Halaman

Senin, 27 Juli 2015

Kisah Seorang Pemuda yang Membaca The Alchemist

Tahun 2007. Pada kursi panjang di ruangan itu, seorang anak muda berpakaian rapih duduk menunggu acara dimulai. AC meruapkan bau pewangi ke seluruh ruangan. Sementara di luar, matahari pagi di musim panas yang selalu tepat waktu, bersinar jumawa. Pemuda itu menjadi salah satu peserta yang paling awal tiba. Suasana masih sepi. Baru beberapa menit kemudian, beberapa orang datang memenuhi ruangan. Beberapa orang lewat di depan pemuda itu tanpa menegur. Beberapa orang hanya melempar senyum.

Dua puluh menit kemudian acara dimulai. Dalam acara, ia bertemu dengan seorang wanita yang kelak menjadi istrinya. Itu adalah pertemuan pertama mereka. Wanita itu menjadi salah satu pengisi acara. Ia pintar dan mandiri, itu kesan pertama pemuda itu. Semakin lama mengenalnya lebih dekat, setiap orang akan setuju bahwa ia memiliki segala hal untuk menjadi seorang wanita yang sempurna.

Bertahun-tahun kemudian, pemuda itu berpikir bahwa bagaimana dua orang yang awalnya tidak saling kenal bertemu adalah sebuah rahasia semesta. Bagaimana dua orang itu kemudian menjalin persahabatan sampai akhirnya menikah juga merupakan jalan yang misterius. Mungkin jika mereka tidak ikut acara tersebut, mereka tidak akan bertemu. Namun mungkin juga mereka bisa bertemu di tempat dan waktu yang lain, seperti memang jalannya sudah begitu. Pemuda itu mengenal hal tersebut dengan istilah maktub.

Hari bergerak maju, sampai suatu waktu, mereka menjadi rekan kerja yang sangat akrab. Menjadi kawan dekat. Suatu hari, ketika pemuda itu ulang tahun, ia dihadiahi sebuah buku yang selalu ia bicarakan dengan si wanita, The Alchemist.

Buku itu bercerita tentang sesuatu yang sederhana.Tentang Santiago, seorang pengembala domba yang ingin membuktikan mimpinya. Suatu hari, ketika sedang tidur pada sebuah gereja yang terbengkalai —dengan atap yang sudah runtuh dan sebatang pohon sycamore yang sangat besar tumbuh di empat sakristi pernah berdiri— ia bermimpi tentang harta karun di sebuah negeri yang jauh, negeri piramida-piramida. Setelah melawati berbagai macam rintangan dan keraguan, akhirnya ia sampai di tempat yang sangat ia kenal dalam mimpinya. Namun sebelum ia sempat menggali harta karun itu, ia bertemu perampok. Sang perampok bertanya dari mana Anak itu berasal dan apa tujuannya datang ke tempat itu. Karena takut dibunuh, Anak itu menjawab jujur bahwa ia pernah bermimpi tentang harta karun di bawah sebuah piramida dan ia datang untuk membuktikan mimpi tersebut. Tak disangka perampok tersebut tertawa. Perampok itu mengatakan betapa bodohnya Anak itu percaya dengan mimpi. Perampok itu mengatakan bahwa dulu ia juga pernah bermimpi tentang harta karun yang ada pada sebuah gereja yang terbengkalai —dengan atap yang sudah runtuh dan sebatang pohon sycamore yang sangat besar tumbuh di tempat sakristi pernah berdiri, pada sebuah negeri dimana rumput tumbuh subur dan para gembala mengembalakan domba mereka. Sang perampok tidak jadi membunuh Anak itu, dan Anak itu kembali ke tempatnya berasal. Di sana, ia menemukan harta karunnya.

Pemuda itu telah membaca The Alchemist bertahun-tahun sebelum ia bertemu dengan wanitanya, namun buku hadiah itu begitu istimewa karena diberikan pada hari ulang tahunnya disertai doa yang paling tulus yang pernah ia dapat.

Begitulah hubungan mereka terjalin dengan wajar. Obrolan yang asik, diskusi yang sengit, beserta beberapa keinginan dan tujuan yang saling bersinggungan. Sampai akhirnya, mereka tiba pada pengakuan diam-diam, penuh debar, penuh kegugupan.

Ingatan sungguh aneh, seketika ia bisa menghangatkan hati, di sisi lain, ia juga bisa mencabiknya menjadi bagian-bagian kecil. Seperti elang yang tiba-tiba menancapkan cakar yang dalam pada diri manusia yang sering terlalu cepat bergegas.

Pemuda itu ingat, suatu pagi setelah bangun tidur, sekonyong-konyong ia tertancap pada sebuah kalimat dalam The Alchemist: “Remember that wherever your heart is, there you will find your treasure.”

Dan yang terlintas dikepalanya adalah segera melamar wanitanya.

Sebelum pagi yang mencerahka itu, ia telah membaca kalimat tersebut beberapa kali, namun belum pernah menjadi begitu menyentuh. Ia tidak peduli tentang enam tahun selisih usia dengan wanitanya. Kini hatinya telah memilih.

Ayah pemuda itu berbisik kepadanya sebelum pernikahan, “Jangan terlalu khawatir terhadap penilaian orang lain. Kamu tidak bertanggung jawab atas apa yang mereka pikirkan, tapi apa yang kamu kerjakan. Jalanilah apa yang telah mantap kau putuskan.”

Ah, mencerahkan sekali kalimatnya, pikir pemuda itu dalam hati. Ia curiga ayahnya juga membaca The Alchemist, “If someone isn't what others want them to be, the others become angry. Everyone seems to have a clear idea of how other people should lead their lives, but none about his or her own.”

Pemuda itu siap. Menikah adalah tentang kesiapan mental yang di dalamnya terdapat kerelaan untuk berkorban. Sebagaimana hal-hal lain di dunia, dalam pernikahan juga ada permasalahan. Setiap pasangan akan menghadapi segala persoalan yang mungkin belum pernah mereka hadapi sebelumnya. Mengatakan menikah selalu menyenangkan adalah hal yang tidak seimbang. Lagipula, hukum menikah, menurut kesepakatan fuqoha, juga berbeda antara satu orang dan orang lain, mulai dari wajib bahkan sampai haram. Jadi menikah atau tidak adalah perkara yang tidak selalu mudah, dan tidak adil menanyakan orang lain, apalagi yang tidak dikenal baik, dengan pertanyaan, “Kapan nikah?” karena menikah memang tidak wajib bagi semua orang.

Pemuda itu sadar. Ia mengerti bahwa dengan menikah ia akan menghadapi dua keaadaan. Makin berkembang atau makin stagnan dan beku. Pernikahan dapat membunuh segala potensinya. Dihentikan oleh istri dan anak-anak, dikhawatirkan oleh soal-soal rumah tangga dan dikalahkan oleh keselamatan keluarga. Ia sadar, setelah hari itu, akan ada banyak hal yang mungkin akan ia tinggalkan seiring dengan banyak hal lain yang akan dilakukan. Ia akan jarang punya waktu untuk sekedar mengunjungi kawan-kawan lama.

Ia siap dengan mental dan sadar akan masalah dan resiko. Namun kesiapan dan kesadaran saja tidak selalu cukup untuk mengalahkan kekhilafan. Suatu hari, ketika pemuda itu berselisih paham dengan wanitanya, ia curhat kepada seorang kawan. Orang bilang, pria tua di persimpangan jalan itu adalah Mikhail; artinya pemberi sejuk bagi hati-hati yang haus. Ia selalu bisa mendengar keluh kesah dan cerita apa saja, dari siapa saja. Orang-orang yang bercerita selalu senang. Ia hanya bicara seperlunya, sesekali berpendapat dan bertanya, selebihnya menyimak makna.

“Bagaimana kabar kedua putrimu?” pria tua memulai berbasa-basi, tidak lama setelah pemuda itu duduk di sampingnya.
“Mereka baik.” Pemuda itu menjawab cepat.
“Setelah mereka dititipkan kepadamu, apa yang kau rasakan?”
“Aku seperti punya dua jantung tambahan yang berdetak bersamaan dalam dadaku.”
“Menyenangkan?”
“Menyenangkan juga mengkhawatirkan.” Pemuda itu berhenti sebentar, mencari kata-kata yang tepat, “Aku merasa punya semangat ganda, seperti mampu berlari tiga kali marathon, tapi di sisi lain aku tahu bahwa satu waktu jantung akan berhenti berdetak, karena mereka hanya titipan.”

Persimpangan jalan itu tidak ramai, tidak juga sepi. Pada sebuah taman penuh pohon rindang tidak jauh dari persimpangan itu mereka duduk pada sebuah balai-balai bambu.

“Aku butuh menjadi Professor Xavier.” Ujar pemuda itu kepada si pria tua setelah hening yang lama.
“Tidak Wolverine?”
“Ia tidak bisa membaca mbakyuku.” Pemuda itu seperti menemukan emosinya, “Aku kudu memahami apa yang tidak ia katakan. Ia senang mengatakan yang bukan ia maksudkan.”
“Tidak ada yang lebih buruk dari itu,”
“Apa yang anda bisa sarankan untukku?” pemuda itu mengharap.
“Hatinya sebentuk daun kering, dalam dunia sendiri yang terasing.” Pria tua berkomentar, tapi terdengar seperti berpuisi, “Kamu harus telah selesai dengan hidupmu ketika memutuskan menikah.”

Pemuda itu pulang dengan kepala berat. Kata-kata pria tua itu menghujam berakar bercabang dalam dirinya. Setelah menikah seharusnya ia tidak bersikap mau menang sendiri. Seharusnya ia telah selesai dengan urusan sepele itu. Terkadang dia berpikir bahwa dia memang sesekali menjadi begitu brengsek.

Ia sering menganggap istrinya boros, tidak punya management waktu yang baik dan terlalu menyulitkan diri dengan hal-hal remeh. Sementara, sebagai suami, pemuda itu sering lupa bahwa ia juga tidak sempurna; sering berprasangka, kurang komunikasi, tidak mendengarkan, cuek, keras kepala, jorok, dan mengkritik istri di depan anak-anak.

Sekarang ia mengerti tentang saran dari kawan yang memintanya untuk selesai dengan diri sendiri, yaitu tentang mengurangi keegoisan dan menjalin komunikasi yang baik. Ia ingat sebuah dialog pada The Zahir, ketika Esther memberikan penjelasan kenapa ia senang meliput perang.

“Aku tidak tahu, tapi dengan pergi ke sana aku bisa melihat bahwa, seaneh apa pun kedengarannya, orang merasa bahagia waktu mereka dalam perang. Bagi mereka, dunia ini punya arti. Seperti kukatakan tadi, kekuatan pengorbanan mereka demi suatu tujuan mulia memberi arti bagi hidup mereka. Mereka mampu memberikan cinta yang tak terbatas, karena mereka tidak bisa kehilangan apa pun lagi, tidak ada lagi yang tersisa. Prajurit yang menderita luka fatal tidak pernah minta pada tim medis, ‘Tolong selamatkan aku!’ Kata-kata terakhir mereka biasanya, ‘Katakan pada istri dan anak-anakku, aku sayang pada mereka.’ Pada saat-saat terakhir mereka, mereka bicara tentang cinta!”

Begitulah seharusnya orang yang telah selesai dengan dirinya. Sesekali pemuda itu membayangkan berbicara kepada tim medis, “Katakan pada istri dan anak-anakku, mereka adalah kenangan terbaik di dunia.”

Ia terus belajar untuk menjadi ideal. Tidak bisa menjadi sempurnya memang, namun berusaha untuk memperbaiki segala kekurangan, juga kembali bangkit setelah kegagalan. Walaupun terkadang, ia merasa begitu dungu dengan kerap melakukan kesalahan yang berulang. Beruntung istrinya bisa memahami dan memaafkan kebodohannya.

Beberapa tahun setelah menikah, kehawatiran-kehawatiran yang pemuda itu risaukan tentang potensinya tidak terjadi, berganti dengan hal-hal yang tidak pernah ia duga. Ia terus berkembang dan mungkin akan terus berkembang. Seperti Jane Hawking dalam The Theory of Everything, wanitanya membantu pemuda itu menjadi jauh lebih hebat. Menyelesaikan kuliah, menulis beberapa buku dan membuka setiap kemampuan mengagumkan yang dimilikinya. Ya, tidak perlu Mario Teguh untuk tahu bahwa behind every great man there's a great woman.

Pemuda itu tidak pernah ragu dengan pilihan hati yang ia ambil bertahun-tahun yang lalu sampai sekarang —karena “You will never be able to escape from your heart. So it's better to listen to what it has to say.”— dan ingin terus menjalani setiap momen hidupnya dengan tanpa penyesalan. Hidup mengajarkan semua orang bahwa segalanya adalah tentang momen. Kehidupan selalu bergerak maju, sesaat saja momen terlewat, bahkan satu detik saja terlewat, ia tidak bisa diulang. Ia tidak seperti acara TV yang jika kamu terlewat menyaksikannya, kamu bisa melihatnya di youtube. Hidup juga mengajarkan bahwa momen yang nyata adalah sekarang. Tentang betapa berharganya momen, lebih tepat kamu menanyakannya kepada orang yang sedang sekarat.


Pemuda itu menginginkan momen-momen itu. Setahun terakhir ini ia menikmati momen beranjak dewasa bersama wanitanya, mengukir kenangan-kenangan manis bersama anak-anak, menikmati masa kecil mereka yang akan berlalu sangat cepat. Kepolosan dan kekanak-kanakan mereka yang tidak akanlama, yang akan segera menjadi kenangan. Ia ingin merawat kenangan baik itu dalam ingatannya. Karena suatu hari nanti, sebagian kita hanya akan jadi ingatan bagi sebagian yang lain, dan dalam semua kenangan itu kita hidup.