Halaman

Rabu, 11 Juni 2025

Hujan yang Tak Jadi Puisi

Kepada SDD


Hujan turun di luar jendela,
tapi tak ada yang basah di dalam diriku.
Barangkali karena aku sudah menjemur air mata
terlalu lama di halaman sosial media.

Aku ingin menulis tentang hujan
sebagai sesuatu yang datang tanpa maksud.
Tapi puisiku terlalu sadar diri,
terlalu sering bercermin
di layar yang tak pernah patah hati.

Dulu, hujan adalah surat tak sampai.
Kini, ia jadi notifikasi cuaca.
Kita tak lagi menunggu reda,
karena sudah terbiasa berlari
dari satu urusan ke urusan lain.

Aku rindu mencintai seseorang
tanpa perlu riuh dalam caption.
Aku rindu kata-kata
yang tak ingin jadi puisi,
cukup jadi perasaan
yang diam-diam mengendap
di dasar cangkir kopi.

Kau tahu,
dulu aku menulis puisi
dari yang tak bisa kukatakan pada siapa-siapa.
Tapi hujan kali ini gagal menjadi metafora.
Ia turun begitu saja,
tanpa makna, tanpa nyawa,
seperti pertanyaan basa-basi
dari orang yang hanya ingin terlihat peduli.

Kalau nanti reda,
aku tidak akan keluar menatap langit.
Aku akan tetap di sini,
memunguti diam yang tercecer
di panggung sepi.