Berbeda dari Gundala yang dibuka dengan 15 menit awal yang memikat dan menurut saya adalah pembukaan terbaik film superhero yang pernah saya tonton, Sri Asih dibuka dengan canggung dan menyisakan banyak pertanyaan di benak penonton.
Sejak awal saya sudah ragu dengan aspek visual, karena triler yang dirilis sebelumnya sangat meragukan, apalagi ditambah jadwal tayang yang mundur dari semestinya. Melalui Twitter Space, Upi sang sutradara mengumumkan, "Kita tidak pengin mengecewakan. Di sisi lain saya merasa masih ada hal lain yang masih harus dipoles lagi. Saya berpikir antusiasme tinggi kayaknya harus dibayar sebanding dengan menonton filmnya nanti,". Walaupun statement itu membuncahkan sedikit harapan agar ada perbaikan, saya tetap masuk ke dalam bioskop pada hari pertama penayangan dengan ekspektasi rendah.
Tidak bisa ditutupi, urusan visual serta koreografi Sri Asih sangat kedodoran, dengan penjahat kacungan dungu dan CGI kasar yang klimaksnya pada adegan kemunculan Nani Wijaya dengan bentuk kepala tidak proporsional seperti sobekan koran yang ditempelkan begitu saja. Aspek komedi juga menjadi bagian yang terkesan dipaksa. Bukan memberikan komedi brilian yang memanfaatkan mimik dan dialog seperti dalam My Stupid Boss, Upi menghadirkan komedi tempelan dengan dialog yang boros dan tidak relevan.
Hal yang paling merusak adalah unsur mistery yang disusun sejak awal terbaca dengan mudah pada pertengahan awal film karena kemunculan terlalu banyak clue, mengakibatkan set-up yang dibangun sepanjang cerita, dengan tujuan membongkar Villain yang diniatkan menjadi twist pengejut, terasa sia-sia seperti mengetahui rahasia yang sudah diobral.
Seperti Wonder Women yang sangat cocok diperankan oleh Gal Gadot, satu-satunya hal yang sungguh menghibur adalah Pevita Pearce. Semata-mata karena ia adalah Pevita Pearce.