Halaman

Rabu, 21 Oktober 2020

The Devil All the Time; Ironi Pada Agama dan Religiusitas

Kritik tajam terhadap agama dan religiusitas mistis dalam film drama thriller begitu unik. Menjadi variasi dan warna lain yang membedakan film ini dari film-film dengan kritik pada religiusitas ekstrimis ala terroris yang semakin klise.

Mengambil sisi penceritaan omniscient yang yang tahu segala hal, yang saya duga juga diambil dari penuturan asli novel, membuat ia semakin dekat dengan kritik pada kepercayaan manusia kepada Tuhan yang juga tahu segala hal. Tentu ia tidak mengajak untuk menolak agama, namun menyajikan ironi pada pemahaman para karakter terhadap kitab suci dan religiusitas yang membabi buta tanpa pikiran jernih.

Dibalut nuansa gelap dan depresif khas film triller, film ini menampilkan agama dari sisi tergelap sampai hal yang paling tulus, jernih dan baik. Pada kepercayaan yang total, ketulusan yang murni, sampai memunculkan agnotisme dalam perlawanan.

Akting seluruh pemerannya hampir tanpa cela. Bahkan keberhasilan akting Pattinson membuat istri saya jijik. Logat, gaya dan suara sengau dengan dialek Selatan Amerika yang mengingatkan saya pada Trump, membuat ia mudah dibenci —sejak Trump jadi presiden, para aktor seperti punya acuan pasti untuk menjadi orang yang menyebalkan. Saya berharap Pattinson nanti bisa memerankan Batman dengan lebih bagus, walaupun mungkin dibenak istri saya, sebagus apapun Batman versi Pattinson nanti, ia dalam film ini sudah melekat bahkan mengalahkan perannya menjadi Vampir pucat.





Jumat, 16 Oktober 2020

Blame Bernice, Uncle Fucka!



Adalah Bernice yang merekomendasikan saya untuk menonton South Park. Ia tidak menyarankan apapun dalam chatting, selain kata-kata andalan, “Southpark wae”. Sialnya, yang saya tonton adalah versi filmnya, South Park: Bigger, Longer & Uncut (1999), yang lebih kasar, vulgar dan sadis, yang belakangan saya ketahui bahwa pada tahun rilisnya, film itu dilarang tayang di 16 negara, termasuk Saudi Arabia, Vatikan dan tentu negara-paska-reformasi kita tercinta.

Melihat tahun produksinya saja saya sudah gentar. 1999, tahun dimana saya masih unyu-unyu, sisiran belah tengah, dan masih bercita-cita menjadi Brama Kumbara atau Arya Kamandanu. Menonton film kartun musikal berdurasi 81 menit ini membuat saya bernostalgia ke era dimana masih ada TPI, Programa Dua, dan Barry Prima masih gondrong dan suka telanjang dada. Tanpa persiapan atau ekpektasi apapun, dengan polos saya menonton film yang menurut catatan IMDb terdapat 399 umpatan kasar. Itu artinya, dalam 1 menit ada 5 kali makian kotor yang kita dengar. Menurut saya, kebrutalan humornya setara dengan Borat atau Jendral Aladeen dalam The Dictator.

Mengambil sumber dari serial televisi South Park —yang juga tidak pernah saya tonton, film ini seperti punya landasan solid untuk membangun premis melalui karakter-karakter yang sudah lekat dengan penggemar. Walau tanpa itu, penonton pemula yang baik hati dan hapal Pancasila seperti saya, yang tidak pernah diperingatkan akan efek psikisnya, juga masih bisa menikmati.

Film ini berkisah tentang empat anak (Stan Marsh, Kyle Broflovski, Eric Cartman, dan Kenny McCormick) yang menyusup ke dalam penayangan film khusus dewasa. Terrance dan Phillip dua aktor Kanada dalam film tersebut terus menerus mengeluarkan kata-kata kasar yang membuat empat sekawan itu meniru. Pada akhirnya, ibu mereka meminta kepada pemerintah Amerika untuk menyatakan perang melawan Kanada karena dianggap telah merusak moral anak-anak mereka. Perang hanya karena film itu ibarat ibu-ibu jambak-jambakan di Indomaret hanya gara-gara rebutan Tuperware diskonan. Tidak berguna, tapi videonya bisa viral bahkan sampai ditonton alien di planet Namex.

Saya kira South Park bukan hanya animasi yang mengajarkan anak-anak untuk memaki, lebih dari itu film ini seperti sebuah protes artistik kepada para orang tua kolot dengan pemikiran usang. Film ini berhasil menunjukan kritik dengan satir, gelap dan hiperbolis terhadap kebebasan berpendapat dan sensor, juga sindiran tentang isu-isu sosial dan politik.

Tidak semua lucu. Karena kebanyakan joke sangat erat dengan kondisi dan peristiwa yang terjadi pada tahun-tahun tersebut, maka ada beberapa komedi yang sudah terlalu lawas. Ia tidak lucu bukan karena materinya tidak bagus, tapi tidak menemukan relevansi dan momentum. Tentu ada pengecualian, seperti perseteruan pembuat film ini dengan lembaga sensor Amerika MPAA, walaupun sudah lama berlalu tapi masih lucu. Sinisme dalam dialog Sheila Broflovski, Ibu dari Kyle, masih bermakna sampai sekarang, “Remember what the MPAA says; Horrific, Deplorable violence is okay, as long as people don't say any naughty words! That's what this war is all about!”

Di Indonesia, selama perjuangan mengemukakan pendapat masih dibungkam atau diatur dan dipilah-pilih berdasarkan siapa yang berkuasa, selama yang memakai lelucon Gusdur tentang polisi dipolisikan, maka film ini akan terus relevan.

Walaupun butuh kedewasaan untuk mencerna komedi dunia-akhirat di film ini. Saddam Hussein yang saat itu masih hidup diceritakan sudah meninggal dan ada di neraka bersama setan. Penggambaran Saddam dengan humor gelap sebagai setan yang homoseksual bisa jadi tidak memancing tawa dan sangat menyakitkan terutama bagi orang-orang yang tidak bisa membedakan Arab, Islam, dan kesalehan.

Kita tahu akan selalu ada korban dalam komedi, selalu ada ketersinggungan, simplifikasi, hiperbola dan stereotype. Tidak ada komedi yang bersih. Pilihan dan keputusan ada di tangan penonton, ingin menganggap film ini sampah atau bernilai seni. Apakah meneruskan menonton atau membuangnya ke tempat sampah. Di masa yang akan datang, akan lebih sulit menyensor segala macam tontonan. Keberhasilan sensor dan segala hiruk-pikuknya akan kembali kepada diri sendiri.

Akhirnya, walaupun banyak premis minor tentang berbagai isu yang diangkat, premis utama film ini sangat jelas, yaitu satire tentang menyalahkan orang lain terhadap apa yang terjadi pada kita. “Blame Canada” menjadi lagu yang bukan hanya menyindir orang yang tidak mau introspeksi dan segera menyalahkan pihak lain ketika sesuatu yang jelek terjadi pada mereka, namun juga sindiran terhadap arogansi Amerika.

Menarik karena walaupun dengan gaya yang kasar, film ini diisi deretan lagu-lagu sarat parodi lucu  yang easy listening. Sayangnya, bukan "Blame Canada" yang mendapat nominasi Academy Award yang mengganggu telinga saya sampai sekarang; adalah alegori “Uncle Fucka”. Saya tidak akan menyalahkan Kanada atau para pembuat film ini atas lagu umpatan yang tidak bisa saya nyanyikan kepada atasan saya di kantor karena alasan kesopanan tapi terus mengiang-ngiang dalam telinga, bukan karena saya tidak mau tapi terlalu jauh untuk menyalahkan mereka, yang dekat dan terjangkau adalah orang yang merekomendasikan film ini.

Yes, it will be easier to blame Bernice! Blame Bernice, Uncle Fucka!