Seorang murid datang bertemu gurunya, “Guru, beritakan
kepadaku tentang kebaikan dan kejahatan.”
“Menjadi baik atau menjadi jahat itu mudah,” sang guru, yang
kepalanya telah penuh dengan uban, berucap dengan nada datar, “yang sulit
adalah bertahan untuk menjadi salah satu dari keduanya.”
Sang murid menegakkan duduknya, tertarik dengan penjelasan
yang baru saja ia dengar.
Pria beruban itu meneruskan, “Seorang yang ingin bertahan
untuk selalu berbuat baik, perlu motivasi yang tinggi. Begitu juga ketika
seorang ingin bertahan untuk selalu berbuat jahat. Keduanya perlu motifasi yang
tinggi.”
“Apa yang memotifasi orang untuk berbuat baik, Guru?”
“Menurutmu apa?” sang guru balik bertanya.
Setelah berpikir sejenak, anak muda itu berkata, “Mungkin
agama.”
“Mungkin agama,” sang guru mengulang, sambil menata
kalimatnya ia kembali bertanya, “bagaimana kamu melihat orang-orang yang
mengaku beragama tetapi melakukan pembantaian?”
“Menurutku itu tergantung manusianya, Guru.” Sang murid
menjawab cepat, “Bisa juga ia tidak taat terhadap ajaran agama yang ia anut,
sehingga berbuat jahat. Karena prinsipnya, agama mengajarkan berbuat baik
kepada sesama, kepada yang seiman ataupun tidak. Begitu menurutku, Guru.”
Sang guru tersenyum, tidak berkomentar.
Setelah diam cukup lama, sang murid kembali bertanya,
“Apakah ajaran agama bisa dijadikan motif dan penguat untuk seseorang melakukan
kejahatan?”
“Bisa saja.” Sang guru berujar, masih dengan suara datar,
“Sebagaimana orang yang tidak beragama juga bisa melakukan kejahatan dengan
motif yang berbeda-beda.”
Sang murid pulang dengan pikiran yang lebih cerah. Orang
yang percaya kepada Tuhan bisa saja berbuat jahat, sebagaimana juga orang yang
sama sekali tidak percaya kepada Tuhan bisa saja berbuat baik, begitu yang ada
dalam pikirannya. Kejahatan dan kebaikan tidak berkaitan lurus dengan keimanan
seseorang. Iman itu baik, tapi keimanan saja tidak cukup.