Halaman

Kamis, 10 Maret 2016

Kejahatan vs Kebaikan



Seorang murid datang bertemu gurunya, “Guru, beritakan kepadaku tentang kebaikan dan kejahatan.”

“Menjadi baik atau menjadi jahat itu mudah,” sang guru, yang kepalanya telah penuh dengan uban, berucap dengan nada datar, “yang sulit adalah bertahan untuk menjadi salah satu dari keduanya.”
Sang murid menegakkan duduknya, tertarik dengan penjelasan yang baru saja ia dengar. 

Pria beruban itu meneruskan, “Seorang yang ingin bertahan untuk selalu berbuat baik, perlu motivasi yang tinggi. Begitu juga ketika seorang ingin bertahan untuk selalu berbuat jahat. Keduanya perlu motifasi yang tinggi.” 

“Apa yang memotifasi orang untuk berbuat baik, Guru?” 

“Menurutmu apa?” sang guru balik bertanya. 

Setelah berpikir sejenak, anak muda itu berkata, “Mungkin agama.” 

“Mungkin agama,” sang guru mengulang, sambil menata kalimatnya ia kembali bertanya, “bagaimana kamu melihat orang-orang yang mengaku beragama tetapi melakukan pembantaian?”

“Menurutku itu tergantung manusianya, Guru.” Sang murid menjawab cepat, “Bisa juga ia tidak taat terhadap ajaran agama yang ia anut, sehingga berbuat jahat. Karena prinsipnya, agama mengajarkan berbuat baik kepada sesama, kepada yang seiman ataupun tidak. Begitu menurutku, Guru.” 

Sang guru tersenyum, tidak berkomentar. 

Setelah diam cukup lama, sang murid kembali bertanya, “Apakah ajaran agama bisa dijadikan motif dan penguat untuk seseorang melakukan kejahatan?”

“Bisa saja.” Sang guru berujar, masih dengan suara datar, “Sebagaimana orang yang tidak beragama juga bisa melakukan kejahatan dengan motif yang berbeda-beda.” 

Sang murid pulang dengan pikiran yang lebih cerah. Orang yang percaya kepada Tuhan bisa saja berbuat jahat, sebagaimana juga orang yang sama sekali tidak percaya kepada Tuhan bisa saja berbuat baik, begitu yang ada dalam pikirannya. Kejahatan dan kebaikan tidak berkaitan lurus dengan keimanan seseorang. Iman itu baik, tapi keimanan saja tidak cukup.