Halaman

Sabtu, 03 Januari 2015

Menjadi Pemaaf

Muhammad Rasulullah dan Zaid baru saja meninggalkan rumah tempat pertemuan dengan tiga tokoh masyarakat Bani Tsaqif di kota Thaif,  ketika tak lama kemudian penduduk kota itu, berhamburan keluar dari rumah mereka, menyoraki, mencaci maki, dan berteriak menghina Rasul.

Semua tumpah ruah. Kaum dewasa dan bahkan juga anak-anak, mulai melempari keduanya dengan batu dan apa saja. Zaid berusaha melindungi Rasul. Batu terus beterbangan. Darah bercururan dari tubuh keduanya. Rasulullah dan Zaid terus berlari sejauh mungkin menghindari murka penduduk Thaif. Dengan amarah dan beringas, penduduk Thaif tetap mengejar. Sampai akhirnya, setelah jauh berlari dari kejaran penduduk Thaif, mereka tiba di suatu tempat bernama Qarnis-Tsa’alib. Lelah dan sakit merasuki tubuh keduanya.

Di angkasa, sekumpulan awan seperti meneduhi keduanya yang sudah letih berlari menyelamatkan nyawa. Saat itulah Rasulullah mendengar ucapan salam dari Jibril, “Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah telah mendengar apa yang dikatakan kaum Tsaqif serta jawaban mereka atas ajakanmu. Bersamaku ini adalah malaikat penjaga bukit yang diutus Allah untukmu. Maka perintahkanlah apa saja yang Engkau kehendaki. Seandainya Engkau ingin dia menghimpitkan bukit Abu Qubais dan bukit Ahmar ke tubuh dan seluruh perkampungan mereka, niscaya dia akan melakukannya!”.

Sekumpulan awan memang meneduhi keduanya, namun lelah yang luar biasa dan sakit dari luka akibat lemparan batu masih perih beliau rasakan. Bukan hanya itu, di tahun tersebut, dua orang yang sangat dicintai oleh Rasul, dua pelindung beliau, telah berpulang. Abu Thalib, sang paman, dan isteri tercinta, Khadijah. Tahun itu disebut oleh para pakar sejarah Islam sebagai tahun kesedihan.

Di tahun kesedihan seperti itu, Muhammad Rasulullah mendapat perlakuan yang keji dari kaum Tsaqif. Mereka berteriak teriak melecehkannya dengan berbagai umpatan dan kata-kata kotor. Konon, dengan nada sinis, seorang dari mereka berteriak bertanya mengapa Allah sudah begitu lemah sehingga harus mengutus seorang seperti Muhammad, meminta-meminta perlindungan kepada kaum Tsaqif! Di saat sedih, duka dan terluka seperti itu, Jibril menawarkan untuk membalas perbuatan mereka.

Apakah nabi menerima tawaran itu? Tidak. Dengan segala kebaikan hati, Muhammad yang mulia menolak tawaran itu. Beliau bahkan berdoa agar Allah memberi hidayah kepada mereka, dan mendoakan agar keturunan mereka menjadi orang-orang yang akan menyembah Allah semata.


***

Kelahiran Muhammad mungkin bisa mengingatkan kita bahwa setiap orang mampu menumbuhkan Muhammad dalam dirinya. Muhammad adalah “Sang Terpuji”, yaitu manusia yang seluruh tindak-tanduknya memberikan ketenteraman, teladan, dan cahaya bagi semua manusia dan alam semesta.

Belajar dari peristiwa Thaif, kita ditunjukkan oleh Rasulullah sikap ketika menghadapi kezaliman. Jika mengingat peristiwa yang dihadapi rasulullah, apakah kita masih akan terus menutup pintu maaf bagi saudara sendiri karena hal-hal kecil? Padahal Muhammad yang mulia mencontohkan ketika beliau disiksa, dihina, dicaci maki, disoraki, difitnah, bahkan dianggap sesat di Thaif, masih memaafkan bahkan tanpa diminta.

Memberi maaf adalah perbuatan yang mudah tapi sangat sulit dilakukan. Kita senang memaafkan kesalahan orang lain bila orang lain itu mau mengakui kesalahannya terlebih dulu, padahal Rasulullah tidak pernah meminta kepada mereka yang telah menyakiti untuk mengakui kesalahannya. Begitulah yang ia lakukan ketika berhasil menaklukan kota Mekah, ketika Fathu Makkah.

Selamat memperingati Maulid Nabi Muhammad Salawllahu Alayhi Wasallam. Semoga kita semua bisa melahirkan sifat-sifat kemuhammadan dalam diri kita, memancarkan cahaya terpuji dalam tindakan dan perilaku keseharian kita, meneruskan teladan terbaik dari sebaik-baiknya manusia yang pernah dilahirkan di muka bumi.

Shollu ‘ala Muhammad!

Disusun dari berbagai sumber: