Selasa, 31 Maret 2020

Kitab Kreatif untuk Latihan Menulis dan Berpikir Kreatif


Ini bukan hanya sekedar buku panduan menulis, tapi panduan untuk membiarkan roh-roh kreativitas menuntun dalam menghasilkan karya yang unik, disamping memandu untuk menerima dengan tangan terbuka apa yang tak kasat mata juga sambil memberikan porsi yang untuh pada akal untuk berlogika.

Dengan cara dan susunan yang menarik, saya dilibatkan untuk mengalami sendiri sampai pada akhirnya tergerak untuk mengimani semua yang diungkapkan Ayu dalam buku ini.

“Banyak orang yang berharap akan belajar formula yang langsung bisa diterapkan untuk mencipta karya kreatif. Sayangnya, formula hanya akan menghasilkan reproduksi atau peniruan. Sikap ini mirip dengan sikap beragama yang formalis. Yaitu, yang mencari bentuk-bentuk paten untuk ditiru.

Sumber-sumber kreativitas bukanlah berasal dari sikap kritis analitis. Sumber-sumber kreativitas sering kali datang dari wilayah yang tak terukur: imajinasi, fantasi, bawah sadar, dorongan, hasrat, bahkan sedikit kegialaan; hal-hal yang kerap dianggap bodoh oleh kaum rasionalis. Sama seperti spiritualitas, kreativitas bersumber pada hal-hal yang non-rasional.

Keasikan pada yang irasional bisa menghasilkan kekacauan maupun iman buta yang menjengkelkan bahkan berbahaya. Karena itu kita memerlukan daya kritis untuk mengimbanginya. Maka, struktur buku panduan ini mengutamakan keseimbangan antara keliaran dan ketertiban.

Keliaran tidak bisa dipelajari. Tapi kita bisa belajar memberi kesempatan pada potensi keliaran yang ada dalam diri kita.”


Jadi dua buku panduan menulis dan berpikir kreatif ini ditujukan baik untuk yang punya tipe spontan atau juga yang terstruktur. Kedua tipe bisa menikmati buku ini secara seimbang.

Buku pertama memberikan tips dan cara yang bisa dilatih untuk membuat tulisan pendek. Berisi jurus-jurus yang mudah dipraktekan. Sementara pada buku kedua memberi panduan untuk karya yang lebih panjang seperti buku, novel, atau film. Jika buku pertama bersifat umum dan teknis, buku kedua bersifat pendalaman terhadap makna kehidupan dan jiwa. Dua hal yang menjadi penggerak karya dan kreativitas manusia.

Sabtu, 28 Maret 2020

Serial Bumi; Novel Lokal dengan Citarasa Global


Serial Bumi - Tere Liye memang bukan jenis buku yang akan saya baca pada pada usia ini, ataupun belasan tahun yang lalu saat saya masih remaja, tentu jika novel itu sudah ada. Bukan karena isinya, tapi semata-mata karena genre. Fantasy tidak pernah jadi pilihan ketika saya dihadapkan pada bacaan novel. Bukan berati saya alergi genre itu, hanya Fantasy tidak akan pernah menjadi pilihan utama. Maka sama seperti ketika istri mendorong saya membaca The Hobbit, adalah Nada yang membuat saya membaca Serial Bumi. Bahkan seperti lingkaran yang tak bersudut, adalah saya yang mengenalkan Nada kepada serial tersebut.

Serial Bumi punya beberapa judul. Saya membaca sampai Bintang (Bumi, Bulan,Matahari dan Bintang. Masih ada Ceros dan Batozar, Komet, Komet Minor, sementara dua yang baru saja terbit adalah Selena dan Nebula). Total ada 9 judul novel dari seri tersebut. Saya meminta Nada untuk menulis resensi setelah selesai membaca novel-novel itu, dan Nada malah bertanya mengapa saya tidak membuat resensi pada buku yang saya baca. Saya sudah melakukannya, hanya memang tidak kepada semua buku yang saya baca. Ia meminta saya mereview juga Serial Bumi. Maka disinilah saya, membuat resensi atas permintaan itu.

Petualangan Raib, Seli dan Ali dalam mencari jatidiri juga melawan musuh bebuyutan Si Tanpa Mahkota, mengingatkan saya pada perpaduan antara Harry Potter, The Hobbit, Lord of the Rings, Narnia dan beberapa novel fantasi anak-anak yang populer. Sebagai novel yang terinspirasi dari novel luar, Serial Bumi berhasil memasukan cita rasa, banyolan dan nuansa lokal di setiap serinya. Apakah ia berhasil secara penulisan, alur, tokoh dan kemudian membuat fanbase lokal Indonesia terhadap serial ini? Menurut saya berhasil. Namun membandingkan karya tersebut dengan suksesornya seperti karya-karya JK Rowling, JRR Tolkien atau CS Lewis baik dalam cakupan pembaca dan kualitas cerita tentu akan menjadi tidak adil. Ini sama tidak adilnya membandingkan kualitas cerita, gambar dan ketokohan Gundala dan Kapten Amerika atau Godam dan Superman.

Seperti karya lokal bercitarasa internasional dalam berbagai bidang lain seperti musik, film dan komik, Serial Bumi juga memiliki kemiripan-kemiripan yang hampir identik. Ada beberapa bagian yang menginatkan saya pada permainan teka-teki Bilbo dengan Smeagol, atau pertarungan Harry Potter dan kawan-kawan melawan Voldemort, atau ketika Harry mengikuti turnamen 3 Wizards untuk memperebutkan Goblet of Fire, atau petualangan anak-anak remaja ke negeri Narnia. Tidak ada yang baru di bawah langit ini, satu sama lain bisa saling mempengaruhi. Dalam dunia kesusastraan kita banyak menemui hal seperti itu. Selama bukan plagiat hal itu bisa dimengerti. Dewi Lestari menulis Aroma Karsa karena terinspirasi Perfume - Patric Suskind, Laskar Pelangi terinspirasi dari Toto Chan, atau Dodolitdodolitdodolitbret dengan Three Hermits dan lain sebagainya.

Serial ini layak mendapat tempat khusus di hati para penggemar novel fantasy. Saya merekomendasikan kepada siapa saja yang ingin mendapat pengalaman membaca novel internasional dengan citarasa lokal, dengan bahasa yang ringan dan bisa dinikmati segala umur, untuk coba membacanya.

Sejujurnya saya salut dengan buku jenis ini. Karena di saat beberapa orang menganggap tidak ada buku bacaan anak berbahasa Indonesia yang bagus, bahkan tahun lalu (2019) Dewan Kesenian Jakarta membuat Sayembara Cerita Anak-Anak dan tidak satupun tulisan yang menjadi pemenang, ternyata ada penulis yang membuktikan bahwa bagus tidaknya buku anak diukur oleh seberapa banyak anak yang senang dengan buku tersebut bahkan jika buku-buku tersebut tidak direkomendasikan oleh siapapun atau memenangi sayembara apapun.

Boleh setuju boleh tidak. :)