Ia berpikir untuk mati saja pagi itu. Kematian sepertinya bisa mengakhiri kerumitan hidup, pikirnya. Namun, pagi itu ia tidak jadi mati. Ia malah menciptakan bom hydrogen yang menjadikan dirinya dianugrahi Hadiah Nobel. Ya, kau benar! Pencipta bom yang tidak menghargai hidupnya itu —juga kehidupan orang lain, karena menghasilkan senjata yang bisa membunuh jutaan orang itu— dianugrahi penghargaan.
Dalam pidato ketika menerima penghargaan itu —setelah mengucap terimakasih kepada Tuhan yang maha pengasih, ia bilang bahwa akan mengabdikan sisa hidupnya untuk ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan tentang bom hydrogen lebih tepatnya. Di akhir pidatonya, ia berdoa semoga dunia diliputi kedamaian. Padahal dalam hati kecilnya ia belum merasa damai, ia masih menyisakan dendam kepada orang-orang berkulit kuning yang bermata sipit. Ya, kau benar! Tidak ada yang lebih jahat dibanding orang yang membenci begitu banyak orang sekaligus.
Setelah lama hidup, akhirnya ia mati juga. Ia dikuburkan dengan terhormat. Dan entah orang dungu mana yang menulis di atas nisannya: Seburuk apapun hidup ini layak dijalani dengan syukur.
Selesai.
Inspired by Timequake by Kurt Vonnegut.