“Nggak semua orang bisa dihipnotis.” Istri saya berkomentar.
“Selama tidak dungu dan mengerti bahasa, semua orang bisa dihipnotis.” Saya menjelaskan.
“Waktu itu aku dihipnotis nggak berhasil.”
“Siapa bilang? Aku berhasil hipnotis kamu untuk nggak bisa dihipnotis.”
Istri saya tertawa karena menganggap saya bercanda. Andai dia tahu kalau dia juga saya hipnosis waktu nerima lamaran saya.
Penggunaan kata dan Bahasa yang tepat adalah perangkat yang diperlukan untuk menjangkau alam bawah sadar. Pakar hipnosis harus sangat cakap dalam berbahasa, guna mencari cara bagaimana menyentuh alam bawah sadar pasien. Bisa melalui metafora, tantangan, cerita, sinisme, mengacaukan pikiran untuk memfokuskannya dan lain-lain. Ada juga hipnosis terselubung yang bisa membuat orang menjalankan sugesti tanpa ia menyadari sedang dihipnosis. Namun sekali lagi, kunci dari semua itu ada di kemahiran berbahasa.
Anak-anak lebih mudah dihipnosis karena imajinasi mereka tinggi dan menyukai pengalaman baru. Nada (5 th) girang dan dengan penuh semangat mengatakan ke ibunya, “Bu, tangan kakak tadi jadi kayu.”
Memang sebelum itu, saya menghipnosis Nada dan mengatakan bahwa tangannya telah menjadi kayu. Pada kesempatan lain, saya membuat ia bisa merasakan tangannya terangkat ringan seperti ada tali yang menarik. Di kesempatan yang berbeda, hipnosis membuat ia melupakan angka empat. Ia menghitung seluruh jari tangannya berjumlah sebelas. Nada bergairah dengan pengalaman-pengalaman baru itu, tapi untuk pengalaman yang terakhir, tentu saja ibunya khawatir.
Saya tidak mempelajari hipnosis hanya untuk bersenang-senang. Saya menggunakan untuk mengurangi kram di urat leher ketika menyuruh anak-anak gosok gigi atau tidur siang. Saya juga menerapkan pada mereka untuk meringankan sesak nafas, tidak takut ketinggian, menjadi lebih percaya diri dan berbagai hal lain yang tak terbatas. Ya, saya menerapkan hipnosis dalam parenting. Anak-anak telah dianugrahi imajinasi yang tidak ada tandingannya, dan setelah mereka tahu bagaimana menggabungkan relaksasi dengan imajinasi, mereka akan memiliki bekal yang sangat berharga bagi kehidupan mereka.
Saya percaya bahwa seiring kemajuan ilmu pengetahuan, manusia menjadi semakin efisien. Ilmu pengetahuan berkembang, begitu juga ilmu pengetahuan tentang mengasuh anak. Ada banyak metode atau teori parenting yang saya dapat, entah dari buku, social media, seminar, workshop dan lain-lain. Namun, tidak jarang dengan berbagai macam informasi dan teori tentang parenting, membuat orang tua bingung. Tidak jarang teori-teori tersebut malah bertentangan. Lagipula, lebih mudah mengatakan teori-teori itu daripada melakukannya.
Belakangan saya ketahui bahwa mengasuh anak adalah seni. Kita tidak bisa hanya mencontoh apa yang ada dalam buku atau seminar. Jika apa yang dicontohkan dalam teori tidak bekerja, perlu ada modifikasi dan penyesuaian. Buku-buku parenting bukan manual book yang harus diterapkan dengan presisi dan kita berhadapan dengan mamalia kompleks dengan tingkat intelegensi yang tinggi, sehingga terkadang diperlukan penyesuaian tergantung keadaan. Hal itu juga membuat kita tidak mudah putus asa hanya karena satu cara tidak bisa diterapkan. Selama prinsip, nilai utama atau tujuannya sama, cara yang dilakukan boleh berbeda-beda. Cara yang beragam itulah yang dipelajari lewat pengalaman. Dan untuk yang satu itu saya tidak pernah merasa pintar.
Saya baru tiba di rumah ketika membaca pesan di grup WA yang mengajak kumpul di tempat Edogawa.
“Bentar ki. Gw nglurusin kaki dulu inih.” Saya membalas chating.
Pukul 13:30
“Begini nih Fahmi kalo maen ke tempat guah. Pake kolor doang.” Edo menyambut di depan pintu, “Mana kolor kagak pernah ganti dari jaman mondok lagi.”
Saya cuma nyengir. Perasaan saya nggak enak. Kolor akan jadi trademark saya hari ini, pikir saya kemudian.
Pukul 14:30
“Makan di tempat mancing aja.” Si gondrong Moses mengusulkan. Wartawan TV itu memang ngebet nyari tempat mancing di Bekasi.
“Emang mao mancing dimana, Bang?” saya tanya ke tuan rumah.
“Danau Cibereum!” Edogawa mantap.
“Di GrandWis, Mi.” Suhayat menjelaskan setelah saya tanya dimana.
“Oh, KotWis! Deket dong!” kata saya. Suhayat bingung.
“Pake mobil lu aja, Ses! Kan ada bagasinya.” Furqon, si veteran perang Vietnam, mengusulkan.
Bagasi mobil dibuka, tas berisi kompor dan peralatan masak dimasukan. Tanpa banyak berdebat, tanpa banyak rencana, kami, 5 orang kawan mondok, masuk ke Corolla 88 dan meluncur ke arah timur Bantar Gebang. Misi kami hari itu: strike ikan gabus terbesar di Danau Cibereum!
Dalam perjalanan, kami bercanda dan mengenang keakraban yang terjeda. Kami lulus pesantren tahun 2003, itu artinya sudah 14 tahun kelulusan dari sekolah yang menyatukan kami, itu artinya sudah 14+1 tahun dari AADC pertama tayang, dan kami belum bisa move on dari Dian Sastro.
Saya menganggap pesantren kami sebagai pesantren NU non-formal, karena memang walaupun amalan-amalan di pesantren seperti tahlil, qunut, rawi-an saat Maulid, kitab-kitab yang dibaca dan lain-lain sangat NU, tapi Kiyai Muhajirin (Allah yarham) tidak pernah aktif atau ikut organisasi NU formal. Walaupun lagi, karena lebaran sering nggak bareng dengan pemerintah, sering kami malah dianggap Muhammadiyah. Saya nggak punya masalah dengan Muhammadiyah, kawan-kawan saya banyak yang Muhammadiyah bahkan Salafi dan kami bergaul dengan baik, tapi orang NU yang dianggap Muhamadiyah itu lucu. Sangat lucu. Sama lucunya dengan yang menganggap Ceban itu Goceng.
Pukul 15:30
Tiba di lokasi, kami berjalan beriringan. Moses dan Edo di depan, Furqon dan Suhayat mengikuti, sementara saya paling buncit.
Belum jauh kami berjalan, seekor bencong dengan betis CR7 datang dari arah berlawanan. Memang sebelumnya Hayat bilang kalau bencong di sini ganas-ganas, dan melihat makhluk yang kami hadapi sekarang membuktikan kalau Hayat memang pemerhati bencong kelas dunia.
Bencong mendekat dan mencolek Edo, kemudian melewati dan senyum ke Hayat dan Furqon.
“Pait, pait, pait,” kata saya dalam hati ketika bencong tinggal satu tebasan golok di hadapan. Sambil memainkan hape, saya pura-pura nggak peduli.
“Baaanggg,” kata si bencong dengan suara sengau ke arah saya, “Kok pake kolor sih…”
Refleks saya pegang kuat-kuat tali kolor.
Pukul 16:00
Setelah makan toge goreng, kami mencari spot yang bagus buat mancing. Moses sang pakar mancing menentukan lokasi. Lima buah joran dikeluarkan dan kami memancing.
“Do, ayolah masak aer buat ngopi!” saya mengajak.
“Kopinya ketinggalan di mobil.” Kata Furqon sambil betulin kacamata.
“Pada pinter banget dah!” saya mulai misuh, “Ini tas isinya peralatan masak dibawa, trus kopi ditinggal di mobil?! Mo ngopi pake aer rawa lu pada! Mending bawa kopi aja, kita bisa minta aer panas sama tukang warung!” Saya sewot.
“Ngomong aja luh, Malih!” Edo membalas, “Udah lu ambil kopi di mobil sana. Sekalian ambilin rokok gue yang ketinggalan,”
Saya mau saja ambil kopi, tapi melihat kelakuan bencong yang kata Edo bisa striptis di batang bambu, saya nggak yakin bisa balik dengan selamat. Jadi ini bukan sekedar perkara mengambil kopi, tapi pertaruhan mempertahankan keperjakaan. Dan dengan kolor yang saya kenakan, saya akan jadi sasaran empuk setiap predator seksual.
Maka kami, lima orang berpendidikan tinggi ini, nggak ada yang mau menebus kebodohan membawa panci tanpa kopi, dengan mempertaruhkan kehormatan keluarga. Slogan kami hari itu; Mending nggak ngopi daripada pulang ngangkang!
Sambil mancing, kami berguyon tentang banyak hal. Kelucuan di kalangan santri memang tradisi. Sekeras apapun perdebatan kami di social media, ketika bertemu kami pasti tetap bercanda. Karena menurut kami, tidak ada masalah yang perlu terlalu serius diurusi sampai melupakan keakraban dan guyonan. Kami mewarisi kelucuan dari abang dan guru-guru kami.
Saya masih ingat ketika seorang guru mengubah nama kawan kami Abdurahman menjadi Omen, atau kisah abang kelas yang kesetrum karena menggantung celana dalam basah di kabel, atau kelakuan iseng mengeluarkan paksa kawan yang lagi mandi dari kamar mandi dengan tanpa pakaian. Maka saya mengabadikan kelucuan-kelucuan di pesantren itu —dengan cara menertawakan diri sendiri— dalam Badung Kesarung dan Di Bawah Bendera Sarung.
Sehabis ngaji santri doyan nongkrong sambil ngopi, atau terkadang sambil main poker. Membicarakan banyak hal dari mulai bola, negara sampai Qoul Qodim dan Jadid Imam Syafi’i. Dengan kondisi komunal semacam itu, maka melucu dan berguyon dengan hal-hal sekitar kami yang terkadang rumit menjadi kemampuan yang melekat.
Zaman sekarang, saya cenderung risih dengan santri yang kusut, runyam dan setiap posting ngajak bacok-bacokan. Ditambah lagi lupa adab dan akhlak. Kurang ngopi, istilah kami.
Pernah saya menulis status lucu-lucuan mempertanyakan apakah Tuhan punya akun di media sosial sehingga banyak yang berdoa di sana. Saya berharap status itu dapat komen, “Tuhan udah nggak mainan fesbuk, akhi. Sekarang pindah ke IG. Kalo mau add Malaikat Izroil aja nih. wkwkwkwk”. Tidak saya sangka, komentar-komentar atas status itu terlalu serius. Ada yang nulis, “Mau ngingetin aja takut lo lupa. Tuhan memang ada dimana-mana.”
Tentu saja saya mengerti tentang doktrin bahwa Tuhan ada dimana-mana, bahkan lebih dekat dari urat leher, tapi membayangkan Tuhan punya akun fesbuk itu lucu. Kalau mau serius, saya bisa saja membalas komentar-komentar itu dengan penjelasan Mujassimah Musyabbihah, tapi jawaban itu akan terasa seperti kanebo kering; kaku.
Saya paham nggak semua orang mengerti saya sedang bercanda, apalagi itu isu sensitif. Maka sekarang saya sudah insaf dan jarang nulis status guyonan yang sensitif seperti itu lagi. Saya nggak mau lagi bercanda bahwa Tuhan itu seorang pria 40 tahun yang tinggal di Dusun Krajan. Dia bisa terserang flu bahkan Ambeien.
Kelucuan dan menertawakan diri sendiri itu tingkat yang paling tinggi dari pengetahuan. Orang yang mengerti tidak akan merasa tersakiti dengan guyonan. Orang yang penuh pemahamannya, memberi jarak dan melihat dari jauh setiap masalah agar akal sehat bisa mencerna. Mengutip Charlie Chaplin, “Life is a tragedy when seen in close-up, but a comedy in long-shot.” Atau dalam bahasa yang lebih ringkas tragedy + time = comedy.
Sedikit lebih panjang, Gus Dur menulis, “Rasa humor dari sebuah masyarakat mencerminkan daya tahannya yang tinggi di hadapan semua kepahitan dan kesengsaraan. Kemampuan untuk menertawakan diri sendiri adalah petunjuk adanya keseimbangan antara tuntutan kebutuhan dan rasa hati di satu pihak dan kesadaran akan keterbatasan diri di pihak lain. Kepahitan akibat kesengsaraan, diimbangi oleh pengetahuan nyata akan keharusan menerima kesengsaraan tanpa patahnya semangat untuk hidup. Dengan demikian humor adalah sublimasi dari kearifan sebuah masyarakat.”
Tentu kami nggak terus-terusan guyon, kami mengerti batasan. Kami mengerti terlalu banyak tertawa mematikan hati, tapi terlalu sedikit tertawa juga bisa membuat hati cepat terkena serangan jantung.
Pukul 16:00
Sampai hari remang, kami nggak mendapat ikan seekorpun, tapi pemandangan, suasana dan keakraban hari itu sangat kami nikmati.
“Kurang bahagia gue blom narik ikan.” Kata si gondrong.
“Tadi kolornya Fahmi bukannya lu tarik?” Edo bales.
“Bah, belut listrik itu mah! Lu enak udah dicubit bencong.”
Matahari hampir tenggelam, langit bersemburat warna jingga dengan siluet gunung salak di kejauhan. Danau, langit, pelangi, gunung dan senja bersatu menampilkan gambaran alam paling subtil yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Bayang-bayang segala sesuatu memanjang mengingatkan saya akan sajak Sapardi.
Aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami
yang telah menciptakan bayang-bayang. Aku dan bayang-bayang tidak bertengkar
tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan.
“Apa yang diajarkan orang tua kepada anak-anak mereka yang homeschooling?” suatu hari kawan saya, seorang guru, bertanya.
“Apa saja yang mereka suka. Sesuai visi-misi yang dipunya orang tua.”
“Berarti sama dengan anak-anak yang putus sekolah dong?”
Saya kemudian menjelaskan panjang lebar bahwa homeschooling berbeda dengan putus sekolah. Pada dasarnya, homeschooling sama dengan sekolah, sama-sama legal dan diakui negara. Adapun perbedaannya terletak apada penerapan.
Sekolah ibarat membeli baju yang sudah jadi, sementara homeschooling ibarat membuat pakaian di butik. Jika kita membeli pakaian yang sudah jadi, maka kita memilih berdasarkan pilihan yang sudah ada. Dimana model, warna, ukuran sudah ada standarnya. Tapi jika kita membuat pakaian di butik, maka kita yang menentukan model yang sesuai untuk kita. Jadi homeschooling adalah tentang apa yang kita butuhkan, harapkan dan menjadi visi dari pembelajaran.
Seperti kawan saya, yang merupakan seorang guru, banyak diantara kita yang belum mengerti tentang homeschooling. Oleh karena itu saya menganggap perlu untuk menulisnya di sini.
Ada tiga hal yang saya dan istri sepakati menjadi visi paling tidak dalam enam tahun ke depan untuk anak kami, yang akan menjadi panduan menjalankan homeschooling. Visi tersebut adalah untuk menjadikan anak memiliki akidah dan akhlak yang kuat, mengetahui bakat dan minat dan bahagia menekuninya, serta bisa hidup secara mandiri, bermartabat, mulia guna menjadi perawat bumi.
Dari visi tersebut, lahirlah tiga misi yang kami kami akan ajarkan dan pelajari bersama.
Menanamkan akidah dan akhlak
Mencari minat dan bakat
Mengajarkan life skill
Turunan dari misi itu sangat variatif dan teknis. Seperti bagaimana cara mengajarkan akidah dan akhlak seperti Luqmanul Hakim mengajarkan pada anaknya. Dengan cara yang mudah dipahami anak-anak. Dengan metode bercerita, mengunjungi berbagai tempat, bermain dan banyak hal lainnya. Begitu juga tentang cara mengetahui minat dan bakat anak, juga life skill agar anak-anak bisa mandiri.
Dalam hal ini, seperti yang saya tulis sebelumnya, bukan hanya anak-anak yang belajar, lebih-lebih orang tua juga harus lebih mengerti. Maka orang tua dan anak sama-sama belajar. Apakah sulit? Tidak, terutama bagi yang senang belajar. Banyak buku, tulisan, pengalaman, tutorial, video, penelitian yang membahas tentang pendidikan modern yang bisa kita contoh.
Saya tidak pernah menganggap homeschooling sebagai sesuatu yang istimewa, sehingga menganggap sekolah sebagai sesuatu yang buruk. Tidak sama sekali. Keduanya, baik homeschooling ataupun sekolah adalah alat untuk meraih tujuan pendidikan. Keduanya merupakan pilihan masing-masing orang tua yang sama-sama sah, sehingga tidak sepantasnya dipertentangkan.
Sungguh pada awalnya, saya tidak keberatan jika anak-anak dimasukan ke SD Negeri, tapi istri saya kemudian bilang, “Caraku mengajar lebih bagus daripada mereka.”
Saya tahu ia tidak sedang menyombongkan diri, hanya mengungkap fakta. Istri saya adalah pengajar dan pendidik, ia punya beberapa penghargaan dibidang pengajaran. Ia juga merupakan pemegang gelar master di bidang pendidikan. Bukan juga berarti istri saya mampu menghandel seluruh apa yang ada dalam visi-misi kami. Adakalanya kami berperan menjadi guru, kepala sekolah dan juga fasilitator. Sehingga, orang tua pelaku homeschooling tidak mesti berlatar belakang pendidik. Semua orang tua dengan latar belakang yang berbeda-beda bisa memilih untuk menjalankannya.
Lalu apa yang diperlukan?
Saat ini homeschooling memang sedang ngetren dan saya percaya beberapa tahun mendatang sekolah rumah menjadi sebuah gerakan yang semakin hidup. Ada sekian banyak komunitas yang ada di sekitar kita. Namun demikian, jangan jadikan homeschooling sebagai ajang main-main atau hanya ikutan tren, karena ia merupakan keputusan penting bagi anak dan keluarga. Sehingga bagi yang menginginkan homeschooling, seharusnya punya alasan yang cukup kuat agar bisa menjadi penyemangat dan daya tahan dalam menjalaninya. Yang terakhir, tentu saja, mempelajari homeschooling dan mencari jawaban dari masalah-masalah pendidikan rumah, baik melalui bacaan maupun bertemu dengan praktisi homeschooling yang lebih berpengalaman.