihil. Bendera di bulan kemerdekaan sangat penting di pasang di setiap rumah, istri saya bilang supaya kami tidak disangka komunis.

“Komunis itu apa pak?” Safa bertanya.

“Komunis itu hantu.” Saya menjawab seenaknya.

Safa yang mulai kritis kembali mencecar pertanyaan. Saya menjawab dengan istilah-istilah yang semakin tidak ia pahami; separatisme, hedonisme, arbirtrase internasional. Safa yang sadar akan keruwetan bapaknya hanya garuk-garuk kepala dan kembali main sepeda.

Dua hari sebelum 17 Agustus, bendera masih tidak ditemukan, istri saya akhirnya membeli bendera baru. Tentu warnanya merah dan putih, mau yang mana lagi? Tapi ternyata Safa tidak terlalu senang, ia bilang, “Aku maunya bendera warna-warni!”

Sebagai bapak yang bijak, saya menepuk halus pundaknya dan kami berdiskusi panjang tentang arti hidup dan hal-hal lain, pokoknya sampai ia lupa tentang bendera.


June 24, 2017

Respon anak-anak sehabis dikasih angpau lebaran:

Nada (7th): Trimakasih

Bee (5th): Ih, uang isinya

Safa (5th): Bu, ini emang uang beneran?


April 11, 2017

Safa: Bapak, dedek mau jadi dokter spesialis kandungan.

Saya: Iya, kamu boleh jadi apa aja yang kamu mau.

Safa: Boleh beli es krim?

Saya: Nggak!


April 11, 2017

Saya sedang buru-buru ingin pergi dan mencari dompet yang sebelumnya diletakan di atas meja.

“Dompet dimana ya?” kata saya ke seisi rumah.

“Dedek tau.” Safa menjawab, “Ayo ikut!” katanya sambil memberi gestur tangan minta diikuti.

Saya berjalan di belakangnya menuju tempat mainan. Ah, dompet saya dibuat mainan, pikir saya kemudian. Bersiap-siap memberi khutbah tentang meminta ijin sebelum menggunakan barang orang lain, mentaati orang tua dan tentang Malin Kundang.

Belum sempat saya ceramahi, dia bilang, “Ini dia!” sambil ngasih dompet kertas buatannya.

Saya mau sewot, tetapi ketawa.


April 10, 2017

Nada: Bapak tau gak nama neneknya Akila? Kakak tau!

Saya: Nggak.

Nada: Huruf awalnya B.

Saya: Bunga?

Nada: Salah.

Saya: Burahan. Badu. Budi.

Nada: Salah. Salah. Salah. Nyerah gak?

Saya: Nyerah.

Nada: Bu Endang!


September 6, 2016

“Kok Allah Maha Tahu?” Tanya Safa saat saya menyuapi makan.

Saya tahu itu pertanyaan pengalihan isu.

Anak-anak adalah makhluk yang bisa menelan apapun ke dalam temboloknya selain sayur. Memang nggak semua anak, tapi Safa adalah juaranya.

Kalau saya sedang nggak banyak kerjaan, biasanya saya tunggu ia mengunyah habis makanan yang sudah ada di dalam mulut. Tapi lebih sering, karena kurang sabar dan lapar, saya memakan semua sayur yang ada di piring.

Karena saya tahu itu pertanyaan iseng, maka saya diam.

Akhirnya Safa membuat kesimpulan, “Supaya bisa jagain kita ya?”

Saya manggut-manggut.

Saya takjub dengan keahliannya menahan makanan di dalam mulut, di ujung mulut lebih tepatnya.

“Kenapa sih nggak dimasukin ke tengah mulut makanannya?” Tanya istri saya ke Safa.

“Nanti ketelen.” Jawab Safa.

Allah Kariim.


September 4, 2016

Di kursi panjang sedang duduk dua orang tamu. Mereka sedang berbincang-bincang ketika Nada dengan suara lirih berbisik ke ibunya, “Kok bau kentut ya, bu?”

Serta merta Nada mencurigai Safa yang juga berada di ruangan itu, “Dedek kentut ya? Kan malu ada tamu."

“Ya udah jangan berisik.” Kata Safa dengan suara yang sama lirih, “dihirup aja nih kayak gini, biar cepet ilang.”

Safa menghisap nafas panjang.


September 3, 2016
Nada dan Safa sedang menggambar pemandangan dalam laut.

"Kok ikan ada pusernya? kata Safa ke kakaknya.

"Iya, ini putri duyung." Nada menjelaskan.

"Dede juga mau tambahin puser ah." Safa membuat bulatan kecil pada gambar yang ia buat.

Nada yang merasa aneh dengan gambar itu berkomentar, "Kok ikan paus ada pusernya?"

Dengan yakin Safa bilang, "Iyalah! Kan lagi telanjang!"


August 2, 2016

Bagi anak-anak, menangis tidak serta merta menandakan kesedihan, bisa juga keingintahuan.

Safa punya kebiasaan unik akhir-akhir ini; menangis hampir tanpa alasan. Sebenarnya ada; untuk merasakan air matanya sendiri.

Ia berhenti menangis, menyeka air di sudut mata menggunakan ujung telunjuk, kemudian menjilatnya. Setelah itu ia meneruskan menangis, berhenti untuk menyeka air mata kemudian menjilatnya lagi.

Kegiatan impulsif ini mengingatkan saya pada perkataan Dr. Seuss, “Don't cry because it's over, cry because it can be tasted.”

Kira-kira seperti itulah.


July 23, 2016

“Mungkin rusanya lagi pada lebaran.” Kata istri saya ke Safa dan Nada, ketika kami melewati taman yang biasanya ramai oleh rusa. Nada mungkin sudah mengerti guyonan ibunya, tapi Safa, saya nggak yakin.

Pagi itu Safa ikut salat Ied dan itu kali pertama ia ikut salat hari raya. Pagi-pagi benar ia sudah dibangunkan, dan sambil dipakaikan gaun baru, ibunya bilang, “Ini hari lebaran.”

Begitulah yang ia pahami kemudian, bahwa lebaran adalah salat ied dan salat ied adalah lebaran. Sesederhana itu. Maka ketika ibunya bilang bahwa para rusa mungkin sedang lebaran, ia menanggapinya dengan sangat serius.

“Memang rusa bisa berdiri?” kata Safa, “Nanti solatnya gimana?”

Butuh beberapa detik untuk saya berpikir dan akhirnya terbahak.

Sejak saat itu, salat di masjid tidak lagi sama. Setiap tasyahud akhir dan salam, saya selalu khawatir di samping saya telah duduk seekor rusa.


July 21, 2016

Saya dan Safa pergi ke minimarket untuk beli eskrim, dengan uang lebaran Safa. Di pintu kaca masuk minimarket, Safa menunjuk beberapa gambar, sambil bilang, “Ini helem dicoret. Ini foto dicoret.”

Sedikit bingung dengan satu buah gambar lagi, ia bertanya, “Ini apa, Pak? Kok gak dicoret?”

“Itu CCTV.”

“CTV itu apa?”

“Kamera. Tuh liat, di atas sana kameranya.” Kata saya menunjuk benda bulat di langit-langit, “Ayo kita dadah ke kamera.”

Kami dadah ke kamera.

“Kamera itu untuk memantau. Memperhatikan orang. Salah satunya supaya kalau ada yang mencuri ketahuan.” Saya menambah penjelasan.

Hari berikutnya, ketika pergi ke minimarket yang berbeda, sambil menunggu saya mengantri di kasir, dengan pede Safa menjelaskan hal serupa kepada Nada, kakaknya, “Ini gak boleh peke helem. Ini gak boleh foto.”

Ada satu gambar lagi yang ternyata tidak ia lihat sebelumnya, jaket dan tas dicoret. Masih dengan kepedean tingkat dewa, ia lantang bilang, “Ini gak boleh pake baju.”

Sedetik kemudian dia sadar ada yang nggak beres.

“Eh, bukan deh.” Katanya kemudian.

Tapi terlambat.

Gerombolan anak laki-laki, mungkin SD, yang sedang memperhatikan mereka sudah cekikikan.

Saya segera menggendong Safa keluar, takut ia benar-benar buka baju untuk menjaga harga diri.


July 12, 2016

Beberapa kejailan dan komentar Safa (4 tahun) yang masih bisa saya ingat.

Malam itu lampu kamar sudah dipadamkan. Nada, Safa dan istri saya bersiap tidur. Nada minta diantar ke kamar mandi untuk pipis. Istri saya bilang, biasanya kakak berani, ayo sana sendiri. Nada tetap merengek minta diantar, sementara ibunya tetap membujuk dia untuk berani.

“Ayo kak, dedek anterin.” Suara Safa antusias. Biasanya ia tulus mau menemani kakaknya, disamping juga memanfaatkan kesempatan keluar kamar untuk mengulur-ngulur waktu tidur.

Suasana baik-baik saja sampai tiba-tiba Nada berteriak menangis dari dalam kamar mandi disusul suara cekikikan Safa.

Ibunya melompat dari tempat tidur ingin melihat keadaan dan mendapati Safa berdiri di depan kamar mandi, telah mematikan lampu kamar mandi dari luar.

Ibunya marah. Safa tetap cekikikan.

*

Pada malam yang lain, saya kebagian menemani Nada dan Safa di tempat tidur, sementara ibunya sedang di luar kamar untuk satu urusan. Lampu sudah dipadamkan. Tiba-tiba Safa keluar kamar menghampiri ibunya.

Ketika masuk ke dalam kamar, ia bilang, “Kakak, dedek dikasih obat dong sama ibu!”

Kakaknya keluar kamar.

“Ibu kakak juga mau minum obat!” Nada menganggap yang dimaksud obat oleh Safa adalah multivitamin yang biasanya mereka minum. Tapi dia salah.

“Kakak mau minum Trombopop?” kata ibunya. Trombopop adalah obat oles untuk meredakan bengkak, memar, atau lebam. Beberapa menit sebelumnya Safa memang kejedot tembok.

Nada masuk kamar dengan wajah kesal dikerjai.

Safa cekikikan. Saya ikut cekikikan.

*

Di hari yang lain, Nada minta dijelaskan tentang robot. Saya menjelaskan dengan mudah, “Robot itu mesin yang bisa membantu manusia, bisa yang masih diawasi manusia atau yang bekerja sendiri. Jadi kipas angin itu robot, kulkas itu robot, ricecooker itu robot. Apa lagi?”

“Jam.” Nada menjawab.

“Betul.”

“Radio.” Nada lagi.

“Betul.”

“Motor.”

“Iya.”

Tiba-tiba Safa menyela, “Cing Titis!”

Saya dan Nada saling berpandangan sambil mengernyitkan dahi.

“Apasih dedek. Masa Cing Titis robot?” Nada berkomentar.

Safa tetap nggak ngerti apa kesalahnnya.