Sudah seratus dua puluh satu hari pemuda itu mengamati si gadis. Setiap kali si gadis melangkahkan kakinya ke ruang perpustakaan, ia selalu menyempatkan diri untuk bisa memandangnya. Mencari posisi yang pas untuk melihatnya dengan jelas.
Pemuda itu berada di rak sebelah, ketika si gadis sedang asik mencari buku. Gadis itu menyita seluruh perhatiannya. Dari rak yang bersebelahan itu, sesekali ia mencuri-curi pandang, diam-diam melihat mata si gadis. Mata itu selalu mengingatkannya pada sebuah oase di tengah padang gurun. Aku berani menukar semua yang aku punya sekarang ini demi memandang mata indah itu, pikir pemuda itu.
Tapi posisi yang paling pas untuk menikmati keindahan gadis itu secara utuh adalah ketika ia duduk menyendiri di sebuah sudut pada sebuah bangku di perpustakaan itu. Begitu setiap hari ia selalu menyempatkan diri untuk membaca buku. Sesekali si pemuda juga melihat buku yang dibacanya.
Kali ini dia memakai baju biru langit dengan beberapa garis klim putih pada bahunya. Dengan jeans ketat yang selalu ia pakai setiap akhir pekan. Tapi aku lebih suka melihatnya mengenakan rok, pikir pemuda itu. Rok yang biasanya ia pakai hari Senin, dengan rombe dari pangkal pinggul hingga ujung mata kaki. Membuatnya memancarkan keanggunan seorang wanita. Tapi sesekali aku juga suka melihatnya memakai jeans. Membuatnya terlihat mandiri.
“Manis” gumam pemuda itu, “Ah, andai ada kata yang lebih bagus dari itu?”
Pemuda itu masih terus mencuri-curi pandang gadis itu, ketika si gadis telah selesai memilih buku-buku dan membawanya ke sebuah bangku pada sudut perpustakaan.
Sesekali ada keinginan untuk mendekati si gadis kemudian mengatakan segala yang terlintas dalam kepalanya. Semuanya. Semua perasaan tentangnya. Ia ingin mengungkapkan rayuan yang telah lama ia susun dalam sudut hatinya. Namun bagaimana mungkin? Menatapnya saja ia tak punya keberanian. Emh, tak punya kesanggupan lebih tepatnya.