Rabu, 30 Desember 2020

Langit

Aku menggunting langit dengan kamera. Di bawahnya mengalir sungai Piedra, memantulkan sinar mentari muda. 

“Seberapa penting selembar gambar yang tidak simetris ini bagi keabadian?” kamu bertanya disela beribadah di depan layar. Wajahmu rembulan bersinar memantulkan cahaya dari kotak terang, kolam dunia niskala yang membelenggu perasaan. 

“Apakah kenangan yang melekat pada guratan warnanya juga akan menempel sampai seribu tahun?” aku menjawab pertanyaan dengan pertanyaan. 

Kamu meletakan sepotong langit malam di mading pinggir jalan; dengan ribuan lampu-lampu seperti bebintang, awan gemawan, bukit, gunung, danau di kejauhan, hutan, pepohonan, juga bunga dan ilalang. 

Tiap orang yang lewat memperhatikan. Sketsa maya yang berisi jutaan titik kecil yang berwarna-warna. 

Tiap orang ingin ke bukit tujuan. Melihat mayapada berselimut halimun pada ketinggian. Entah sampai, atau mati di persimpangan. 

Tiap orang punya perjalanan. Dunia dimana mereka menggunting hal-hal penting yang dipakai untuk membungkus kehidupan. 

Dalam mendung dingin perjalanan yang membuat takut, aku ingin berharap dan kagum bersamamu. 

Kamu selapis angkasa, cakrawala jingga yang nyata. Terbentang jauh memenuhi ufuk, memberi arti pada lanskap. Biarkan aku tengadah sebentar, memandang bahagia yang terkadang pudar. 

Saat ini adalah selama-lamanya, sampai malam menelanmu dan lampu-lampu kota menjadi menawan. 

Sinar mentari muda menyapa. Aku menyiapkan mata sebagai kamera. Ada lubang kotak terbuka di awang, dan aku tahu, mata kita beradu di atas sana. 

2020



Minggu, 29 November 2020

Berdukalah Sedalam-dalamnya

Tengah malam itu saya sedang menonton City vs Arsenal di handphone ketika sebuah kabar duka di WhatsApp menghalangi pandangan dari pertandingan. Setelah membaca itu, laga Premier League menjadi tidak menarik, seketika tubuh saya seperti kastil pasir yang terhempas ombak, menggelosor tanpa tenaga. Saya membangunkan istri yang sedang tertidur pulas. Kabar itu membuatnya sadar, seperti terbangun karena bermimpi jatuh dari tempat tidur.

Itu jenis kesedihan dari kabar kematian yang mengendap lama. Malam berikutnya, setelah pagi itu saya dan istri melawat, saya tidur dan terbangun dengan perasaan muram yang masih melekat. Tidur tidak membuatnya hilang, bahkan menajamkannya kembali.

Saya mengenal Vany karena kami pernah satu kampus, istri saya mengenal Mukhlis, suami Vany, karena dulu mereka pernah mengajar di tempat yang sama. Alby anak pertama mereka yang berumur 7 tahun meninggal di rumah sakit, dan tiga hari kemudian Mukhlis menyusul meninggalkan Vany dan Rayyan anak kedua yang masih balita. Bahkan Mukhlis tidak sempat menghadiri pemakaman Alby karena saat itu masih terbaring di rumah sakit.

Kehilangan orang tercinta tidak pernah mudah, apalagi dua orang, apalagi dalam waktu yang berdekatan. Dengan kehilangan semacam itu, kamu bisa terbangun tiba-tiba pada tengah malam dan menangis sendirian. Kamu merasakan dadamu terhimpit dalam isak, paru-parumu berderu dengan sedu yang menyesakkan, sampai kamu lupa bagaimana caranya bernafas.

Kamu mengingat kenangan-kenangan yang terlewat. Kamu merindukan pesan dan telponnya, kamu merindukan suaranya, kamu merindukan aroma tubuhnya, kamu merindukan hal-hal yang mengesalkanmu, kamu merindukan hal-hal kecil, segala sesuatu yang bahkan sangat sederhana seperti caranya merajuk, memegang tangan atau mengucapkan namamu.

Namun yang lebih menyesakkan dalam semua kerinduan itu adalah sesuatu yang belum sempat kamu lakukan. Kamu teringat hal-hal yang telah kamu rencanakan esok hari setelah pandemi, menonton film yang sudah lama dinanti, atau sekedar berdebat tentang rencana makan apa malam ini. Kamu menyesali banyak salah yang kamu kerjakan dan hal-hal yang belum sempat kamu buat.  Ia memberatkanmu dengan awalan kata "seandainya"  dan "jikalau". Penyesalan itu memukuli kesadaran, meremukan perlahan-lahan pertahanan jiwamu yang semakin lama terlihat semakin rapuh.

Kamu merasakan rumah yang tidak menjadi rumah dengan nuansa yang sama. Betapa orang yang begitu dekat dan nyata, saat ini tidak bisa kamu peluk dan genggam tangannya. Dan kamu merasakan itu sendirian. Sebagain kawan-kawan yang punya kesamaan, yang bisa relate dengan kesedihan itu merasa ikut sakit, tapi tentu itu bukan kesedihan yang sama dengan yang sedang kamu rasakan. Kesedihanmu adalah milikmu sendiri, karena sedalam apapun mereka bersungkawa, sebagaimanpun mereka bisa ikut merasa, itu bukan duka mereka.

Sungguh kerinduan dan kehilangan tidak pernah bisa dituliskan dengan sederhana, dan kata-kata tidak bisa menampung seluruh rasa.

Sulit bagimu untuk menang dalam pertandingan yang tidak seimbang ini. Takdir tidak pernah kalah dan menjadikan semua orang menjadi pencundang. Pada akhirnya kamu hanya bisa pasrah menerima kenyataan, dipaksa merasakan, karena kamu sadar tidak ada yang bisa mengubah apa yang sudah dituliskan. Jika kamu tenang dalam kesendirian, ia akan memberimu pesan, bahwa dunia bukanlah tempat dimana segala keinginan dapat diwujudkan.

Hidup tidak seperti masuk sekolah, yang beramai-ramai masuk, beramai-ramai pulang. Hidup ini ibarat menunggu bis di halte, sendiri-sendiri datang, dan satu-satu pergi. Menghadapi semua itu manusia selalu saja gagap dan tidak siap. Kita adalah makhluk lemah, maka tidak perlu terburu-buru. Kamu masih punya waktu untuk berduka. Ambilah sebanyak-banyaknya. Kenanglah sepuas-puasnya.

Menangislah seduka-dukanya. Bukankah Nabi yang mulia juga bersedih dan menangis ketika putra beliau Ibrahim yang saat itu masih balita wafat? Melihat air mata Nabi yang bercucuran, Abdurrahman bin Auf bertanya, "Engkau juga menangis Rasulullah?" Rasulullah menjawab ini adalah tangisan kasih sayang.

Rindulah selama-lamanya. Bukankah Rasulullah juga rindu kepada Khadijah bahkan bertahun-tahun setelah sayyidah Khadijah wafat? Sampai ketika datang saudara perempuan Khadijah, Nabi merasa bahagia dan terkenang, sebentuk kerinduan karena melihat kemiripan sifat dengan Khadijah. Kerinduan tersebut masih mewujud dalam keseharian, bahkan ketika Rasul menyembelih kambing, beliau memberikannya kepada teman-teman Khadijah semasa hidup.

Sampai nanti akan tiba saatnya, ketika waktu perlahan-lahan menyembuhkan. Dan kelak waktu juga yang akan mendekatkan, juga menyatukan.

Al Fatihah…

Sabtu, 21 November 2020

Yesterday; Troubles Seemed So Far Away

Dunia alternatif tanpa The Beatles merupakan premis yang menarik. Banyak yang mengatakan film ini bermasalah karena punya banyak plot holes dan cacat logika, sehingga mengurangi kenikmatan menonton. Sejujurnya saya tidak terganggu dan memaafkan hal tersebut, karena sejatinya ini bukanlah film science fiction.

Sutradara seperti tahu bahwa film ini adalah tentang menjawab sebuah premis —dan hanya itu saja—bagaimana jika The Beatles beserta lagu-lagunya, hilang dari muka bumi? Ia tidak mau terbebani dengan hal-hal lain dan membiarkannya menjadi tidak terjelaskan. Ia seperti menyadari bahwa jawaban atas hal-hal lain itu tidak terlalu penting. Mungkin baginya, yang terpenting adalah sebagai seniman ia memberikan suatu hal yang bermakna; lagu-lagu The Beatles, perpaduan antara musikalitas popular dan puisi yang menyihir.

Aransemen musik dan suara yang lebih jernih juga modern, membuat lagu-lagu tersebut lebih segar. Mereka tidak dicomot asal-asalan tapi berbaur dan ikut bercerita mengiringi cerita dalam film ini. Seperti lagu-lagu dalam La La Land, tidak butuh waktu lama sampai lagu-lagu The Beatles versi Jack Malik masuk dalam playlist saya. Lagu-lagu dalam film ini akan membawa penggemar The Beatles seperti istri saya bernostalgia sekaligus merenungkan kembali makna hidup.

Adegan ketika Ellie mendengar Yesterday untuk pertama kali dari Jack, mengingatkan saya pada pendengaran pertama saya akan lagu tersebut bertahun-tahun yang lalu dari petikan gitar seorang kawan. Saya kira hanya sedikit lagu yang bisa menancapkan pesona magis semacam itu, sampai-sampai ketika mengenangnya kembali, ia seperti trauma indah yang tidak mau kau obati.

Secara alur, film ini terus menanjak, ia tidak membiarkan penonton menunggu terlalu lama untuk kemudian bosan. Fokus film ini adalah tentang hubungan Ellie dan Jack. Sebuah komedi romantis yang walau klise dan mudah diprediksi, terutama pada separuh akhir, tapi masih membuat hati kita hangat. Sesekali unsur dialog komedik kekinian yang lucu tapi ramah membuat film ini lebih hidup, dan Rocky si Joker, karakter tempelan yang artifisial, selalu membuat saya terbahak.

Film ini memang sengaja tidak dibuat berat dan gelap, malah terkesan popular, mudah dan tanpa beban. Bahkan penonton seperti disuapi jawaban dari premis awal melalui salah satu karakter, “A world without the Beatles is a world that's infinitely worse.”

Mudahnya, ini adalah film yang ringan tentang mensukuri hidup saat ini, bagaimanapun keadaannya. Mengutip Kurt Vonegut dalam Gempa Waktu, “Bahwa tugas yang tampaknya masuk akal bagi seniman adalah membuat orang menghargai hidup, setidaknya secuil saja. Kemudian saya ditanya apakah tahu seniman yang melakukan tugas tersebut. Saya menjawab, The Beatles.”

Itu ditulis sebelum ia menjelaskan bahwa hanya manusia, makhluk hidup yang paling maju ini, yang merasakan bahwa hidup ini buruk dan menyedihkan.

Film ini diakhiri dengan Ob-La-Di, Ob-La-Da, sebuah kesimpulan yang merangkum seluruh isi cerita, bahwa hidup adalah tentang bermakna bagi orang lain, bahwa menjadi orang biasa bukanlah sebuah dosa, selama kamu bahagia.



Rabu, 11 November 2020

The Queen's Gambit; Dunia Dimana Setiap Orang Diperlakukan Sama

Seri yang diadaptasi dari novel dengan judul yang sama ini memulai dengan atmosfir gelap dan depresif. Pada episode pertama bahkan saya menangkap kesan suram seperti dalam The End of the Fucking World, dimana masa kecil karakter utama diisi dengan suasana traumatis karena kemiskinan dan menyaksikan ibunya bunuh diri. Namun kesan itu perlahan-lahan menguap, menjadi semakin optimistik, manis dan cerah seiring berjalannya episode, sampai akhirnya di akhir seri penonton seperti dibuat ikut berkembang dan terkesan dengan pencapaian-pencapaian karakter utama.

Mini seri ini berjalan cukup lambat terutama pada paruh awal sampai sepertiga akhir, membuat pertengahan episode terasa datar hampir tanpa klimaks atau konflik yang tajam. Dari tujuh episode, baru pada dua episode akhir saya menemukan plot yang dibuat lebih menanjak. Beruntung penonton dibuat bertahan dengan dialog dan performa ansambel cast yang seluruhnya tampil tanpa cela. Selain percakapan Jolene dan Beth dalam kendaraan yang terkesan dipaksakan karena sumpek dengan muatan pesan moral, dialog dalam seri ini sangat jujur, cerdas dan digarap dengan elegan. Di beberapa adegan ketika dialog tidak diperlukan, para karakter diberi ruang yang cukup luas untuk mengeksplorasi emosi secara lebih dalam.

Harry Melling yang terakhir saya tonton aktingnya di The Devil All the Time kembali memukau dalam seri ini. Dengan penampilan yang konsisten dan potensi yang terus berkembang dari sejak perannya menjadi bocah gendut perundung dalam Harry Potter, hanya menunggu waktu sampa ia mendapat peran utama yang lebih banyak. Nyaris tidak ada karakter antagonis yang bersikap lebay dan patut dibenci secara berlebihan, bahkan ada kesan para tokoh bersikap begitu natural bahkan sportif, sampai saya mengira ini adalah sebuah kisah nyata atau sebuah biopic. Tahun, lokasi, event pertandingan yang dibuat sangat nyata, ditambah dukungan teknis visual dengan sinematografi pewarnaan yang klasik dan teduh hasil CGI mewah, menjadikan seri dengan seting era 60an ini sangat meyakinkan.

Premis seri ini secara persusif dan alami tanpa ada usaha yang dipaksakan seperti berniat menampilkan semangat feminis sebagai nilai jual utama, selain tentu saja pencapaian mengagumkan si karakter utama dalam mengelola kehilangan dan traumatik masa lalu. Dalam satu adegan, sutradara juga tidak latah memasukan kritik pada agama yang memang tidak relevan dan punya set-up yang kokoh sejak awal, melainkan menyentil hipokrisi yang sering diambil orang-orang yang punya kesempatan untuk menjual integritas dan menjadi bermuka dua. 

Menjadikan catur sebagai sarana pencarian jati diri Beth, sebagai karakter utama yang penuh luka perjalanan hidup, juga merupakan konsep yang sangat brilian dan solid. Karena catur adalah satu-satunya olahraga yang egaliter, yang tidak memandang suku, budaya, jenis kelamin, bahkan umur. Papan catur adalah dunia, dimana setiap orang diperlakukan sama untuk bisa membuktikan diri, bisa kalah dan terpuruk namun bisa juga belajar dan mampu bangkit.



Rabu, 21 Oktober 2020

The Devil All the Time; Ironi Pada Agama dan Religiusitas

Kritik tajam terhadap agama dan religiusitas mistis dalam film drama thriller begitu unik. Menjadi variasi dan warna lain yang membedakan film ini dari film-film dengan kritik pada religiusitas ekstrimis ala terroris yang semakin klise.

Mengambil sisi penceritaan omniscient yang yang tahu segala hal, yang saya duga juga diambil dari penuturan asli novel, membuat ia semakin dekat dengan kritik pada kepercayaan manusia kepada Tuhan yang juga tahu segala hal. Tentu ia tidak mengajak untuk menolak agama, namun menyajikan ironi pada pemahaman para karakter terhadap kitab suci dan religiusitas yang membabi buta tanpa pikiran jernih.

Dibalut nuansa gelap dan depresif khas film triller, film ini menampilkan agama dari sisi tergelap sampai hal yang paling tulus, jernih dan baik. Pada kepercayaan yang total, ketulusan yang murni, sampai memunculkan agnotisme dalam perlawanan.

Akting seluruh pemerannya hampir tanpa cela. Bahkan keberhasilan akting Pattinson membuat istri saya jijik. Logat, gaya dan suara sengau dengan dialek Selatan Amerika yang mengingatkan saya pada Trump, membuat ia mudah dibenci —sejak Trump jadi presiden, para aktor seperti punya acuan pasti untuk menjadi orang yang menyebalkan. Saya berharap Pattinson nanti bisa memerankan Batman dengan lebih bagus, walaupun mungkin dibenak istri saya, sebagus apapun Batman versi Pattinson nanti, ia dalam film ini sudah melekat bahkan mengalahkan perannya menjadi Vampir pucat.





Jumat, 16 Oktober 2020

Blame Bernice, Uncle Fucka!



Adalah Bernice yang merekomendasikan saya untuk menonton South Park. Ia tidak menyarankan apapun dalam chatting, selain kata-kata andalan, “Southpark wae”. Sialnya, yang saya tonton adalah versi filmnya, South Park: Bigger, Longer & Uncut (1999), yang lebih kasar, vulgar dan sadis, yang belakangan saya ketahui bahwa pada tahun rilisnya, film itu dilarang tayang di 16 negara, termasuk Saudi Arabia, Vatikan dan tentu negara-paska-reformasi kita tercinta.

Melihat tahun produksinya saja saya sudah gentar. 1999, tahun dimana saya masih unyu-unyu, sisiran belah tengah, dan masih bercita-cita menjadi Brama Kumbara atau Arya Kamandanu. Menonton film kartun musikal berdurasi 81 menit ini membuat saya bernostalgia ke era dimana masih ada TPI, Programa Dua, dan Barry Prima masih gondrong dan suka telanjang dada. Tanpa persiapan atau ekpektasi apapun, dengan polos saya menonton film yang menurut catatan IMDb terdapat 399 umpatan kasar. Itu artinya, dalam 1 menit ada 5 kali makian kotor yang kita dengar. Menurut saya, kebrutalan humornya setara dengan Borat atau Jendral Aladeen dalam The Dictator.

Mengambil sumber dari serial televisi South Park —yang juga tidak pernah saya tonton, film ini seperti punya landasan solid untuk membangun premis melalui karakter-karakter yang sudah lekat dengan penggemar. Walau tanpa itu, penonton pemula yang baik hati dan hapal Pancasila seperti saya, yang tidak pernah diperingatkan akan efek psikisnya, juga masih bisa menikmati.

Film ini berkisah tentang empat anak (Stan Marsh, Kyle Broflovski, Eric Cartman, dan Kenny McCormick) yang menyusup ke dalam penayangan film khusus dewasa. Terrance dan Phillip dua aktor Kanada dalam film tersebut terus menerus mengeluarkan kata-kata kasar yang membuat empat sekawan itu meniru. Pada akhirnya, ibu mereka meminta kepada pemerintah Amerika untuk menyatakan perang melawan Kanada karena dianggap telah merusak moral anak-anak mereka. Perang hanya karena film itu ibarat ibu-ibu jambak-jambakan di Indomaret hanya gara-gara rebutan Tuperware diskonan. Tidak berguna, tapi videonya bisa viral bahkan sampai ditonton alien di planet Namex.

Saya kira South Park bukan hanya animasi yang mengajarkan anak-anak untuk memaki, lebih dari itu film ini seperti sebuah protes artistik kepada para orang tua kolot dengan pemikiran usang. Film ini berhasil menunjukan kritik dengan satir, gelap dan hiperbolis terhadap kebebasan berpendapat dan sensor, juga sindiran tentang isu-isu sosial dan politik.

Tidak semua lucu. Karena kebanyakan joke sangat erat dengan kondisi dan peristiwa yang terjadi pada tahun-tahun tersebut, maka ada beberapa komedi yang sudah terlalu lawas. Ia tidak lucu bukan karena materinya tidak bagus, tapi tidak menemukan relevansi dan momentum. Tentu ada pengecualian, seperti perseteruan pembuat film ini dengan lembaga sensor Amerika MPAA, walaupun sudah lama berlalu tapi masih lucu. Sinisme dalam dialog Sheila Broflovski, Ibu dari Kyle, masih bermakna sampai sekarang, “Remember what the MPAA says; Horrific, Deplorable violence is okay, as long as people don't say any naughty words! That's what this war is all about!”

Di Indonesia, selama perjuangan mengemukakan pendapat masih dibungkam atau diatur dan dipilah-pilih berdasarkan siapa yang berkuasa, selama yang memakai lelucon Gusdur tentang polisi dipolisikan, maka film ini akan terus relevan.

Walaupun butuh kedewasaan untuk mencerna komedi dunia-akhirat di film ini. Saddam Hussein yang saat itu masih hidup diceritakan sudah meninggal dan ada di neraka bersama setan. Penggambaran Saddam dengan humor gelap sebagai setan yang homoseksual bisa jadi tidak memancing tawa dan sangat menyakitkan terutama bagi orang-orang yang tidak bisa membedakan Arab, Islam, dan kesalehan.

Kita tahu akan selalu ada korban dalam komedi, selalu ada ketersinggungan, simplifikasi, hiperbola dan stereotype. Tidak ada komedi yang bersih. Pilihan dan keputusan ada di tangan penonton, ingin menganggap film ini sampah atau bernilai seni. Apakah meneruskan menonton atau membuangnya ke tempat sampah. Di masa yang akan datang, akan lebih sulit menyensor segala macam tontonan. Keberhasilan sensor dan segala hiruk-pikuknya akan kembali kepada diri sendiri.

Akhirnya, walaupun banyak premis minor tentang berbagai isu yang diangkat, premis utama film ini sangat jelas, yaitu satire tentang menyalahkan orang lain terhadap apa yang terjadi pada kita. “Blame Canada” menjadi lagu yang bukan hanya menyindir orang yang tidak mau introspeksi dan segera menyalahkan pihak lain ketika sesuatu yang jelek terjadi pada mereka, namun juga sindiran terhadap arogansi Amerika.

Menarik karena walaupun dengan gaya yang kasar, film ini diisi deretan lagu-lagu sarat parodi lucu  yang easy listening. Sayangnya, bukan "Blame Canada" yang mendapat nominasi Academy Award yang mengganggu telinga saya sampai sekarang; adalah alegori “Uncle Fucka”. Saya tidak akan menyalahkan Kanada atau para pembuat film ini atas lagu umpatan yang tidak bisa saya nyanyikan kepada atasan saya di kantor karena alasan kesopanan tapi terus mengiang-ngiang dalam telinga, bukan karena saya tidak mau tapi terlalu jauh untuk menyalahkan mereka, yang dekat dan terjangkau adalah orang yang merekomendasikan film ini.

Yes, it will be easier to blame Bernice! Blame Bernice, Uncle Fucka!

Sabtu, 01 Agustus 2020

Pernikahan, Ilham dan Detik-Detik yang Menghancurkan

“Nuhun pisan, Bang!” katanya ketika saya ingin menyalami dan menyelamati di pelaminan.

“Bangsat lu, Ga!” respon saya sambil memeluknya.

Kami tertawa bersama.

Itu hari pernikahan kawan saya Rangga. Dalam usia yang belum menginjak 30, ia sudah menikah dua kali. Tentu tidak ada yang pantas dibanggakan akan perkara itu, kecuali anda Vicky Prasetyo.

Seminggu sebelum itu, saya main ke rumahnya, kunjungan pertama kali ke sana. Sore itu cerah dengan langit biru yang jernih, saya tiba di depan rumahnya ketika ia sedang siap-siap mengayak pasir. Di atas pintu depan rumah tertera plat bertuliskan KPR-BTN, tanpa nomor RT/RW.

“Sambil ngaduk ya, Bang,” Ia sedang merenovasi rumah bagian belakang. Saya duduk di kursi kecil, menemaninya mengaduk pasir dan semen sambil bercerita banyak hal. Terakhir kami bertemu sekitar 3 tahun yang lalu, banyak cerita yang terlewat.

Ia bercerita kalau setelah kegagalan pernikahannya yang pertama, sempat trauma dan enggan menikah lagi. Status duda membuatnya minder menjalin hubungan yang serius.

“Lu pernah bilang trauma, trus apa yang buat lu yakin sekarang?” tanya saya sambil menyeruput kopi dingin. Ia memutuskan untuk menikah lagi kali ini, dengan wanita yang baru dikenalnya, bahkan belum setahun.

“Gak tau, Bang.” Katanya sambil menyendok adukan ke dalam ember. Ia berhenti sebentar, duduk kemudia meneruskan, “Hidayah, mungkin.”

“Sama yang dulu juga lu bilang gitu,” saya tertawa.

“Iya, ya?” ia menggaruk kepala dan ikut tertawa, “ya pokoknya gitu lah, Bang.”

Walaupun tidak lengkap, ia pernah bercerita tentang kisah cintanya dari semenjak kuliah. Hubungannya dengan teman kuliah yang ia pacari beberapa tahun, yang masing-masing keluarga sudah pernah bertemu, akhirnya gagal dan putus. Tentu ia tidak menyerah, ia mencari pengganti dan memilih satu dari dua mantan, yang kemudian berlanjut pada pernikahan. Sayang pernikahan itu tidak berlangsung lama. Ia bercerai. Terpuruk. Sampai kemudian ia menjalin hubungan dengan yang berbeda agama, yang akhirnya juga kandas. Dan sekarang, ia menikah untuk yang kedua kali.

Pernikahan dilaksanakan tanggal 19 Juli. Karena masih masa pandemi, maka acara dilangsungkan dengan sederhana. Tanpa pesta mewah atau tamu undangan, hanya dirayakan dua keluarga mempelai. Tanggal 18 Juli, sehari sebelum hari pernikahan, saya menelponnya. Meminta alamat lokasi acara.

“Besok jadi jubir ya, Bang.” ia meminta dari seberang telpon. Sebelumnya memang ia sudah meminta, tapi belum pasti dan akan dikabari lagi, tentu bukan sehari sebelum hari H.

“Serius, Ga? Lah gua kira gak jadi. Emang gak ada keluarga yang bisa?” tanya saya.

“Gak ada, Bang. RT di sini juga baru, jadi gak mau.”

Dan begitulah saya, menjadi juru bicara mempelai pria dengan pemberitahuan yang sangat mendadak. Itu pengalaman pertama saya sebagai jubir pengantin. Di dalam kendaraan menuju lokasi, saya berkali-kali mengusap-usap tangan karena gugup, sementara Rangga yang menjadi calon mempelai kelihatan sangat santai. Maka “bangsat” adalah kata yang sangat cocok untuk menggambarkan keadaan itu. Seingat saya, ketika menikah saya tidak senervous itu.

Singkat cerita, alhamdulillah acara pernikahan berlangsung lancar sampai akhir. Peran yang diberikan juga bisa saya lakukan dengan baik, walau tidak istimewa. Saya senang bukan hanya karena tidak ada kendala tapi juga karena akhirnya kawan saya bisa move on dan menemukan keberanian untuk berumah tangga kembali.

Ia bilang pernikahan ini terjadi karena Hidayah, atau mungkin lebih tepat kalau saya sebut Ilham, atau Petunjuk Allah yang timbul di hati. Petunjuk ini bisa bermacam-macam, bisa melalui mimpi, bisikan di hati, tanda, isyarat dan hal-hal lain. Namun Petunjuk Tuhan pada sebuah pilihan adalah satu hal, dan mempertahankan pilihan itu adalah hal lain. Manusia tidak bisa mempersalahkan petunjuk yang ia anggap dari Tuhan atas sebuah pilihan, jika dikemudian hari pilihan itu diketahui menjadi pilihan yang buruk. Karena bersandar dan pasrah hanya pada “Petunjuk Tuhan” saja tidak cukup. Manusia juga diberikan tanggungjawab untuk berusaha dan belajar, ditimpa cobaan dan musibah untuk menguji keimanan. Maka seperti banyak orang katakan, memulai itu mudah, yang sulit adalah mempertahankan.

Saya mengenal Rangga sebagai anak yang baik, mudah bergaul, senang membantu, asik diajak bercanda, dan banyak hal baik lain. Ia bilang saya adalah orang yang rajin belajar, tapi sejujurnya saya banyak belajar dari perjalanan hidupnya. Darinya saya belajar bahwa butuh bertahun-tahun untuk membangun kepercayaan, dan hanya butuh beberapa detik untuk menghancurkannya.

Kenangan seindah atau seburuk apapun pada akhirnya hanya ada dalam ingatan. Terhadap pengalaman yang buruk kita menyesal, bertanya mengapa hal itu bisa terjadi, mengapa kita bisa melakukan hal seburuk itu. Pada pengalaman yang baik kita menjaga, terkadang mengenangnya, walau tidak sempurna. Bahkan kenangan-kenangan baik bisa hilang tak bermakna. Orang-orang yang pernah dekat, sekarang bisa menjadi sangat jauh atau dibenci, yang nomor telpon, social media dihapus, bahkan namanya tidak ingin didengar. Perasaan yang tidak dikendalikan pikiran, bisa membuat orang bertindak kejam. Sekejam melupakan dan menganggap seseorang tidak pernah ada. Semua sikap itu tentu pilihan. Sebagaimana kemampuan memaafkan dan merelakan juga sebuah pilihan.

Umur Rangga memang di bawah umur saya, namun saya percaya bahwa kedewasaan itu adalah tentang pelajaran yang kita dapat dari pengalaman, bukan tentang seberapa banyak ulang tahun yang dirayakan. Einstein pernah bilang, “Satu-satunya sumber pengetahuan adalah pengalaman.” 

Saya tidak mengatakan kawan yang paling tahu apalagi mengerti Rangga. Walaupun begitu, sebagai kawan, saya senang jika bisa membantu. Saya senang bisa menjadi bagian dari pernikahannya. 

Sambil menunduk, saya mengangkat tangan mengamini doa yang dipimpin oleh penghulu.

“Allahumma alif baynahuma, kama allafta bayna adam wa hawa, wa allif baynahuma kama allafta bayna Yusuf wa zulaykha, wa allif baynahuma kama allafta bayna ‘ali ibni abi Talib wa fatimatazahra, wa allif baynahuma kama allafta bayna sayyidina Muhammad wa khadijatalkubra,”

“Ya Allah, satukan, lembutkan hati mereka berdua seperti Engkau menyatukan Adam dan Hawa, seperti Yusuf dan Zulaikha, seperti Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra, seperti Sayyidina Muhammad dan Sayyidah Khadijah al-Kubro.”

Saya mengamini dan dengan sepenuh hati menambahkan, “Baarakallahu lakuma wa baarakaa alaikuma wa jamaa bainakumaa fii khoir. Mudah-mudahan Allah memberkahi kalian berdua, dalam suka maupun duka dan selalu mengumpulkan kalian berdua pada kebaikan.”

Allahumma aamiin.

Selasa, 28 Juli 2020

Perasaan Ini Tidak Pernah Bisa Sederhana

Aroma garam pada siang yang cerah berganti suara ombak dihembus angin selatan yang tenang. Langit berpendar bulan separuh tertutup kabut dan mendung, sebuah bintang bersinar tangguh namun akhirnya kalah, redup dan menyerah. Di kamar ini hanya ada kita, dan aku masih menatap anak-anak yang tertidur pulas karena letih bermain air seharian, sebagian seprai yang mereka tiduri basah karena ompol.

Tadi sore udara dingin bertiup menerbangkan raksi pokok kayu, menggigilkan kulit dingin sehabis terbasuh air. Cericit burung di dahan-dahan yang tinggi beriringan dengan derau jeram aliran sungai yang beriak karena tangan-tangan kecil menghangatkan suasana. Kecipak air dan tawa mereka menggema seperti suara peri di pucuk-pucuk daun-daun hutan.

Sinar mentari pagi merambat, menyapa embun di puncak pohon pinus, kabut di jalan mulai naik ke atas bukit kemudian hilang ditelan langit. Aku membuka jendela lebih lebar mempersilahkan udara masuk, mengamati anak-anak yang bermain di bawah naungan atap tingkap. Kamu sudah terjaga, memeluk selimut putih yang kusut penuh ruas, menemani Aira yang masih belum mau beranjak dari kasur.
Dalam seluruh kesadaran itu, aku menghayati waktu yang berjalan perlahan.

Pada kenangan di hamparan masa yang terus terbentang, kita hanya sebutir pasir. Dari sejak kita pergi ke Majalengka 11 tahun yang lalu, waktu seperti bergegas cepat, menacapkan tapal sejarah dan terus melaju. Walaupun ia selalu berada di belakang dan tidak pernah berhasil mengejar kita yang sekarang. Kita melihatnya sesekali dalam album kenangan berwarna lusuh penuh corak kekuningan pada ingatan yang semakin rapuh.

Apa yang kamu rasakan saat-saat itu? Dan apa yang kamu rasakan saat ini ketika mengenangnya?

Bahasa tidak akan punya cukup ungkapan dan selalu miskin untuk menggambarkan emosi. Karena tidak sama duka ketika kamu kehilangan dan kesakitan. Berbeda pilu ketika usiamu 5 dan 23 bahkan terhadap sesuatu yang sama. Tidak persis lara yang kamu rasa dengan seekor rusa yang kehilangan anaknya. Lain kecewa yang kamu alami hari ini, kemarin, atau lusa. Ada jarak antara murammu di sini dan di tengah tempat antah berantah. Tambahkan perasaan lain dan kamu tidak akan menemukan nama dan kosakata untuk merangkumnya.

Kemudian apakah kamera bisa menangkap rasa? Bagaimanapun, video atau foto, tidak mungkin utuh mencakup dan menerjemahkan perasaan bahagia ketika kamu melihat pantulan senja jingga di air kolam bersama suara tawa anak-anak yang bermain air, atau perasaan tenang ketika kita berpelukan meringkuk di bawah selimut yang tebal sementara di luar kemah suara gemircik air dan udara dingin menusuk tulang, atau perasaan damai karena kebersamaan di rumah yang nyaman pada sebuah sore yang hujan ditemani kudapan hangat. Alat penangkap gambar itu memberi batas yang tentu lebih kecil dari sebuah realitas yang senyatanya, lebih kecil dari apa yang kita rasa di hati.

Bahwa rasa ini tidak bernama bukan karena ia tak bermakna, tapi karena kata tidak akan pernah bisa dan selalu gagal merangkum kemudian memberi istilah padanya. Bahagia, tenang, damai dan cinta tidak pernah sederhana.

Aku tahu, tidak ada cinta yang sempurna sebagaimana tidak ada penderitaan dan keputusasaan yang sempurna. Pada perasan-perasan yang berjalin dan berkelindan, kita menguji diri untuk saling menerima kekecewaan, merelakan kelalaian-kelalaian kecil, perdebatan-perdebatan kecil, kehawatiran dan kecemasan yang sesaat dibandingkan dengan langkah kita yang masih panjang. Kita saling membaca dan menekuni lika-liku dan keruwetan masing-masing. 

Terimakasih untuk sinisme, humor, perhatian, dan wangimu. Terimakasih untuk penghargaan, hadiah-hadiah, persahabatan, dan meruah rasa. Maka perasaanku padamu berubah, mencari ukuran yang tidak akan pernah cukup. Maka kerinduanku padamu berbunga menuju sesuatu yang tidak sempat sempurna. Renjana ini tidak akan menemukan wadah serasi dan terus mencari bentuk yang utuh sampai setiap degup jantung hening.

Apakah orang lain perlu tahu tentang gembira-rindu-puas-damai-baik-beruntung-cerah-sendu-hitam-biru-ungu tumpang tindih rasa ini? Jika kamu menghayatinya dalam hati, seperti kesadaranku saat ini, maka untukku sudah cukup. Anggapan orang lain menjadi tidak penting.

Hari ini, di hadapan perasaan dan kenangan itu, mari kita bersyukur sejenak, karena kita masih di sini, berpegang tangan dalam kesadaran.

Kamis, 23 Juli 2020

puisi untuk sapardi

ia meletakan sekuntum bunga di jantung puisi
di dalam sana ruh kita saling menyapa
pada usia yang setara

tak ada yang lebih duka
dari fana waktu

tak ada lagi cinta kayu kepada api
tak ada hari nanti atau hari ini

“hanya doaku yang bergetar malam ini
dan tak pernah kaulihat siapa aku
tapi yakin aku ada dalam dirimu” *

aku menjadi ricik
karna mencintaimu
dan kau menjadi puisi
dalam wajah rembulan

-------------------------
* bait dalam puisi Hanya - SDD

Kamis, 09 Juli 2020

HARI KEBERUNTUNGAN SUSAN

Oleh: Nada Narendradhitta

Pada suatu pagi, Susan Si Tupai sedang mencari makan. Hari itu sangat gelap walau masih pagi, Susan mendongak, ia melihat sesuatu di langit, “Oh, itu seperti meteor bentuk hati yang diceritakan nenek.” ujarnya kepada diri sendiri. Meteor itu menyala seperti api, berwarna pink, ekornya seperti buntut rubah, melayang dari barat ke timur, ke arah matahari yang tertutup awan. Matahari yang tertutup awan membuat meteor itu lebih kelihatan.

Tiba-tiba Lily Si Kelinci datang, “Hai Susan kamu sedang apa!?”

“Oh! Lily kau membuatku kaget!” Susan yang sedang bengong memandagi langit berseru sebal.

“Hehehe, maaf Susan” jawab Lily sambil tertawa, tawanya terdengar lembut.

“Ngomang-ngomong...” kata Susan.

“…Langit gelap sekali ya,” Lily melanjutkan.

“He-eh. Kamu lihat meteor bentuk hati gak?” tanya Susan agak tidak sabar.

“Mmm kurasa aku tidak melihatnya” jawab Lily.

“Haloo kalian sedang apa?” tanya Peter Si Kura-Kura.

“Kakek lihat meteor bentuk hati gak?” tanya Susan.

“Oh ya! Jam berapa? Katanya binatang yang melihat itu akan beruntung,” kata kakek Peter.

“Iya aku tadi pagi melihatnya, baru saja Kek!” kata Susan.

“Wow kau beruntung, Sus” kata Lily mulai mengerti.

Susan mengangguk tak acuh, ia mendongak matanya tertuju pada buah kenari besar di pohon.

Malam harinya Susan tersentak bangun karena ia haus. Dia pergi ke dapur untuk membuat minuman hangat, lalu ia melihat sesuatu, terang benderang di hutan. Dari rumah pohon yang besar, ia melihat melewati jendela dapur yang besar. Susan penasaran Lalu ia keluar mencari sumber terang itu, dia memanjat dari pohon ke pohon, dan apa yang Susan lihat?

Yang dia lihat adalah… Bintang!!

“Apa yang terjadi kenapa kamu di sini?!” tanya Susan penasaran.

“Aku jatuh.” Kata bintang itu, “Aku ingin kembali ke angkasa.”

“Mmm sepertinya aku bisa bantu kamu” kata Susan sambil berpikir, “Eh kamu tungu di sini dulu ya,” kata Susan lalu pergi.

Lima menit kemudian Susan kembali lagi membawa sesuatu yang cukup besar, “Ini adalah balon udara buatanku sendiri” kata Susan, “Kamu akan bisa terbang menggunakan ini…”

“Ooh kamu baik sekali!” seru sang bintang, “Ini hadiah untukmu.”

Si Bintang mengubah Susan menjadi… Ratu!! Ratu Bintang, sejak saat itu Susan tinggal di atas awan, dan saat Susan ingin bermain dengan temannya dia akan turun lagi ke hutan, dan kembali ke awan sesudah bermain.

Sabtu, 13 Juni 2020

Emma, Abby dan Tentang Cerita-cerita Cinta

Saya dan Abby ada dalam satu ruangan, masing-masing duduk di kursi dengan sebuah meja memisahkan kami. AC dan Kipas Hexos menyala. Abby meletakan hanphone dan rokok di atas meja, kemudian mulai bercerita. Cerita tentang kisah cintanya. Ia bilang saya adalah orang terakhir yang diceritakan diantara kawan-kawan kami yang lain.

“Jadi apa saran lu buat gua?” Abby bertanya setelah selesai menceritakan proses mulai dekat dengan Emma —yang juga kawan saya— sampai akhirnya menyatakan perasaan kepada wanita itu.

“Gentar gua kalo nyuruh ngasih saran,” saya menjawab cepat.

“Hampir semua orang yang gua minta saran, bilang supaya jangan nyakitin dia. Gak ada satupun yang nyaranin dia, buat gak nyakitin gua. Dikira gua gak punya hati kali.”

Dan kami tertawa bersama.

Emma dan Abby baru beberapa minggu jadian. Seperti layaknya orang yang sedang jatuh cinta, Abby menceritakan betapa spesialnya Emma, betapa unik, baik dan manisnya dia. Sementara Emma juga menceritakan hal yang sama tentang Abby. Ia menceritakan betapa sayang Abby kepadanya, betapa baik dan banyak kesamaan mereka; film, warna, selera makanan, tangan yang memakai jam dan banyak lagi.

“Gua ngerasa beda banget pacaran sama dia,” Emma bercerita suatu waktu, “Kayak, asik aja gitu,”

“Asiknya gimana?” Saya penasaran.

“Gak tahu. Kayaknya emang gua lebih cocok sama orang yang lebih tua deh.”

"Yang lebih dewasa maksud lu," Saya menafsirkan.

Emma dan Abby merasa cocok satu sama lain dan ingin hubungan yang serius. Hal-hal yang mereka ceritakan adalah hal yang biasa terjadi ketika awal-awal pacaran. Bagi saya kisah mereka seperti kebanyakan cerita cinta yang saya tahu. Saya pernah mengalaminya, dan sering menyaksikan terjadi pada kawan-kawan saya, atau menghayatinya lewat “Ada Apa dengan Cinta?”

Bukan saya meremehkan kisah mereka, justru saya menghargai dan seperti bisa merasakan kembali rasa itu. Tentang kegugupan ketika mengatakan cinta untuk pertama kali, tentang pengakuan diam-diam, debar di dada, kupu-kupu dalam perut, lagu-lagu cinta yang kembali jadi punya arti, perasaan senang dan senyum yang tak henti-henti, menjaga dan memperlihatkan hal-hal baik, menyembunyikan hal-hal buruk, melakukan kebohongan-kebohongan kecil serta hal-hal yang menyenangkan lain.

“Gua belum ngerasa pantes ngasih saran. Hidup sendiri aja belom bener,” kata saya ke Abby.

“Gua gak minta saran yang macem-macem. Kasaih saran yang normal aja.” sambil menghembuskan asap rokok, Abby masih meminta.

Saya kagum dengan kerendahhatiannya. Secara umur, ia lebih tua, secara pengalaman dan pergaulan tentu ia punya lebih banyak, jadi saya tidak tahu saran apa yang sebenarnya diharapkan.

Saya berpikir sejenak.

Menyarankan untuk tidak menyakiti pasangan membuat saya gentar, karena secara langsung nasihat itu menohok diri sendiri. Lagipula, tidak menyakiti adalah pesan yang abstrak, karena ukurannya tidak jelas. Apa yang dimaksud “menyakiti”? Dan apakah manusia bisa tidak menyakiti manusia lain selama-lamanya? Pesan itu mengingatkan saya pada janji Watanabe untuk tidak pernah melupakan Naoko dalam Norwegian Wood – Haruki Murakami.

Saya mengenal Emma lebih lama daripada saya mengenal Abby. Saya ikut menyaksikan ketika Emma jatuh ke jurang cinta yang paling dalam, saya ada di sana ketika akhirnya ia patah hati yang paling remuk, saya mendengarnya menangis, memahami gugatan dan pemberontakannya untuk melepas jilbab. Namun pada akhirnya, —karena segala sesuatu pasti punya akhir— sekuat tenaga ia bangkit, dan sekarang ia jatuh cinta lagi. Saya kira Abby juga punya kepahitan yang sama. Ia adalah duda beranak satu.

Mereka adalah orang-orang yang dipertemukan trauma. Patah hati memang meninggalkan trauma, sekecil atau setipis apapun. Bisa berwujud kecemasan atau ketakutan. Tidak jarang membuat pandangan hidup menjadi buram. Satu hal yang mereka pahami, bahwa mereka tidak merencanakan hal-hal buruk terjadi kepada mereka sebelumnya. Tentu, tidak ada orang yang merencanakan apalagi mengharapkan hal itu akan terjadi lagi. Saya pribadi berharap hubungan mereka bisa berlangsung panjang.

Ilmu pengetahuan berkembang, begitu juga ilmu pengetahuan tentang bagaimana menjalin hubungan. Gottman, peneliti dan direktur eksekutif dari Relationship Research Institute, mengklaim bahwa hanya 3 jam dengan pasangan sudah cukup baginya untuk memprediksi apakah mereka akan tetap bersama di masa depan (3-5 tahun) dengan akurasi lebih dari 90%. Saya membaca Gottman dan saran-saran untuk memperkuat hubungan, namun saya tidak bisa memprediksi apapun di masa depan karena manusia adalah mahluk yang kompleks. Di luar para peneliti dan para relationship expert itu, saya juga belajar banyak dari kawan-kawan.

Saya punya beberapa kawan yang dengan tulus menceritakan kisah cinta mereka, dengan segala romansa dan masalah-masalahnya. Sebagai penikmat cerita, saya selalu senang mendengarkan. Cerita mereka bahkan sering menjadi inspirasi tulisan. Karena sejatinya mengamati manusia adalah pekerjaan penulis. Hemingway, penulis peraih Nobel itu bilang, "I like to listen. I have learned a great deal from listening carefully. Most people never listen." Walaupun sebagai orang yang tidak terlalu punya banyak teman, belakangan saya juga kaget sendiri tentang beragam cerita-cerita mereka.

Tentu tidak semua cerita cinta yang saya dengarkan berisi baik-baik saja. Beberapa kawan bercerita tentang masalah-masalah; sex before married, perselingkuhan, tidak ada restu orang tua, perceraian, kematian pasangan, perbedaan agama, perasaan yang hilang dan hal-hal yang tidak selesai.

Dari pengalaman dan pengetahuan mereka saya belajar bahwa seberapa mesra dan menggebu suatu hubungan di awal, gairahnya akan memudar dan sebaiknya ada perasaan lain untuk menggantikan.

Saya tidak ingin menyajikan pandangan yang muram tentang cinta, namun kita semua tahu bahwa cinta bukan sesuatu yang diam. Ia bergerak, tumbuh bahkan bisa mati. Pada jalur positifnya, cinta bisa menjadi energi yang menggerakkan, ia membuat seorang menjadi pribadi yang lebih baik.

Menutup tulisan ini, saya akan kembali mengutip Murakami.

Pada suatu hari, hiduplah seorang pemuda dan seorang gadis. Usia pemuda itu delapan belas tahun; dan gadis itu enam belas tahun. Pemuda itu tidak terlalu tampan, dan gadis itu tidak terlalu cantik. Mereka adalah muda-mudi yang seperti pada umumnya cenderung kesepian. Namun mereka percaya sepenuh hati bahwa di dunia ini ada pasangan hidup yang 100% sempurna untuk mereka. Ya, mereka percaya pada mukjizat. Dan bahwa mukjizat bukanlah hal yang mustahil.

Suatu hari, si pemuda dan gadis itu tak sengaja berjumpa di ujung jalan.

“Luar biasa,” ujar si pemuda. “Aku sudah mencarimu seumur hidupku. Kau mungkin tidak mempercayai ini, tapi kau adalah gadis yang 100% sempurna untukku.”

“Dan kau,” balas gadis itu. “Kau adalah pemuda yang 100% sempurna untukku, persis seperti pemuda yang kubayangkan selama ini. Seperti mimpi rasanya.”

Mereka duduk di atas kursi taman, berpegangan tangan, dan menceritakan kisah hidup mereka masing-masing selama berjam-jam. Mereka tidak lagi kesepian. Mereka telah menemukan dan ditemukan oleh pasangan masing-masing yang 100% sempurna untuk mereka. Betapa indahnya menemukan dan ditemukan oleh pasangan yang 100% sempurna untuk kita. Sebuah mukjizat, sebuah pertanda.

Namun, saat mereka duduk dan berbincang, masih ada sedikit rasa ragu yang menggantung di dada: apa mungkin impian seseorang terkabul begitu saja dengan mudahnya?

Maka, ketika keduanya terdiam, si pemuda mengambil kesempatan untuk berkata kepada gadis itu: “Mari kita uji diri kita—sekali ini saja. Jika kita memang pasangan yang 100% sempurna untuk satu sama lain, maka di suatu saat, di suatu hari, kita pasti berjumpa lagi. Dan ketika itu terjadi, dan kita tahu bahwa kita adalah pasangan yang 100% sempurna untuk satu sama lain, maka kita akan menikah saat itu juga. Bagaimana?”

“Ya,” kata si gadis. “Itu yang harus kita lakukan.”

Kemudian mereka berpisah. Si gadis melangkah ke arah timur, sementara si pemuda ke arah barat.

Meski begitu, proses uji itu sebenarnya tidak perlu mereka lakukan, karena mereka memang benar pasangan yang 100% sempurna untuk satu sama lain—dan pertemuan awal mereka adalah sebuah mukjizat. Tapi mereka tak mungkin mengetahui semua ini di usia belia. Gelombang takdir yang dingin dan tak pandang bulu terus membuat mereka terombang-ambing tanpa akhir.

Pada suatu musim dingin, si pemuda dan si gadis menderita sakit flu yang terjangkit di mana-mana. Setelah dua minggu terkapar tanpa daya, mereka pun lupa terhadap tahun-tahun remaja mereka. Ketika mereka tersadar, ingatan mereka sama kosongnya seperti celengan baru.

Keduanya adalah individu yang cerdas dan ambisius; dan dengan usaha keras mereka berhasil membangun hidup mereka hingga menjadi sosok terpandang di masyarakat. Syukurlah, mereka juga menjadi warga yang taat peraturan dan tahu caranya naik kereta bawah tanah tanpa tersesat; yang sanggup mengirimkan surat dengan status kilat di kantor pos. Dan mereka juga sanggup jatuh cinta, terkadang cinta itu mengisi hati mereka sampai 75% atau bahkan 80%.

Waktu berlalu dengan kecepatan tak terduga; mendadak si pemuda telah berusia 32 tahun dan si gadis 30 tahun.

Di suatu pagi yang cerah di bulan April, dalam perjalanan untuk membeli secangkir kopi, si pemuda melangkah dari arah barat ke timur, sementara si gadis, dalam perjalanan ke kantor pos, melangkah dari arah timur ke barat. Keduanya menelusuri pinggiran jalan yang memanjang di sebuah area pusat perbelanjaan di Tokyo yang bernama Harajuku. Mereka saling melewati satu sama lain tepat di tengah jalan. Ingatan mereka kembali samar-samar dan untuk sesaat hati mereka bergetar. Masing-masing merasakan gemuruh yang mendesak dada. Dan mereka tahu:

Dia adalah gadis yang 100% sempurna untukku.

Dia adalah pemuda yang 100% sempurna untukku.

Namun, sayang, gema ingatan mereka terlalu lemah; dan pikiran mereka tak lagi jernih seperti empat belas tahun lalu saat pertama kali berjumpa. Tanpa mengutarakan sepatah kata pun, mereka melewati satu sama lain begitu saja, hilang di tengah keramaian. Selamanya.


(On Seeing the 100% Perfect Girl One Beatiful April Morning - Dikutip dari sini)


Seperti karya sastra yang baik, cerita itu punya banyak makna. Apa yang orang dapat dari sebuah karya terkadang berbeda satu sama lain. Murakami tidak menyuapi kita tentang norma-norma, tapi lebih dalam, ia menumbuhkan kesadaran dan membuat kita merenung kemudian bertanya kepada diri sendiri. Pada saya pertanyaan itu berupa; apakah ada jodoh yang 100% cocok? Jika itu ada, bagaimana kita tahu? Apakah kita berani untuk ambil segala resiko, atau malah terlalu gegabah dan sombong untuk pasti bisa bersamanya?

Itu pertanyaan-pertanyaan untuk saya. Bagi orang lain, pertanyaan-pertanyaan itu bisa berbeda tergantung latar belakang dan pengalaman hidup mereka. Maka saya selalu pada posisi tidak percaya diri jika diminta memberi saran, karena pengalaman dan latar belakang orang berbeda-beda. 

“Tawakal.” Saran saya ke Abby akhirnya. Apa boleh buat, ia sudah dua kali meminta.

“Apaan tuh?” Abby mengernyitkan dahi.

“Di Katolik mungkin juga ada konsep itu,” saya menjelaskan.

Sebagai seorang kawan, saya senang melihat mereka bahagia. Cara menjalin hubungan harmonis tidak diajarkan di sekolah. Oleh karenanya, butuh kerendahatian, bahkan waktu seumur hidup untuk belajar mengerti dan memahami satu sama lain.

Saya percaya cinta akan menuntun mereka.

Jumat, 29 Mei 2020

Norwegian Wood; Sebuah Review

Ketika sedang berjalan-jalan berdua di tepi hutan pinus di musim gugur, Naoko pernah meminta kepada Watanabe, “Aku ingin kau mengingatku. Maukah kau terus mengingatku bahwa aku ada dan pernah berada di sampingmu seperti ini?”

Dengan kepercayaan diri dan kesombongan khas anak muda yang sedang dimabuk cinta, Watanabe menjawab lantang, “Tentu saja! Aku akan terus mengingatnya,”

“Kau betul-betul tak akan melupakan aku selama-lamanya?” Naoko bertanya pelan seolah berbisik.

“Sampai kapanpun aku tak akan melupakanmu,” Watanabe masih dengan keyakinan, bahkan ia mengukuhkan janji, “Tak mungkin aku dapat melupakanmu.”

Duapuluh tahun kemudian, Watanabe menyadari keluguan dirinya ketika menjanjikan hal bodoh itu. Umurnya 37 tahun ketika menyadari itu, ia sedang duduk di dalam Boeing 747 yang mendarat di Hamburg. Orkestra yang memainkan Norwegian Wood mengalun elegan dari pengeras suara mengiringi penumpang yang mulai turun satu persatu. Watanabe masih terduduk di kursinya, membungkuk menutupi wajah dengan kedua tangan. Kepalanya bergolak seperti mau meledak. Pikirannya terbawa bersama alunan suara dari masa lalu, masa ketika Naoko masih hidup, ketika mereka berdua senang mendengar petikan gitar yang mengalunkan Norwegian Wood.

Dua puluh tahun yang lalu, tidak beberapa lama setelah Naoko meminta Watanabe berjanji, Naoko bunuh diri. Ia menggantung diri pada batang pohon di sebuah pagi yang masih sunyi. Mudah saja mengingat seseorang atau sesuatu ketika itu baru saja terjadi. Namun seiring berjalannya waktu, kenangan itu perlahan memudar, dan Watanabe terlalu banyak melupakan semuanya. Kenangan Naoko di benaknya bertahun-tahun yang lalu, perlahan tapi pasti melindap. Seiring mengaburnya ingatan itu, Watanabe menjadi lebih mengerti mengapa Naoko meminta untuk tidak pernah melupakannya. Mungkin Naoko tidak benar-benar mencintai Watanabe dan hanya ingin membuatnya nelangsa. Karena tidak ada yang lebih menyakitkan dari janji yang tidak bisa kamu lakukan kepada orang yang telah tiada. Manusia adalah mahluk lemah, menjanjikan untuk selalu mengingat sebuah kenangan selama-lamanya adalah sesuatu yang tidak realistis. Kecuali kamu ingin melanggar janji sendiri, atau ingin membuat dirimu nelangsa, sebaiknya jangan kamu ucapkan.

Itulah pesan yang saya dapat setelah membaca ulang Norwegian Wood. Adalah keahlian Murakami untuk menyajikan banyak makna, dan memang begitu karya sastra seharusnya. Apa yang orang dapat dari sebuah karya terkadang berbeda satu sama lain. Bahkan satu orang yang sama, berbeda apa yang didapat ketika ia membaca ulang sebuah karya. Begitulah yang terjadi kepada saya ketika membaca ulang Norewegian Wood.





Merawat Anak

Percakapan dengan kawan lama tidak pernah berlangsung sebentar, dan hujan di malam 31 Desember membuat percakapan selama apapun menjadi wajar, karena kami jadi punya alasan untuk tidak buru-buru pulang. Bahkan jika banjir melanda sebagian negara, kami akan meneruskan percakapan di atas bahtera Nabi Nuh.

“Bagi orang yang terlalu sering sakit hati, juara memang terdengar bercanda.” Kata saya ke Qoffal. Saya sudah memprediksi, bahkan dari sebelum peretengahan musim, bahwa Liverpool akan juara Liga Inggris. Saat itu Qoffal masih belum yakin, katanya semua hal masih bisa terjadi.

Benar saja. Kami bertiga yang malam itu berada di pelataran rumah sakit tidak ada yang menyangka bahwa saat itu, jauh di tempat lain, sebuah virus telah menjangkit dan akan menyebar untuk mengacaukan tatanan dunia, termasuk sepakbola. Jadi kemungkinan Liverpool juara bisa gagal atau paling tidak tertunda sampai waktu yang entah kapan.

“Liperpul emang lagi keren-kerennya sih.” Edo menimpali.

“Nanti saya baru yakin kalo sepertiga musim masih konsisten kayak gini, bang.” Qoffal sangsi.

Saya tidak punya keresahan sama sekali ketika Si Merah tidak menjuarai apapun musim ini, atau gagal secara dramatis di Champion saat melawan Atleti. Mungkin Liverpudlian bisa merasakan bagaimana sakitnya fans Barca dengan kekalahan yang sama pahitnya musim lalu, tapi bagi saya itu malam yang biasa saja. Saya tetap bangun selepas azan subuh dan dua kali menekan snooze alarm.

Keresahan satu orang bisa menjadi keresahan orang lain tapi bisa juga tidak, maka malam itu kami lebih banyak mendiskusikan keresahan bersama. Kami punya banyak keresahan; tentang keimanan, praktek agama, pendidikan dan anak-anak.

Edo sedang meresahkan anaknya yang tahun ini lulus SD dan akan masuk pesantren. Saya meresahkan praktek agama dan keimanan yang arogan. Sementara Qoffal saat itu sedang resah karena Syatir, anaknya yang baru berumur beberapa Minggu, sedang berjuang melawan Serratia Marcescens di ruang ICU. Ia masih ragu dan menimbang tindakan Bronkoskopi. Di ruangan sebelah ICU tempat berkumpul keluarga pasien, ketika panggilan terdengar dari paging pengeras suara, para keluarga khawatir itu adalah panggilan pemberitahuan tentang kematian. Bagi seorang bapak, saya bisa merasakan beratnya beban itu. Bagi saya, yang selalu memindahkan saluran atau mematikan TV ketika ada berita tentang kekerasan pada anak, tidak bisa membayangkan akan kuat berada di posisi Qoffal saat itu.

Nada juga pernah bertarung melawan bakteri yang menyerang Bronkus-nya. Maka saya sedang tidak menyenangkan siapapun ketika bilang bisa merasakan apa yang dirasakan Qoffal. Keinginan setiap bapak ketika melihat anak dalam kepedihan pasti sama, berharap sakit itu bisa berpindah kepada dirinya. Namun sebagai manusia yang lemah, kita tidak bisa sombong. Kita hanya mampu berusaha, bersabar dan berdoa, pada akhirnya Allah yang punya rencana.

Mei tanggal 22, Qoffal menghubungi saya minta doa untuk Si Bontot, karena ngedrop dan tidak sadarkan diri. Sampai akhirnya 26 Mei yang lalu, Syatir menghembuskan nafas terakhir. Alhamdulillah inna lillahi wa inna ilaihi roji’un.

Saya belajar bahwa sekuat apapun kita mencoba melindungi anak kita, pada akhirnya mereka akan terluka juga, dan kita akan terluka dalam proses itu.

Ya Allah yang Maha Pengasih, jadikan dia sebagai pahala yang disegerakan, dan simpanan abadi, dan sumber pahala bagi orang tuanya.

Ya Allah yang Maha Pemurah, jadikan dia yang menunggu kedua orang tuanya, simpanan dan pemberi syafaat yang dikabulkan.

Alfatihah...

Selasa, 19 Mei 2020

Menolong Si Putih

Aku dan adikku Percy sedang berjalan-jalan di hutan belakang rumah ketika Percy melihat dua mata misterius menyala hijau seperti mata naga yang pernah aku lihat di filem fantasi.

“Kak,” kata Percy yang saat itu mengenakan mantel hijau. Ada nada ketakutan dalam suaranya.

“Iya ada apa?” tanyaku sambil menoleh ke arah Percy. Angin dingin musim semi bertiup menggugurkan daun-daun kering dan membuat telingaku dingin seperti ketika aku membuka kulkas. Aku manarik hoodie mantel merah yang aku pakai untuk menutupi kepala.

“I-it-u a-pa?” Percy menunjuk sesuatu yang bergerak di bawah gelap naungan pohon besar.

Hah apa ya itu? tanyaku dalam hati sambil mendekati dengan gugup. Awalnya aku mengira itu ular, tapi ternyata yang ada di sana adalah kucing putih. Sebelah kaki kucing itu lecet sampai kelihatan dagingnya. Kaki yang terluka diangkat, dan ia mengeong pelan.

Aku semakin mendekatinya dan pelan-pelan aku mengusap kepalanya. Kucing itu menyundul tanganku seperti minta diusap lagi. Aku tersenyum, mengendongnya kemudian membawanya sambil lari ke arah rumah. Karena mau cepat-cepat mengobati kucing itu, aku sampai lupa Percy tertinggal di belakangku.

Masih sambil berlari, aku berteriak ke adikku, “Ini hanya kucing, tidak usah takut.”

Percy berteriak panik sambil mengikutiku, “Kakak, tunggu aku!”

Belum sampai rumah, Ginny, anjing perempuanku yang berwarna coklat muda, menggonggong menyambut. Ketika ia melihat kucing yang aku gendong, gonggongannya menjadi semakin keras. Sepertinya ia cemburu dengan si kucing.

Sesampainya di dalam rumah aku bertanya ke ibu, “Ibu, di mana kotak obat?”

“Oh, Lucy, ada di atas lemari, memangnya kenapa? Percy jatuh ya?”

“Eh tidak sih cuma tadi aku nemu kucing,” aku menjawab cepat.

“Kak kenapa aku tadi ditinggal?!” Percy yang masuk menyusul ke dalam rumah terdengar kesal.

“Eh maaf Percy, tadi aku buru-buru,” aku meletakan si kucing putih di atas meja kemudian mengambil kursi untuk pijakan mengambil kotak obat di atas lemari.

Percy duduk cemberut tidak menjawab permintaan maafku.

“Nah sekarang bisak gak kamu tenangin Ginny yang terus menggonggong?” sambungku ke Percy.

“Gak mau ah! Aku masih kesel sama kakak!” kata Percy kemudian melengos pergi.

Sambil mengobati luka si kucing, Ginny tidak berhenti menggonggong. Membuat si kucing takut.

“Tidak usah cemburu Ginny. Ia tidak lama di sini kok.” Kataku sambil mengusap Ginny agar dia tenang. Ginny perlahan-lahan menjadi tenang. Kemudian aku mengambil biskuit anjing dan melemparkan kepada Ginny.

Beberapa saat setelah diobati, kucing itu berjalan tertatih ke hutan. Kalau saja ia tidak terluka, mungkin ia akan berlari. Aku, Percy, dan Ginny mengikuti perlahan sesuai langkah si kucing.

Percy bertanya pelan, “Kak,”

Aku segera meletakan jari telunjuk di depan bibir tanda menyuruh Percy tidak bicara. Sementara Ginny seperti mengerti untuk ikut diam. Kucing itu tidak sekalipun menoleh ke belakang, seperti tidak peduli kami ikuti. Ketika sampai di tepi sungai, ia tiba-tiba berhenti.

“Eeh dia sepertinya takut air,” kataku sambil memandang air itu.

“Baiklah aku akan menggendongnya,” kata Percy melangkah maju.

Tiba-tiba Ginnny kembali menggonggong. Persis di akhir gonggongannya, dia melompat dari batu ke batu di aliran sungai itu, seperti menemukan sesuatu. Aku tidak tahu apa yang Ginny kejar.

Aku menyusulnya, dan di belakangku Percy bersama si kucing putih. Sesampainya di seberang, Ginny semakin keras menggonggong ke arah semak-semak.

“Sst Ginny” kata-ku sambil menenangkan.

Semak-semak itu bergerak-gerak kemudian ada suara eongan. Muncul dari balik semak kucing cantik berwarna putih sama seperti si kucing yang aku tolong.

Si putih yang digendong Percy meronta seperti ingin diturunkan. Ia turun kemudian berlari ke arah kucing yang lebih besar itu dan saling menjilat. Kami bertiga sangat senang, kucing itu berkumpul bersama keluarganya lagi. 

Penulis: Nada Narendradhitta

Jumat, 01 Mei 2020

Drama Korea dan Nama Artis yang Sulit Diingat

Saya tidak pernah suka menonton drama korea karena dua hal. Pertama karena Bahasa Korea. Kedua, karena nama-nama artis Korea. Satu-satunya nama korea yang saya hapal adalah Park Ji Sung, atau bolehlah juga dihitung Kim Jong Un.

Saya tidak bermaksud rasial, hanya ini soal kebiasaan saja. Saya tidak terbiasa mendengarkan Bahasa Korea. Ketika mendengarkannya kuping saya terasa dimasuki jangkrik. Dan nama-nama Korea itu? Oh ayolah, bagaimana saya membedakan nama laki-laki dan perempuan? Dan mengapa nama-nama mereka mirip dan membingungkan?

Saya kira keresahan ini juga dirasakan banyak orang. Management artis Korea juga sepertinya mulai mendengar keresahan orang-orang seperti saya. Maka mereka mencoba membantu para artis untuk belajar Bahasa Indonesia. Untuk mengucapkannya dengan benar, atau paling tidak menghapalkan kalimat atau kata-kata yang penting. Salah satu tujuannya adalah supaya orang-orang seperti saya enak mendengarnya. Walaupun Bahasa Indonesia mereka buruk, atau typo ketika mengetik “Sedaap”, saya masih bisa memakluminya, atau menertawakannya. Tentu dengan diam-diam. Saya malas berurusan dengan fans Kim Jong Un. Maaf kalau saya salah sebut nama. Saya kira tepat kalau mereka mau ganti nama jadi Agung atau Eko.

Sabtu, 25 April 2020

SELENA & NEBULA; Klan Bulan, Akademi Bayangan Tingkat Tinggi, dan Orangtua Raib


Aku sangat suka buku atau film fantasi karena di sana aku menikmati kejadian yang tidak ada di dunia nyata. Selena dan Nebula adalah novel fantasi yang menceritakan hal yang tidak ada di dunia nyata seperti teleportasi, pukulan berdentum, teknik menghilang, tameng transparan, dan lain lain. Cerita fantasi membuatku menghayal. Andai aku bisa teleportasi aku dapat kemana saja dengan cepat. Kalau adiku bilang, "Kalo aku punya teknik teleportasi aku akan ke hutan bersih, hutan berbunga bunga, dan ingin tingal di sana menghirup bunga-bunga. Di sana tidak ada sampah plastik". Pukulan berdentum bisa membasmi penjahat kalau aku jadi polwan. Teknik menghillang berguna untuk bersembunyi, dan tameng transparan bisa melindungi kita dari segala macam hal, itu juga kalau tidak meletus😄.

Aku sangat menunggu Selena dan Nebula terbit. Saat sudah terbit aku langsung membelinya. Kedua novel itu selesai aku baca dalam sepuluh hari. Cerita dalam kedua novel itu terjadi bertahun tahun sebelum Raib lahir. Buku ini menceritakan masa lalu Miss Selena. Ada tiga sahabat yaitu Selena, Mata, dan Tazk. Mereka lahir di Klan Bulan, walaupun di distrik berbeda, Selena di Distrik Sabit Enam, Mata di Distrik Sungai Sungai Jauh, dan Tazk di Kota Tishri. Mereka terjebak dalam rencana jahat seseorang untuk pergi ke Klan Nebula, dan di sana semua berakhir sangat buruk. Ada karakter utama lain dalam novel itu, seperti Raf, Leh, Am, Im, Um, Em, Om, Aq, Bow, Maeh, Boh, Ev, Ox, Gill, Tamus, Lumpu, Kosong, Repot, Lambat, dan lain lain. Karakter yang paling aku suka adalah Mata, karena dia bisa bahasa semua dunia paralel, sahabat setia, dan ada sesuatu yang istimewa darinya.

Buku ini berbeda dari serial Bumi lainnya karena yang bercerita bukan Raib melainkan Miss Selena (kecuali ketika kembali ke masa sekarang, itu Raib yang bercerita). Ini juga menceritakan siapa sebenarnya orang tua Raib, ini bagian yang sudah kutunggu-tunggu, dan terjawab tuntas di buku ini. Selain itu, aku juga kagum akan teknolgi-teknologi maju Klan Bulan (walau tidak secangih Klan Bintang dan Komet Minor) contohnya mencuci baju, mencuci piring, pakaian, TV, Kasur, kamar mandi, dan sofa.

Aku juga sudah baca buku Tere Liye lainnya, yaitu Serial Anak Mamak, tapi itu bukan fantasi walaupun fiksi, jadi aku lebih suka serial Bumi. Jika membandingkan Selena dan Nebula, aku lebih suka Nebula, karena di sana semua rahasia terpecahkan dan juga menceritakan awal petualangan dunia paralel sekaligus akhir petualangan mereka. Di buku Nebula juga ada episode bonus judulnya Menonton Bersama.

Kalau buku Selena menceritakan perkenalan serta bagaimana Miss Selena bisa masuk Akademi Bayangan Tingkat Tinggi (ABTT). Itu nama akademi terbesar di Klan Bulan. Di buku ini kalian juga sudah bisa menebak siapa orang tua Raib.

Aku beri nilai Selena dan Nebula 9 dari 10. Aku jadi tidak sabar menunggu terbitan selanjutnya yaitu LUMPU.


Penulis: Nada Narendradhitta (9 tahun)
#LombaResensiTereLiye2020
@bukugpu @fiksigpu

Kalau kamu ingin baca resensi serial Bumi dari bapakku, klik link ini.

Jumat, 03 April 2020

Merdeka Belajar dan Menghindari Bunuh Diri Masal

Beberapa bulan yang lalu, ketika pemerintah menyerukan #MerdekaBelajar, banyak orang tua dan juga guru gagal mencerna seruan itu. Jangankan untuk menerapkan, mendefinisikan belajar yang merdeka saja kebanyakan kita gagap.

Sederhananya, pendidikan yang merdeka adalah sistem belajar yang paling natural dan dipercaya yang paling berhasil untuk membuat anak belajar secara alamiah. Pemahaman disertai implementasi sistem ini tentu tidak mudah, Ki Hajar Dewantoro yang kita sebut Bapak Pendidikan Nasional saja tidak berhasil meyakinkan rekan-rekan sebangsanya tentang ini bahkan ketika beliau masih hidup.

Kebanyakan kita ragu bahkan takut tentang apakah bisa anak-anak belajar secara alamiah? Dapatkan mereka belajar secara sukarela tanpa paksaan? Dapatkah mereka belajar karena memang mereka butuh dan menyukainya?

Kita memang cenderung takut dengan hal-hal yang tidak kita pahami. Awalnya saya juga takut dan ragu, namun akhirnya takjub sendiri dengan kemampuan anak-anak yang belajar secara merdeka. Syaratnya mereka diberi kebebasan, stimulasi dan lingkungan pendidikan yang tepat. Ki Hajar mengibaratkan anak sebagai tanaman, dan para pendidik ibarat petani. Petani tidak bisa memperlakukan atau merawat tanaman padi seperti ia merawat tanaman jagung. Petani hanya memberi pupuk yang pas, merawat serta membuat lingkungan yang cocok dan nyaman sesuai jenis tanaman.

Gagasan Ki Hajar tentu sangat revolusioner pada zamannya, bahkan masih relevan sampai sekarang. Orang dewasa kadang bersikap naif dan ingin anak menguasai berbagai macam ilmu yang mereka anggap penting dan tidak jarang melupakan “jenis tanaman” apa anak tersebut. Anak hanya dianggap objek dan tidak pernah dimintai pendapat atau diamati kecenderungan naluri alami, kecerdasan dan bakatnya.

Pada prinsipnya, tidak ada anak yang tidak suka belajar. Belajar adalah naluri alami anak-anak. Orang dewasa yang membuat belajar menjadi kaku, membosankan dan tidak bermakna. Anak hanya diceramahi dan diukur keberhasilannya hanya dengan dasar bisa mengerjakan soal-soal.

#MerdekaBelajar pada saat karantina seperti sekarang menemukan momentumnya. Beberapa orang yang memahami hal ini telah melakukan jauh-jauh hari secara mandiri dengan homeschooling. Saya hanya bagian kecil dari kelompok itu. Saya tidak sedang mengajak semua orang untuk melakukan homeschooling, tapi keadaan yang membuat kita semua melakukan ini. Namun di tengah terror pandemi, kebanyakan kita kepayahan menjalankan konsep ini. Kepala sekolah menginstruksikan para guru untuk membuat segala macam tugas dan ceramah yang akan dijejalkan kepada anak-anak melalui alat-alat yang mereka baru tahu, yang menyiapkannya memakan banyak waktu dan membuat mereka tertekan. Anak-anak diangap belajar jika mereka duduk tenang, mendengarkan guru dari media-media jarak jauh itu, dan mengerjakan dengan cekatan soal-soal latihan. Anak-anak, sebagaimana kebanyakan mereka yang berbeda-beda karakter, mulai tertekan. Tuntutan orang tua kepada sekolah yang terlanjur salah kaprah semakin memperparah beban anak-anak. Orangtua juga ikut tertekan. Dan semua ini adalah cara yang ampuh untuk melakukan bunuh diri bersama.

Menurut saya tidak masuk akal jika ada yang ingin memindahkan sekolah ke rumah dengan target belajar seperti di sekolah. Tidak adil bagi guru, orangtua juga anak-anak. Dalam proses homeschooling yang sesungguhnya saja, ada masa penyesuaian yang bahkan bisa memakan waktu yang tidak sebentar. Sebab kondisi di rumah berbeda dengan sekolah, dan orang tua bukanlah guru. 

Hal awal yang fundamental yang mesti dilakukan saat ini adalah menurunkan ekspektasi. Dalam kondisi darurat seperti sekarang, kita tidak bisa mengharapkan hasil atau pola seperti kondisi normal. Mari pikirkan kembali tentang visi pendidikan, tentang hal-hal yang mesti dimiliki anak dalam hidup mereka yang masih panjang. Setelah itu, mari kita berdiskusi tentang pemahaman, strategi belajar, dan pengelolaan aktifitas belajar berbasis keluarga masing-masing.

Mengapa harus sesuai dengan konteks keluarga masing-masing? Karena itu adalah hal utama dan paling mendasar dalam melakukan homeschooling. Dimana belajar tidak bisa dipisahkan dari kehidupan keluarga, tapi disatukan dan dimanfaatkan. Jadi keberhasilah homeschooling adalah menyatukan pembelajaran anak dengan budaya dan keseharian dalam keluarga.

Mari kita berbicara pada tatanan yang lebih praktis. Memanfaatkan budaya keluarga berarti mengenali kebiasaan baik dalam keluarga dan keahlian orangtua. Orangtua yang senang mendengarkan musik, menggunakan lagu dan dan instrumen musik sebagai media belajar. Orangtua yang suka membaca, akan mudah menularkan kesukaan pada literasi atau menjadikan literasi sebagai alat belajar anak. Begitupun orang tua yang memiliki keahlian bercocok-tanam, berolahraga, menonton, menulis dan lain sebagainya. Kegiatan-kegiatan yang disukai orang tua dan keluarga itu itu bisa dikembangkan menjadi kegiatan dan alat belajar dalam proses belajar anak. Itulah yang dimaksud mengintegrasikan dan tidak memisahkan antara keseharian dan kehidupan keluarga dengan proses belajar.

Anak-anak bisa belajar melalui hal-hal yang ada pada keseharian mereka, melalui hal-hal yang ada di lingkungan keluarga dan rumah. Belajar Matematika bisa menggunakan batu yang mereka temukan di halaman atau menggunakan mainan mereka. Memperhatikan belalang yang hinggap di daun, kemudian mengamati cara ia makan dan berkembang biak juga bisa dijadikan sarana untuk belajar. Bahkan mengobrol pun bisa dijadikan sarana belajar. Obrolan anak dan orangtua terhadap satu hal merupakan proses belajar dengan kualitas tinggi. Disitulah keterampilan orangtua dalam membangun percakapan yang nyaman dan produktif diuji.

Homeschooling memberikan kebebasan kepada setiap keluarga untuk mengurusi pendidikan anak-anak mereka. Karena bebas dan tidak baku, maka ada juga model homeschooling yang mencontoh sekolah formal, atau school-at-home. Namun seringkali bentuk itu tidak efektif dan rumit. Karena sejatinya homeschooling memang berbeda dengan sekolah. Jadi jangan membayangkan homeschooling berarti anak-anak harus belajar secara online. Bukan berarti saya mengharamkan belajar online, tapi hanya menyandarkan pendidikan pada hal tersebut, sehingga menganggap jika tidak melakukan itu berarti anak-anak tidak belajar, adalah sesuatu yang salah.

Untuk itu, pemahaman orang tua tentang belajar harus diperluas, dan keterampilan merawat anak-anak perlu ditingkatkan. Orangtua yang baik adalah orang tua yang belajar. Begitulah seharusnya orang tua punya kesadaran pribadi untuk mengupgrade pemahaman mereka dalam melihat belajar dan pendidikan. Saat ini sudah ada banyak cara yang bisa ditempuh, tinggal ada kemauan. 

Memperluas makna belajar berarti kita tidak lagi mengejar target kurikulum. Memperluas makna belajar berarti kita bisa melihat berbagai alternatif kegiatan belajar dan tidak memaksakan diri pada pandangan kaku bahwa belajar adalah mengerjakan mata pelajaran dan mengejar nilai ujian dan rapor. 

Anak tekun pada sesuatu atau hobi seperti membaca, menggambar, bermain sepeda dan lain-lain, juga merupakan belajar; belajar mengenal diri sendiri (learn to be). Menjawab pertanyaan dan keingintahuan anak dengan serius kemudian membuatnya menjadi project juga merupakan belajar; belajar memahami (learn to know). Anak-anak melakukan hal-hal keseharian seperti memasak, mencuci pakaian, menjahit, memperbaiki mainan yang rusak juga merupakan belajar; belajar keterampilan (learn to do). Anak-anak bermain dengan kawan-kawannya, berinteraksi dengan kakek-nenek, sepupu, keponakan dan bisa mencari solusi atas masalah-masalah sosial yang mereka hadapi juga merupakan belajar; belajar hidup bersama (learn to live together). Pada masa ketika tempat kegiatan hanya di rumah, pilihan kita untuk mencari sumber belajar memang menjadi terbatas. Namun pilihan itu bisa diperluas ketika kita memperluas pemahaman akan makna belajar.

Ketika saya menulis ini di depan laptop, Safa (7 tahun) bertanya, “Pak, kura-kura bisa segede apa?”

Saya berhenti mengetik kemudian mengajak Safa ke rak buku. Sambil menurunkan beberapa buku, saya mengajak, “Ayo kita cari di ensiklopedia.”

“Aku kan belum bisa baca?”

“Nanti bapak yang bacain. Sekarang kamu cari aja yang ada gambar kura-kura atau penyu.”

Begitulah proses belajar dimulai. Belajar melalui pertanyaan dan rasa penasaran. Saya tidak pernah menghawatirkan keterlambatan membaca Safa. Saya juga tidak pernah membandingkan Safa dengan Nada kakaknya (9 tahun) yang kemampuan membacanya pesat. Apakah karena kemampuan literasi Nada lebih bagus dari Safa berarti Nada lebih cerdas? Ya dalam satu hal, tapi keceradasan anak-anak itu bermacam-macam dan berbeda satu dengan yang lain. Mereka punya keunikan yang layak diamati dan dikembangkan. Kuncinya adalah fokus pada kelebihan dan tidak terlalu khawatir dengan kekurangan.

Pada kasus Safa, kita bisa mulai mengapresiasi kelebihannya. Inisiatif bertanya dan usaha mencaritahu sendiri di ensiklopedia adalah hal yang harus diapresiasi. Safa mengenal batasan bahwa ia belum lancar membaca itu juga hal yang bisa diapresiasi. Ia belajar mengenal batas dan kemampuan diri, tidak takut bertanya, tau bagaimana menjawab keingintahuan, menghargai kegelisahan diri dan pada akhirnya menjadiakan semua itu kegiatan belajar yang produktif. Ia membuka dan mencari informasi di ensiklopedia, menandai hal-hal penting yang menjadi tujuan, tidak terdistraksi dengan hal-hal lain, mencari kertas dan pensil untuk menggambar, mendengarkan penjelasan, kagum dengan fakta-fakta yang ada, menurut saya itu adalah proses belajar yang lebih bermakna dan akan selalu diingat. Safa menggali keingintahuannya sendiri, membutuhkan itu, menginginkan itu, bukan hanya disuapi informasi yang ia tidak inginkan. Lebih dari itu ia dilatih untuk bisa menjadi Pembelajar Mandiri.

Gambar awal. Karena sudah malam, saya mengajak meneruskan dan membuat grafis yang lebih bagus besok pagi.
Salah satu tujuan penting homeschooling adalah menyiapkan anak-anak untuk bisa menjadi Pembelajar Mandiri. Anak perlu belajar bagaimana mencari ilmu sendiri. Karena ilmu pengetahuan berkembang, orangtua cepat atau lambat akan dikalahkan anak-anak mereka dalam hal ilmu dan kemampuan. Maka penting anak-anak untuk tahu cara memenuhi hasrat keingintahuan dan belajar mereka.

Untuk menyiapkan anak-anak menjadi Pembelajar Mandiri ada dua kunci utama, budaya belajar dan keterampilan belajar (learning culture and learning skills). Masa-masa pandemi ini tidak bisa diprediksi, tapi sepertinya tidak akan tiba-tiba hilang besok pagi. Maka disaat seperti ini kita bisa mendorong anak-anak untuk bisa melakukan manjemen diri. Itu salah satu keterampilan belajar dimana anak mengenal tujuan belajar, mengeksekusi, dan melakukan refleksi atas proses dan hasilnya. Memang memakan waktu yang tidak sebentar dan instan, tapi hasilnya akan sepadan.

Melalui tulisan singkat ini, saya mengajak dan mengingatkan terutama kepada diri saya sendiri juga kepada semua orang yang peduli pada pendidikan anak, untuk melihat masa-masa di rumah ini sebagai masa-masa pembelajaran. Karena anak-anak lebih banyak belajar dari mencontoh. Mereka tidak hanya ingin mendengar nasihat kosong, mereka lebih meneladani contoh dari keseharian yang mereka alami. Pengasuhan bukanlah perlombaan mencari kebanggaan dan anak bukanlah sarana untuk memuaskan ego orangtua.

Semoga kita bisa mengasuh dan mendampingi anak agar bisa tumbuh sesuai dengan keunikan masing-masing. Semoga kita sekeluarga senantiasa diberi kesehatan.

Selasa, 31 Maret 2020

Kitab Kreatif untuk Latihan Menulis dan Berpikir Kreatif


Ini bukan hanya sekedar buku panduan menulis, tapi panduan untuk membiarkan roh-roh kreativitas menuntun dalam menghasilkan karya yang unik, disamping memandu untuk menerima dengan tangan terbuka apa yang tak kasat mata juga sambil memberikan porsi yang untuh pada akal untuk berlogika.

Dengan cara dan susunan yang menarik, saya dilibatkan untuk mengalami sendiri sampai pada akhirnya tergerak untuk mengimani semua yang diungkapkan Ayu dalam buku ini.

“Banyak orang yang berharap akan belajar formula yang langsung bisa diterapkan untuk mencipta karya kreatif. Sayangnya, formula hanya akan menghasilkan reproduksi atau peniruan. Sikap ini mirip dengan sikap beragama yang formalis. Yaitu, yang mencari bentuk-bentuk paten untuk ditiru.

Sumber-sumber kreativitas bukanlah berasal dari sikap kritis analitis. Sumber-sumber kreativitas sering kali datang dari wilayah yang tak terukur: imajinasi, fantasi, bawah sadar, dorongan, hasrat, bahkan sedikit kegialaan; hal-hal yang kerap dianggap bodoh oleh kaum rasionalis. Sama seperti spiritualitas, kreativitas bersumber pada hal-hal yang non-rasional.

Keasikan pada yang irasional bisa menghasilkan kekacauan maupun iman buta yang menjengkelkan bahkan berbahaya. Karena itu kita memerlukan daya kritis untuk mengimbanginya. Maka, struktur buku panduan ini mengutamakan keseimbangan antara keliaran dan ketertiban.

Keliaran tidak bisa dipelajari. Tapi kita bisa belajar memberi kesempatan pada potensi keliaran yang ada dalam diri kita.”


Jadi dua buku panduan menulis dan berpikir kreatif ini ditujukan baik untuk yang punya tipe spontan atau juga yang terstruktur. Kedua tipe bisa menikmati buku ini secara seimbang.

Buku pertama memberikan tips dan cara yang bisa dilatih untuk membuat tulisan pendek. Berisi jurus-jurus yang mudah dipraktekan. Sementara pada buku kedua memberi panduan untuk karya yang lebih panjang seperti buku, novel, atau film. Jika buku pertama bersifat umum dan teknis, buku kedua bersifat pendalaman terhadap makna kehidupan dan jiwa. Dua hal yang menjadi penggerak karya dan kreativitas manusia.

Sabtu, 28 Maret 2020

Serial Bumi; Novel Lokal dengan Citarasa Global


Serial Bumi - Tere Liye memang bukan jenis buku yang akan saya baca pada pada usia ini, ataupun belasan tahun yang lalu saat saya masih remaja, tentu jika novel itu sudah ada. Bukan karena isinya, tapi semata-mata karena genre. Fantasy tidak pernah jadi pilihan ketika saya dihadapkan pada bacaan novel. Bukan berati saya alergi genre itu, hanya Fantasy tidak akan pernah menjadi pilihan utama. Maka sama seperti ketika istri mendorong saya membaca The Hobbit, adalah Nada yang membuat saya membaca Serial Bumi. Bahkan seperti lingkaran yang tak bersudut, adalah saya yang mengenalkan Nada kepada serial tersebut.

Serial Bumi punya beberapa judul. Saya membaca sampai Bintang (Bumi, Bulan,Matahari dan Bintang. Masih ada Ceros dan Batozar, Komet, Komet Minor, sementara dua yang baru saja terbit adalah Selena dan Nebula). Total ada 9 judul novel dari seri tersebut. Saya meminta Nada untuk menulis resensi setelah selesai membaca novel-novel itu, dan Nada malah bertanya mengapa saya tidak membuat resensi pada buku yang saya baca. Saya sudah melakukannya, hanya memang tidak kepada semua buku yang saya baca. Ia meminta saya mereview juga Serial Bumi. Maka disinilah saya, membuat resensi atas permintaan itu.

Petualangan Raib, Seli dan Ali dalam mencari jatidiri juga melawan musuh bebuyutan Si Tanpa Mahkota, mengingatkan saya pada perpaduan antara Harry Potter, The Hobbit, Lord of the Rings, Narnia dan beberapa novel fantasi anak-anak yang populer. Sebagai novel yang terinspirasi dari novel luar, Serial Bumi berhasil memasukan cita rasa, banyolan dan nuansa lokal di setiap serinya. Apakah ia berhasil secara penulisan, alur, tokoh dan kemudian membuat fanbase lokal Indonesia terhadap serial ini? Menurut saya berhasil. Namun membandingkan karya tersebut dengan suksesornya seperti karya-karya JK Rowling, JRR Tolkien atau CS Lewis baik dalam cakupan pembaca dan kualitas cerita tentu akan menjadi tidak adil. Ini sama tidak adilnya membandingkan kualitas cerita, gambar dan ketokohan Gundala dan Kapten Amerika atau Godam dan Superman.

Seperti karya lokal bercitarasa internasional dalam berbagai bidang lain seperti musik, film dan komik, Serial Bumi juga memiliki kemiripan-kemiripan yang hampir identik. Ada beberapa bagian yang menginatkan saya pada permainan teka-teki Bilbo dengan Smeagol, atau pertarungan Harry Potter dan kawan-kawan melawan Voldemort, atau ketika Harry mengikuti turnamen 3 Wizards untuk memperebutkan Goblet of Fire, atau petualangan anak-anak remaja ke negeri Narnia. Tidak ada yang baru di bawah langit ini, satu sama lain bisa saling mempengaruhi. Dalam dunia kesusastraan kita banyak menemui hal seperti itu. Selama bukan plagiat hal itu bisa dimengerti. Dewi Lestari menulis Aroma Karsa karena terinspirasi Perfume - Patric Suskind, Laskar Pelangi terinspirasi dari Toto Chan, atau Dodolitdodolitdodolitbret dengan Three Hermits dan lain sebagainya.

Serial ini layak mendapat tempat khusus di hati para penggemar novel fantasy. Saya merekomendasikan kepada siapa saja yang ingin mendapat pengalaman membaca novel internasional dengan citarasa lokal, dengan bahasa yang ringan dan bisa dinikmati segala umur, untuk coba membacanya.

Sejujurnya saya salut dengan buku jenis ini. Karena di saat beberapa orang menganggap tidak ada buku bacaan anak berbahasa Indonesia yang bagus, bahkan tahun lalu (2019) Dewan Kesenian Jakarta membuat Sayembara Cerita Anak-Anak dan tidak satupun tulisan yang menjadi pemenang, ternyata ada penulis yang membuktikan bahwa bagus tidaknya buku anak diukur oleh seberapa banyak anak yang senang dengan buku tersebut bahkan jika buku-buku tersebut tidak direkomendasikan oleh siapapun atau memenangi sayembara apapun.

Boleh setuju boleh tidak. :)

Minggu, 23 Februari 2020

Simulasi Kedatangan Al Masih




Controversial since the beginning. Mind-blowing with lots of complexity; social, religion, political based agenda mixed in one pot.

Simulasi kedatangan Al Masih dengan bumbu intrik politik dalam nuansa masalah-masalah dunia kekinian. Dengan skenario dan sinematografi yang brilian, detail dan tidak berlebihan. Mengusung premis sederhana tentang apakah kebenaran itu bisa dipahami dengan hitam-putih atau abu-abu dengan banyak gradasi tergantung perspektif yang dipakai.

Gabungan antara Now You See Me, Geostorm dan seperti menikmati Miles sang Milenial Prophet dalam God Friended Me ketika ia bertarung dengan dirinya sendiri untuk memastikan antara adanya eksistensi Tuhan atau hanya sebuah persengkongkolan ahli teknologi mutakhir.

Pada akhirnya ia menghentak pikiran kita dalam merenungi kesadaran kemanusian yang semakin rapuh.

Rabu, 29 Januari 2020

anak kecil dalam diri

ia anak kurus yang gelisah
tidak pernah beranjak dewasa dan besar
tapi selalu jernih dan tegar

ia anak dalam diriku bicara,
bukankah dunia ini sudah membosankan?
jadi buat apa keabadian?

pertanyaan itu membuat liang di dada
seperti lubang gelap di langitlangit
menakuti mata yang menatap
ketika panas membuat kepalaku berat
dan degup jantung terdengar seperti langkah raksasa

masa depan selalu datang cepat
aku yang selalu terlambat mengenal diri
memunguti serpihan diriku di masa lalu
sepotong pagi dalam pantulan jendela setelah hujan
padang hijau dengan lumpur di kaki menodai ujung
baju anak yang berlari di pematang

menggali kebenaran di rak kitab-kitab suci
aku benci bersikap tidak adil
aku benci keras kepala pada hal yang tidak masuk logika sederhana
memahami kesatuan sumber hirukpikuk ini bermula
apakah kebebasan sungguh membebaskan untuk berpikir?

ia anak dalam diriku tidak mau pulang,
bermain-main dengan kemungkinan-kemungkinan

aku di sini menunggu
cahaya matahari masuk ke dalam mataku 
yang belum juga buta

Pertanyaan Keimanan

“Sebelum ada Allah itu ada apa?” Safa bertanya beberapa saat sebelum tidur. Matanya terlihat lelah, tapi pertanyaan yang ia tujukan ke saya itu tajam dan butuh penjelasan.

Pertanyaan itu melambungkan saya pada ingatan masa kecil. Saya ingat waktu MI (Madrasah Ibtidaiyah), mungkin umur 7 atau 8 tahun, saya membayangkan suatu saat akan mati dan masuk surga. Tentu saja, karena saya anak baik, pikir saya waktu itu. Kemudian saya hidup di surga selama-lamanya. Dan tiba-tiba pertanyaan itu muncul; berapa lama selama-lamanya?

Pertanyaan itu menghantui saya kecil selama berhari-hari. Dalam tidur yang sendirian, saya menatap langit-langit yang berlubang dengan perasaan resah. Seakan-akan lubang itu ada di dalam dada. Ruang kosong yang dalam dan gelap. Tentu saya belum bisa melukiskan perasaan yang berkecamuk saat itu seperti sekarang. Jika bisa digambarkan mungkin yang berkecamuk itu seperti: seberapa lama selama-lamanya? Bukankah dunia ini sudah membosankan? Jadi buat apa keabadian? Kemudian ada apa setelah selama-lamanya? Kekosongan?

Saya berpikir sejenak menimbang jawaban untuk Safa, “Allah itu yang awal dan yang akhir. Tidak ada sesuatu sebelum Allah.”

Safa terdiam, bola matanya naik kemudian berkomentar, “Aku nggak ngerti.”

“Allah itu bukan seperti manusia yang lahir, hidup, kemudian mati. Allah itu tidak dilahirkan, Allah ada tanpa kelahiran, dan juga tidak punya akhir.”

Safa tidak bereaksi, saya kemudian meneruskan, “Lihat, jari bapak ada berapa?” saya menunjukan 5 jari.

“Ada lima.” Safa menjawab.

“Apa jari sebelum telunjuk?”

“Jempol”

“Apa jari setelah telunjuk?”

“Tengah”

“Apa jari sebelum jempol?”

“Gak ada”

“Ya, begitulah Tuhan. Tidak ada sesuatu sebelum Allah. Dan Allah adalah yang pertama tanpa permulaan. Satu-satunya. Tempat bergantung segala sesuatu. Tidak lahir dan melahirkan. Tidak ada sesuatupun seperti Allah.”

Saya menerjemahkan surat Al-Ikhlas. Tentang contoh lima jari, itu pelajaran Tauhid yang saya dapat waktu kelas 1 Tsanawiyah. Saya tidak tahu apakah Safa yang baru berumur tujuh tahun mengerti pembahasan teologi seperti ini.

Pertanyaan seperti ini juga pernah ditanyakan Nada waktu seumur Safa. Nada pernah bertanya pada ibunya, “Bu, apakah keyakinan kita benar?”

Saya percaya setiap orang yang jujur pada diri sendiri pasti akan sampai pada pertanyaan itu. Pada saya pertanyaan itu muncul ketika berumur 14 atau 15 tahun. Sekitar kelas 3 Tsanawiyah. Krisis keimanan di usia-usia itu memang sering terjadi. Pencarian akan kebenaran pada usia itu menggebu. Tapi untuk anak usia 7 tahun, saya agak terkejut.

Jika pertanyaan itu diajukan setelah Nada dewasa, mungkin saya akan mengajaknya melakukan perbandingan agama-agama. Membandingkan nabi atau pembawa agama. Membandingkan kitab suci. Membandingkan ajaran. Dan membandingkan penganut. Mungkin juga saya akan mengajak membaca The Road to Mecca – Leopold Weiss yang menginspirasi Dr. Jonathan Brown. Atau berdiskusi tentang trilogy Even Angel Ask - Jeffrey Lang, seorang atheis yang menemukan Islam lewat Al Quran. Saya tidak tahu apakah buku-buku itu masih akan relevan dengan pencariannya, atau dia akan menemukan keyakinan sendiri melalu pencarian sendiri. Saya percaya setiap zaman punya tantangan sendiri dan setiap orang punya pencarian masing-masing. Satu hal yang akan terus sama, bahwa kejujuran, kerendahhatian, usaha mencari kebenaran dan pertolongan Allah, akan membawa siapapun menemukan keyakinan yang sejati.

“Allah itu bentuknya apa?” Safa masih di atas Kasur. Matanya terlihat ngantuk tapi belum mau tidur.

“Allah itu tidak berbentuk apapun yang seperti makhluk. Tidak ada sesuatupun yang sama dengan Allah.”

Safa mendengarkan. Saya melanjutkan, “Allah Maha Pengasih. Maha Penyayang. Dan Allah juga dekat. Lebih dekat dari urat leher kita. Ia Maha Mengetahui. Mengetahui apa yang lalu, yang akan datang dan apa yang terjadi saat ini bahkan yang ada di hati kita.”

Safa masih diam. Saya bertanya balik, “Menurut kamu, Allah itu bentuknya seperti apa?”

“Bulet.”

“Oke.” Saya tidak menyanggah, malah bertanya, “Allah baik ga?”

“Baik.”

“Kenapa baik?”

“Karena memberi kita makan.”

Malam itu Safa minta lampu kamar tidak dimatikan karena ia takut gelap. Ia minta lampu dimatikan nanti kalau dia sudah tidur. Saya tetap mematikan lampu tapi menemani di kasurnya. Saya memeluk Safa sampai ia tertidur. Sampai saya tertidur. Saya bangun tengah malam dengan tangan kram dan besoknya sebelah tangan saya pegal seharian.

Kamis, 09 Januari 2020

Saya Belajar...

  • Saya belajar bahwa kita tidak bisa memaksa seseorang mencintai. Yang bisa kita lakukan adalah menjadi orang yang dicintai. Sisanya terserah mereka.
  • Saya belajar sebesar apapun kepedulian saya kepada mereka, mereka tidak akan membalas kepedulian itu.
  • Saya belajar bahwa butuh bertahun-tahun untuk membangun kepercayaan, dan hanya butuh beberapa detik untuk menghancurkannya.
  • Saya belajar bahwa kita boleh terpesona pada satu hal paling tidak untuk lima belas menit. Setelah itu sebaiknya kita mendapat pelajaran.
  • Saya belajar untuk memilih antara mengendalikan sikap atau sikap itu yang mengendalikan saya.
  • Saya belajar seberapa mesra dan menggebu suatu hubungan di awal, gairahnya akan memudar dan sebaiknya ada perasaan lain untuk menggantikan.
  • Saya belajar bahwa kadang-kadang orang yang kita kira akan menertawakan ketika susah adalah orang yang membantu untuk bangkit kembali.
  • Saya belajar bahwa ketika saya marah, saya punya hak untuk marah.
  • Saya belajar bahwa persahabatan sejati terus tumbuh, bahkan ketika berada di tempat yang jauh. Sama halnya dengan cinta sejati.
  • Saya belajar bahwa hanya karena seseorang tidak mencintai seperti yang kamu mau, bukan berarti mereka tidak mencintaimu sepenuh hati.
  • Saya belajar bahwa kedewasaan itu adalah tentang pelajaran yang kita dapat dari pengalaman, bukan tentang seberapa banyak ulang tahun yang dirayakan.
  • Saya belajar bahwa keluarga tidak selalu ada untukmu.
  • Saya belajar bahwa tidak peduli seberapa baik seorang teman, mereka sesekali akan menyakitimu.
  • Saya belajar bahwa dimaafkan oleh orang lain tidak selalu cukup. Terkadang kita harus memaafkan diri sendiri.
  • Saya belajar bahwa seberapapun hancur hatimu, dunia tidak akan berhenti hanya untuk kesedihanmu.
  • Saya belajar bahwa latar belakang dan keadaan mungkin mempengaruhi kita, tetapi kita bertanggung jawab untuk menjadi seperti apa.
  • Saya belajar bahwa hanya karena dua orang berdebat bukan berarti mereka tidak saling mencintai. Dan hanya karena mereka tidak berdebat, bukan berarti mereka akur.
  • Saya belajar bahwa kita tidak perlu berganti teman jika kita sadar bahwa teman memang berubah.
  • Saya belajar bahwa dua orang bisa melihat hal yang persis sama tapi dengan perspektif yang sama sekali berbeda.
  • Saya belajar bahwa sekuat apapun kita mencoba melindungi anak kita, pada akhirnya mereka akan terluka juga, dan kita akan terluka dalam proses itu.
  • Saya belajar bahwa hidupmu bisa berubah dalam hitungan jam oleh orang-orang yang bahkan tidak mengenalmu.
  • Saya belajar bahwa sulit untuk menentukan batas antara bersikap baik dan tidak melukai perasaan orang lain dengan membela apa yang kita yakini. 
Diterjemahkan dari: Paulo Coelho