Halaman

Jumat, 28 Juli 2017

Drama, Fantasy dan Tidak Penting Lagi Apa Filmnya

“Trust me, women are expert in history of their romantic life!” Katamu mengakhiri perdebatan tentang film pertama yang kita tonton di bioskop. Aku percaya ingatanmu, selama itu tidak tentang dimana kamu meletakan kunci.

Cerita itu berakhir di jalanan London, lima tahun setelah kolera membunuh suaminya. Ini adalah adegan sebelum ia berpapasan dengan selingkuhan yang sekarang telah ia anggap seperti kotoran kucing. 

Kitty tampak anggun dengan gaun putih, menggandeng seorang anak laki-laki yang tidak pernah mengenal wajah ayahnya. Siang itu teduh, suasana khas jalan-jalan eropa, beku seperti lukisan kelabu dengan lanskap pucat. Hilir mudik orang-orang berjalan di trotoar, bergegas tanpa senyum sapa. Di depan toko bunga, wanita itu tertegun sejenak memandangi jejeran mawar.

“Konyol ya?” Kitty seperti berbicara sendiri, “Bunga-bunga ini akan mati dalam seminggu. Sangat tidak sebanding dengan harganya.”

Ia memandang bocah berusia lima tahun itu, yang punya nama sama dengan nama ayahnya, “Bagaimana menurutmu, Walter?” 

“Bunga-bunga itu bagus!”

“Oya?” Kitty dan Walter tersenyum.

“Ya, kamu benar.” Kitty menarik tangan mungil anak itu dan melanjutkan perjalanan. 

Seingatku, begitulah akhir The Painted Veil, film pertama yang kamu pinjamkan. Semasih ada Rental Odiva. Cerita pahit namun penuh makna tentang seorang istri yang berselingkuh dalam pernikahan cinta-bertepuk-sebelah-tangan. Film dengan percakapan penuh sinisme ini memberikan pelajaran berharga tentang perselingkuhan, cinta yang belum berkembang, kematian dan tentu saja penyesalan. Mei-tan-fu, daerah terpencil di pedalaman pegunungan China yang penuh wabah kolera, membuat pasangan suami istri itu mengenal diri dan masalah mereka lebih dalam.

Kita juga tahu film tentang cinta yang bertepuk sebelah tangan namun dengan akhir yang lebih manis; The Tiger and the Snow. Tingkah kocak Attilio untuk menarik hati Vittoria, sampai kenekatan pergi ke Bhagdad untuk menyelamatkan wanita yang tidak akan menikahinya sampai ia melihat harimau di kota Roma berjalan di atas salju. Pada adegan akhir film, hati kita dibuat hangat mengenang ketulusan Attilio. Memang tidak diceritakan apakah Attilio dan Vittoria menikah (lagi), namun jangan khawatir, dalam dunia nyata mereka memang telah menjadi suami istri.

Tentang pernikahan, Ira & Abby memberikan kita pemahaman aneh yang aku istilahkan dengan menikah dalam ketidakmenikahan. Film ini memberi pertanyaan besar di benak setiap orang; mengapa menikah? Kata orang-orang dahulu, pernikahan adalah ujian pertama cinta. Romeo dan Juliet atau Laila dan Majnun belum teruji dalam rumah tangga. Bisa jadi mereka bercerai setelah menikah karena tidak bahagia atau cinta mereka surut. Kamu bisa bertanya kepada Brad Pitt tentang hal itu.

Di luar itu, Mae Braddock dalam Cinderella Man atau Jane Hawking dalam The Theory of Everything menampilkan kualitas karakter terbaik wanita dalam menjalani rumah tangga yang tidak selamanya berjalan seperti yang mereka angankan. Paling tidak, kedua istri tersebut tidak memutuskan bunuh diri seperti dalam The Road.

The Road; film paling murung yang pernah kita tonton. Kamu tahu, bencana alam dan kehidupan tanpa harapan dalam film itu lebih depresif dibanding seluruh lagu-lagu Adele dijadikan satu atau hidup dalam kepungan zombie pemakan otak. Dengan suasana kelabu dan dingin karena bencana alam yang entah apa, seorang ayah dengan anak laki-lakinya mencoba bertahan hidup. Dan pada akhirnya, kita mendapat kesan bahwa di tengah kehidupan yang suram, kelaparan dan tanpa harapan, pilihan untuk tetap menjadi baik semakin sulit. Betapapun sulitnya hidup, selalu ada pilihan untuk tetap menjadi baik. Namun, kita pasti sepakat, tentang menjadi baik, positif dan suka cita ditengah tekanan dan ketidakadilan, belum ada yang lebih berkesan dari Life is Beautiful.

Entah kamu sadari atau tidak, film dan buku-bukulah yang awalnya menyatukan kita. Aku suka Drama, dan kamu suka Fantasy. Itu hal yang kecil saja. Dengan sedikit paksaan, aku bisa menikmati Fantasy. Kita mengerti, dalam setiap hubungan akan selalu ada perbedaan, tapi selama itu tidak prinsip, hidup akan baik-baik saja. Untuk hal-hal tertentu, kita memang dituntut untuk menyukai hal yang tidak disuka. Seperti kamu tahu, akhirnya aku memilih novel Fantasi The Hobbit —yang cerita dalam versi film lebih aku suka— untuk penelitian skripsi.

Film-film Fantasy adalah yang terbanyak ditonton umat manusia sepanjang sejarah. Aku coba menerka mengapa. Mungkin begini, dalam dunia yang semakin rasional, pelepasan kepada yang magis menjadi keperluan. Fantasy memberikan ruang untuk menghibur dan menyelamatkan manusia modern dari realitas kehidupan yang serba rutin. Orang-orang butuh melihat hal-hal yang mustahil terjadi di dunia sehari-hari. Mereka butuh menikmati sesuatu yang fantastis; aneh, mistis, tidak bisa dipercaya, ganjil.

Aku lebih suka Realistic Drama karena banyak relefansinya dengan kehidupan seharai-hari. Drama, terutama yang bagus, memberiku perasaan telah hidup dalam kehidupan yang lain. Seperti novel, film yang bagus membuat kita serasa hidup pada banyak kesempatan yang berbeda.

Lagi-lagi perbedaan itu hal yang remeh saja. Apapun jenis filmnya, satu hal yang selalu dapat kita ambil; karakter. Kita bisa belajar melalui lika-liku pengalaman hidup mereka, terkapar tidak berdaya, hampir mati, menggigil ditikam kesepian, dihantam keputusasaan dan kehilangan harapan, dihadapkan dengan alam liar, binatang buas, manusia pemakan manusia, zombie.

Untuk yang terakhir, seperti kamu pasti lebih tahu bahwa zombie bukanlah masalah utama, tapi bagaimana orang-orang dalam kepungan zombie itu bersikap. Apakah zombie yang membuat mereka kejam? Dengan atau tanpa zombie, manusia-manusia baik akan selalu baik, sementara yang jahat akan jahat. Itulah karakter; satu hal yang tersisa dari seorang ketika semua yang ada padanya hilang.

Karakter tidak bisa berkembang dalam air telaga yang tenang. Hanya melalui gelombang dan riak arung jeram pengalaman jiwa diperkuat, ambisi terinspirasi, dan kesuksesan tercapai. Ia dibangun sedikit demi sedikit. Puncaknya, karakter dan keyakinan adalah warisan terbesar yang akan kita jaga untuk anak-anak kita kelak. Maka pada pengalaman dan cerita-cerita orang lain itu kita meminjam, hal-hal yang tidak pernah kita bayangkan.

Ingatkah kamu pada malam-malam penuh mimpi buruk? Ketika hujan turun lambat dan panjang. Dalam ingatan-ingatan tentang segala hal yang menghantui tidurmu. Pada kehidupan yang paling buruk. Kehilangan orang-orang yang kau cintai. Mimpi kecelakaan pada anak-anak, atau dikejar-kejar buaya albino. Apakah itu menakutkanmu?

Ketakutan-ketakutan itu seperti Richard Parker, seekor harimau Benggala dalam Life of Pi, yang kehadirannya membuatmu waspada. Tanpa Richard Parker, Pi pasti mati kebosanan. Karena tidak menemukan ketegangan dan tujuan hidup. Ketakutan pada hewan buas itu membuat hidupnya punya ujung.

Akhirnya —karena memang semua punya akhir, hidup ini adalah tentang seberapa kuat hatimu mengikhlaskan beban. Kamu mengendalikan penuh reaksi yang kau berikan. Segala di luarmu tidak bisa kau kendalikan, maka untuk apa dirisaukan?

Aku selalu percaya pada pesona waktu, yang merekam segala debar jiwa, dan tidak pernah sumbang mengalunkan dirasah kisah. Kenang-kenanglah cerita manis kita pada waktu yang membeku di relung ingatan. Tentang senja, suara tawa, pelukan dan hal-hal yang tidak bisa diganti dengan uang.
Pada malam ketika kita keluar dari ruangan bioskop, selepas menonton film yang akan kita lupakan dua hari kemudian. Sambil berpegangan tangan kita kemudian berdebat tentang betapa buruknya beberapa adegan dan saling bertanya mengapa hal ini bisa begitu dan hal itu bisa begini. Sambil sekuat kewarasan aku menjawab segala pertanyaan dengan awalan seandainya.

Malam bergegas normal, anak-anak belum tidur. Mereka selalu senang menunggu kita pulang. Kamu menyebut itu kelebihan gula, aku menyebutnya cinta. Bersama mereka, hidup kita tidak pernah lagi sama. Aku merasa menjadi manusia yang lebih beres. Dan dalam dirimu, aku melihat kebaikan yang banyak.

Putri ke-tiga kita telah lahir bulan ini. Sekarang, setelah punya adik baru, Nada dan Safa tidur terpisah. Awalnya berat, terutama Safa, tapi pelan-pelan mereka senang. Bahkan keduanya girang sekali waktu dibelikan kasur baru. Padahal, kitapun sebenarnya kangen tidur bersama mereka lagi.

Pada beberapa waktu yang belum terlalu lama, ketika mereka mengompol karena terlalu senang dengan mainan yang baru mereka dapat, kita kesal. Tapi sekarang, dihadapan waktu yang terus berdetak, rumah beserta segala hiruk-pikuk hati di dalamnya begitu merindukan.

Anak-anak itu bukan mereka yang 1-2 tahun yang lalu yang masih mungil, mereka tetap manis, namun sudah bertambah dewasa. Sementara hidup kita bergerak maju dan semakin tua, bukan mundur seperti kehidupan Benjamin dalam The Curious Case of Benjamin Button. Pelan-pelan, sedikit demi sedikit, mereka tumbuh dan melesat, karena mereka anak panah kehidupan, sementara kita busurnya. Busur harus melepaskan anak-anak panah jika ingin mereka melesat. Tentu sesuai waktu, dengan perlahan dan penuh ketenangan, agar tepat sasaran. Begitulah hidup ini semestinya dijalani, seperti alunan gamelan yang tenang, perlahan, penuh ritme dan jauh dari hingar-bingar. Seperti kehidupan sepasang kekasih dalam Before Midnight.

Demikianlah. Demikianlah kita belajar dari film-film yang pernah kita tonton. Kita akan melakukan itu lagi bersama. Tidak untuk 100 tahun kedepan, tapi sepanjang hidup kita.  

Kamis, 27 Juli 2017

Aira Fatimatuzzahra; Sebuah Nama untuk Dua Orang Nenek

Saya hanya tertawa ketika Safa (4 th), menyebut cabang bayi dalam kandungan ibunya sebagai Anak Baru.

Saya membayangkan Safa jadi pemeran antagonis di sinetron ABG labil RCTI. Dengan tampang sengak, dia akan merundung si Anak Baru, “Oh, jadi elo anak baru dari perut ibu?! Jangan sok kecentilan loe ye. Pokoknya ibu itu cuma sayang sama gueh, eloh nyusu air tajin dan tidur di kotak bayi ajaah,”

Sadis.

Nada (6 th), ketika pertama kali diberitahu akan punya adik lagi juga bertingkah lucu. Malam itu, di dalam kamar sebelum tidur, dia merespon kabar itu dengan mata berbinar dan senyum lebar, “Beneran, Bu?”

“Iya,” ibunya menjawab singkat.

Nada diam sebentar. Seperti berpikir. Tersenyum. Sedetik kemudian dia bertanya lagi, “Beneran, Bu?”

Lagi-lagi ibunya menjawab ya.

“Bayinya sekarang dimana?” Nada bertanya.

“Ada di dalam perut ibu,”

Nada kembali diam, senyum, dan bertanya lagi, “Beneran, Bu?”

Pertanyaan itu diulang beberapa kali. Sambil senyumnya makin merekah.
Jika saja kejadian itu direkam dan diunggah ke medsos, pasti akan viral bahkan sampai ditonton para Lemur di pedalaman Madagaskar.

Saya juga masih ingat ketika Nada dan Safa lahir. Saya masih bisa merasakan debaran ketika menunggu mereka di ruang tunggu Rumah Sakit. Ketika melihat mereka untuk pertama kali, rasanya seperti bertemu seseorang pada first blind date, dan orang yang kamu temui melebihi segala ekspektasimu. Rasanya hyjtwxcvbghtszmlqwpxfghtr. Ya, seperti itu.

Nada lahir 7 tahun yang lalu di RSUD Bekasi, yang ceritanya saya abadikan dalam Di Bawah Bendera Sarung. Sementara Safa lahir 2 tahun setelahnya. Pagi itu pukul 9. Istri saya dibawa masuk ke ruang operasi untuk di-Cesar. Saya menunggu di ruang tunggu sambil memperhatikan seorang ibu yang menggendong bayi kembar. Di kakinya gelendotan seorang anak laki-laki yang mungkin usianya 4-5 tahun. Meminta perhatian lebih dari ibunya yang sedang kerepotan menggendong dua bayi.

“Iya, nanti kalau sudah sampai rumah ya,” kata ibu tiga balita itu, “Kalau di sini mana ada yang jual?”

Anak yang dibujuk tetap merengek. Ibunya tetap sabar.

Saya membayangkan berada di posisi ibu itu. Tiga anak. Masih kecil-kecil. Semuanya minta diperhatikan. Pasti repot sekali. Seketika nyali saya ciut.

“Kembar ya, bu?” saya berbasa-basi ketika rengekan anaknya mereda.

“Iya, kembar tiga,” sang ibu menjawab sambil senyum, “yang satu ditinggal di rumah sama neneknya,”

Saya semakin ciut.

Alhamdulillah, putri ke tiga saya telah lahir. Kelahiran ini —sebagaimana setiap kelahiran anak-anak sebelumnya, membuat saya menjadi pribadi yang lebih baik.

Kami memanggilnya Aira Fatimatuzzahra, meminjam nama kedua neneknya dengan harapan nama itu membawa keberkahan dalam hidupnya. Karena rida dan kasih sayang mereka adalah hal yang selalu kami harapkan. Semoga Allah mengampuni dosa kedua orang tua kami dan selalu menjaga dan menyayangi mereka.

Akhirnya, hanya kepada Allah kami memohon pertolongan dan kekuatan. Meminta ampunan atas segala kesombongan dan keangkuhan.

Wahai Tuhan Maha Pemberi Petunjuk, Berikanlah pada hati kami kelapangan, keterbukaan untuk menerima segala kebaikan. Kuatkanlah kami untuk terus menemukan inspirasi untuk dapat mewujudkan segala keinginan kami.

Wahai Allah Yang Maha Sempurna, lengkapilah usaha kami yang selalu tidak pernah paripurna.
Wahai Allah yang Maha Pememberi Kesejahteraan, Anugrahkanlah kepada kami kemampuan untuk berbahagia dengan kebahagian orang lain. Jadikanlah kami jiwa-jiwa yang kaya dan berikanlah kami kemampuan menjadi kaya tanpa mengalahkan.

Wahai Allah Pemilik Masa Depan, cukupilah masa depan kami. Cukupilah kami yang tak punya penghasilan tetap, karena yang tetap hanya pemberian-Mu.

Wahai Tuhan Yang Maha Pengampun, maafkanlah segala dosaku dan keluargaku, ampunilah segala kehilafan kami yang tak kunjung selesai.

Wahai Allah yang Maha Penyayang, Jadikanlah kami dan anak keturunan kami orang-orang yang tetap mendirikan salat. Ilhamkan kepada kami untuk tetap mensyukuri nikmat yang telah Engkau anugrahkan kepada kami dan kepada anak keturunan kami. Sungguh kami bertaubat kepada-Mu dan sungguh kami adalah termasuk golongan yang berserah diri.