Halaman

Sabtu, 23 Juli 2016

Kancil, Perundungan dan Belajar Menjadi Orangtua

Satu hari tantrum Safa kambuh. Ia berteriak sambil menangis minta mandi di halaman depan. Dengan Nada, Saya sudah pernah menghadapi tantrum sejenis ini, jadi saya punya pengalaman untuk mengatasinya.

Saya dekati Safa kemudian berbisik di telinganya, “Safa dengarkan bapak. Mari kita buat semuanya jelas. Bapak akan mendengarkan Safa selama Safa mau mendengarkan bapak.”

Safa berhenti menangis.

“Kita kerjasama.” Kata saya kemudian, “Safa bisa diajak kerjasama?”

Dia mengangguk.

Saya membolehkannya mandi di halaman depan, seperti kemauannya. Sambil menyaratkan, “Kalau bapak bilang sudah, kita sepakat untuk berhenti. Oke?”

“Oke.” Ia menjawab jelas.

Setelah waktunya cukup, saya minta Safa untuk handukan. Dia sudah mendekat untuk dihanduki tapi kemudian mengejek saya dan berlari kembali ke halaman depan.

Saya tidak kaget dengan kelakuan itu.

Nada pernah melakukan hal yang lebih parah. Ia menangis sambil berteriak di depan sebuah mal besar di Jakarta. Hari itu kami pulang dari menghadiri sebuah acara di sana, dan sedang menunggu kendaraan yang akan menjemput. Saya dan istri sudah lelah, begitu juga Nada. Ia mungkin hanya ingin mencari perhatian, dan berhasil menarik perhatian kami, bahkan perhatian semua pengunjung mal dan para satpam.

Kabar baiknya, itulah tantrum terakhir Nada. Sudah hampir lima bulan sejak peristiwa itu dan sampai sekarang, ia tidak pernah melakukannya lagi. Saya tahu Nada sangat menyesal dengan kejadian itu. Sampai sekarang, ia tidak lagi berteriak untuk meminta apapun.

Banyak orang tua yang tidak sabar dan melakukan jalan pintas dengan membentak bahkan memukul. Saya dan istri tidak pernah memukul anak kami. Dan tentu kami tidak akan membiarkan orang dewasa manapun melakukannya dengan sengaja, dengan alasan apapun. Walaupun begitu kami bukan orang tua yang sempurna. Pertama kali tantrum, saya pernah membentak Nada. Itu meredakannya untuk sesaat, dan membuat saya menyesal untuk selama-lamanya.

Zaman telah berubah. Cara mendidik juga berubah. Ilmu pengetahuan berkembang, begitu juga ilmu pengetahuan tentang mendidik anak. Kita tidak bisa hidup dengan terus meyakini bahwa bumi ini datar seperti piring, ketika banyak bukti menyatakan bahwa bumi ini bulat. Membentak, memukul, mempermalukan, melecehkan, merundung adalah cara mendidik yang seharusnya ditinggalkan.

Banyak orang yang kemudian bernostalgia tentang masa kecil mereka yang diperlakukan kasar oleh orang tua juga oleh guru di sekolah, dan ternyata sekarang mereka hidup baik-baik saja, bahkan sukses. Jika demikian, kekerasan pada anak tidaklah masalah.

Apakah memang begitu?

Saya tidak bisa menjawabnya dengan hitam-putih, karena manusia adalah mahluk yang kompleks. Namun, penelitian membuktikan bahwa usia anak-anak adalah usia dimana trauma ditanam. Seiring bergulirnya waktu, memang ada anak-anak yang bisa terlepas dari trauma tersebut saat dewasa, tapi juga ada anak-anak yang tidak. Penelitian membuktikan bahwa kekerasan pada anak akan menimbulkan luka psikologis yang berkepanjangan.

Karena tidak tahu anak yang mana yang bisa bertahan dan anak yang mana yang tidak, maka sebaiknya mendidik dengan cara kekerasan pada anak-anak ditiadakan. Mengikuti Qowaidul Fiqh; Ad-Dhararu Yuzalu, kemudharatan/kerugian itu harus dihilangkan. Lagipula, “balas dendam” untuk memperlakukan kasar anak karena pernah diperlakukan kasar adalah sejenis lingkaran setan yang harus diputus.

Menanggapi kasus guru yang melakukan kekerasan kepada muridnya, pendapat kita kemudian terbelah. Pro dan kontra. Saya pribadi tidak akan terima jika ada guru yang memukul anak saya. Namun saya juga tidak akan melaporkannya langsung ke kantor polisi, karena saya tahu di sekolah, juga di website Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, ada cara untuk melaporkan tindakan pelanggaran seperti itu.

Melaporkan tindakan guru tersebut langsung ke pihak berwajib menandakan orang tua ingin lepas tangan dari pendidikan anak, dari keterlibatan di sekolah, dari komite orang tua di sekolah. Kita tentu tidak mau jika nanti anak kita ketahuan berbuat kriminal di sekolah seperti mencuri, sekolah tidak memanggil orang tua tapi langsung melaporkan ke kantor polisi (saya akui analogi ini tidak apple to apple).

Di lain pihak, membela guru tersebut dengan membabi buta adalah juga tindakan yang berlebihan. Ditambah lagi kekalapan dengan melakukan cyber bullying (bahkan oleh media nasional) kepada si anak, dengan menyebar foto meme si anak yang sedang merokok. Atau menyebarkan berita fitnah tentang tidak diterimanya anak itu di beberapa sekolah.

Melakukan kekerasan kepada murid adalah pelanggaran. Itu yang tertulis dalam undang-undang. UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak, pasal 54 menyatakan: Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak Kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain. Jadi bagaimanapun, perbuatan itu salah.

Semua anak pernah nakal. Presiden Jokowi pernah, bahkan presiden Obama sering menghisap ganja waktu muda. Saya nggak bermaksud supaya anak-anak ikut teriak “sate”, “nasi goreng”, dan nyimeng seperti Obama. Bukan, bukan itu maksudnya. Maksud saya, setiap anak punya “kancil” dalam diri mereka. Masalahnya, orang dewasalah yang menyebabkan “kancil” di diri anak-anak menjadi semakin besar dengan cara menanganinya dengan tindakan kekerasan. Anak-anak adalah peniru yang baik.

Saya sadar bahwa tidak ada orang tua atau guru yang sempurna. Sebagai orang tua, saya terkadang merasa baik, terkadang juga merasa begitu buruk. Saya beberapa kali berteriak dan membentak anak saya. Apakah saya bangga? Tidak sama sekali. Bahkan setelah amarah saya reda, saya merasa bersalah. Saya berteriak kepada anak saya dengan alasan yang sangat sepele. Saya merasa menjadi orang tua yang paling arogan.

Saya mengerti bahwa orang tua tidak boleh membentak, membanding-bandingkan, mengkritik, memukul, mengancam dan lain-lain. Seharusnya orang tua memberikan dorongan, pujian, dukungan, penerimaan, pengakuan, solusi dan lain-lain. Kita tahu, teori dan aturan-aturan mengasuh anak itu hal yang paling mudah dikatakan tapi paling sulit dilakukan. Belum lagi jika melihat latar belakang metode parenting. Antara barat atau timur, Muslim atau bukan, kota atau desa, dan lain-lain.
Ada sebagian orang tua mengangap pola asuh mereka adalah pola asuh yang terbaik, sambil menganggap pola asuh selainnya tidak lebih baik. Kita menilai diri sendiri dan orang lain dengan menggunakan mitos orang tua sempurna yang padahal tidak pernah ada.

Tidak ada orang tua yang sempurna, yang ada adalah orang tua yang terus belajar. Belajar untuk lebih mencintai dan menghargai anak-anaknya. Di situlah kerendahan hati untuk mengakui kesalahan diperlukan. Karena bagaimana mungkin seorang bisa memperbaiki kesalahan tanpa tahu apa kesalahannya? Jadi, mari kita akui kesalahan kita, membuka diri terhadap kesalahan itu, kemudian mau belajar untuk memperbaiki.

Wallahu ‘alam.