Halaman

Sabtu, 30 Maret 2013

Sebuah Percakapan Dalam Perjalanan

Langit menitikan tetes-tetes air seperti menangis ketika bus yang ditumpangi pemuda itu memasuki gerbang tol. Ia mulai menata posisi yang enak untuk tidur. Sebenarnya ia ingin bercakap-cakap dengan seorang. The art of traveling! Katanya dalam hati. Tapi biarlah, sepertinya aku dan dia terlalu lelah untuk berdiskusi. Aku pun sudah merasa ngantuk dan ingin tidur.

Tapi akhirnya, pemuda itu bercakap-cakap dengan seorang laki-laki muda yang hingga akhir perjalanan ia belum sempat mengenal namanya, bahkan ia tidak yakin apakah laki-laki yang ia ajak bicara itu nyata atau hanya sebuah bunga tidur dari pohon labirin pikiranya yang sumpek.

“Mau kemana, Bang?” Sapa laki-laki asing yang tiba-tiba duduk di sampingnya, tanpa prolog perkenalan nama atau berjabat tangan. Begitulah negri itu, antara dua orang yang belum kenal dapat saling bercakap-cakap. Tidak jarang obrolan itu diakhiri dengan keengganan meneruskan percakapan.

“Mau ke negeri Nirwana!” Sahut pemuda itu tanpa menoleh, dan memulai memjamkan mata.

“Saya tanya serius, Bang!” Laki-laki itu ngeyel.

“Oke, saya ingin pergi ke Negeri Romansa. Puas?!” Pemuda itu terpancing pertanyaan si laki-laki.

Mereka meneruskan percakapan.

“Bawaannya banyak sekali! Apa nggak repot?”

“Begini, Mas! Anda tentu pernah membaca buku tentang perjalanan kan?” tanya pemuda itu retoris, seperti ingin membuka percakapan yang lebih panjang.

“Nggak! Saya belum pernah membaca buku semacam itu!”

“Isinya sederhana, yaitu tentang perjalanan dan hal-hal yang berhubungan dengan perjalanan.” Pemuda itu berimprovisasi, “Inti isi buku itu adalah memberi tahu kita macam-macam orang yang melakukan perjalanan. Anda tahu, termasuk jenis apa anda ini?”

“Nggak! Ngak pernah mikirin juga.” Jawab laki-laki itu sekenannya.

“Ya, menurut buku itu, dilihat dari barang bawaan anda, anda adalah jenis orang yang sering bepergian kebanyak tempat dengan mobilitas yang tinggi. Anda begitu simpel.”

“Ya benar! Oh kalau begitu, jika dilihat dari barang bawaan Abang yang banyak, Abang termasuk seorang yang jarang melakukan perjalanan. Betul?”

“Hahaha...” tawa pemuda itu renyah. Laki-laki simpel itu telah terjebak dalam logika yang salah, “anda terlalu cepat mengambil kesimpulan, Mas! Aku dipaksa membawa buah-buahan dari kebun oleh Bapakku.”

Bus transit pada sebuah restoran megah. Beberapa orang turun untuk membeli makanan, minuman atau buang hajat. Satu dua pedagang asongan mulai menaiki bus yang telah diparkir di depan restoran itu. Suasana ribut, tapi kedua manusia itu tidak sedikitpun terusik dengan segala hiruk pikuk itu.

“Oh, isinya buahan toh!?” tanya laki-laki simpel penasaran.

“Ya, hampir setengahnya.”

“Untuk siapa?”

“Untuk sedulur-sedulurku di Negeri Romansa.”

Bang. Sudah berapa kali anda kesana?” tanggap laki-laki simpel berambut lurus itu, seperti mencoba memperlihatkan bahwa ia juga punya pengetahuan tentang tempat yang ingin dituju si pemuda, “Bukankah disana ada segala macam jenis buah?!”

“Hahaha...” pemuda bertubuh kurus itu kembali tertawa renyah. Ia seperti telah menyimpan antisipasi-jawaban yang bagus untuk pertanyaan itu. Ia kembali berteori, “ternyata buku itu benar! Mas merupakan pejalan yang berpikiran sederhana. Kesederhanaan itu menandakan Mas adalah seorang yang moderen.” Ia sedikit memujinya. Mengangkatnya tinggi ke langit-langit kesombongan. Berharap laki-laki itu terangkat jauh tinggi. Lebih tinggi lebih bagus. Lebih sakit jatuhnya. Apalagi ditambah dengan sedikit bantingan.

“Oya? Terima kasih!” jawab laki-laki itu termakan pujian. Terbang tinggi.

“Dan anda tahu, orang-orang moderenis seperti andalah yang banyak merusak kebudayaan bangsa ini.” Kalimat bantingan.

“Omong kosong! Gak ada hubungannya dong!” Kecipak air emosi mulai terdengar kembali dari laki-laki itu. Sepertinya, bantingan kata-kata itu cukup telak.

Bodoh! Ya tentu ada.” Jawab pemuda itu tak kalah emosi. Percakapan mulai memanas. Debat itu semakin menampakan ciri-ciri perdebatan pepesan kosong. Tanpa mereka sadari bus yang mereka tumpangi telah sepi penumpang sebelum sampai tempat tujuan si pemuda. Banyak penumpang yang turun di tengah jalan. Kondektur yang sedari awal acuh dengan percakapan tidak mutu itu, memberi tahu bahwa bus tidak sampai tujuan akhir karena penumpangnya terlalu sedikit. Penumpang yang tersisa diharap pindah ke bus lain yang telah disediakan. Antara keadaan sadar dan tak sadar, dua orang itu berpindah ke bus lain yang telah disediakan. Namun perpindahan bus itu tidak membuat emosinya surut. Ia meneruskan teori anehnya.

“Apa seseorang yang kau beri sesuatu yang kau tanam sendiri, kau rawat, kau pelihara sejak kecil, sama dengan ketika kau memberi orang itu sesuatu yang kau beli di pasar dengan setentengah hati, dengan menawar harga yang tak pantas? Jelas berbeda tolol!”

“Bang! Please stop calling me stupid!” perang sepertinya baru akan dimulai.

“Oke, maaf!” pemuda itu melemahkan suaranya, seperti membuat strategi perang baru. Dengan kata-kata yang telah ia susun dalam kepalanya ia meneruskan, “Kita ini orang timur, Mas! Orang-orang sosialis. Hormatilah budaya kita sendiri.”

“Tapi gak semua budaya baik, toh! Orang-orang barat juga menyebut budanya mereka yang baik. Bukankah itu berarti budaya itu relatif, Bang!”

“Aku setuju.” Pemuda itu menarik kesimpulan, “Oleh kerena itu, ketika di timur ikuti adat istiadat dan kebiasaan mereka. Jika dibarat jadilah individualis seperti mereka. Supaya kita tidak dikatakan aneh. Lagipula bukankah mas sendiri orang timur? Aneh jika mas nggak enjoy dengan budaya sendiri.”

Laki-laki simpel menjawab santai, “Dunia terus berkembang. Seiring pemikiran orang-orang di dalamnya. Informasi semakin mudah diperoleh. Apakah itu nggak bisa jadi pertimbangan?”

Mereka terdiam. Diam kontemplatif. Entah sampai berapa lama.

Nun jauh di sebuah desa di kota tujuan si anak, seorang nenek lumpuh sedang menunggunya cemas.