Halaman

Jumat, 30 Desember 2022

Peluk

Hutan hijau mulai senyap. Daun-daun pohon diam tengadah pada langit. Malam numpang tidur di kepalaku sambil membawa gerombolan kata-kata.

Di sebuah persimpangan jalan hujan turun rintih-rintih. Di bawah sinar lampu jalan ia menitis bagaikan ribuan jarum runcing yang menusuk aspal kemudian pecah. Orang-orang menarik sleting jaket dan memasukan tangan ke kantung, kamu tidak peduli dan tetap hangat seperti tahun baru.

Setiap usaha yang melarangku dekat denganmu akan siasia karena aku adalah ingatan yang tidak pernah sudah memelukmu dengan segala bahasa. Sampai tiba masa ketika segala sesuatu bisa bicara kecuali kata.

Pelukan adalah nama lain puisi, sepasang lengan yang mendekap tubuh penuh kecemasan, tempat kata-kata istirahat dan tubuh menari mencari makna.

Meminta cinta kepada peluk adalah sesuatu yang fatal akibatnya, karena ia tidak tahu cara untuk berdusta.

Kepada peluk kamu berpesan,
“Jika nanti malam aku sudah lelap,
tidak perlu meminta ijin untuk memeluk,”

Angin bertiup menggoyang dedaunan, berlarian di sela ranting-ranting kemudian menabrak dahan, sayup-sayup membisikan kabar tentang masa lalu dan masa depan.

Sehabis itu sepi.

Kamu tahu: masa lalu dan masa depan adalah hutan belantara yang hanya bisa kamu rasakan degupnya dalam dada.

Malam tenggelam. Di jendela kamu lihat pagi lebih cerah dari biasa.

Dan kamu mengerti mengapa tubuh adalah bahasa yang tidak pernah gagal mengungkap kita.


2022



Jumat, 23 Desember 2022

Sekolah Murid Merdeka; Semua Murid, Semua Guru

Pada tahun 2019 --tahun pertama SMM dibuka, ketika mencari PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) untuk keperluan memperoleh ijasah SD Nada, kami menemukan SMM (Sekolah Murid Merdeka).
 
Salah satu alasan keluarga kami memutuskan Homeschooling adalah karena kami menganggap Sekolah Konvensional terlalu banyak memasukan mata pelajaran yang seringkali sudah tidak relevan dan kurang dibutuhkan anak. Di Sekolah Murid Merdeka, sebagaimana kita bisa tebak dari namanya, menerapkan Kurikulum Merdeka yang salah satu karakteristiknya adalah pengurangan cakupan materi dibanding kurikulum nasional sebelumnya.

Sering sekali saya menemukan ekspektasi yang tidak realistis baik dari orangtua atau siapapun tentang kemampuan murid dan juga kemampuan guru terkait konten pelajaran. Di era informasi sekarang ini, intensi untuk melengkapi pengetahuan murid dengan pelajaran yang “just in case diperlukan" memang semakin menjadi-jadi, namun desainer kurikulum yang baik, seharusnya bisa memilih relevansi bukan hanya pada zaman tapi juga pada keunikan, kondisi sosial anak atau personalisasi.

Sama dengan Homeschooling, kostumisasi atau personalisasi adalah hal yang seharusnya ada dalam sistem pendidikan kita. Pendidikan yang memberi ruang untuk keunikan anak sehingga potensi terbaik mereka bisa jauh lebih berkembang. Contoh paling sederhana dalam hal personalisasi di SMM adalah anak-anak dibebaskan untuk mengerjakan tugas menggunakan hal yang mereka kuasai dan senangi. Bisa melalui visual, gambar, atau video, bisa berbentuk tulisan atau karya sastra, musik atau yang lainnya. Di SMM perbedaan dan ide selalu dihargai.

Personalisasi hanya akan mungkin terjadi apabila isi kurikulum memberi ruang dan waktu yang cukup kepada murid untuk bereksplorasi, lewat pendekatan yang menempatkan murid sebagai pengendali proses belajarnya sendiri. SMM yang digagas oleh Najelaa Shihab memang dirancang untuk menjadi sekolah dengan kurikulum yang berpihak pada anak atau murid. Keberpihakan pada murid ini, selain lebih mengakomodir personalitas siswa juga lebih kontekstual dan relevan. Dalam sebuah artikel Najelaa menjelaskan bahwa ada dua pertanyaan yang lazim berulang dalam musyawarah Guru tentang cakupan kurikulum di SMM, yaitu:
  1. Di antara semua yang menarik untuk menjadi cakupan kurikulum, mana yang akan berguna bagi murid 5-10-20 tahun yang akan datang saat saya sebagai guru bertemu mereka di masa depan?
  2. Jika ini penting diajarkan, apakah sekarang, di periode usia/jenjang pendidikan ini adalah waktu tertepat berkaitan tingkat kesiapan anak untuk anak belajar?
Cakupan kurikulum memang selalu soal prioritas. Sehingga kurikulum yang baik adalah kurikulum yang kontekstual. Seringkali, ada topik yang sebenarnya bagian yang esensial untuk generasi Z, tapi terlewat dalam cakupan kurikulum, contohnya tentang pendidikan seksualitas atau spiritualitas, atau juga materi lintas jenjang seperti materi terkait demokrasi dan kebangsaan.

Salah satu hal yang juga perlu dipikirkan oleh perancang kurikulum adalah memilih materi yang paling berkait dengan bidang ilmu lain. Materi lintas jenjang dan lintas mata pelajaran ini penting dipikirkan agar semakin terjadinya kesinambungan dalam pembelajaran. Otonomi guru dalam kontekstualisasi kurikulum ini juga perlu dibarengi dengan adanya “tes relevansi” untuk setiap materi yang bukan hanya dilakukan satu tahun ajaran sekali, tetapi terus berefleksi guna memenuhi kebutuhan dan kondisi murid.

Usaha tersebut sedang dan terus dilakukan oleh SMM. Hasil karya berkait ini, menjadi inti asesmen yang juga berulang, diobservasi dan dinilai lintas tahun ajaran. Salah satu contohnya adalah menghasilkan paragraf esai. Karena kemampuan membuat pernyataan dan kesimpulan, menjelaskan latar belakang dan mendeskripsikan kompleksitas dengan pemilihan kata, kelancaran kalimat dan konvensi yang tepat adalah salah satu aspek kompetensi yang dibutuhkan lintas profesi.

Keistimewaan SMM yang saya sebutkan di atas memang terdengar mewah dan ideal, namun sayangnya banyak orangtua murid SMM yang terkadang luput memahami bahwa tradisi tanggungjawab orangtua di SMM berbeda dengan paradigma lama yang menyerahkan sepenuhnya anak ke sekolah tanpa peduli lagi. Di SMM ada slogan "semua murid, semua guru". Itu bukan slogan kosong tanpa realisasi namun ingin dijadikan budaya yang melekat. Slogan itu berarti adanya kemauan dari semua pihak baik sekolah, guru, murid juga orangtua untuk bisa terus belajar dan mendidik, untuk membuka pikiran, bergerak saling membantu, bermakna. Dengan begitu, diharapkan orangtua dan sekolah mampu menciptakan kolaborasi atau kerjasama. Kolaborasi itu juga terjalin antara orangtua dan murid, dimana orangtua memiliki peran terpusat saat anak belajar di rumah, walaupun tidak berarti orangtua yang bekerja tidak bisa menerapkan budaya ini. Pendampingan yang dimaksud adalah pendampingan dalam hal moral, dukungan dan ikut terlibat dalam diskusi dengan anak. Pendampingan seperti itu menjadi hal penting untuk bisa mendukung semangat belajar anak yang pada akhirnya mewujudkan ekosistem Merdeka Belajar.

Merek Merdeka Belajar juga awalnya dimiliki SMM atau Sekolah Cikal (sekolah yang menginisiasi SMM) yang akhirnya diberikan ke pemerintah yang kemudian dijadikan payung besar kebijakan pendidikan nasional. Merdeka Belajar sendiri adalah ekosistem dalam dunia pendidikan yang dikembangkan untuk meningkatkan kompetensi, kolaborasi dan inovasi semua pemangku kepentingan, mulai dari guru, orangtua, komunitas dan organisasi. Cakupannya cukup luas, salah satunya adalah menciptakan Kurikulum Merdeka, yaitu kurikulum yang lebih fleksibel, sekaligus berfokus pada materi esensial dan pengembangan karakter dan kompetensi peserta didik. Kurikulum yang mengacu pada pendekatan bakat dan minat, sehingga peserta didik dapat memilih pelajaran apa saja yang ingin dipelajari sesuai passion melalui pembelajaran intrakurikuler yang beragam. Namun kurikulum hanyalah alat, yang membuat itu berarti adalah manusia di belakangnya yang secara kreatif bisa membuat kurikulum tersebut berjalan sesuai tujuan.

Saya pernah beberapa tahun menjadi Guru, dan sejauh pengalaman saya, sulit untuk mengubah budaya korup dan stagnasi dalam jajaran birokrasi Kementrian Pendidikan ini. Bagi orang-orang yang masih punya idealisme, masuk ke birokrasi pemerintah memang sering membuat frustasi. Mungkin saja perubahan di tingkat atas bisa lebih mudah dilakukan, namun sudah menjadi rahasia umum bahwa perubahan kebijakan, tidak menjamin perubahan di lapangan, apalagi paradigma usang tentang pendidikan yang sudah langgeng selama bertahun-tahun selalu menjadi penghambat utama reformasi.

Pertanyaannya kemudian adalah apakah Kurikulum Merdeka mungkin diterapkan dalam praktek di lapangan? Jawabannya tentu bisa. Mungkin memang bukan hal yang mudah, karena jika ada sekolah yang mencoba menerapkan konstektualisasi kurikulum ala Merdeka Belajar, pola ujian (assessment) dari pemerintah yang ada sekarang belum sama merdeka dan bisa mengakomodir. Bagaimanapun tidak akan bisa ada perubahan dalam upaya konstektualisasi kurikulum, tanpa perubahan di standar penilaian. Memang butuh proses dan ketekunan, SMM telah membuktikan bahwa upaya dan kolaborasi terus menerus bisa membuat semua itu semakin mudah diwujudkan.



Kamis, 08 Desember 2022

Kebahagiaan, Keselamatan dan Kemerdekaan

Sudah sejak lama para praktisi atau cendikiawan mencoba menjelaskan pertanyaan dasar tentang tujuan pendidikan. Berikut adalah beberapa diantaranya:
 
Aristoteles: Education is the creation of a sound mind in a sound body it develop men faculty especially his mind so that he may be able to enjoy the implementation of supreme court goodness and beauty of which perfect happiness essentially consist.

Al Ghazali: Tujuan pendidikan adalah mendekatkan diri kepada Allah sehingga menjadi manusia sempurna dan akhirnya membahagiakan hidup di dunia dan akhirat.

Ki Hajar Dewantara: Pendidikan menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada peserta didik agar sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan hidup yang setinggi-tingginya.

UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003: Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Ada banyak penjelasan tentang tujuan pendidikan dari para pakar atau pendidik yang lain, namun secara sederhana dari beberapa yang saya kutipkan di atas dapat disimpulkan dalam satu kata:

Kebahagiaan

Tujuan Pendidikan memang seharusnya dibuat umum dan luas, tidak hanya terbatas pada ukuran ketuntasan belajar yang sempit. Dari pengambilan kata dasar "didik" dan "ajar" saja sudah memiliki konotasi yang berbeda, maka konsep istilah untuk murid yang lebih tepat adalah anak didik dan konsep istilah untuk guru adalah pendidik. Mungkin itu terdengar sebagai istilah yang tidak terlalu penting, namun dari kata manusia jadi tahu pentingnya memahami konsep. Saya sering mendengar dari kawan-kawan pendidik yang menyatakan bahwa mereka tidak butuh mengerti konsep karena tanpa itupun mereka sudah melaksanakan dalam keseharian, jadi tidak perlu konsep atau pemahaman istilah yang macam-macam. Itu argumen yang tidak berdasar, karena narasi itu penting, kata-kata dan konsep itu penting. Saya setuju bahwa perbuatan lebih keras bersuara dari perkataan, namun tanpa memahami konsep, yang kita lakukan tidak bermakna atau paling tidak berkurang maknanya. Oleh karenanya konsep dan tindakan tidak bisa dipisahkan. Tindakan tanpa konsep adalah kebutaan, konsep tanpa tindakan adalah kelumpuhan.

Kembali lagi pada tujuan pendidikan, sebagian orang mungkin menganggap pintar, mudah mendapat pekerjaan, dan memperoleh status dalam masyarakat adalah tujuan pendidikan, namun ukuran seseorang disebut pintar, kaya, atau berkedudukan sangatlah relatif. Mungkin kita bisa menyebut ukuran seperti Cum Laude, 500 milyar dan anggota DPR. Pertanyaan selanjutnya bisakah semua murid mencapai semua tujuan-tujuan itu? Bukankah dengan ukuran tersebut berarti tidak semua murid sampai pada tujuan pendidikan? Atau yang lebih buruk, apakah kita akan membiarkan para murid melakukan hal apapun termasuk kecurangan untuk mencapai tujuan-tujuan itu? Bukankah banyak orang yang mencapai kepintaran, kekayaan, dan kedudukan dengan cara curang dan akhirnya berakhir tidak bahagia? Bukan berarti hal-hal tersebut tidak penting atau tidak bisa membuat bahagia, namun pintar, kaya, dan status jangan dijadikan tujuan tapi cara untuk memperoleh kebahagiaan. Sekali lagi cara, bukan tujuan, karena manusia bisa bahagia tanpa "kepintaran", "kekayaan" dan "jabatan".

Di sekolah konvensional, tujuan pembelajaran biasanya dinilai dengan ujian tertulis atau praktek, dan hasilnya diukur dengan KKM. Sepanjang melewati batas KKM maka tujuan pembelajaran tercapai. Tujuan pendidikan lebih luas dari tujuan pembelajaran, bahkan belum ada ukuran yang benar-benar jelas untuk menilai apakah tujuan pendidikan tersebut sudah tercapai atau belum. Ya, terkait kebahagiaan sebagai tujuan pendidikan, pertanyaan berikutnya adalah:

Bagaimana cara mengukur kebahagiaan?

Berbeda dengan tes akademik atau tes pada organ tubuh, kebahagiaan tidak bisa diketahui melalui ujian sekolah atau tes darah atau pemindaian tubuh. Sehingga salah satu ukuran yang bisa digunakan adalah memahami terlebih dahulu definisi kebahagiaan.

Ada karakteristik utama dalam bahagia yang bisa kita ketahui, yaitu kepuasan terhadap hidup atau momen yang sedang dijalani. Ibnu Athaillah menjelaskan bahwa semakin sederhana kebutuhan seseorang akan kebahagiaan, maka semakin besar kemungkinan orang itu untuk bahagia. Tentu kebutuhan seseorang dalam hal ini sangat subjektif dan berbeda-beda. Satu hal bisa membuat satu orang bahagia, tapi tidak untuk orang lain.

Aristoteles memetakan definisi bahagia ke dalam dua hal. Pertama Hedonia, yaitu rasa bahagia yang berakar dari hal menyenangkan. Umumnya, berkaitan dengan perasaan yang muncul saat melakukan hal disukai, menyayangi diri sendiri, mewujudkan impian, dan merasa puas. Kedua Eudaimonia, yaitu kebahagiaan yang berakar dari pencarian tentang makna hidup. Komponen penting dalam hal ini adalah perasaan memiliki tujuan hidup dan nilai. Oleh sebab itu, kaitannya sangat erat dengan pemenuhan tanggung jawab, perhatian terhadap kesejahteraan untuk orang lain, dan menjalani hidup sesuai idealisme.

Meik Wiking penulis buku The Little Book of Hygge: Danish Secrets to Happy Living menyatakan dengan lebih teknis bahwa kebahagiaan bukan hanya bersumber dari uang. Karena walaupun seseorang pasti merasa puas apabila dapat memenuhi kebutuhan dasarnya dengan uang, namun setelah itu, uang yang masih tersisa tidak akan mendatangkan kebahagiaan sama seperti titik awalnya. Ada law of diminishing return di sini. Artinya, kebahagiaan setinggi apapun seperti memiliki rumah sendiri pada akhirnya akan kembali datar.

Jadi adakah satu hal yang disepakati yang membuat orang bahagia?

Jawabannya tentu tidak ada. Karena yang dimaksud bahagia ini berbeda dengan rasa euforia yang hanya berlangsung singkat. Seseorang bisa bahagia ketika bisa menyelesaikan tugas yang diberikan, menonton atau mendengarkan boygroup yang ia suka, mendapat promosi jabatan, kenaikan gaji atau barang-barang baru yang dimiliki, namun itu perasaan bahagia yang hanya berlangsung beberapa saat dan sangat bergantung pada apa yang di luar dirinya. Jika manusia terlalu fokus mengejar sesuatu yang di luar dirinya, manfaat jangka panjang terhadap kebahagiaan tidak dapat diperoleh. Sehingga bahagia bukanlah tentang apa yang ada di luar, tapi apa yang ada di dalam.

Arti kebahagiaan juga bukan berarti terus menerus merasa senang dan tidak pernah sedih. Orang bahagia bisa tetap merasakan emosi lain seperti sedih, takut, kaget, dan lainnya. Hanya saja, ketika merasa situasi tidak berjalan sesuai yang diinginkan, ada rasa optimis bahwa semua akan membaik. Mereka bisa menghadapi apa yang sedang terjadi dan kembali merasa senang.

Kebahagiaan juga tidak memerlukan hal-hal yang sempurna. Bahkan mengejar kesempurnaan dalam hidup, justru bisa membuat manusia merasa kurang bahagia. Bahkan dapat melukai rasa bahagia, karena kita akan selalu menginginkan lebih dan tidak pernah benar-benar puas.

Kesimpulan akhir yang mudah disepakati adalah kebahagiaan merupakan keterampilan yang dapat kita kerjakan setiap hari dengan secara aktif memilih pikiran, koneksi, dan keyakinan yang membuat kita merasa baik. Nah, cara dan keterampilan itulah yang dipahami, dihayati dan dilatih dalam aktifitas pendidikan. Keyakinan yang membuat kita merasa baik atau lebih baik bisa di dapat dalam agama.

Agama adalah sumber kebahagiaan

Bahagia adalah perintah Tuhan. Karena adakah orang yang ikhlas, sabar, penuh syukur, tawakal, punya tujuan hidup yang tidak bahagia?

Agama bukan hanya ada pada pelajaran-pelajaran agama saja. Lagipula, "Pelajaran Agama" dan bukan "Pelajaran Agama" adalah pemisahan yang tidak sepenuhnya tepat. Sebagaimana halnya urusan dunia dan urusan akhirat, pelajaran agama dan bukan agama tidak ditentukan berdasarkan jenis pelajarannya, tapi visi, motif atau niat peserta didik ketika mempelajari pelajaran-pelajaran di sekolah. Matematika, science, sejarah atau pelajaran-pelajaran lain bisa jadi adalah pelajaran yang punya visi jauh. Ilmu, selama diniatkan untuk kebaikan manusia adalah pelajaran agama. Sarana untuk menuju kebahagiaan. Kita mengenal ulama atau ilmuan muslim yang pakar di banyak bidang seperti Ibnu Sina, Al Farabi, Ibnu Khaldun, Al Khawarizmi, Al Battani, Ibnu Firnas dan lain-lain. Mereka dikenal sebagai ilmuan di bidang kedokteran, penerbangan, astronomi, hukum, matematika dan banyak lagi.

Maka benar apa yang dirinci dalam UU Sisdiknas bahwa tujuan pendidikan adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tidak dipungkiri lagi, ujung atau tujuan dari berkembangnya segala potensi yang baik itu adalah kebahagiaan.

Wallahu 'alam

Senin, 28 November 2022

Berdiskusi di Depan Es Krim tentang Mitos Orangtua Sempurna

Saya dan istri duduk berhadapan, di tengah kami ada meja persegi yang di atasnya ada segelas Mixiu Smoothies Strawbery Ice Cream. Sambil menggengam Cone Ice Cream yang ujungnya telah habis saya jilat, saya berdiskusi dengan istri tentang pendidikan anak-anak.

Diskusi adalah kata kerja sehingga ia perlu dikerjakan, harus ada usaha untuk mewujudkannya. Menghentikan diskusi atau dialog berarti memperlebar jurang pertengkaran atau kesalahpahaman. 

Saya ingat pertengkaran pertama saya dengan istri beberapa bulan setelah kami menikah. Istri saya mengajar di Jakarta dan malam itu ia minta dijemput di halte bis, tempat biasa saya menjemputnya. Saya sudah setengah perjalanan ketika ingat tidak membawa handphone. Karena waktu sudah mepet dan khawatir istri saya menungu terlalu lama jika saya kembali pulang, maka saya memutuskan meneruskan perjalanan tanpa membawa HP. Lagi pula, pikir saya waktu itu, lokasinya sudah jelas dan itu bukan kali pertama saya menjemputnya.

Saya sampai di lokasi tepat waktu dan mulai menunggu bis. Saya sadar ada yang janggal ketika sudah hampir setengah jam lebih istri saya belum juga sampai. Banyak hal bisa terjadi, termasuk kecelakaan. Saya harus mencari tahu, tapi saya tidak menemukan orang yang bisa dipinjam HP. Hal yang lebih parah adalah saya tidak hafal nomor telpon istri, bahkan nomor telpon saya sendiri. Satu-satunya nomor yang saya ingat adalah nomor kantor. Pilihannya antara saya menunggu terus tanpa ada penjelasan apa yang terjadi atau saya mencari konter untuk membeli pulsa dan meminjam HP dengan resiko jika istri saya datang, saya tidak ada di tempat. Setelah menunggu kurang lebih satu jam, barulah saya memutuskan untuk mencari konter pulsa.

Saya menelpon kawan saya di kantor untuk meminta nomor telpon kawan kantor saya yang lain yang tahu nomor telpon istri saya.

Dari sebrang telpon istri saya menjawab ketus, "Aku udah sampe rumah! Kenapa telponnya gak diangkat sih?"

Saya kesal. Istri saya lebih kesal karena ia sudah mengabarkan lewat SMS bahwa lokasi penjemputan pindah. Karena terlalu lama menunggu, ia akhirnya pulang naik angkot.

Jika diceritakan kembali memang terdengar lucu, tapi tidak saat itu. Saat itu kami hanya melihat kesalahan orang lain. Saya menyalahkan istri saya, istri saya menyalahkan saya. Kami bertengkar dan tidak ada yang mau disalahkan.

Sejak saat itu sampai sekarang kami terus belajar untuk saling mendengarkan. Istri saya tidak selalu salah, dan saya tidak selalu benar. Kami sadar butuh kerendahhatian dan kemauan untuk mengalah. Seperti saat ini, di depan segelas es krim, kami mengobrol dan saling mendengarkan.

"Kamu gak usah merasa salah apalagi sampai menyesal." Kata saya setelah mendengar keresahan istri saya tentang beberapa penyesalan karena merasa tidak maksimal dalam mendidik, "Apa yang kamu lakukan buat anak-anak adalah hal yang sudah bagus. Bahkan hal terbaik yang bisa kita lakukan. Kita berada pada jalur yang tepat."

Sebagai praktisi homeschooling kami bertindak menjadi pihak yang bertanggung jawab terhadap pendidikan anak kami sendiri, sehingga wajar jika kami terkadang risau pada pola pendidikan yang kami sudah terapkan apakah tepat atau tidak. Keresahan tersebut adalah tanda kami masih hidup, ingin belajar dan berkembang. Ketika kami memilih untuk melakukan homescholing, berarti kami memilih jalan yang menggelisahkan. Bukan karena ini jalan yang salah, tapi karena tantangan-tantangan yang kami hadapi menjadi seperti tantangan dalam hidup sendiri. Kami tidak memisahkan pendidikan dengan kehidupan sehari-hari, tapi menyatukannya, menjadikannya lebih relevan. Pendidikan adalah kehidupan, kehidupan adalah pendidikan.

"Aku sudah gak muda lagi. Aku khawatir gak bisa mengakomodasi kebutuhan anak-anak." Istri saya meneruskan. Kami sadar bahwa kostumisasi dan fleksibilitas waktu adalah salah satu hal yang penting yang menentukan keberhasilan homeschooling. Istri saya adalah pelaksana kurikulum pendidikan harian di rumah dan selalu menginginkan yang terbaik bagi anak-anak. Tentu saja, semua orangtua menginginkan itu.

"Gak usah khawatir." Saya menenangkan, "Kita punya Allah. Tazkiyatun Nafs, supaya Ilham Tuhan terus menerus menerangi jalan kita."

Saya mengingatkan. Istri saya sudah paham di luar kepala tentang itu, hanya terkadang manusia lupa dan butuh pengingat. Itu guna pasangan sebagai teman diskusi, atau teman bertengkar, untuk saling mengingatkan. Istri saya juga sering mengingatkan saya ketika saya lalai dalam banyak hal.

Kami sadar dalam mendidik selalu ada campur tangan Tuhan, sehingga kami tidak bisa sombong. Sebagaimana anak yang punya fitrah atau potensi yang sudah ada sejak lahir, orangtua juga punya fitrah atau potensi alami yang diberikan Tuhan untuk mendidik. Tazkiyatun Nafs atau menyucikan jiwa dengan cara ibadah, beramal saleh, mencari ilmu, atau tirakat adalah usaha agar jiwa bening hingga mampu membaca petunjuk Rabbani untuk menumbuhkembangkan potensi mendidik tersebut. Saya kagum kepada istri bukan karena kami selalu sepaham, tapi karena walaupun sering berbeda pendapat namun ia adalah sosok yang penuh cinta dan ketulusan. Begitulah Tuhan menciptakan wanita dengan karakteristik fitrah itu.

Fitrah mendidik telah ada pada diri setiap orangtua, Allah memberikan kemampuan itu sesuai jumlah anak. Jika ada 4 anak, maka mungkin ada 4 macam gaya pengasuhan. Pendidikan homeschooling adalah pendidikan yang dikostumisasi, disesuaikan dengan keunikan anak. Karena begitulah kenyataannya, setiap anak unik sehingga tidak bisa diseragamkan.

Saya sungguh beruntung karena sejak awal menikah banyak kesamaan pandangan dalam hal pendidikan. Sejak saya tidak menjemput istri di halte bis, kami selalu pada fase tidak pernah selesai memperbaiki komunikasi. Jika ada perselisihan, kami bicarakan dan cari jalan tengah untuk menghindari pertengkaran di depan anak-anak. Hal ini penting karena riset menemukan bahwa ketika orangtua sering bertengkar di depan anak, stres yang dirasakan orangtua bisa dirasakan anak dan mempengaruhi perkembangan otak mereka. Sebaliknya jika mereka sering melihat kasih sayang yang ditunjukan ayah-ibunya, ada pembentukan neuron di otak mereka. Jadi keliru jika mengatakan satu-satunya yang terpenting adalah hubungan orangtua dengan anak, karena kesuksesan anak dalam hal kognitif dan emosional bukan ditentukan berdasarkan secure attachment antara ibu dan anak, tapi secure attachment antara ayah-ibunya.

Ya, sosok ibu dan ayah adalah dua hal yang penting dalam mendidik. Sekali lagi saya katakan sosok, bukan personalitas. Artinya anak yang tidak memiliki ayah atau ibu (yatim/piatu) bisa tetap memiliki sosok ayah-ibu melalui orang lain, paman-bibi atau kakek-nenek mereka contohnya. Sebaliknya bisa saja anak yang secara biologis masih punya ayah atau ibu, tapi tidak menemukan sosok yang bisa dijadikan panutan. Bagaimanapun anak berkembang dengan rasa cinta dan contoh hubungan terdekat yang mereka lihat setiap hari adalah hubungan ayah-ibunya. Hubungan tersebut yang akan jadi pola ketika mereka bersosialisasi nanti.

Tidak bisa dipungkiri komponen pendidik paling penting adalah teladan, pemberi semangat serta inspirasi (Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani). Jika itu dilakukan orangtua dengan benar, maka tidak berlebihan jika saya mengatakan bahwa memiliki anak bisa membuat seseorang menjadi pribadi yang lebih baik. Walaupun saya akui bahwa menjadi orangtua yang sempurna adalah mitos.

"Aku merasa ada hal-hal yang kurang di masa lalu yang seharusnya bisa aku perbaiki." Istri saya mengutarakan perasaannya.

"Kita sudah berusaha dan akan terus memperbaiki diri," kata saya kemudian, "Kita nggak bisa menjadi orangtua yang sempurna, karena kesempurnaan hanya milik Tuhan. Penyucian Jiwa selain berguna agar kita terbuka untuk mendapat pengetahuan baru, juga berguna agar kita tidak angkuh dengan menganggap pola pendidikan kita yang membuat anak-anak menjadi sukses. Tidak sama sekali. Tuhan melalui alam semesta yang membimbing mereka, dan memberi kita kemampuan untuk menjadi pendidik. Sebagai orangtua kita pasti punya kekurangan, mudah-mudahan Tuhan menutupi dan memperbaiki, karena Allah adalah sebenar-benar pendidik yang sempurna."

Kami beranjak pulang ketika es krim sudah habis. Di jalan kami meneruskan percakapan yang mungkin tidak akan pernah habis.


Wallahu 'alam

Minggu, 20 November 2022

Ini Budi

di papan tulis
Ibu Guru menulis
Ini Budi

Semua murid membaca
Ini Budi

Ibu Guru menulis
Budi pergi ke sekolah

Semua murid membaca
Budi pergi ke sekolah

Ibu Guru menulis
Budi tidak sejahtera

Semua murid diam
dan diam-diam bersedih

Ibu Guru tersenyum
dan tetap tegar


2022

Jumat, 18 November 2022

Sri Asih, Seperti Mengetahui Rahasia yang Sudah Diobral

Dugaan saya terbukti, Sri Asih tidak sebagus pendahulunya Gundala. Jika saja layar bioskop seperti layar Netflix tentu saya lebih memilih untuk menonton kembali Gundala untuk yang ke 3 kali.

Berbeda dari Gundala yang dibuka dengan 15 menit awal yang memikat dan menurut saya adalah pembukaan terbaik film superhero yang pernah saya tonton, Sri Asih dibuka dengan canggung dan menyisakan banyak pertanyaan di benak penonton.

Sejak awal saya sudah ragu dengan aspek visual, karena triler yang dirilis sebelumnya sangat meragukan, apalagi ditambah jadwal tayang yang mundur dari semestinya. Melalui Twitter Space, Upi sang sutradara mengumumkan, "Kita tidak pengin mengecewakan. Di sisi lain saya merasa masih ada hal lain yang masih harus dipoles lagi. Saya berpikir antusiasme tinggi kayaknya harus dibayar sebanding dengan menonton filmnya nanti,". Walaupun statement itu membuncahkan sedikit harapan agar ada perbaikan, saya tetap masuk ke dalam bioskop pada hari pertama penayangan dengan ekspektasi rendah.

Tidak bisa ditutupi, urusan visual serta koreografi Sri Asih sangat kedodoran, dengan penjahat kacungan dungu dan CGI kasar yang klimaksnya pada adegan kemunculan Nani Wijaya dengan bentuk kepala tidak proporsional seperti sobekan koran yang ditempelkan begitu saja. Aspek komedi juga menjadi bagian yang terkesan dipaksa. Bukan memberikan komedi brilian yang memanfaatkan mimik dan dialog seperti dalam My Stupid Boss, Upi menghadirkan komedi tempelan dengan dialog yang boros dan tidak relevan.

Hal yang paling merusak adalah unsur mistery yang disusun sejak awal terbaca dengan mudah pada pertengahan awal film karena kemunculan terlalu banyak clue, mengakibatkan set-up yang dibangun sepanjang cerita, dengan tujuan membongkar Villain yang diniatkan menjadi twist pengejut, terasa sia-sia seperti mengetahui rahasia yang sudah diobral.

Seperti Wonder Women yang sangat cocok diperankan oleh Gal Gadot, satu-satunya hal yang sungguh menghibur adalah Pevita Pearce. Semata-mata karena ia adalah Pevita Pearce.



Sabtu, 05 November 2022

Kepada Para Penggemar K-Pop di Seluruh Dunia

Satu hal yang saya mengerti adalah saya tidak punya masalah dengan para penggemar K-Pop, jika saja mereka tidak banyak drama dan emosional. Suatu waktu saya pernah diminta penggemar K-Pop untuk mendengar lagu-lagu dari boygrup favoritnya. Saya melakukan permintaan itu namun sama sekali tidak tertarik untuk melanjutkan. Mungkin bukan selera saya, maybe I am not into the pop culture. Apa yang terjadi kemudian? Dia tidak lagi membalas WA saya. Entah apa alasan sebenarnya.

Para penggemar K-Pop juga sering meminta orang lain untuk tidak melakukan stereotyping dengan menganggap semua boygrup melakukan operasi plastik, bergaya hidup hedonistik, lipsync, mementingkan tampilan fisik dan lain-lain. Padahal tanpa sadar ada juga mereka yang melakukan stereotyping kepada yang bukan penggemar K-Pop. Tanpa sadar sebagian mereka menganggap orang yang tidak menyukai K-Pop adalah orang-orang yang tidak tercerahkan atau haters. Hanya ada dua pilihan itu. Mereka menganggap orang-orang yang tidak suka dengan boygrup mereka adalah orang-orang yang tidak bisa melihat kebenaran dan keindahan. Karena bagaimana mungkin idola mereka tidak disukai?

Saya tidak menyangkal banyak hal baik yang dilakukan Idol dan penggemar K-Pop, itu fakta yang harus diakui. Para idol dapat menggerakkan fans untuk mengumpulkan dana sumbangan, mengangkat isu-isu sosial, memotifasi banyak orang, membantu penggemar dalam melalui masa-masa sulit, dekat dengan para penggemar di media sosial. Bahkan fandom besar K-Pop mungkin bisa disandingkan dengan penganut agama, sementara Idol bisa disandingkan dengan agama dalam fungsi motifasi, inspirasi, memberikan ketenangan dan kebahagiaan hidup. Ya, tidak bisa dipungkiri K-Pop adalah agama baru.

Pada dasarnya saya tidak punya masalah dengan Idol kalian. Mau Idol kalian berprestasi, terpuruk, bunuh diri, dipenjara, putus cinta, kucingnya melahirkan atau urusan pribadi lain sungguh saya tidak peduli. Saya hanya peduli dengan karya mereka. Jika karya dari Idolmu bagus, maka saya akan dengarkan, jika menurut saya tidak bagus, maka jangan paksa saya untuk suka. Maka satu-satunya masalah saya adalah dengan kalian para Stan ekstrimis. Kalian yang menjalin hubungan Parasosial yang menyebalkan, yang rela mendukung dan membela Idol dengan cara apapun, bahkan bertindak berlebihan. Jika memang kalian penganut ekstrim seperti itu, kalian sudah tidak asik.

Hwaiting!

Minggu, 30 Oktober 2022

Surat Cinta untuk Nada

Umurmu 11 tahun, dan pagi itu kamu bertanya tentang mimpi basah. Oh, sungguh aku lebih siap jika kamu bertanya apa saja selain itu. Aku siap jika kamu bertanya tentang menstruasi, atau tentang bagaimana proses bayi dalam kandungan, atau perbedaan alat kelamin wanita dan pria, tapi pertanyaan tentang apa itu mimpi basah, itu hal yang di luar dugaan dan aku tidak siap menjawab.

"Ya, itu seperti menstruasi pada perempuan, yang menandakan kematangan tubuh manusia untuk bisa melakukan reproduksi atau hamil. Pada laki-laki tandanya ia akan mengalami mimpi basah, yaitu keluar cairan dari alat kelaminnya namun bukan seperti pipis." akhirnya aku menjawab tanpa persiapan.

"Tapi kenapa harus mimpi, Pak?" Kamu bertanya kritis.

Sejujurnya aku makin tidak siap. Entah apa yang aku jawab hari itu, tapi hari berikutnya, setelah berpikir dan menyusun kata, aku kembali menjelaskan, "Pubertas dalam bahasa arab disebut Balig, Kak. Pada laki-laki, tubuh akan mulai menghasilkan hormon testosteron yang akan memproduksi sperma. Kalau sudah cukup banyak sperma, maka laki-laki akan mulai merasakan ereksi atau kelaminnya mengeras. Ereksi bisa terjadi dalam waktu yang berbeda-beda, bisa waktu di kamar mandi, saat bermain game, bahkan saat tidur. Nah, ketika air mani atau sperma sudah cukup banyak ia akan terlepas dengan sendirinya. Karena sering terjadi saat tidur, maka itu disebut mimpi basah."

Kamu sepertinya sudah puas dengan jawaban itu, atau mungkin juga sedang mencerna, berpikir dan mungkin nanti akan menanyakan hal lain. Namun sampai sekarang tidak ada pertanyaan lain.

Umurmu 12 tahun 4 bulan, dan itu saat kamu mendapat menstruasi pertama. Ibumu memberitahu melalui pesan WhatsApp karena menemukan darah di celana dalammu waktu ia ingin mencuci pakaian. Sepertinya kamu tidak menyadari, mungkin karena darahnya masih sedikit. Aku akan mengatakan ini padamu; secara fisik kamu sekarang perempuan dewasa dan sehat, Kak. Itu artinya juga kamu bisa hamil jika berhubungan seks dengan lelaki yang secara fisik juga dewasa dan sehat. Jangan khawatir, kamu punya kendali terhadap tubuh dan apa yang kamu lakukan, termasuk juga untuk menetetapkan batas. Sekarang kamu bertanggungjawab atas perbuatanmu sendiri, baik kepada sesama manusia atau kepada Tuhan. Tentu saja bapak dan ibu masih mengingatkan, menasehati dan melindungi, tapi kamu yang bertanggungjawab atas semuanya. 

Secara fisik kamu sekarang sudah dewasa dan semoga juga secara mental. Sebagai bapak, aku akan selalu menyayangimu sampai kapanpun. Kamu adalah cinta pertama sebelum adik-adikmu ada dan akan tetap begitu selamanya. Aku tahu setiap orang harus tumbuh, begitu juga aku harap kamu akan tumbuh. Namun ada hal-hal yang kamu punya dari sejak kamu mengenal bahasa yang sebaiknya kamu pertahankan sampai dewasa.

Kamu berkeinginan kuat dan mudah termotivasi. Kamu tentu masih ingat saat berumur 7 tahun, kamu mulai puasa Ramadhan pertama. Aku menjanjikan uang setiap hari kamu melakukan puasa penuh sehari. Kamu mulai menghitung berapa banyak yang akan kamu dapatkan jika dilakukan 30 hari. Sampai sekarang aku tidak pernah menyangka, bagaimana kamu bisa melakukannya sebulan penuh, tanpa satu haripun yang bolong. Keinginan kuat juga yang membuat kamu bisa cepat mengendarai sepeda, berenang juga membaca buku-buku tebal.

Kamu juga berani dan sensitif. Ini cerita yang selalu aku ulang-ulang ketika menceritakan keberanianmu. Kamu masih usia TK dan saat itu ada acara dongeng di masjid komplek perumahan kita. Sesaat setelah pendongeng selesai membawakan cerita, ia meminta anak-anak tunjuk tangan untuk diberikan pertanyaan tentang cerita. Ada hadiah buku bagi yang bisa menjawab. Kamu segera mengangkat tangan sendirian. Anak-anak lain, bahkan banyak yang lebih dewasa dari kamu melihat dengan takjub. Orangtua yang hadir di majelis itu kagum akan keberanianmu. Kamu berjalan ke depan, menghadapi tatapan orang-orang, dan menjawab pertanyaan. Kamu mungkin masih ingat cerita yang sering aku ulang-ulang itu, tapi ingatkah kamu ketika suatu sore kamu bersandar di tembok sambil menangis?

Umurmu 7 tahun, aku mendekati dan bertanya mengapa kamu menangis. Kamu makin sesenggukan. Kamu nggak mau ngaji? Aku bertanya. Itu sore hari waktu mengaji di masjid. Kamu masih menangis. Apa ada yang jahatin di pengajian? Tanyaku lagi. Kamu tetap menangis. Aku mengingat-ingat, "Apa karena kamu denger percakapan bapak dan ibu tentang berkemah?"

Kamu sedikit tenang dan dari matamu aku tahu kamu mengiyakan. Beberapa menit sebelumnya, aku dan ibumu bercakap-cakap tentang membatalkan acara kemping keluarga yang telah kita rencanakan beberapa bulan sebelumnya karena Aira dan Safa sakit. Sebenarnya kami belum memutuskan, ada opsi untuk hanya kita yang pergi. Tapi kamu yang mendengar percakapan itu diam-diam, hanya menangkap bahwa kita tidak jadi berkemah.

“Kita jadi kemping kok. Kan semua keperluannya udah ada. Tapi cuma kamu dan bapak yang ikut. Ibu, Safa, Aira dan Bee gak bisa ikut.” Aku menjelaskan. Tangismu berangsur-angsur mereda.

Beberapa hari setelah kejadian itu, kita telah berada di Bumi Perkemahan Sentul di kaki Gunung Pancar. Sepanjang perjalanan menanjak dengan kendaraan, kamu tidak henti menatap keluar jendela dengan mata berbinar dan senyum berkembang.

Kualitas yang juga harus kamu pertahankan sampai dewasa adalah kejujuran dan keingintahuanmu. Aku tidak pernah melarangmu bertanya, mulai pertanyaan yang datang dari keresahan seperti mengapa kita bosan? Mengapa Tuhan tidak menjadikan semua orang masuk surga? Mengapa ada neraka? Atau bahkan pertanyaan yang paling kasar sekalipun. Pertanyaan itu disamping menandakan proses aktif dalam belajar, juga menandakan kamu diizinkan untuk mengatakan yang sebenarnya, sehingga kamu tidak takut jujur pada diri sendiri juga orang lain. Kamu tidak terpengaruh untuk ikut menjadi pembohong walaupun teman-temanmu suka berbohong. Dalam dirimu ada mutiara cemerlang bernama integritas. Kamu sudah terbiasa berkata dan berlaku jujur bahkan pada hal-hal yang kecil, dengan begitu kamu akan dipercaya untuk hal-hal yang besar.

Memang terkadang kamu ceroboh dan keras kepala, namun itu wajar karena kamu belum punya banyak pengalaman. Tentu dengan berjalannya waktu kamu bisa mengatasi kelemahan dan kekuranganmu. Satu hal yang harus selalu kamu ingat adalah masih banyak hal lain yang mengagumkan tentangmu dan kamu harus mencarinya sendiri. Aku berharap segala keinginan dan cita-citamu terwujud, namun jika kamu lelah, dunia menolak dan tidak menghargaimu, ingatlah akan selalu ada rumah dimana telingaku selalu bersedia mendengar keresahanmu, tanganku selalu terbuka untuk memeluk dan menerimamu apa adanya. Apa adanya.

Semoga Allah selalu menolong, memberi kekuatan, keselamatan dan kebahagiaan dalam hidupmu.

Kebutuhan akan Tuhan

Seorang kawan yang anaknya akan masuk kuliah bercerita bahwa saat ini ia ingin mendorong anaknya untuk lebih dekat dan butuh ibadah kepada Tuhan.
 
Saya bertanya mengapa ia menyimpulkan anak gadisnya tidak dekat kepada Tuhan? Ia menjawab, "Aku sering banget lihat Fita lebih ngedahuluin kerjaan sekolahnya daripada salat. Atau menunda-nunda ibadah karena melakukan hal lain."

"Jadi tanda orang sudah terpenuhi kebutuhan kepada Tuhan itu apa?" saya bertanya.

"Ya, dia jadi lebih giat ibadah. Tidak menunda-nunda dan gak perlu diingatkan untuk melakukan kewajiban kepada Tuhan."

Saya bisa memahami kesimpulan kawan saya, karena sebagai manusia, kita hanya bisa menilai dari apa yang terlihat, nahnu nahkumu bidzawahir wallahu yatawalla sarair, kita hanya menghukum apa yang tampak, dan Allah menentukan apa yang tersembunyi di dalam hati. Sehingga ukuran saleh di mata manusia adalah terlihat saleh, terlihat rajin ibadah, terlihat rajin sedekah dan lain-lain.

"Tapi bukannya banyak amalan yang terlihat amalan akhirat, padahal itu amalan dunia, atau kebalikannya, amalan yang terlihat sebagai amalan dunia, padahal dimata Tuhan itu amalan akhirat?" saya bertanya tentang hadits nabi.

Ia tidak berkomentar, seperti menyetujui bahwa benar amalan dunia ataupun akhirat bukan ditentukan berdasar bentuk amalannya, tapi ditentukan oleh niat. Pada dasarnya banyak ulama yang tidak setuju ada pemisahan amalan dunia dan akhirat. Saya juga khawatir terhadap pemisahan amalan dunia dan akhirat berdasar bentuk amalan akan menyebabkan kerancuan berpikir. Agama tidak pernah memisahkan kedua amalan tersebut. Dunia dan akhirat adalah satu kesatuan. Apapun yang dikerjakan di dunia, akan mendapat ganjaran di akhirat.

Jadi menyatakan bahwa orang yang terlihat tidak banyak "ibadah" sebagai orang yang kurang butuh terhadap Tuhan tidak sepenuhnya benar. Karena ibadah bukan hanya semata-mata ibadah uluhiyah atau ibadah individual saja, bahkan ibadah sosial lebih utama daripada ibadah individual.

"Fita sekarang kuliah di Jogja dan sekalian aku pondokin di Afkaruna. Aku berharap dengan mondok, dia bisa lebih dekat kepada Tuhan. Tapi sekarang dia malah sibuk banget sama urusan kuliah. Aku baru tahu kalau ternyata kuliah Arsitek itu memang harus keliling mencari lokasi untuk pengamatan." Kawan saya kembali menjelaskan.

Tidak ada yang salah dari harapan kawan saya agar anaknya lebih dekat kepada Tuhan dengan giat salat, puasa, mengaji dan ibadah individual lain, tapi bukankah mencari ilmu, selama niat dan tujuannya untuk kebaikan, juga bisa sebagai sarana dekat kepada Tuhan? Rasulullah bersabda, “Mencari ilmu satu saat adalah lebih baik daripada salat satu malam, dan mencari ilmu satu hari adalah lebih baik daripada puasa tiga bulan” (HR. Ad-Dailami).

Saya pribadi juga mungkin pernah mengalami keresahan yang dialami kawan saya. Karena berdialog dengan anak adalah inti dari pendidikan Homeschooling, biasanya saya memulai dari pertanyaan atau keingintahuan anak. Saya senang mendengar, menjawab dan berdialog tentang keresahan anak-anak saya, karena selain itu menandakan keaktifan anak dalam belajar, keresahan dan pertanyaan adalah sarana untuk menjelaskan konsep. Anak-anak memahami dan mengingat konsep lebih baik ketika mereka belajar langsung dari pengalaman pribadi yang relevan. Keingintahuan atau kegelisahan adalah pengalaman yang paling real pada anak. Dalam hal ibadah misalnya, Nada waktu berusia 10 tahun pernah bertanya, kenapa kita harus beribadah kepada Allah? Itu adalah pertanyaan penting yang perlu dijawab dengan komperhensif. Karena apa guna ibadah tanpa pemahaman apalagi kesadaran?

Menurut saya, menjelaskan konsep dalam ibadah individual itu perlu, namun menjelaskan bahwa kesalehan sosial juga merupakan bentuk ibadah juga penting. Bukankah orang-orang yang bekerja keras untuk menyantuni janda dan orang-orang miskin, adalah seperti pejuang di jalan Allah, dan seperti orang yang terus menerus salat malam dan terus menerus puasa? (HR. Bukhari & Muslim). Pada hadits yang lain, Rasulullah juga bersabda kepada sahabat-sahabatnya, “Maukah engkau aku beritahukan derajat apa yang lebih utama daripada salat, puasa, dan sedekah? (para sahabat menjawab, tentu). Yaitu mendamaikan dua pihak yang bertengkar” (HR. Abu Dawud & Ibn Hibban). Selain itu, Rasulullah menegaskan bahwa ibadah individual tidak akan bermakna bila pelakunya melanggar norma-norma kesalehan sosial, “Tidak beriman kepadaku orang yang tidur kenyang, sementara tetangganya kelaparan, dan tidak masuk surga orang yang memutuskan silaturahim”. Sedangkan dalam Al-Quran, orang-orang yang salat akan celaka, bila ia menghardik anak yatim, tidak memberi makan orang-orang miskin, riya dalam amal perbuatan, dan tidak mau memberikan pertolongan kepada orang-orang lemah (Surat Al-Ma’un).

Saya banyak berdiskusi dengan kawan saya tentang pendidikan dan anak, apalagi saat ini Nada, yang saat ini berumur 12 tahun, akan tinggal terpisah dari orangtua, untuk mencari pengalaman hidup di pesantren. Sebelum memutuskan ke pesantren, Nada punya banyak kehawatiran

"Banyakin quality time bersama," Kawan saya menasehati saya untuk lebih banyak waktu berkualitas bersama Nada. Itu nasehat yang bagus dan berguna untuk orangtua di masa apapun. No meaningful learning occurs without a meaningful relationship, right?

Sampai sekarang saya masih terus belajar untuk mendengarkan, baik kepada kawan-kawan, istri bahkan anak. Saya sadar, terkadang saya melihat anak sebagaimana saya melihat diri sendiri di masa lalu. Saya melihat semua keburukan dan khawatir terjadi pengulangan atas semua yang menimpa di masa lalu. Padahal belum tentu yang orangtua anggap penting dianggap penting juga oleh anak. Dengan mendengarkan, orangtua belajar untuk mengetahui apa yang dirasakan penting oleh anak. Karena anak-anak, seperti juga orang dewasa, butuh didengarkan, dan mungkin pada beberapa keadaan melebihi kebutuhannya akan Tuhan. Seperti yang pernah ditulis Ralph G. Nichols, “The most basic of all human needs is the need to understand and be understood. The best way to understand people is to listen to them.”

Wallahu 'alam

Jumat, 26 Agustus 2022

Dua Film Thailand dan Satu Serial yang Hampir Thailand

Slamet merekomendasikan dua buah film thailand (Fast & Feel Love dan Happy Old Year) ketika di saat yang hampir bersamaan Kucey meminta saya menonton serial drama Korea berjudul Voice.

Fast & Feel Love dan Happy Old Year adalah dua film thailand yang disutradarai oleh Nawapol Thamrongrattanarit (jangan minta saya membaca apalagi menghapal nama itu), yang mengangkat isu hubungan cinta yang kandas.

"Lu emang suka film drama kayak gitu?" Tanya saya ke Slamet.

"Suka sih, Sir." Jawabnya cepat. Saat ini ia berusia 26 tahun, sudah lulus kuliah dan masih bekerja. Sewaktu SMP, ia pernah menjadi murid saya, maka ia tetap memanggil saya Sir. Sebagai egalitarian, saya tidak keberatan ia memanggil saya apapun dan saya sudah terbiasa memanggilnya sama seperti saya memanggil kawan-kawan lain.

"Relate sama kehidupan lu?" Saya tertawa.

"Sial!" ia kesal, "Bisa jadi. Kadang ya ngebayangin aja ntar kalo kejadian di gua gimana gitu,"

"Lu mo putus sama Refin?" Saya menggodanya.

"Astagaa!" Slamet kaget, "Nggak, Sir. Gak kepikiran putus. Lagi baik-baik aja."



Fast & Feel Love disajikan dalam nuansa komedi yang kuat namun tidak slapstik dan murahan, bahkan di beberapa adegan saya menangkap kesan satir dan gelap. Sinematografi dan pengambilan gambar di buat modern dengan warna pastel yang teduh, melengkapi adegan dan beberapa karakter yang sangat jelas sekali sedang memparodikan filem populer terkenal, bahkan sampai ke taraf Meta Comedy. Drama yang dimasukan, yang menjadi magnet kelucuan film ini memang terkesan lebay, namun disaat yang sama tetap memberikan bekas yang dalam.

Film ini bercerita tentang Kao, seorang juara dunia olahraga susun gelas yang dicampakkan oleh pacarnya dan harus belajar keterampilan dasar orang dewasa agar bisa hidup sendiri dan mengurus diri sendiri. Di akhir cerita, penonton terbawa emosi dengan resolusi yang menggantung namun juga dibuat senang akan perkembangan karakter Kao yang tumbuh menjadi manusia dewasa. Seperti kebanyakan kita yang tumbuh seiring dengan masalah serta orang-orang yang datang dan pergi di kehidupan, yang membuat kita menjadi lebih dewasa atau malah sadar bahwa kita terlambat dewasa.



Perpisahan yang pahit namun "baik-baik" saja juga disajikan Nawapol dalam Happy Old Year. Dibanding Fast & Feel Love, film ini lebih serius dan depresif walaupun juga masih menampilkan sedikit sisi komedi yang suram.

Saya penasaran serta punya ekspektasi tinggi ketika Slamet menceritakan premis Happy Old Year, dan itu terbayar lunas setelah saya selesai menonton. Film ini bercerita tentang Jean, wanita yang ingin mengubah design tempat tinggalnya menjadi minimalis, namun terbentur kenyataan bahwa membuang barang-barang dari masa lalu tidak semudah yang ia bayangkan, karena setiap benda punya cerita dan kenangan.

Pada beberapa adegan, penonton dibuat ikut merasakan kecanggungan, kegugupan, getaran dalam suara, serta konflik dalam klimaks yang terasa dekat karena dibuat dengan dialog datar tanpa teriakan namun berbobot, membuat nyeri dan menggugah. Itu yang membuat film ini menjadi halus, dalam serta mengaduk perasaan.

Minimalisme yang diusung film ini bukan hanya terwakili dari tampilan layar yang diubah menjadi 4:3, menurunkan kontras warna serta memasukan tema usang tentang melupakan masa lalu, namun juga karena peristiwa di dalamnya begitu sederhana, relevan, nyata bahkan sangat puitis. Ada sebuah benda metaforis yang kokoh memberikan nuansa seperti puisi dalam film ini, jika dalam Parasite metafora itu berbentuk batu, dalam film ini berbentuk piano. Ada shoot sekitar 1 menit yang hanya menampilkan wajah Jane dengan segala emosi di dalamnya. Betapa wajah bisa menapilkan visualisasi emosi yang tidak bisa dilukiskan oleh gambaran secanggih apapun.

Seperti dunia minimalis, film ini menyempitkan pandangan para karakter kepada dunia yang hitam putih, antara membuang dan melupakan, atau mengenang dan menyimpan. Dua ekstrim mutlak yang tidak punya resolusi jalan tengah. Tidak ada persahabatan, pilihannya antara meneruskan atau melupakan.

Itu sama seperti ketika saya akan memutuskan apakah akan memeruskan atau melupakan serial rekomendasi Kucey yang belum sempat saya tonton habis. So many movies and books, so little time, kata saya kepadanya melalui pesan WA.

"Mister Nailal jangan lupa nonton Voice," Sebelumnya Kucey meminta dengan emotikon berharap. Ia mungkin seumur dengan Slamet, dan tidak pernah jadi murid saya, tapi entah mengapa ia memanggil saya Mister. Saya tidak keberatan dipanggil apapun, but I've never felt like I was any teacher for her.

Voice adalah drama thriller asal Korea yang juga sudah diadaptasi ke Thailand. Serial yang tayang sejak 2017 ini bercerita tentang seorang detektif urakan dan seorang operator Emergency Call Centre dengan bakat mengenali suara, bekerja sama untuk menangkap penjahat yang membunuh orang yang mereka cintai. Saya menggoda Kucey yang merupakan fangirl NCT dengan menampilkan screenshot Voice versi Thailand, tapi sepertinya ia sedang tidak ingin bercanda, atau memang selera humor kami yang berbeda.

Saya sadar akan konsekuensi Cancel Culture karena mengolok-olok fandom K-Drama, namun bagi saya, lucu adalah ketika di telinga masih hangat terngiang "swadikaap", saya membuka Netflix dan menemukan Voice versi Thailand yang menampilkan adegan awal yang klise dengan penjahat psycho tapi dungu karena tidak menyita handphone dari orang yang ia culik. Saya sempat berharap mungkin akan lebih menarik jika sepanjang episode para karakter mengucapkan swadikap saja sebanyak-banyaknya.

Sungguh saya tidak terbiasa mendengar bahasa Thailand atau Korea. Bahkan ketika menonton Money Heist --yang saya lebih suka versi Korea dibanding Prancis, saya men-dubbing dengan Bahasa Inggris. Senang sekali bisa mendengar tokoh-tokohnya fasih berbahasa Inggris dan bisa mengucapkan huruf akhir tanpa suku kata dengan benar. Mantap! Bukan Mantapu!

Sejujurnya, Voice versi Thailand jauh lebih saya suka karena ia menghilangkan atau mengganti adegan, drama serta dialog yang tidak perlu pada versi Korea, disamping juga membuat alur dan logika cerita menjadi lebih jernih. Di episode perdana, kemampuan unik Irin/Lee Hana membuat saya teringat Patrick Jane dalam The Mentalist yang mencari psikopat pembunuh istri dan anaknya dengan keahlian mentalisme, atau crime serial Amerika seperti Castle, Lie to Me, Forever, atau Perception, yang menggunakan keahlian unik para protagonis untuk memecahkan masalah kriminal. Satu hal yang mungkin paling kentara membedakan Voice dengan serial kriminal Amerika adalah ia menyajikan ketegangan dari hasil perpaduan sound, pengambilan gambar dan pemotongan adegan yang bisa membuat penikmatnya kecanduan.

Araseo!




Selasa, 23 Agustus 2022

Tokoh Kita

Mari kita sebut ia Tokoh Kita. Penduduk dekat rumah memanggilnya ustad, boleh juga kalau kita panggil Ustad Kita.

Suatu hari ada seorang yang datang kepadanya bercelana pendek, bertelanjang dada. Ia selempangkan kaus di bahu. Dengan kondisi setengah mabuk, ia berteriak, “Ustaaad, gua mau tobaaat.”

Tokoh Kita yang mendengar suara gaduh itu keluar dari dalam rumah kemudian menghampiri.

“Beneran lu mo tobat?” tanya Ustad Kita.

“Beneraan…” Jawabnya panjang, “Gua mau tobaat. Ajarin gua. Gua harus ngapain?”

“Masih inget cara wudhu?” Ustad Kita kembali bertanya.

“Masih, Taad.”

“Coba gua mao liat.” Ustad Kita mengambilkan selang air kemudian mengocorkan air ke arahnya. Ia berwudhu dengan tertib dan selesai.

Ustad Kita meneruskan, “Nah bagus, lu masih bisa wudhu. Mulai sekarang, jangan pernah batal wudhu ya. Pokoknya setiap lu batal, wudhu lagi. Batal, wudhu lagi.”

“Itu aja, Tad?”

“Iya, itu aja. Sanggup?”

“Sanguuup.”

“Alhamdulillah.”

Pada waktu yang berbeda, seorang yang penuh tato di sekujur badannya juga pernah mengunjungi Ustad Kita. Ia bilang kalau ia sering berjudi, berzina dengan istri orang dan memakai narkoba. Ustad Kita menyarankan, “Jangan kalo narkoba. Jangan. Kalo yang lain gak papa, masih boleh.”

“Beneran, Tad?” Ia bertanya heran.

“Iya, beneran. Pokoknya kalo narkoba jangan. Kalo begini,” Ustad Kita membuat gestur mengepal dengan memasukan jari jempol diantara jari telunjuk dan tengah, “masih boleh.”

Pria Bertato itu menjalankan nasihat Ustad Kita dan tidak lama kemudian ia juga meninggalkan judi dan zina yang sering ia lakukan, kemudian ikut mengaji kepada Ustad Kita. Begitu juga dengan Pria Telanjang Dada. Ia masih melakukan dosa-dosa lain ketika men-dawam-kan wudhu, namun perlahan-lahan hatinya mulai terketuk untuk melaksanakan salat dan meninggalkan maksiat.

Itu salah satu karomah dari Ustad Kita yang mungkin bagi kebanyakan orang yang terlalu kaku dengan penerapan syariat dianggap sesat. Tentang karomah, sebagai seorang muslim harusnya menganggap biasa saja, karena itu salah satu bukti keberadaan Tuhan disamping juga merupakan ujian. Memang terkadang keyakinan kita perlu pembuktian, dan kadang kepercayaan kita diuji dengan hal yang mengherankan. Nabi pernah bersabda, pertimbangkanlah firasat orang mukmin, karena mereka memandang dengan cahaya Tuhan. Maka jika kamu melihat seorang yang punya firasat yang sangat tepat sehingga seakan-akan bisa melihat masa depan, siapa yang akan kamu puji? Siapa yang harusnya kamu takuti?

Kembali pada penjelasan kelakuan "aneh" Ustad Kita, saya bisa menjelaskan alasan syar'i di balik tindakan-tindakan itu, tapi saya tidak bisa merubah pikiran orang-orang yang sudah terlanjur ignorance.

Orang-orang yang mempelajari Islam pasti paham bahwa penerapan syariat boleh bertahap. Ada kaidah Fiqh (hukum Islam) yang berbunyi, maa laa yudroku kulluhu la yutroku kulluhu, apa yang tidak bisa dilakukan semuanya, jangan ditinggalkan semuanya. Maksudnya, jika seseorang tidak bisa melakukan suatu amalan secara sempurna, maka tidak mengapa melaksanakan sebagian saja sesuai dengan kemampuan.

Saya menduga itu alasan Ustad Kita meminta men-dawam-kan wudhu kepada si Telanjang Dada. Saran ini sangat terkait dengan psikologi manusia, Ustad Kita bisa menilai kemampuan seseorang sebelum ia membebankan hal yang lebih sulit. Saya membayangkan jika saat pemabuk itu datang, Ustad Kita mewajibkan untuk melakukan wudhu, salat, puasa, zakat dengan sempurna sebagai syarat taubat, mungkin saja dilaksanakan, namun tidak akan bertahan lama, selanjutnya ia akan semakin menjauh dari Ustad Kita.

Ada juga kaidah "Menghilangkan kerusakan didahulukan daripada mengambil manfaat". Maksudnya, seseorang diperbolehkan melakukan sesuatu yang sebelumnya dilarang untuk menghindari kerusakan yang lebih besar. Dalam hal ini, Ustad Kita dihadapkan pada orang yang melakukan 3 keburukan; zina, judi dan narkoba. Diantara 3 keburukan itu, narkoba adalah yang paling berbahaya karena ia merusak akal. Sementara hifdzul aqli atau menjaga akal adalah maqasidu syariah (tujuan penerapan syariat) yang utama.

Mengapa menjaga akal adalah tujuan syariat paling utama? Karena agama ada untuk orang-orang yang berakal. Islam adalah agama fitrah, kepercayaan kepada Tuhan adalah fitrah, maka selama seseorang menggunakan akal, suatu saat mungkin ia akan sampai pada hidayah. Itu sebabnya menjaga akal agar tidak rusak penting dalam agama. Tidak berarti zina dan judi bukan perbuatan buruk, namun diantara perbuatan-perbuatan buruk, mengkonsumsi narkoba adalah hal yang paling tinggi resikonya untuk menghilangkan akal. Ketika akal sudah tidak ada, maka keburukan atau kejahatan lain akan sangat mudah dilakukan. Sebaliknya jika akal pikiran manusia terjaga, ia akan sampai pada suatu titik dimana akhirnya ia sadar bahwa perbuatan buruk akan juga berdampak buruk bagi diri sendiri, karena tidak sesuai fitrah dalam nuraninya.

"Berapa lama sih orang akan bertahan untuk terus berjudi dan berzina selama dia punya akal yang waras?" Tanya Ustad Kita retoris.

Saya manggut tanpa menjawab. Saya mengerti hanya ustad kampung yang punya mental serta dekat dan punya pengalaman langsung dengan masyarakat yang bisa memahami ini. Perjuangan di tengah masyarakat tidak ada yang instan. Butuh waktu yang tidak sebentar untuk membangun kepercayaan dan kecintaan mereka. Ustad di Menara Gading, terkadang luput memahami ini.

Ustad, kiyai, atau gus yg berjarak dan jauh dari masyarakat atau murid akan putus asa mengatasi pertanyaan sederhana; apa yang dilakukan kepada santri, murid atau masyarakat yang masih berbuat buruk?

Saya ingat Gus Baha ketika bercerita tentang santri yang badung. Ia bilang, “Saya dididik bapak, kalau ada santri nakal, saya biarkan."

Para kiyai atau gus bisa memilih, apakah menjauhi tidak mau mengurusi murid, santri atau masyarakat yang bermasalah, atau terjun, mendekat, memahami psikologi mereka seraya mendoakan dan memberi pencerahan. Di sini dibutuhkan kesabaran serta ketawadhuan dengan mengingat bahwa semua manusia sama dimata Tuhan, dan tidak ada yang tahu akhir hidup masing-masing.

Tokoh Kita memahami tabiat manusia. Kebaikan bisa dijalankan perlahan-lahan, syariat bisa diterapkan secara bertahap. Selama hal yang utama, yaitu pengharapan pada Tuhan terus dijaga, segala hal lain masih punya optimisme untuk bisa diperbaiki. Keyakinan yang lurus akan Tuhan adalah yang utama karena membuat semua perbuatan manusia punya arti. Lebih jauh, keyakinan dan cinta pada Tuhan dan Nabi bisa mengantarkan manusia pada kebahagiaan sejati.

Butuh keluasan hati akan cinta pada sesama untuk bisa melakukan itu. Dalam khazanah tasawuf, kita familiar dengan cerita para sufi yang melakukan kebaikan kepada orang lain bahkan pada taraf yang tidak masuk akal. Ya, tanda seseorang penuh mahabbah pada Tuhan tercermin melalui kecintaan kepada manusia. Dalam istilah Gus Mus; memanusiakan manusia. Sementara dalam istilah Gus Dur; humanis.

Itu sebabnya terkadang saya memanggil Ustad Kita habib, bukan karena ia punya silsilah sebagai dzurriyah nabi Muhammad, tapi karena ia bisa mencintai manusia apa adanya, sehingga cinta itu selalu kembali padanya.

Wallahu a'lam.

Rabu, 17 Agustus 2022

Lebih Baik Ikan Julung-Julung di Tangan Daripada Ikan Kakap tapi Lepas

Saya tiba ketika mereka bertiga sedang asik menyiapkan berbagai piranti pancing yang akan dibawa.

Kami sepakat untuk memancing dan menjadikan rumah Oechil sebagai basecamp. Kami berangkat menggunakan dua motor. Edo dan Deni di satu motor kemudian Oechil dan saya di motor yang lain. Perjalanan berlangsung normal sampai Oechil mengajak melewati galangan tambak.

Oechil yang mengendalikan motor, berhenti di tengah galangan, "Diem, Mi. Jangan bergerak."

"Bangsat Lu, Chil!" saya memaki, mematung tegang karena kami berjalan di atas tanah selebar jengkalan tangan.

Oechil membalas dengan tawa.

Jika tiba-tiba motor mati, maka tidak akan ada pijakan lain untuk kaki dan kami akan tercebur bersama. Atau sedikit saja saya yang duduk di kursi belakang melakukan gerakan tiba-tiba, motor bisa tidak stabil dan kami berdua bisa berakhir penuh lumpur. Sebenarnya saya tidak terlalu khawatir, karena toh itu motor Oechil dan kalaupun jatuh, kami jatuh berdua. Saya lebih mengkhawatirkan Si Buncit Edo dan Deni yang mengikuti di belakang dengan wajah pucat, tidak bisa turun untuk menuntun motor, apalagi putar balik.

Hari itu saya tidak jadi menonton dua ekor kerbau gupak di lumpur.

Kami tiba di warung tepi muara untuk naik perahu. Di sampan menuju spot pemancingan, kami melewati deretan tanaman bakau, dan beberapa tanaman perdu. Saya mengamati pucuk dedaunan berharap menemukan hewan liar seperti monyet atau burung, tapi nihil. Saya mengalihkan pandangan ke sudut-sudut tepian muara berharap menemukan buaya.

"Masih ada buaya di sini, Chil?" Saya bertanya ke penguasa lokasi.

"Hus, jangan disebut!" Oechil melarang.

"Beneran ketemu, lu!" Deni Bagong menimpali.

"Orang sini nyebutnya Penganten." Edo lebih informatif dan solutif.

"Ohh," Saya pikir mengganti kata buaya dengan Penganten akan lucu dan malah semakin menyakiti hati buaya. Apa yang lebih menghinakan buaya yang hidup penuh kebebasan selain disamakan dengan kata yang arti sebenarnya adalah orang yang meninggalkan masa lajang karena memilih menghadapi masalah hidup yang belum pernah mereka hadapi?

Saya membayangkan ada orang yang lari terengah-engah menyelamatkan diri karena kawannya baru saja dimakan buaya, dan melapor ke orang-orang di warung kopi di sekitar muara. "Bang, tolong, Bang! Kawan saya dimakan Penganten!"

Tidak ada yang lebih lucu dibanding orang mati karena dimakan Penganten. Apalagi Penganten Sunat.

"Kalo gua nyebutnya Crocodile, kira-kira buayanya paham gak?" Saya usil bertanya.

Bagong dan Edo hanya melihat saya dengan tatapan dasar-bocah-bego!.

Kami sampai spot memancing di ujung muara waktu asar, kemudian segera mempersiapkan alat-alat pancing. Deni mulai merangkai dan meminjami saya salah satu alat pancingnya. Ia mengajari saya cara membuat kombinasi dan simpul yang mengikat senar ke kail dan kili-kili.

Kami akan Ngoncer atau memancing menggunakan umpan hidup, sementara hanya Oechil sendiri yang kali itu ingin mencoba teknik Casting menggunakna umpan tiruan. Namun sebagai tuan rumah, Oechil tetap meminta anak buahnya untuk menyiapkan udang. Edo mengeluarkan aerator portable untuk diletakan di tempat umpan agar udang tetap hidup bahkan sampai esok hari. Ya, hari itu kami akan menginap dan memancing sepanjang sore, malam dan esok pagi.

Saya mengamati mereka bertiga yang sedang asik menyiapkan alat yang beberapa baru saya lihat kali itu. Sudah lama sekali saya tidak memancing. Dulu ketika SD, saya sering memancing ikan di sawah dengan hanya bermodal joran bambu yang saya buat seadanya, senar yang mengikat pumbul dan kail menggunakan teknik simpul sekedarnya, tanpa reel, timah, stopper, kincringan, apalagi starlight.

Berbeda dengan memancing dengan cara modern, memancing dengan cara tradisional menurut saya lebih mendebarkan. Joran lebih ringan dan tipis, sehingga kedutan dan hentakan yang terasa karena ikan memakan umpan lebih menggetarkan sanubari. Ya, saya tahu itu lebay. Namun itu adalah pengalaman ekstase yang membuat ketagihan dan betah memancing berjam-jam.

Itu kali pertama saya memancing di muara dan sepertinya Edo meremehkan saya.

"Tau gak lu ini apa namanya?" Edo sombong, memperlihatkan box berisi piranti pancing. Deni bercerita bawa Edo baru membeli reel, dan joran yang ia punya adalah hasil pemberian kawan kami Moses Si Dewa Mancing, makanya dia agak sombong.

Tapi dia sombong kepada orang yang salah, karena tidak menunggu lama sampai saya strike pertama. Ikan Lundu. Kecil. Ya, sekecil apapun strike tetap strike.



Ikan Lele laut atau disebut juga Ikan Lundu atau Keting rata-rata beracun. Duri punggung atas dan dua sirip dada dapat menimbulkan luka yang menyakitkan bahkan fatal.

Samin, pekerja di tambak bahkan bercerita kalau obat satu-satunya adalah suntikan dokter. Namun jika mau bertahan, rancunnya mungkin akan hilang dalam 24 jam. Dalam waktu-waktu tersebut, menangislah sekeras-kerasnya karena hanya itu yang dapat mengurangi panas bisanya.

"Memang yang penting itu bukan alat, tapi skill. Itu yang membedakan antara Angler profesional dan amatir!" saya membalas kesombongan Edo sambil tertawa.

"Keberuntungan pemula!" Edo merespon seperti enggan mengakui pencapaian saya.

Tidak lama kemudian, saya strike ikan kedua, "Kalau sekali itu keberuntungan pemula. Kalau dua kali apa namanya, Bung?"

Edo manyun karena ia belum dapat ikan seekorpun. Bahkan sampai keesokan paginya ia masih Boncos. Ia hanya mendapat dua ikan kecil sesaat sebelum kami pulang pada siang hari. Entah ikan apa. Mungkin Julung-Julung.

"Ada kaidah, apa yang terjadi sekali tidak akan terjadi dua kali. Tapi apa yang terjadi dua kali akan terjadi untuk ketiga kali." kata saya sambil melemparkan kembali umpan.

"Gua suka gaya lu!" Edo nyengir.

Benar saja, saya mendapat ikan lagi setelah itu.

Menit berjalan lambat. Itu Malam Satu Suro, dan menurut saya sama saja seperti malam-malam sebelum itu. Sama seperti fakta bahwa itu hari ulang tahun saya, dan menurut saya sama saja seperti hari-hari sebelum itu. Hari pertemuan, hari perpisahan, bagi orang lain akan terasa sama saja, karena yang membuat itu spesial adalah perasaan.

Malam itu angkasa penuh bintang. Deni bilang kalau suasananya tenang seperti suasana malam di gunung. Tentu ada bedanya, di gunung, di ketinggian tertentu, tidak akan ada nyamuk, sementara nyamuk muara sungguh gila.

Makin malam, suasana makin sepi, nyamuk makin hilang, hanya gemericik air dan suara percakapan kami. Sambil makan Timbel yang sudah disiapkan istri Oechil, kami mengenang masa lalu. Masa-masa di pesantren ketika kebahagiaan kami lebih sederhana; diajak makan Timbel kawan yang baru dijenguk orang tua. Sementara masalah terberat kami juga lebih sederhana; kebagian jadwal Muhadloroh.

Sekarang kami semua sudah berkeluarga. Masalah berganti, yang dulu kami anggap masalah kecil sekarang jadi besar, begitu juga masalah yang dulu kami anggap besar sekarang jadi kecil. Urusan salah meletakan handuk sehabis mandi atau sendal sehabis keluar rumah bisa menjadi masalah besar bagi yang sudah berkeluarga.

"Gua mah bingung. Ada aja orang yang bilang, 'enak banget hidup lu mah, Te'" Deni Bagong, RT yang malam itu seharusnya mengurus pawai obor tapi malah kabur mancing, memulai cerita. "Lah mo gimana lagi, kata gua. Elu hidup banyak duit, laki-bini kerja, masih ada bisnis sampingan, lah harusnya mah lebih enak hidup lu daripada gua. Lah gua bayar pajak mobil aja harus jual motor."

Edogawa lebih suram. Ia mengundurkan diri dari pekerjaan tetapnya sebagai guru dan sepertinya juga kehilangan selera untuk kembali menjadi kacung. Saat ini perkejaannya mengojek, namun pekerjaan utama tetap sama; berkhayal.

Oechil tidak banyak bercerita malam itu. Dari kami bertiga, ia satu-satunya yang sangat fokus memancing. Ia bahkan tidak tidur semalaman dan strike 3 Monster Keting seukuran lengan orang dewasa. Saya terlonjak dari tidur-ayam ketika pukul 2 dini hari ia mencabuti patil Keting beracun menggunakan tang.

Oechil tidak bercerita tentang kepahitan hidupnya, bukan karena tidak punya, tapi karena memang ia tidak mau cerita. Menurut saya semua orang punya masalah, maka saya tidak mengerti mengapa ada orang yang menginginkan kehidupan orang lain. Tidak ada orang yang sempurna, dan kehidupan orang lain selalu terlihat lebih baik. Seperti kata pepatah, rumput tetangga lebih hijau daripada rambut tetangga.

"Gua bingung sama Edo!" Deni bercerita ke saya waktu kami hanya berdua, "Mo gua cariin kerja, tapi mo kerja apa? Gua takut dia gak cocok. Lu tau sendiri bocahnya kayak gitu."

"Elu bukan orang pertama yang curhat ini ke gua, Gong!" Saya cekikikan. "Apa yang buat lu yakin dia lagi susah dan butuh kerja?"

"Ya lu bayangin aja, gua pernah ngojek, Mi. Paling berapa sih penghasilannya? Dia sarjana loh!"

Saya mau mengulang pepatah rumput tetangga, tapi takut tidak lucu, "Kita kan ngeliatnya dari luar, Gong. Siapa tau dia lebih bahagia sekarang. Gua sih ngeliatnya begitu, tapi gua yakin setiap orang akan tiba pada kata cukup. Biarin aja sekarang dia nikmatin hari-harinya."

Masalah hidup akan datang silih berganti. Tahun-tahun yang angkuh terus berjalan maju meninggalkan umur yang angkanya terus membesar, tanpa peduli manusia-manusia yang tidak siap. Saya belajar, seharusnya saya lebih peduli pada apa yang ada dalam diri sendiri daripada mengkhawatirkan apa yang ada di luar. Kita tidak bisa mengontrol apa yang ada di luar, tapi kita bisa mengendalikan pikiran sendiri.

Pikiran dan intensi adalah yang terpenting. Pada tataran praktis, itu sebab orang mengganti Buaya menjadi Penganten. Saya tahu pergantian nama itu untuk mengakali law of attraction. Hukum atau konsep yang menyatakan bahwa pemikiran positif akan berdampak positif bagi kehidupan seseorang, begitu juga pemikiran negatif. Walaupun menurut saya dampak yang ditimbulkan adalah dampak psikologis, sugesti atau plasebo semata.

Tidak akan ada orang yang melarangmu untuk berpikir bahawa hidupmu sulit, pekerjaanmu selalu menyusahkan, dan kehidupanmu penuh kesengsaraan. Sama juga tidak ada yang melarangmu untuk berpikir bahwa kehidupanmu baik-baik saja, dan kamu bahagia apapun keadaanmu.

"Mi, strike, Mi!" Deni memecahkan lamunan saya. Ujung joran yang dipasang starlight bergoyang-goyang. Saya mengangkat joran dan mulai menggulung reel. Gulungan terasa berat, joran semakin melengkung. Ini pasti Monster, kata saya dalam hati. Tarikan semakin kuat, gulungan reel semakin berat, joran makin melengkung. Saya bertarung, menarik joran sekuat tenaga, tapi tiba-tiba gulungan terasa ringan dan makin ringan. Senar putus dan ikan besar Mocel.

Kata para pemancing, hidup itu seperti memancing, kadang mendapat ikan besar, kadang kecil, kadang terlepas, jadi harusnya kita bisa bersyukur. Seperti pribahasa, lebih baik ikan julung-julung di tangan daripada ikan kakap tapi lepas. Sementara masalah hidup itu seperti Racun Lundu, jika mau bertahan, rancunnya mungkin akan hilang, dan dalam waktu-waktu tersebut, menangislah sekeras-kerasnya karena hanya itu yang dapat mengurangi panas bisanya.






Rabu, 03 Agustus 2022

Langit dari Roof Top




Saya senang memandang langit dari roof top karena membuat saya merasa kecil. Saya senang merasa kecil.

Banyak hal yang membuat saya merasa kecil. Salah satunya jika berhadapan dengan seseorang. Bukan orang yang berkedudukan tinggi atau punya banyak harta. Tapi terutama orang-orang biasa.

Namanya Hasan. Ayah dari 3 orang putra. Ketika ia bercerita tentang anak pertamanya yang autis, saya kembali merasa kecil. Saya berbincang dengan Hasan di sebuah taman pada saat mengantar Nada bertemu guru dan kawan-kawan sekolah. Saya bilang, "Saya kagum sama orang tua yang tetap tegar dengan apapun kondisi anaknya." Ia hampir menangis mendengar itu.

Pada kesempatan yang lain saya yang menangis karena orang sederhana atas nama Rois bilang, "Jangan ada lagi bayi yang dibuang di negeri ini."

Ia adalah pendiri Panti Asuhan Manarul Mabrur di Semarang. Awalnya panti asuhan itu diperuntukan untuk anak-anak jalanan, namun pada tahun kedua panti itu berdiri ada seorang pelajar hamil yang datang dan ingin menyerahkan bayinya jika sudah lahir. Setelah itu, beberapa orang mengenal panti itu sebagai tempat penitipan bayi yang tidak diinginkan, sebagai menampung bayi di luar nikah, atau pengurus bayi yang tidak mampu diurus orang tuanya.

Pernah ada sepasang tunawisma yang datang pada Pak Rois yang meminta bantuan untuk melahirkan anak mereka. Sepasang tunawisma itu tidak punya KTP, tidak punya uang, bahkan tidak punya tempat untuk pulang. Mereka tidur di depan pertokoan yang sudah tutup di malam hari, sementara siangnya mereka mencari sesuap nasi dari mengamen atau melakukan banyak hal. Setelah anak mereka lahir, mereka menitipkannya di panti.

Saya menangis. Ada dua hal yang tidak pernah gagal membuat saya menangis, Nabi dan anak-anak. Jadi ketika saya melihat Pak Rois, orang yang sederhana itu, mengurus bayi-bayi yang tidak diinginkan orang tua mereka, merawat seperti ia merawat anak-anaknya sendiri, tidak memberikan ijin bagi yang ingin mengadopsi kecuali orang tua atau keluarga bayi-bayi itu sendiri, menyekolahkan mereka sampai sarjana, maka saya menangis.

Saya melihat anak-anak itu tumbuh dengan sehat, merasakan betapa berat mengurus puluhan bayi yang jika satu bayi sakit mudah menularkan pada bayi-bayi lain, mengerti akan sulitnya mencari dana untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, memahami pengorbanan waktu yang hampir 24 jam habis untuk mengurusi anak-anak yang bukan darah daging sendiri. Apa sebenarnya yang membuat Pak Rois bertahan dengan semua itu. Ia menjawab dengan tenang, "Kami bertahan sampai hari ini karena kami mencintai negeri ini dan sangat menyayangi apa yang ada di dalamnya. Kami akan sangat bahagia ketika anak-anak ini tumbuh menjadi anak-anak yang baik di negeri ini, dan mencintai semua manusia yang ada di dalamnya."

Itu yang akhirnya membuat saya menangis dan merasa sangat kecil. Saya merasa hanya kekuatan langit yang bisa membuat orang-orang seperti Pak Rois bertahan. Sambil melihat langit di atas roof top, saya berdoa semoga makhluk yang ada di langit selalu menyayangi makhluk yang senantiasa memberi kasih sayang di bumi.

Kamis, 28 Juli 2022

Aku Berharap Jalan Lebih Panjang Agar Kamu Tetap Memelukku di atas Kendaraan

Angin berhembus dari arah depan menggigilkan tanganku yang sedang mengendalikan stir, masuk ke ujung lengan jaket, sampai hawa dinginnya merembet ke lengan. Aku menaikan sleting jaket sampai ke leher dengan tangan kiri. Udara sejuk tetap merembet masuk menerobos rongga helem di bawah dagu dan membuat bulu halus di pipi meremang. Kamu semakin mendekatkan tubuh kemudian memasukan tangan ke kantong jaketku. Tiba-tiba aku ingat Ernest. Dia bilang, "Jangan pernah melakukan perjalanan dengan siapa pun yang tidak kamu cintai."

Kita tiba di sebuah kafe di atas bukit dengan pemandangan lembah ketika kabut mulai naik dan mendung menutup langit. Jauh di bawah kita bisa melihat air terjun dengan rimbun hutan hijau di bukit yang berundak. Pelayan mempersilahkan kita duduk di sebuah kursi kayu dengan meja dari potongan kayu besar yang dibiarkan seperti bentuk aslinya, dengan urat kayu puluhan tahun yang dipernis sewarna tanah.

Kamu ijin untuk ke toilet sambil sekalian salat setelah memesan semangkuk Mie Godok Jawa untukku dan Kelapa Lemon Selasih untukmu. Pesanan belum diantar dan kamu sudah menghilang di balik tembok sebuah bangunan. Aku memandangi lembah dan pegunungan, juga orang-orang yang sedang duduk di kafe terbuka itu. Tidak banyak yang datang karena mungkin masih ada pembatasan.

Musik mengalun dari pengeras suara, diawali suara petikan gitar kemudian suara --yang belakangan aku tahu milik Tami Aulia--- mengalun merdu. Ia menyanyikan Bertaut:


Bun, aku masih tak mengerti banyak hal
Semuanya berenang di kepala
Dan kau dan semua yang kau tahu tentangnya
Menjadi jawab saat ku bertanya

Sedikit kujelaskan tentangku dan kamu
Agar seisi dunia tahu
Keras kepalaku sama denganmu
Caraku marah, caraku tersenyum
Seperti detak jantung yang bertaut
Nyawaku nyala karena denganmu



Aku menarik selembar tisu di atas meja dan menuliskan beberapa hal yang terlintas di kepala. Itu pertama kalinya aku mendengar Akustik Tami. Sejak saat itu, setiap kali mendengar suaranya bernyanyi diiringi dengan petikan gitar, aku selalu ingat suasana itu. Aku ingat sejuk udara, angin yang sesekali berhembus meremangkan bulu tangan, kabut tipis yang menutupi air terjun di bawah lembah, meja kayu, suara orang bercakap-cakap dan aroma samar dedaunan pinus.

Kamu tahu, seperti ketika kamu mendengar sebuah lagu pada suatu waktu dan tanpa diminta suara itu membuncahkan sebuah gambaran peristiwa. Kadang membangkitkan ingatan yang menyakitkan, terkadang peristiwa yang menyenangkan. Begitulah sihir nada.

Begitulah ketika tiba-tiba aku mendengar Kamulah Satu Satunya - Dewa 19, aku seakan kembali menjadi anak kelas 1 Tsanawiyah dan mengalami nuansa ketika baru masuk pesantren. Atau Selepas Kau Pergi – Laluna yang tidak pernah gagal menggiring pada ingatan di sebuah kamar kecil dengan meja dan dipan seadanya ketika aku kuliah di Pekalongan. Atau ketika mendengar Saat Bahagia – Ungu dan Andien, aku selalu seperti dibawa ke dalam bis menuju Jogjakarta. Atau seperti Cinta ini Membunuhku – d’Masiv yang selalu mengingatkanmu akan saat-saat ketika kita baru kenalan.

Lirik di dalam lagu-lagu itu tidak selalu mewakili perasaan kita saat itu. Namun nada, suara, lantunan musik selalu membawa alam bawah sadar kita untuk mengingat dan mengenang. Seperti cinta, musik menyelinap diam-diam ke dalam jiwa kemudian tumbuh liar begitu saja bagai ilalang, menancapkan sugesti di bawah sadar, kemudian ketika kita mendengarnya kembali di waktu yang lebih sering tidak terduga, ia menceburkan kita ke dalam memori dengan segala hiruk-pikuknya. Kadang membuat tenang dan menghangatkan hati, kadang membuat kepala bergolak.

Pandemi menjebak kita pada kondisi yang belum pernah kita rasakan sebelumnya. Kamu tertekan dan mungkin stress. Sering mencemaskan banyak hal di masa depan. Mengkhawatirkan anak-anak. Bercerita tentang kelakuan banyak orang yang tidak masuk akal. Bercerita tentang mimpi-mimpi aneh, lucu atau mengerikan yang sebentar kemudian kamu lupakan setelah bangun tidur. 

Aku suka caramu melihat dunia, terkadang aku iseng mengujinya dan kamu kesal. Aku senang ada di sampingmu, melihat dunia dengan cara kamu melihat dunia. Dunia yang begitu-begitu saja dan membosankan. Mungkin saat bosan dengan kegiatan yang itu-itu saja, akhirnya kamu menemukan kesenangan dan pelarian pada BTS. Pada lagu-lagu dan aktifitas mereka. Fangirling membuat hatimu senang dan bersemangat. Aku senang melihatmu senang.  

Sayang aku tidak punya keresahan yang sama. Aku sering bertanya pada diri sendiri tentang apa yang membuatku senang. Aku tidak bermain game, tidak berkumpul dengan komunitas sepeda atau otomotif, atau mengoleksi mainan, atau menggilai klub bola. Bahkan saat ini aku tidak punya sosial media. Bukan alergi, tapi pada akhirnya manusia akan sampai pada rasa cukup.

Jadi bisakah manusia bersenang-senang tanpa hobi?

Aku senang menulis; meletakan kesadaran pada setiap aktifitas yang aku lakukan. Memikirkan orang lain. Tidak masalah orang yang sedang aku pikirkan tidak memikirkanku. Mendengarkan dan membayangkan kehidupan lain. Belajar. Bertanya tentang apa saja walau lebih sering tidak menemukan jawaban. Kesenangan belajar dan berempati pada orang lain itu yang akhirnya banyak menjadi tulisan. Tidak semua, tapi sebagian besar tulisanku adalah tentang manusia.

Meniru Gus Baha, aku senang melakukan hal-hal biasa dalam keseharian yang dibolehkan Tuhan. Ini adalah perkara perspektif. Kegiatan dan keadaan kita yang biasa saja, bisa jadi merupakan privilege bagi orang lain. Sementara hobi adalah kesenangan untuk melakukan kegiatan yang berlainan dari rutinitas. Beliau bilang, "Biasanya orang merasa tidak bahagia, karena standar atau ekspektasi yang terlalu tinggi, maka usahakan kita bahagia dengan standar yang paling sedikit, paling minimal."

Aku senang saat ini. Aku senang saat lelah dan pusing karena bekerja. Aku senang ketika bersujud. Aku senang merawat dan menemani anak-anak tumbuh. Aku senang menjalani kehidupan yang biasa saja; membantu pekerjaan rumah, memasak, mencuci piring, memperbaiki barang-barang, berkebun. Aku juga senang saat membawamu ke tempat yang belum pernah kita kunjungi dengan motor yang sudah 15 tahun terakhir ini menemani kehidupan kita.

Sebelum bangkit pulang, aku masih bisa mendengar Tami menyanyikan Melukis Senja:

Aku di sini walau letih coba lagi jangan berhenti
Ku berharap meski berat kau tak merasa sendiri
Kau telah berjuang menaklukankan hari-harimu yang tak indah
Biar ku menemanimu membasuh lelahmu

Izinkan ku lukis senja
Mengukir namamu di sana
Mendengar kamu bercerita
Menangis tertawa

Biar ku lukis malam
Bawa kamu bintang-bintang
Tuk temanimu yang terluka
Hingga kau bahagia



Senja perlahan-lahan ditelan gelap malam ketika kita kembali berada di jalan pulang. Waktu berjalan ke depan dan zaman terus berubah. Tidak ada satupun dari kita yang tetap sama seperti masa lalu, dan memang kita tidak bisa lagi menjadi diri kita di masa lalu. Aku dan kamu adalah musafir di jalan panjang bernama kehidupan. Sebuah jalan yang selalu mengarah ke sebuah pintu. Ditemani malam, dari atas kendaraan, aku merasa berada dalam lagu The Long and Winding Road – The Beatles.


The long and winding road
That leads to your door
Will never disappear
I've seen that road before
It always leads me here
Lead me to you door

The wild and windy night
That the rain washed away
Has left a pool of tears
Crying for the day
Why leave me standing here?
Let me know the way

Many times I've been alone
And many times I've cried
Anyway, you'll never know
The many ways I've tried

And still they lead me back
To the long winding road
You left me standing here
A long, long time ago
Don't leave me waiting here
Lead me to your door







Jumat, 01 Juli 2022

Tangisan pada Suatu Pagi

Pada suatu pagi, perempuan itu menangis di depan saya. Di tangannya ada sebuah naskah buku. Entah pada halaman atau paragraf berapa ia menutup buku itu kemudian terisak. Tubuhnya terguncang, ia melepas kaca mata, beberapa kali mengusap air mata dan menekan hidungnya yang mulai berair dengan tisu. Dari tempat duduknya, dengan suara bergetar ia bilang, "Kalau aja cewek, udah gua peluk lu dari tadi,"

Sebagai kawan, secara naluri saya ingin memeluk untuk meredakan tangisnya. Namun karena norma, itu tidak bisa saya lakukan. 

Naskah buku yang barusan ia baca adalah naskah buku yang saya tulis tentang dirinya. Mungkin dia baru saja membaca bagian yang mengingatkan kembali akan luka di hati. Tujuan saya menulis cerita tentangnya adalah untuk membantu melewati masa-masa yang tidak mudah. Masa penuh tangis dan trauma. Secara singkat buku itu menceritakan tentang patah hati, penghianatan, masalah-masalah percintaan dan tentu saja usaha untuk kembali bangkit dari masa-masa kelam itu.

Saat ini ia kembali menangis karena kembali menghadapi masa-masa yang gelap. Bahkan lebih berat dari yang sebelumnya. Ia sedang menjalani hubungan beda agama dan berencana menikah. Ia bertanya, "Kalo gua nikah di gereja, lu mau dateng?"

"Dateng kalau memang diundang." Saya menjawab cepat.

Keluarga besar melarang pernikahan itu. Orang tuanya tidak merestui. Juga yang paling menyesakan dada, keluarga terdekatnya sudah menganggapnya tidak ada; dikucilkan, tidak dipedulikan, tidak dihargai. Terkadang jika mengingat apa yang sudah ia berikan pada keluarga, ia merasa semakin nelangsa. Karena balasan dari apa yang sudah ia perjuangkan untuk keluarga adalah mereka tidak mau memikirkan perasaannya, bersikap keras, bahkan enggan untuk sekedar berkata yang tidak menyakiti hati. Sampai ada yang mengatakan bahwa Almarhumah ibunya meninggal karena terlalu memikirkannya. Itu tuduhan yang menyakitkan. Dan makin akan banyak tuduhan atau mungkin fitnah lain jika sesuatu yang buruk kembali terjadi padanya. 

"Gua sempet mikir, apa ini kutukan ya?" ia melanjutkan. Entah karena benar ia ingin tahu jawabannya, atau mungkin hanya mengungkap apa yang ada di kepala. 

Pertanyaan itu mengingatkan saya akan film-film Disney tentang putri, penyihir dan pangeran penyelamat. Sebagai orang yang logis saya menjawab, “Gak tau. Gak bisa diverifikasi juga,”

Mungkin kamu menganggap apa yang ia lakukan keterlaluan, mencari masalah, berlebihan dan emosional. Ya, sebagian besar orang yang ia kenal juga berpikiran sama. Semua orang bebas bicara dan berpendapat. Semua orang bisa mengatakan bahwa orang lain yang tidak sepemahaman dengan mereka adalah salah. Namun berkata kasar, mengancam, mengutuk, memfitnah, menyakiti hati adalah tindakan yang punya konsekuensi yang terkadang sangat merusak. Ia sempat berpikir untuk mati atau dimatikan.

Saya ingat apa yang selalu diulang-ulang Ustad Adi Hidayat dalam ceramah ketika bercerita tentang Allah yang memerintahakan Nabi Musa dan Harun untuk mendatangi Firaun dan berkata padanya dengan lemah lembut, “Anda tidak sesaleh Nabi Musa dan Harun. Orang yang anda anggap salah juga tidak seburuk Firaun. Tapi anda berkata padanya dengan perkataan yang kasar. Anda ini mencontoh siapa?”

"Gua udah kehilangan support system. Keluarga paling deket udah nganggap gua gak ada," katanya suatu saat.

Saya sayang padanya tapi tidak bisa menjanjikan apapun. 

"Apa yang membuat lu bertahan dengan kondisi ini?" Saya bertanya.

"Karena gua tau masih ada yang lebih buruk kondisinya dari gua. Gua sering keliling jalan-jalan buat nenangin pikiran kalau lagi ada masalah. Gua liat orang-orang di jalan yang gak punya rumah, gua ngerasa masalah hidup gua bukan apa-apa. Gua merasa masalah gua kecil."

Sebagai manusia memang kita seharusnya merasa kecil dan lemah. Kita bahkan tidak tahu apa yang akan terjadi beberapa jam yang akan datang. Kesombongan menjadikan manusia bertindak seakan-akan mereka adalah Tuhan yang mengetahui segalanya. Orang yang beragama dengan kesombongan sebenarnya sedang mematikan ruh religiusitas, menentang makna penghambaan pada Tuhan. Dalam penghambaan, kita kecil karena yang besar hanya Tuhan.

Gus Baha pernah bercerita tentang orang saleh yang Ujub dan orang yang durhaka namun tetap melakukan Salat, “Kita tidak pernah tahu. Bisa saja suatu saat mungkin Allah ridha dan menerima salatnya kemudian dia jadi Wali. Kita tidak pernah tahu kapan Allah ridha atau benci pada kita. Kita gak pernah tahu Allah meletakan ridhanya dimana dan murkanya dimana.”

Rahmat Allah ada pada tiap hal. Bahkan pelacur yang memberi minum anjing kehausan bisa masuk surga karena ridha Allah. Jadi manusia tidak diberi kesanggupan untuk mengetahui bagaimana akhir hidup mereka nanti. Jika kehidupan manusia diibaratkan hari, maka segala hal bisa saja terjadi sampai sore tiba. Bisa saja perempuan yang menangis pada pagi hari itu tersenyum di sore harinya. 

Saya selalu mendoakan itu.

Wallahu ‘alam.