Halaman

Senin, 25 Desember 2017

Seorang yang Memilih Bersepeda

Sepeninggal istrinya, Edogawa seperti kehilangan kemampuanya menggaet wanita. Satu hal yang saya prediksi menjadi alasan kenapa jodoh sang Playboy Cap Gayung itu seret; terlalu banyak bersenggama dengan sepeda.

Saya mengenal Edo dan Mira, mendiang istrinya, sejak MTs dan sampai bulan-bulan terakhir sebelum istrinya wafat, saya masih sering main ke tempat Edo. Waktu itu dia baru mulai gandrung dengan komunitas Sepeda Federal Bekasi. Sementara saat itu —atas hasutan istri, saya baru mulai mengenal Food Combining; sebuah sekte yang mempercayai bahwa manusia semestinya memilah-milih makanan juga waktu-waktu tertentu untuk memakan makanan agar semakin sehat.

Istri saya mempengaruhi Mira dengan ajaran itu. Suatu siang, Edo menghubungi saya lewat BBM, “Bini gua diracunin apa ama bini lu? Pagi-pagi gua disuguhin sarapan buah doang. Udah kayak burung betet gua.”

Saya membalas pesan itu dengan emoticon tawa. Kesengsaraan memang perlu dibagi-bagi. Pengalaman saya dengan agama Food Combining lebih mengenaskan. Pernah suatu malam sepulang kerja, saya disuguhi makan malam berupa nasi putih dan lalapan. Tanpa sambel. Sambil makan, dalam hati saya terus menerus meyakinkan diri sendiri bahwa saya manusia, “Saya manusia. Saya manusia. Bukan kambing.”

Kembali ke sepeda. Suatu sore, saya dan Deni main ke tempat Edo untuk membicarakan bola, jodoh dan banyak hal. Termasuk rencana untuk manjat Gede yang beberapa hari sebelumnya telah kami bahas di grup WA.

“Udah kita bertiga aja, Do. Akhir tahun. Gimana?” Saran saya ke tuan rumah.

“Aduh. Berat gua ninggalin anak-anak, Mi.” Edo menolak.

“Het, duda. Kagak ada yang laen alesannya.” Deni berkomentar, “Udah lu bawa aja anak lu sekalian.”

Keputusan dari pertemuan itu akhirnya kami batal hiking. Diam-diam saya bertanya ke Edo, “Jadi rencana lu ngisi liburan akhir tahun apa?”

“Gua niat mau ke Dieng. Ngegowes.”

“Serius?”

“Iya.”

“Sendiri?”

“Iya.”

Sampai akhir percakapan, dan sampai sekarang, saya nggak ngerti apakah kepala Edo masih berisi gumpalan otak. Saya menduga, karena kebanyakan mengayuh sepeda, perlahan-lahan otaknya turun dan pindah ke pedal. Dengan begitu, konon ia bisa bercakap-cakap dengan sepedanya sehabis Tahajud.

Hari ini 25 Desember 2017, saat orang-orang meributkan selamat natal, di sanalah ia bersama dirinya dan sepeda. Di negeri di atas awan.

Saya mengerti, ia bersepeda selain untuk kesehatan dan menjaga kewarasan, juga untuk merayakan kehidupan. Dengan bersepeda waktu tempuh menjadi lebih lambat dibanding menggunakan kendaraan bermotor. Dengan begitu ia bisa menikmati moment. Menikmati setiap kayuhan dan nyawa dengan penuh rasa syukur. Itu filosofi yang ia dapat dari bersepeda, selain juga kalimat Einstein, "Life is like riding a bicycle. To keep your balance, you must keep moving."

Ia pernah menulis di status Fb tentang kegundahan hatinya, “Hasrat besar dibalik semuanya. Semua yang tak terkatakan. Semua yang tak terelakkan. Semua yang tak pernah tuntas saya pahami. Semua yang membabi-buta tanpa ampun. Semua yang begitu bergemuruh. Semua yang tak mau reda. Semua yang terus menghantam relung-relung yang paling dalam. Yang memberi makna pada semua yang tak penting. Yang menyalakan lilin-lilin di malam-malam sunyi. Yang mencerahkan hari-hari syahdu. Yang membuat senja merona merah membara. Yang membuat saya merasa ada sekaligus tiada.”

Saya mendoakan kebaikan untuk kawan saya itu. Semoga selamat dalam perjalanan. Keep moving forward.