Halaman

Selasa, 19 Mei 2020

Menolong Si Putih

Aku dan adikku Percy sedang berjalan-jalan di hutan belakang rumah ketika Percy melihat dua mata misterius menyala hijau seperti mata naga yang pernah aku lihat di filem fantasi.

“Kak,” kata Percy yang saat itu mengenakan mantel hijau. Ada nada ketakutan dalam suaranya.

“Iya ada apa?” tanyaku sambil menoleh ke arah Percy. Angin dingin musim semi bertiup menggugurkan daun-daun kering dan membuat telingaku dingin seperti ketika aku membuka kulkas. Aku manarik hoodie mantel merah yang aku pakai untuk menutupi kepala.

“I-it-u a-pa?” Percy menunjuk sesuatu yang bergerak di bawah gelap naungan pohon besar.

Hah apa ya itu? tanyaku dalam hati sambil mendekati dengan gugup. Awalnya aku mengira itu ular, tapi ternyata yang ada di sana adalah kucing putih. Sebelah kaki kucing itu lecet sampai kelihatan dagingnya. Kaki yang terluka diangkat, dan ia mengeong pelan.

Aku semakin mendekatinya dan pelan-pelan aku mengusap kepalanya. Kucing itu menyundul tanganku seperti minta diusap lagi. Aku tersenyum, mengendongnya kemudian membawanya sambil lari ke arah rumah. Karena mau cepat-cepat mengobati kucing itu, aku sampai lupa Percy tertinggal di belakangku.

Masih sambil berlari, aku berteriak ke adikku, “Ini hanya kucing, tidak usah takut.”

Percy berteriak panik sambil mengikutiku, “Kakak, tunggu aku!”

Belum sampai rumah, Ginny, anjing perempuanku yang berwarna coklat muda, menggonggong menyambut. Ketika ia melihat kucing yang aku gendong, gonggongannya menjadi semakin keras. Sepertinya ia cemburu dengan si kucing.

Sesampainya di dalam rumah aku bertanya ke ibu, “Ibu, di mana kotak obat?”

“Oh, Lucy, ada di atas lemari, memangnya kenapa? Percy jatuh ya?”

“Eh tidak sih cuma tadi aku nemu kucing,” aku menjawab cepat.

“Kak kenapa aku tadi ditinggal?!” Percy yang masuk menyusul ke dalam rumah terdengar kesal.

“Eh maaf Percy, tadi aku buru-buru,” aku meletakan si kucing putih di atas meja kemudian mengambil kursi untuk pijakan mengambil kotak obat di atas lemari.

Percy duduk cemberut tidak menjawab permintaan maafku.

“Nah sekarang bisak gak kamu tenangin Ginny yang terus menggonggong?” sambungku ke Percy.

“Gak mau ah! Aku masih kesel sama kakak!” kata Percy kemudian melengos pergi.

Sambil mengobati luka si kucing, Ginny tidak berhenti menggonggong. Membuat si kucing takut.

“Tidak usah cemburu Ginny. Ia tidak lama di sini kok.” Kataku sambil mengusap Ginny agar dia tenang. Ginny perlahan-lahan menjadi tenang. Kemudian aku mengambil biskuit anjing dan melemparkan kepada Ginny.

Beberapa saat setelah diobati, kucing itu berjalan tertatih ke hutan. Kalau saja ia tidak terluka, mungkin ia akan berlari. Aku, Percy, dan Ginny mengikuti perlahan sesuai langkah si kucing.

Percy bertanya pelan, “Kak,”

Aku segera meletakan jari telunjuk di depan bibir tanda menyuruh Percy tidak bicara. Sementara Ginny seperti mengerti untuk ikut diam. Kucing itu tidak sekalipun menoleh ke belakang, seperti tidak peduli kami ikuti. Ketika sampai di tepi sungai, ia tiba-tiba berhenti.

“Eeh dia sepertinya takut air,” kataku sambil memandang air itu.

“Baiklah aku akan menggendongnya,” kata Percy melangkah maju.

Tiba-tiba Ginnny kembali menggonggong. Persis di akhir gonggongannya, dia melompat dari batu ke batu di aliran sungai itu, seperti menemukan sesuatu. Aku tidak tahu apa yang Ginny kejar.

Aku menyusulnya, dan di belakangku Percy bersama si kucing putih. Sesampainya di seberang, Ginny semakin keras menggonggong ke arah semak-semak.

“Sst Ginny” kata-ku sambil menenangkan.

Semak-semak itu bergerak-gerak kemudian ada suara eongan. Muncul dari balik semak kucing cantik berwarna putih sama seperti si kucing yang aku tolong.

Si putih yang digendong Percy meronta seperti ingin diturunkan. Ia turun kemudian berlari ke arah kucing yang lebih besar itu dan saling menjilat. Kami bertiga sangat senang, kucing itu berkumpul bersama keluarganya lagi. 

Penulis: Nada Narendradhitta