Halaman

Rabu, 10 Juli 2019

Belajar Menjadi Manusia

Saya pertama mengenal Nath sekitar 16 tahun yang lalu. Sejak saat itu, saya selalu kagum padanya. Ia orang yang mudah bergaul dengan siapa saja, berpikiran terbuka dan enak diajak berdiskusi. Ia kawan kuliah paling pertama. Sebelum saya mengenal siapapun di kampus itu. Ketika saya drop out di smester tiga, kami mulai tidak saling bertemu. Walaupun begitu, hubungan kami tetap baik sampai hari ini.

Minggu lalu saya mengunjungi rumahnya di bilangan Depok untuk berlebaran. Ada hal menarik yang saya amati dari pertemuan singkat itu. Tidak pernah sekalipun saya melihat Nath memegang ponsel ketika berbicara dengan saya. Itu hal kecil yang sederhana namun membekas. Sikap menghormati lawan bicara dan tidak mengeluarkan ponsel saat percakapan adalah hal yang jarang saya temui. Sudah beberapa kali saya bertemu dan ngobrol dengan orang lain dan percakapan kami disela oleh ponsel. Bukan panggilan atau pesan penting, hanya hal-hal sepele.

Dan media sosial? Oh. Saya kehabisan kata-kata untuk laku-laku ajaib di sana, yang tidak akan kita temui di dunia nyata. 10 atau 15 tahun lalu, ketika belum ada media sosial, ketika penggunaan ponsel hanya untuk telpon dan SMS, hidup rasanya baik-baik saja. Mengapa sekarang menjadi rumit?

Ponsel adalah benda sialan yang kita cek sebelum dan setelah tidur. Seakan-akan kita akan mati tanpanya. Ya, saya tahu ada banyak hal yang memudahkan hidup yang datang bersamaan dengan teknologi, tapi juga ada hal-hal yang membuat kita berkurang menjadi manusia.

Mengobrol, bercanda, tertawa, persahabatan yang tulus dan persentuhan manusiawai secara langsung itulah yang menjadikan kita manusia. Hal yang tidak bisa digantikan oleh teknologi, dengan emotikon senyum atau tertawa. Dan pertemuan dengan Nath mengajarkan pada saya satu hal yang paling penting; untuk belajar menjadi manusia kembali.