Halaman

Selasa, 17 Maret 2015

Percakapan Pemuda dan Pak Haji Sehabis Salat Maghrib

Di dalam sebuah surau, setelah selasai wirid, pemuda itu bertanya kepada Pak Haji, “Aku selalu gagal dalam banyak hal.” Katanya memulai, “Ketika mau menikah dengan wanita yang aku mau, aku gagal. Ketika aku ingin sukses menjalankan bisnis, aku gagal. Bahkan aku gagal untuk hal yang sangat remeh seperti memasak nasi di rice cooker.”

Pak Haji tersenyum sambail manggut-manggut, “Kamu itu punya kelebihan.”

Pemuda itu bingung, “Maksud Pak Haji? Bagaimana selalu gagal bisa menjadi kelebihan?”

“Ya begitulah. Satu hal yang mungkin kamu butuhkan; melihatnya dari perspektif yang berbeda.” Pak Haji mengelus-elus jenggotnya, “Kamu bilang kamu selalu gagal dalam segala hal kan?”

“Iya.” Pemuda itu yakin.

“Segala hal?”

“Hampir semua hal.”

“Kalau begitu, berusahalah untuk gagal.”

Pemuda itu mengernyitkan alis makin tidak mengerti. Pak Haji seperti bisa memahami, kemudian mengulang, “Ya, lihatlah dari pandangan yang baru. Kalau kamu berusaha untuk sukses tapi gagal, cobalah berusaha untuk gagal,” Pak Haji diam sejenak, sambil kembali mengelus-elus jenggot ia melanjutkan, “Kalau kamu bilang kamu selalu gagal, berarti kamu pun akan gagal ketika berusaha untuk gagal, jadi kamu akan sukses.”

Jumat, 13 Maret 2015

Anak-anak, Sekolah dan Sikap Belajar

“Education is what remains after one has forgotten everything he learned in school.” - Albert Einstein

“If you want your children to be intelligent, read them fairy tales. If you want them to be more intelligent, read them more fairy tales.” - Albert Einstein


Waktu kecil saya adalah anak yang suka membangkang, sisa-sisanya mungkin masih terlihat sampai sekarang. Tentu pembangkangan itu tidak selalu terkatakan, kebanyakan terpendam dalam hati. Di dalam hati, saya bisa membangkang dengan bebas. Menurut saya waktu itu, orang dewasa angkuh karena suka memaksakan kehendak.

Maka ketika punya anak, saya sudah menyiapkan mental untuk menghadapi pembangkangan mereka. Menurut saya, punya anak itu perlu pemikiran sejauh 50 tahun ke depan. Karena memiliki anak ketika seorang belum siap mental dan material adalah tindakan yang sadis. Saya merasa sudah siap dengan segala hal tentang mereka, termasuk jika mereka suka membangkang seperti bapaknya dulu. Like father like son, heh?

Pembangkangan yang masih saya ingat sampai sekarang adalah ketika saya menolak untuk suka Matematika. Tidak membangkang dengan kata-kata memang, tapi dengan perbuatan. Itu terjadi waktu MI, waktu guru saya menyuruh menghapalkan perkalian sampai seratus. Ketika hari pengujian datang, saya berpura-pura sakit dan membolos. Oh, sejak kecil kemampuan numerik saya memang dangkal, bahkan sampai kelas 3 MI saya tidak bisa berhitung sampai seratus.

Menurut saya pembelajaran lebih butuh kesesuaian dan implementasi. Jadi jangan ajarkan anak membaca, tapi kenalkan dan tumbuhkan kecintaan kepada buku-buku cerita yang perlu ia baca sendiri. Jangan ajarkan mereka berhitung, tapi tunjukan kepada mereka pentingnya tahu harga sebuah mainan. Dengan begitu mereka termotifasi. Mereka butuh motifasi dan dorongan, bukan paksaan. Dengan mendekatkan kegunaan membaca dan berhitung, mereka akan termotifasi, dan terbangkitkan kesenangan dan keinginannya. Apa yang bisa mengalahkan keinginan anak-anak jika mereka ingin? Bahkan keinginan, passion dan energi mereka sulit dibayangkan orang dewasa.

Anak kecil (terutama usia PAUD, 0-6 tahun) adalah pembelajar sejati. Mereka belajar dari kesalahan dan pengalaman. Mereka tidak pernah takut salah, selalu ingin tahu dan mencoba. Bagi mereka segala hal yang baru itu menarik dan memancing keingintahuan.

Menyuruh anak-anak itu belajar adalah dengan menyuruh mereka bermain. Dengan bermain mereka belajar olah raga, storytelling, berhitung, mengenal warna, membaca, berbicara, drama, menyusun tak tik, jujur dan lain-lain. Tapi mereka juga rentan intimidasi, tidak suka direndahkan, benci dibanding-bandingkan, dan lain-lain. Mereka cenderung ingin dihargai dan didengarkan. Mereka juga peniru yang mahir. Mereka mencontoh apa yang ada di sekeliling mereka. Jadi menyuruh anak-anak salat adalah hal yang sia-sia, jika mereka tidak menemukan contoh dan teladan. Begitu yang saya pahami dulu, yang akhirnya mendapat justifikasi ketika saya kuliah dan mengenal teknik-teknik pengajaran.

Sampai sekarang, saya masih tidak suka Matematika. Saya tidak menyalahkan sekolah atau guru saya, tapi juga tidak menyalahkan diri saya sendiri. Bahkan waktu kelas dua Aliyah, ketika saya mendapat angka 5 untuk nilai Matematika di rapot, saya masih bersikap biasa saja dan tidak marah kepada siapapun.

Pada dasarnya saya tidak benci berhitung, selama saya merasa itu berguna untuk saya. Sewaktu Aliyah, saya senang dengan mata pelajaran Falak (Astronomi) dan selalu mendapat nilai bagus. Saya senang menghitung lamanya siang dan malam, menghitung awal pergantian bulan juga kapan terjadi gerhana. Selama saya mendapat nilai bagus dalam pelajaran-pelajaran yang saya suka, saya cenderung mengabaikan nilai-nilai buruk pada belajaran yang tidak saya suka. Buat saya, itu adalah hal yang wajar dan fair saja.

Hari ini saya kembali memikirkan sikap itu, juga inti dari sikap belajar. Terimakasih untuk ibu-bapak yang sangat terbuka dengan sikap saya waktu itu.