Rabu, 25 September 2019

perjalanan

jalan ini amat ia kenal sepanjang hidup
selalu ia lewati pada pagi yang rindu
atau sore yang ungu di hari minggu

ia adalah seekor domba yang berjalan di atas rumput-rumput hijau
pada sabana stepa waktu
melintasi ilalang-ilalang kering kekuningan

seekor singa menyambut di depan istana
seringai dan kuku-kuku tajamnya memanggil,
"kesinilah sini domba gemuk yang enak dipeluk,"

ia memimpikan kehidupan yang mudah juga ramah
perasaan dirindukan dan kebahagiaan yang dibeli dengan uang
pergi ke hutan yang dalam, dimana ada gereja dari pualam
dan membayangkan ada yang lebih kekal dari kematian

ketika Pikiran kata dalam hati pada Sasi,
ia tidak risau
pikir yakin ia bukan kerbau, hati rasa ia dombau

hanya perbuatan lebih keras berkata daripada guruh
dan hanya ia tidak meyakinkan siapapun selain satu
dirinya yang gaduh

di jalan yang rusuhresah,
kaki tahu kemana akan melangkah

ia meninggalkan
senja yang temaram
di belakang warna yang sama dengan dingin dan bising

sementara rindu selalu cukup dengan
pulang dan kehangatan
tanpa peduli kemana laju akan berujung

Senin, 23 September 2019

Teknik Mendapatkan Cinta Sejati; Sebuah Usaha Menyelaraskan Pikiran dan Perasaan

Teknik Mendapatkan Cinta Sejati adalaha salah satu judul cerpen dalam kumpulan cerpen Murjangkung oleh A.S. Laksana

Teknik Mendapatkan Cinta Sejati oleh A.S. Laksana selalu membuka perspektif baru setiap kali saya baca ulang. Saya percaya bahwa karya sastra yang baik seharusnya memang seperti itu. Ini pengalaman yang sama dengan ketika saya membaca ulang The Alchemist - Paulo Coelho. Pemahaman akan sebuah karya berkembang seiring dengan bertambahnya pengalaman pembaca terhadap dunia di sekelilingnya, yang terkadang tidak dimaksudkan oleh pengarang ketika pertama kali menuliskannya.

Cerita-cerita Mas Sulak —begitu kami memanggilnya— sering melekat dalam benak, membuat saya terperangah dan berpikir. Dalam TMCS, kelihaian dalam menyalurkan kepekaan artistik terhadap detail dan pengalaman individu, tanpa mengekor karya sastra koran yang cenderung sendu dan murung, telah membuat cerita ini menjadi bukan saja enak dinikmati tapi juga kaya perspektif. Salah satu keunggulan lain dari pengarang adalah ia selalu menghadirkan karakter dengan profesi yang tidak umum.

Ada dua karakter utama dalam cerpen ini, yaitu Seto dan Sasi. Kakak beradik berbeda umur 14 tahun. Seto 16 tahun waktu Sasi berumur 2 tahun. Suatu hari --Sasi berumur 19 tahun, ketika orangtua mereka sedang pulang kampung untuk mengurus warisan, Sasi curhat kepada Seto tentang pacarnya; seorang laki-laki beristri.

Sasi sangat menyayangi laki-laki itu sekaligus membencinya. Seto, seorang guru, yang digambarkan oleh narator selalu sinis kepada Sasi tidak pernah serius menanggapi. Seto menganggap membenci orang yang dicintai adalah sebuah keruwetan dan tidak logis. Ia malah menyarankan Sasi untuk pindah agama.

“Jadi kau sungguh-sungguh akan pindah agama jika kau harus membenci orang yang sangat kau cintai?”

Demi Tuhan yang mahatahu akan isi hati dan urusan administrasi, itu bukan pertanyaan. Itu keruwetan.

Membenci orang yang sangat dicintai adalah keruwetan. Lebih parah lagi, itu abnormal. Sudah beberapa waktu Seto menyadari bahwa hidup membutuhkan kewarasan dan aturan yang jelas. Jika seseorang sepatutnya dibenci, bencilah ia sebaik-baiknya. Jika seseorang sepatutnya dicintai, cintailah ia sebaik-baiknya. Ini sama dengan hal-hal umum yang lain: jika kau lapar, makanlah. Orang tidak harus berlari maraton pada saat ia lapar. Ibumu tak akan menyuruhmu minum saat kau mengantuk.

Pada awal pembacaan, saya terserap pada logika Seto terhadap agama dan perpindahan agama dalam gambaran yang santai bahkan cenderung guyon. Dengan sederhana, saya mendapat pesan yang jelas; “Jika kamu merasa seseorang bukan ditakdirkan untukmu, maka cari saja orang lain yang kau takdirkan sendiri untukmu.”

Dalam pembacaan selanjutnya, kesan itu diobrak-abrik atau paling tidak dikerdilkan. Saya menemukan kualitas cemerlang dari pengarang untuk memberikan simbol yang halus pada dua karakter utama. Pada pembacaan kali ini saya mendapati bahwa Seto melambangkan manusia pikiran sementara Sasi menyimbolkan manusia perasaan. Pikiran dan perasaan ini sangat kuat dari set-up sampai seperempat akhir cerita ini.

Pindah agama yang dimaksud Seto adalah pindah dari kepercayaan yang satu kepada kepercayaan yang lain, dari kebaikan yang satu kepada kebaikan yang lain. Seto mencontohkan pada peristiwa ketika ia suka kepada seorang gadis, tapi ia terlalu takut atau yakin kalau cintanya akan ditolak. Keyakinan bercampur ketakutan itu ia tegaskan kembali dengan pindah agama.

Ia bahkan belum tentu ditolak, tapi kepengecutan dan dominasi logika mengantarnya untuk menilai semua potensi, termasuk potensi cintanya akan ditolak, maka jalan pikiran membuatnya berpindah agama agar ia tidak terlalu sedih dengan penolakan, atau yang ia pikir penolakan. Sederhana, runtut, logis, lurus, jernih.

Pada pembacaan lain, perpindahan agama ini menyodorkan perspektif terhadap beratnya beban yang mesti dipikul perasaan untuk beralih. Bahwa sulit lepas dari cinta tersebut sama sulitnya dengan berpindah agama. Ingat, dominasi agama adalah perasaan. Jika kamu sanggup meninggalkan cinta yang menggiurkan itu, maka itu seperti berpindah dari sesuatu hal ke sesuatu yang lebih baik, “pindah agama” dalam ungkapan cerpen ini, atau “hijrah” dalam term yang popular sekarang.

Manusia perasaan dalam diri Sasi lebih rumit. Pergolakan perasaan yang tidak mungkin dipahami oleh manusia pikiran. Sasi sebenarnya tahu yang ia lakukan tidak baik, dan ia tahu apa yang harus dilakukan atau tidak dilakukan, namun lagi-lagi perasaan punya logikanya sendiri yang tidak dipahami oleh logika pikiran.

Si kerbau melanjutkan, “Sebenarnya aku sendiri sudah tahu apa yang harus kulakukan. Tapi kau kakakku, aku ingin tahu pendapatmu. Ayah bilang ia orang yang tidak baik. Apakah aku keliru mencintai orang yang tidak baik?”

“Lakukan saja yang harus kaulakukan,” kata Seto, sedikit melunak.

“Sebenarnya aku rela menjadi istri kedua,” kata adiknya, “tetapi agamanya tidak membolehkan ia beristri dua.”

Kurasa di sinilah letak persoalannya. Seto kembali mengeras. Baru saja si kerbau membuatnya bungkam dan agak terharu ketika mengatakan, “Kau kakakku, kan?” Tetapi sebentar kemudian anak itu sudah mengeluarkan pernyataan yang terdengar bebal.

“Oh, adikku yang mahacerdas,” kata Seto. “Kau tak pantas bilang begitu.Yang harus rela mestinya istri bajingan itu.”

“Kau kakakku, kenapa selalu menyalahkan aku?”

Kali ini Seto tahu tak ada gunanya meluruskan orang yang tidak paham salah-benar. Ia bahkan menyesali jawaban pindah agama yang kemarin ia sampaikan sambil lalu. Sekarang si kerbau terus mencecar apakah ia perlu pindah agama.

Pada sepertiga akhir, pengarang melalui narrator dengan tajam menyindir orang-orang yang beragama tapi tidak menggunakan pikiran, atau tidak melakukan ajaran agamanya. Orang yang mendakwahkan agama tetapi melanggar ajaran yang ia sampaikan, orang yang antara perbuatan dan perkataan tidak sejalan.

“Jadi orang bisa menyelesaikan masalah dengan cara pindah agama?” tanya adiknya.

“Kau bahkan tidak perlu beragama,” kata Seto. Dalam hati ia melanjutkan, “Apa gunanya agama bagi seekor kerbau?”
Lebih jauh, pada seperempat akhir pembaca diberikan gambaran akan rapuhnya pikiran dan menangnya perasaan. Sasi yang menjaga Seto. Karena dalam perasaan terdapat kasih sayang, pengampunan, ketulusan, keikhlasan dan lain sebagainya yang mungkin tidak bisa dipikirkan oleh Seto si pikiran. Kasih sayang adik untuk menjaga kakaknya yang sedang sakit sampai mengorbankan kuliahnya adalah cinta sejati yang menjadi unsur utama yang menjadi judul cerpen ini. Menjawab pertanyaan mendasar; apa sebenarnya cinta sejati itu? Cinta yang selaras antara pikiran dan perasaan. Jenis cinta yang dipersatukan Tuhan sehingga tidak ada seorangpun bisa memisahkan. 

Tidak diceritakan dalam cerpen itu bagaimana hubungan Sasi dengan orang yang ia cintai, tidak juga diceritakan bagaimana Seto akhirnya mendapatkan kekasih yang mungkin seagama, karena memang bukan itu tujuan cerita ini. Cerita ini adalah tentang bagaimana Seto dan Sasi saling menjaga. Bagaimana pikiran dan perasaan seharusnya seimbang.

Penjelasan tentang Logic dan Emotion atau Logical Brain dan Emotional Brain dari beberapa ahli tidak akan saya paparkan di sini karena akan panjang dan rumit. Di situlah pentingnya seni. Sejatinya, sastra sebagai bagian dari seni bisa menjadi salah satu sarana untuk menjelaskan sesuatu yang rumit menjadi mudah. Akhirnya, cerpen ini seperti ingin mengatakan bahwa pikiran dan perasaan adalah dua hal berharga pada diri manusia yang harus dijaga. Orang bisa seketika mati karena beban pikiran dan perasaan, apalagi ketika ia tahu cara menikmati racun serangga. Karena berat pikir dan rasa lebih membunuh daripada berat tubuh.