Halaman

Jumat, 16 September 2011

Agama dan Kebebasan Berpikir

Pernah ada seorang temen yang SMS ngasih tau tentang sebuah acara di sebuah stasiun TV yang diduga bermuatan misionaris nasrani. Dia menulis dalam SMS: Hati-hati karena acara itu bisa menghipnotis. Tolong sebarkan ke teman-teman yang lain.
Saya jawab SMS-nya, “ah masa?”
“Iya bener. Kata temen gue, temennya dia pernah ada yang masuk kristen. Dia sedih banget. Karena itu temen baiknya.”
“Oh… kalo ketemu temen lo salam dari gue ya. Bilangin jangan sedih.”
“Iya.”
“Bilangin juga. Tuhan aja punya anak satu-satunya masuk kristen gak sedih, masa dia sedih si…  Hehehe…”
….
Gak ada jawaban.
Secara garis besar, begitulah keberagamaan kita. Segalanya dicurigai. Tapi daripada berdebat dengan orang lain, saya lebih seneng berdiskusi dengan diri sendiri. Dalam tulisan ini, tentunya.
A: Apa lo udah sangat yakin dengan kepercayaan lo yang sekarang?
B: Sedang dalam keadaan. Berproses. Keimanan dalam diri gue bisa bertambah, berkurang atau hilang. Sekarang gue sedang berproses.
A: Lo sering mempertanyakan keimanan sendiri? Apa ngak takut kalo nanti iman lo beralih?
B: Iman yang rapuh adalah iman yang gak pernah digoncangkan, kawan!
A: Ah, lo bisa bilang gitu kan karena lulusan pondok. Basic agama lo udah kuat.
B: Gak juga. Banyak juga temen-temen gue sesama anak pondok yang punya basic keilmuan agama yang sama tapi bersikap lebih ekstrem. Itu semua tergantung sejauh mana kita mampu membuka hati dan pikiran untuk objektif memandang masalah. Ini bukan masalah anak pondok atau bukan. Ini masalah keyakinan dan perbedaan pendapat.
A: Trus, lo nyaman berpikir kayak gitu?
B: Ya, gue ngerasa lebih santai dan rileks menghadapi segala caci maki. Paling gak itu yang gue rasain.
A: Ah, lo liberalis! Jenis orang-orang yang berpikir semaunya. Tanpa batas. Gak tau apa kalo pikiran itu ada batasnya?!
B: Oh, come on! Jangan emosi gitu dong. Dalam Islam batasan perbedaan itu sangat jelas, kita ngak akan menyembah apa yang mereka sembah dan mereka pun ngak akan menyembah apa yang kita sembah. Akidah kita berbeda. Agama kita dan agama mereka berbeda. Mari hormati perbedaan itu. Dan sebatas itulah pikiran gue.


Nb: Keberagamaan adalah sikap. Ia bukan hanya sebatas pikiran. Lebih jauh ia adalah pikiran yang menyikap menjadi sebuah perbuatan ril. Bukan sekedar omongkosong tanpa realisasi. Keyakinan harus diterjemahkan ke dalam sebuah aktifitas bukan hanya jadi bahan debat. Keimanan harus membumi bukan melangit. Merealitas menjadi perbuatan-perbuatan baik.