Halaman

Minggu, 31 Maret 2013

Sebuah Pesan dari Sahabat


“Teruslah menjalani hidup kawan!” Katanya kepada si pemuda pada sebuah percakapan sore itu.

“Walaupun segalanya kelihatan sulit untuk di lakukan. Jangan kalah dengan keadaan. Jadilah hiu yang tetap tawar walau hidup di air asin.” ia melanjutkan.

Sabtu, 30 Maret 2013

Sebuah Percakapan Dalam Perjalanan

Langit menitikan tetes-tetes air seperti menangis ketika bus yang ditumpangi pemuda itu memasuki gerbang tol. Ia mulai menata posisi yang enak untuk tidur. Sebenarnya ia ingin bercakap-cakap dengan seorang. The art of traveling! Katanya dalam hati. Tapi biarlah, sepertinya aku dan dia terlalu lelah untuk berdiskusi. Aku pun sudah merasa ngantuk dan ingin tidur.

Tapi akhirnya, pemuda itu bercakap-cakap dengan seorang laki-laki muda yang hingga akhir perjalanan ia belum sempat mengenal namanya, bahkan ia tidak yakin apakah laki-laki yang ia ajak bicara itu nyata atau hanya sebuah bunga tidur dari pohon labirin pikiranya yang sumpek.

“Mau kemana, Bang?” Sapa laki-laki asing yang tiba-tiba duduk di sampingnya, tanpa prolog perkenalan nama atau berjabat tangan. Begitulah negri itu, antara dua orang yang belum kenal dapat saling bercakap-cakap. Tidak jarang obrolan itu diakhiri dengan keengganan meneruskan percakapan.

“Mau ke negeri Nirwana!” Sahut pemuda itu tanpa menoleh, dan memulai memjamkan mata.

“Saya tanya serius, Bang!” Laki-laki itu ngeyel.

“Oke, saya ingin pergi ke Negeri Romansa. Puas?!” Pemuda itu terpancing pertanyaan si laki-laki.

Mereka meneruskan percakapan.

“Bawaannya banyak sekali! Apa nggak repot?”

“Begini, Mas! Anda tentu pernah membaca buku tentang perjalanan kan?” tanya pemuda itu retoris, seperti ingin membuka percakapan yang lebih panjang.

“Nggak! Saya belum pernah membaca buku semacam itu!”

“Isinya sederhana, yaitu tentang perjalanan dan hal-hal yang berhubungan dengan perjalanan.” Pemuda itu berimprovisasi, “Inti isi buku itu adalah memberi tahu kita macam-macam orang yang melakukan perjalanan. Anda tahu, termasuk jenis apa anda ini?”

“Nggak! Ngak pernah mikirin juga.” Jawab laki-laki itu sekenannya.

“Ya, menurut buku itu, dilihat dari barang bawaan anda, anda adalah jenis orang yang sering bepergian kebanyak tempat dengan mobilitas yang tinggi. Anda begitu simpel.”

“Ya benar! Oh kalau begitu, jika dilihat dari barang bawaan Abang yang banyak, Abang termasuk seorang yang jarang melakukan perjalanan. Betul?”

“Hahaha...” tawa pemuda itu renyah. Laki-laki simpel itu telah terjebak dalam logika yang salah, “anda terlalu cepat mengambil kesimpulan, Mas! Aku dipaksa membawa buah-buahan dari kebun oleh Bapakku.”

Bus transit pada sebuah restoran megah. Beberapa orang turun untuk membeli makanan, minuman atau buang hajat. Satu dua pedagang asongan mulai menaiki bus yang telah diparkir di depan restoran itu. Suasana ribut, tapi kedua manusia itu tidak sedikitpun terusik dengan segala hiruk pikuk itu.

“Oh, isinya buahan toh!?” tanya laki-laki simpel penasaran.

“Ya, hampir setengahnya.”

“Untuk siapa?”

“Untuk sedulur-sedulurku di Negeri Romansa.”

Bang. Sudah berapa kali anda kesana?” tanggap laki-laki simpel berambut lurus itu, seperti mencoba memperlihatkan bahwa ia juga punya pengetahuan tentang tempat yang ingin dituju si pemuda, “Bukankah disana ada segala macam jenis buah?!”

“Hahaha...” pemuda bertubuh kurus itu kembali tertawa renyah. Ia seperti telah menyimpan antisipasi-jawaban yang bagus untuk pertanyaan itu. Ia kembali berteori, “ternyata buku itu benar! Mas merupakan pejalan yang berpikiran sederhana. Kesederhanaan itu menandakan Mas adalah seorang yang moderen.” Ia sedikit memujinya. Mengangkatnya tinggi ke langit-langit kesombongan. Berharap laki-laki itu terangkat jauh tinggi. Lebih tinggi lebih bagus. Lebih sakit jatuhnya. Apalagi ditambah dengan sedikit bantingan.

“Oya? Terima kasih!” jawab laki-laki itu termakan pujian. Terbang tinggi.

“Dan anda tahu, orang-orang moderenis seperti andalah yang banyak merusak kebudayaan bangsa ini.” Kalimat bantingan.

“Omong kosong! Gak ada hubungannya dong!” Kecipak air emosi mulai terdengar kembali dari laki-laki itu. Sepertinya, bantingan kata-kata itu cukup telak.

Bodoh! Ya tentu ada.” Jawab pemuda itu tak kalah emosi. Percakapan mulai memanas. Debat itu semakin menampakan ciri-ciri perdebatan pepesan kosong. Tanpa mereka sadari bus yang mereka tumpangi telah sepi penumpang sebelum sampai tempat tujuan si pemuda. Banyak penumpang yang turun di tengah jalan. Kondektur yang sedari awal acuh dengan percakapan tidak mutu itu, memberi tahu bahwa bus tidak sampai tujuan akhir karena penumpangnya terlalu sedikit. Penumpang yang tersisa diharap pindah ke bus lain yang telah disediakan. Antara keadaan sadar dan tak sadar, dua orang itu berpindah ke bus lain yang telah disediakan. Namun perpindahan bus itu tidak membuat emosinya surut. Ia meneruskan teori anehnya.

“Apa seseorang yang kau beri sesuatu yang kau tanam sendiri, kau rawat, kau pelihara sejak kecil, sama dengan ketika kau memberi orang itu sesuatu yang kau beli di pasar dengan setentengah hati, dengan menawar harga yang tak pantas? Jelas berbeda tolol!”

“Bang! Please stop calling me stupid!” perang sepertinya baru akan dimulai.

“Oke, maaf!” pemuda itu melemahkan suaranya, seperti membuat strategi perang baru. Dengan kata-kata yang telah ia susun dalam kepalanya ia meneruskan, “Kita ini orang timur, Mas! Orang-orang sosialis. Hormatilah budaya kita sendiri.”

“Tapi gak semua budaya baik, toh! Orang-orang barat juga menyebut budanya mereka yang baik. Bukankah itu berarti budaya itu relatif, Bang!”

“Aku setuju.” Pemuda itu menarik kesimpulan, “Oleh kerena itu, ketika di timur ikuti adat istiadat dan kebiasaan mereka. Jika dibarat jadilah individualis seperti mereka. Supaya kita tidak dikatakan aneh. Lagipula bukankah mas sendiri orang timur? Aneh jika mas nggak enjoy dengan budaya sendiri.”

Laki-laki simpel menjawab santai, “Dunia terus berkembang. Seiring pemikiran orang-orang di dalamnya. Informasi semakin mudah diperoleh. Apakah itu nggak bisa jadi pertimbangan?”

Mereka terdiam. Diam kontemplatif. Entah sampai berapa lama.

Nun jauh di sebuah desa di kota tujuan si anak, seorang nenek lumpuh sedang menunggunya cemas.

Allah

Kawan gue pernah adu jotos dengan orang karena alasan “agama”. Jadi ceritanya, ada orang yang nurunin dan merobek-robek spanduk iklan seda motor di depan rumahnya. Waktu ditanya kenapa, eh dia malah makin marah-marah sambil ngomong, “Gak ada yang boleh masang spanduk Yamaha. Karena Yamaha itu hanya untuk tuhan. Allahu akbar! Allahu akbar!”
Gue rasa dia itu orang stress yang nggak lulus ulangan Bahasa Indonesia.
Tentang Tuhan, Ali bin Abi Thalib, dalam kitab Nahjul Bhalaghoh,  menulis...
Segala puji bagi Allah yang tiada pembicaraan manapun mampu meliputi segala pujian bagi-Nya. Tiada penghitung manapun mampu mencakup bilangan ni’mat karunia-Nya. Tiada daya upaya bagaimanapun mampu memenuhi kewajiban pengabdian kepada-Nya. Tiada pikiran sejauh apapun mampu mancapai-Nya, dan tidak ada kearifan sedalam apapun mampu menyelami hakikat-Nya.

Sifat-Nya tidak terbatasi oleh lingkungan, tidak terperikan oleh ungkapan, tidak terikat waktu dan tidak menjumpai kesudahan.

Dialah yang Maha Esa seperti yang dinyatakan-Nya tentang diri-Nya. Tiada  mungkin ditentang oleh siapapun dalam kerajaan dan kekuasaan-Nya. Tiada Ia akan pernah musnah. Bahkan Ia “ada” selalu untuk selama-lamanya. Keadaan-Nya yang satu tiada mendahului keadaan-Nya yang lain. Maka tiadalah Ia (menjadi) Yang Awal sebelum Dia menjadi Yang Akhir, atau Yang Zahir sebelum Yang Batin. Dialah Yang Pertama tanpa permulaan. Yang Terakhir tanpa kesudahan. Pengetahuan tentang sifat-sifat ketuhanan-Nya terlalu agung untuk dicapai oleh perasaan hati dan pandangan akal.

Dia maujud bukan karena suatu ciptaan. Bukan pula muncul karena ketiadaan. Dia “ada” bersama dengan segala sesuatu namun tidak dengan suatu kesertaan. Bukan  pula Dia lain dari segala sesuatu disebabkan keterpisahan darinya. Dia adalah pelaku namun tidak (menggunakan) gerak atau pun alat. Maha Melihat meskipun belum ada makhluk apapun. Sendiri disebabkan sesuatu yang dengannya Ia merasa terikat, ataupun gelisah bila Ia terpisah darinya.

Dimulainya ciptaan-Nya tanpa pola sebelumnya, atau kebimbangan yang meliputi-Nya, atau pengalaman yang diperoleh-Nya, atau gerakan yang dibuat-Nya, atau keinginan jiwa yang mendorong-Nya.

Tidak diciptakan makhluk-makhluk-Nya untuk memperteguh kekuasaan. Atau karena ketakutan akan akibat-akibat (pergantian) zaman. Atau demi membantu melawan tandingan yang memerangi, atau sekutu yang berbangga dengan kekayaan, atau musuh  yang menantang dengan besarnya kekuatan. Mereka hanyalah makhluk-makhluk-Nya yang diperhambakan atau budaknya yang hina dina.

Tiada Ia “mendiami” sesuatu sehingga dapat disebut Ia “ada” di sana. Tidak menyulitkan bagi-Nya penciptaan yang dimulai-Nya, ataupun pengaturan apa saja yang telah selesai dibuat-Nya. Tiada pernah Ia diliputi ketidakmampuan dalam segala yang Ia ciptakan-Nya, dan tiada pernah Ia dimasuki kebimbangan tentang apasaja yang dilaksanakan-Nya. Semua itu bersumber pada ketetapan amat teliti, pengetahuan yang amat tepat dan urusan yang terikat  kuat.

Perintah-Nya pasti terlaksana dengan penuh hikmah. Ridha-Nya membawa keselamatan dan rahmah. Ia menciptakan segalanya dengan pengetahuan yang mendalam. Mengampuni hambanya dengan kemurahan yang luas.

Dialah yang didambakan pada setiap bencana yang mencekam, dan dari Dialah diharapkan datangnya segala keni’matan.

Kamis, 28 Maret 2013

Tentang Tagline Blog Ini


Waktu kelas tiga Aliyah, Kiyai Syarifuddin masuk kelas untuk mengajar Musthalah Hadits. Pada pertemuan pertama itu, gue dan kawan-kawan sekelas diberikan sebuah Hadits Musalsal bil Awwaliyah (Hadist yang setiap perawinya saling mengikuti di dalam suatu sifat tertentu, baik dalam bentuk ucapan, keadaan atau perbuatan. Untuk Hadits yang gue terima dari Kiyai Syarif ini bentuknya bil Awwaliyah yaitu keadaan dimana beliau pertamakali mengajarkan muridnya Hadits)
Gue lupa Sanad Hadits tersebut tapi Matan Hadits itu berbunyi, “Ar-rãhimüna yarhamuhumur Rahmãn Tabaraka Wataala. Irhamuu man fil ardhi yarhamkum man man fissamã'”
Artinya adalah, “Para penyayang akan selalu disayangi oleh Sang Maha Penyayang. Sayangilah mereka yang ada di bumi, maka kalian akan disayangi oleh mereka yang ada di langit.”
Hadits tersebut melekat di dalam pikiran dan hati gue dari pertama kali dibacakan Kiyai Syarif sampai sekarang, dan menjadi tagline blog ini.

Hidup Memang Selalu Punya Solusi

Gue nggak suka Indomie karena telah menghina penulis. Istri gue nggak suka Sarimi karena slogan iklannya yang dinyanyikan Ayu Ting Ting menganjurkan poligami, "Sarimi.... Sarimi Istri Dua...". Untungnya masih ada Supermie.

Senin, 25 Maret 2013

Menelpon Kawan Lama

Ngobrol dengan kawan lama itu selalu menyenangkan dan terkadang membuka perspektif baru.
Kemarin gue ngobrol sama dua orang kawan lama. Pertama Nath, “Hallo, assalamualaikum.” kata gue ditelpon.
“Woy, Bro. 'Alaikum salam.”
“Lo lagi ngapain?”
“Makan.”
“Oh gue kira lagi ngajar.”
“Ngajar apaan hari Minggu gini? Di gereja?”
Heh, nggak ada yang lebih mencairkan suasana selain becanda dengan kawan lama. Kemudian kita ngobrol ngalor-ngidul membicarakan segala hal. Dan hari itu gue tahu istrinya sedang ada di bidan untuk melahirkan putra pertama mereka. Sementara dia harus pulang menemani istrinya karena saat itu ia sedang berada di luar kota.
Neti adalah kawan kedua yang gue telpon, “Hallo, apa kabar.”
“Baik. Kamu gimana?”
“Baik juga. Lagi dimana?”
“Di Palembang nih. Mungkin besok baru mau ke Jawa.”
Pembicaraan kembali ngalor-ngidul dan entah dari arah mana kemudian dia menceritakan kegagalan pertunangannya beberapa tahun lalu. Padahal gue sama sekali nggak menyinggung masalah pasangan. Gue tahu dia masih single dan dia tahu gue udah menikah. That’s all what we know. And absolutely I don’t want to ask her, “why are you still single?”. That’s crazy question, I think.
Gue bingung bagaimana cara merespon kawan lama yang bercerita tentang kegagalan pertunangannya. Yang keluar dari mulut gue kemudian, “Jodoh nggak ada yang tahu kan.”
Memang terkadang tuhan lama memberikan jodoh kepada seseorang. Seperti kawan yang terakhir gue telpon. Namun juga seperti kawan gue yang sedang bahagia dengan anak pertamanya, terkadang Tuhan mempertemukan dua orang yang begitu cocok dengan cepat. Seperti sebuah mukjizat. Sampai-sampai mungkin kita ragu dan berpikir: apa mungkin impian seseorang terkabul begitu saja dengan mudahnya?
Sebagian orang mencoba mengujinya. Deddy Corbuzier mencoba menguji dengan pasangannya dengan cara bercerai. Seperti dalam cerita Haruki Murakami, mungkin dia bilang ini ke istrinya, “Mari kita uji diri kita —sekali ini saja. Jika kita memang pasangan yang sempurna untuk satu sama lain, maka di suatu saat, di suatu hari, kita pasti bersatu lagi. Kita saling merindukan, kita saling membutuhkan. Bukankah kita nggak pernah tahu apa yang kita miliki hingga nanti kita kehilangan. Dan ketika kita bertemu dan menyatu kembali, dan kita tahu bahwa kita adalah pasangan yang sempurna satu sama lain, maka kita akan menikah lagi saat itu juga. Bagaimana?”
Dan mereka menyetujuinya. Mungkin mereka akan tetap berpisah, mungkin mereka akan bersatu kembali, atau mungkin bisa juga yang lainnya. Takdir memang punya jalan yang terkadang sulit diduga.

Cinta Punya Cerita

Belum selesai keheranan gue akan bagaimana manusia mati kemudian hidup kembali menjadi zombie, muncul cerita tentang zombie yang bisa jatuh cinta dengan manusia. Padahal kisah cinta beda kasta ini pasaran, mulai dari Siti Nurbaya dan Syamsul Bahri, Romeo dan Juliet,  bahkan Vampir dan manusia. Karena Cinta, bagaimanapun absurdnya, pasti punya cerita.

Selasa, 19 Maret 2013

Tentang facebook yang Tidak Aktif Itu

Dari bulan kemaren facebook gue memang nggak aktif. Banyak kawan yang nanya kenapa. Diantara mereka adalah istri gue, kemudian istri gue dan istri gue. Oke, oke, nggak ada yang nanyain facebook gue memang selain dia.
Yah, memang keberadaan gue di facebook nggak berpengaruh besar terhadap perdamaian dunia. Hahaha… the life just goes on without me in facebook. And I'm getting used to life without it.
Ada beberapa alasan kenapa gue menonaktifkan akun itu dan alasan ini juga bisa dipakai untuk menjelaskan kenapa nggak ada postingan sama sekali di bulan kemarin. Alasannya adalah gue sedang menulis sebuah naskah untuk di ajukan ke penerbit. Saat ini naskah tersebut sudah final draft. Jumlah halaman juga sudah tercukupi.
Gue selalu merasa ada hal yang kurang ketika naskah sudah mencapai final draft. Mungkin ini nggak hanya terjadi kepada gue tapi juga penulis-penulis lain. Jangankan naskah yang belum diterbitkan, bagi penulis, ada rasa “gatal” ketika membaca bukunya yang sudah diterbitkan dan melihat ada celah yang mungkin bisa ditambahkan untuk membuatnya lebih sempurna. Mungkin itu juga yang terjadi kepada Andrea Hirata terhadap naskah “terjemhan”-nya. Ia tergoda untuk mengubah isi dari naskah ‘terjemahan’ itu.
Ya begitulah yang terjadi pad gue saat ini. Gue ngerasa final draft itu masih belum sempurna, tapi terkadang nggak tahu apa lagi yang harus ditambahkan. Atau memang sudah fitrahnya manusia untuk tidak pernah sempurna?

Kau Tahu Kawan #5

Kau tahu kawan, "1000 % tidak benar" mungkin adalah cara lain untuk mengatakan "100 % benar". Karena kebohongan memang punya berbagai macam bentuk.