Halaman

Jumat, 30 Desember 2022

Peluk

Hutan hijau mulai senyap. Daun-daun pohon diam tengadah pada langit. Malam numpang tidur di kepalaku sambil membawa gerombolan kata-kata.

Di sebuah persimpangan jalan hujan turun rintih-rintih. Di bawah sinar lampu jalan ia menitis bagaikan ribuan jarum runcing yang menusuk aspal kemudian pecah. Orang-orang menarik sleting jaket dan memasukan tangan ke kantung, kamu tidak peduli dan tetap hangat seperti tahun baru.

Setiap usaha yang melarangku dekat denganmu akan siasia karena aku adalah ingatan yang tidak pernah sudah memelukmu dengan segala bahasa. Sampai tiba masa ketika segala sesuatu bisa bicara kecuali kata.

Pelukan adalah nama lain puisi, sepasang lengan yang mendekap tubuh penuh kecemasan, tempat kata-kata istirahat dan tubuh menari mencari makna.

Meminta cinta kepada peluk adalah sesuatu yang fatal akibatnya, karena ia tidak tahu cara untuk berdusta.

Kepada peluk kamu berpesan,
“Jika nanti malam aku sudah lelap,
tidak perlu meminta ijin untuk memeluk,”

Angin bertiup menggoyang dedaunan, berlarian di sela ranting-ranting kemudian menabrak dahan, sayup-sayup membisikan kabar tentang masa lalu dan masa depan.

Sehabis itu sepi.

Kamu tahu: masa lalu dan masa depan adalah hutan belantara yang hanya bisa kamu rasakan degupnya dalam dada.

Malam tenggelam. Di jendela kamu lihat pagi lebih cerah dari biasa.

Dan kamu mengerti mengapa tubuh adalah bahasa yang tidak pernah gagal mengungkap kita.


2022



Jumat, 23 Desember 2022

Sekolah Murid Merdeka; Semua Murid, Semua Guru

Pada tahun 2019 --tahun pertama SMM dibuka, ketika mencari PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) untuk keperluan memperoleh ijasah SD Nada, kami menemukan SMM (Sekolah Murid Merdeka).
 
Salah satu alasan keluarga kami memutuskan Homeschooling adalah karena kami menganggap Sekolah Konvensional terlalu banyak memasukan mata pelajaran yang seringkali sudah tidak relevan dan kurang dibutuhkan anak. Di Sekolah Murid Merdeka, sebagaimana kita bisa tebak dari namanya, menerapkan Kurikulum Merdeka yang salah satu karakteristiknya adalah pengurangan cakupan materi dibanding kurikulum nasional sebelumnya.

Sering sekali saya menemukan ekspektasi yang tidak realistis baik dari orangtua atau siapapun tentang kemampuan murid dan juga kemampuan guru terkait konten pelajaran. Di era informasi sekarang ini, intensi untuk melengkapi pengetahuan murid dengan pelajaran yang “just in case diperlukan" memang semakin menjadi-jadi, namun desainer kurikulum yang baik, seharusnya bisa memilih relevansi bukan hanya pada zaman tapi juga pada keunikan, kondisi sosial anak atau personalisasi.

Sama dengan Homeschooling, kostumisasi atau personalisasi adalah hal yang seharusnya ada dalam sistem pendidikan kita. Pendidikan yang memberi ruang untuk keunikan anak sehingga potensi terbaik mereka bisa jauh lebih berkembang. Contoh paling sederhana dalam hal personalisasi di SMM adalah anak-anak dibebaskan untuk mengerjakan tugas menggunakan hal yang mereka kuasai dan senangi. Bisa melalui visual, gambar, atau video, bisa berbentuk tulisan atau karya sastra, musik atau yang lainnya. Di SMM perbedaan dan ide selalu dihargai.

Personalisasi hanya akan mungkin terjadi apabila isi kurikulum memberi ruang dan waktu yang cukup kepada murid untuk bereksplorasi, lewat pendekatan yang menempatkan murid sebagai pengendali proses belajarnya sendiri. SMM yang digagas oleh Najelaa Shihab memang dirancang untuk menjadi sekolah dengan kurikulum yang berpihak pada anak atau murid. Keberpihakan pada murid ini, selain lebih mengakomodir personalitas siswa juga lebih kontekstual dan relevan. Dalam sebuah artikel Najelaa menjelaskan bahwa ada dua pertanyaan yang lazim berulang dalam musyawarah Guru tentang cakupan kurikulum di SMM, yaitu:
  1. Di antara semua yang menarik untuk menjadi cakupan kurikulum, mana yang akan berguna bagi murid 5-10-20 tahun yang akan datang saat saya sebagai guru bertemu mereka di masa depan?
  2. Jika ini penting diajarkan, apakah sekarang, di periode usia/jenjang pendidikan ini adalah waktu tertepat berkaitan tingkat kesiapan anak untuk anak belajar?
Cakupan kurikulum memang selalu soal prioritas. Sehingga kurikulum yang baik adalah kurikulum yang kontekstual. Seringkali, ada topik yang sebenarnya bagian yang esensial untuk generasi Z, tapi terlewat dalam cakupan kurikulum, contohnya tentang pendidikan seksualitas atau spiritualitas, atau juga materi lintas jenjang seperti materi terkait demokrasi dan kebangsaan.

Salah satu hal yang juga perlu dipikirkan oleh perancang kurikulum adalah memilih materi yang paling berkait dengan bidang ilmu lain. Materi lintas jenjang dan lintas mata pelajaran ini penting dipikirkan agar semakin terjadinya kesinambungan dalam pembelajaran. Otonomi guru dalam kontekstualisasi kurikulum ini juga perlu dibarengi dengan adanya “tes relevansi” untuk setiap materi yang bukan hanya dilakukan satu tahun ajaran sekali, tetapi terus berefleksi guna memenuhi kebutuhan dan kondisi murid.

Usaha tersebut sedang dan terus dilakukan oleh SMM. Hasil karya berkait ini, menjadi inti asesmen yang juga berulang, diobservasi dan dinilai lintas tahun ajaran. Salah satu contohnya adalah menghasilkan paragraf esai. Karena kemampuan membuat pernyataan dan kesimpulan, menjelaskan latar belakang dan mendeskripsikan kompleksitas dengan pemilihan kata, kelancaran kalimat dan konvensi yang tepat adalah salah satu aspek kompetensi yang dibutuhkan lintas profesi.

Keistimewaan SMM yang saya sebutkan di atas memang terdengar mewah dan ideal, namun sayangnya banyak orangtua murid SMM yang terkadang luput memahami bahwa tradisi tanggungjawab orangtua di SMM berbeda dengan paradigma lama yang menyerahkan sepenuhnya anak ke sekolah tanpa peduli lagi. Di SMM ada slogan "semua murid, semua guru". Itu bukan slogan kosong tanpa realisasi namun ingin dijadikan budaya yang melekat. Slogan itu berarti adanya kemauan dari semua pihak baik sekolah, guru, murid juga orangtua untuk bisa terus belajar dan mendidik, untuk membuka pikiran, bergerak saling membantu, bermakna. Dengan begitu, diharapkan orangtua dan sekolah mampu menciptakan kolaborasi atau kerjasama. Kolaborasi itu juga terjalin antara orangtua dan murid, dimana orangtua memiliki peran terpusat saat anak belajar di rumah, walaupun tidak berarti orangtua yang bekerja tidak bisa menerapkan budaya ini. Pendampingan yang dimaksud adalah pendampingan dalam hal moral, dukungan dan ikut terlibat dalam diskusi dengan anak. Pendampingan seperti itu menjadi hal penting untuk bisa mendukung semangat belajar anak yang pada akhirnya mewujudkan ekosistem Merdeka Belajar.

Merek Merdeka Belajar juga awalnya dimiliki SMM atau Sekolah Cikal (sekolah yang menginisiasi SMM) yang akhirnya diberikan ke pemerintah yang kemudian dijadikan payung besar kebijakan pendidikan nasional. Merdeka Belajar sendiri adalah ekosistem dalam dunia pendidikan yang dikembangkan untuk meningkatkan kompetensi, kolaborasi dan inovasi semua pemangku kepentingan, mulai dari guru, orangtua, komunitas dan organisasi. Cakupannya cukup luas, salah satunya adalah menciptakan Kurikulum Merdeka, yaitu kurikulum yang lebih fleksibel, sekaligus berfokus pada materi esensial dan pengembangan karakter dan kompetensi peserta didik. Kurikulum yang mengacu pada pendekatan bakat dan minat, sehingga peserta didik dapat memilih pelajaran apa saja yang ingin dipelajari sesuai passion melalui pembelajaran intrakurikuler yang beragam. Namun kurikulum hanyalah alat, yang membuat itu berarti adalah manusia di belakangnya yang secara kreatif bisa membuat kurikulum tersebut berjalan sesuai tujuan.

Saya pernah beberapa tahun menjadi Guru, dan sejauh pengalaman saya, sulit untuk mengubah budaya korup dan stagnasi dalam jajaran birokrasi Kementrian Pendidikan ini. Bagi orang-orang yang masih punya idealisme, masuk ke birokrasi pemerintah memang sering membuat frustasi. Mungkin saja perubahan di tingkat atas bisa lebih mudah dilakukan, namun sudah menjadi rahasia umum bahwa perubahan kebijakan, tidak menjamin perubahan di lapangan, apalagi paradigma usang tentang pendidikan yang sudah langgeng selama bertahun-tahun selalu menjadi penghambat utama reformasi.

Pertanyaannya kemudian adalah apakah Kurikulum Merdeka mungkin diterapkan dalam praktek di lapangan? Jawabannya tentu bisa. Mungkin memang bukan hal yang mudah, karena jika ada sekolah yang mencoba menerapkan konstektualisasi kurikulum ala Merdeka Belajar, pola ujian (assessment) dari pemerintah yang ada sekarang belum sama merdeka dan bisa mengakomodir. Bagaimanapun tidak akan bisa ada perubahan dalam upaya konstektualisasi kurikulum, tanpa perubahan di standar penilaian. Memang butuh proses dan ketekunan, SMM telah membuktikan bahwa upaya dan kolaborasi terus menerus bisa membuat semua itu semakin mudah diwujudkan.



Kamis, 08 Desember 2022

Kebahagiaan, Keselamatan dan Kemerdekaan

Sudah sejak lama para praktisi atau cendikiawan mencoba menjelaskan pertanyaan dasar tentang tujuan pendidikan. Berikut adalah beberapa diantaranya:
 
Aristoteles: Education is the creation of a sound mind in a sound body it develop men faculty especially his mind so that he may be able to enjoy the implementation of supreme court goodness and beauty of which perfect happiness essentially consist.

Al Ghazali: Tujuan pendidikan adalah mendekatkan diri kepada Allah sehingga menjadi manusia sempurna dan akhirnya membahagiakan hidup di dunia dan akhirat.

Ki Hajar Dewantara: Pendidikan menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada peserta didik agar sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan hidup yang setinggi-tingginya.

UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003: Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Ada banyak penjelasan tentang tujuan pendidikan dari para pakar atau pendidik yang lain, namun secara sederhana dari beberapa yang saya kutipkan di atas dapat disimpulkan dalam satu kata:

Kebahagiaan

Tujuan Pendidikan memang seharusnya dibuat umum dan luas, tidak hanya terbatas pada ukuran ketuntasan belajar yang sempit. Dari pengambilan kata dasar "didik" dan "ajar" saja sudah memiliki konotasi yang berbeda, maka konsep istilah untuk murid yang lebih tepat adalah anak didik dan konsep istilah untuk guru adalah pendidik. Mungkin itu terdengar sebagai istilah yang tidak terlalu penting, namun dari kata manusia jadi tahu pentingnya memahami konsep. Saya sering mendengar dari kawan-kawan pendidik yang menyatakan bahwa mereka tidak butuh mengerti konsep karena tanpa itupun mereka sudah melaksanakan dalam keseharian, jadi tidak perlu konsep atau pemahaman istilah yang macam-macam. Itu argumen yang tidak berdasar, karena narasi itu penting, kata-kata dan konsep itu penting. Saya setuju bahwa perbuatan lebih keras bersuara dari perkataan, namun tanpa memahami konsep, yang kita lakukan tidak bermakna atau paling tidak berkurang maknanya. Oleh karenanya konsep dan tindakan tidak bisa dipisahkan. Tindakan tanpa konsep adalah kebutaan, konsep tanpa tindakan adalah kelumpuhan.

Kembali lagi pada tujuan pendidikan, sebagian orang mungkin menganggap pintar, mudah mendapat pekerjaan, dan memperoleh status dalam masyarakat adalah tujuan pendidikan, namun ukuran seseorang disebut pintar, kaya, atau berkedudukan sangatlah relatif. Mungkin kita bisa menyebut ukuran seperti Cum Laude, 500 milyar dan anggota DPR. Pertanyaan selanjutnya bisakah semua murid mencapai semua tujuan-tujuan itu? Bukankah dengan ukuran tersebut berarti tidak semua murid sampai pada tujuan pendidikan? Atau yang lebih buruk, apakah kita akan membiarkan para murid melakukan hal apapun termasuk kecurangan untuk mencapai tujuan-tujuan itu? Bukankah banyak orang yang mencapai kepintaran, kekayaan, dan kedudukan dengan cara curang dan akhirnya berakhir tidak bahagia? Bukan berarti hal-hal tersebut tidak penting atau tidak bisa membuat bahagia, namun pintar, kaya, dan status jangan dijadikan tujuan tapi cara untuk memperoleh kebahagiaan. Sekali lagi cara, bukan tujuan, karena manusia bisa bahagia tanpa "kepintaran", "kekayaan" dan "jabatan".

Di sekolah konvensional, tujuan pembelajaran biasanya dinilai dengan ujian tertulis atau praktek, dan hasilnya diukur dengan KKM. Sepanjang melewati batas KKM maka tujuan pembelajaran tercapai. Tujuan pendidikan lebih luas dari tujuan pembelajaran, bahkan belum ada ukuran yang benar-benar jelas untuk menilai apakah tujuan pendidikan tersebut sudah tercapai atau belum. Ya, terkait kebahagiaan sebagai tujuan pendidikan, pertanyaan berikutnya adalah:

Bagaimana cara mengukur kebahagiaan?

Berbeda dengan tes akademik atau tes pada organ tubuh, kebahagiaan tidak bisa diketahui melalui ujian sekolah atau tes darah atau pemindaian tubuh. Sehingga salah satu ukuran yang bisa digunakan adalah memahami terlebih dahulu definisi kebahagiaan.

Ada karakteristik utama dalam bahagia yang bisa kita ketahui, yaitu kepuasan terhadap hidup atau momen yang sedang dijalani. Ibnu Athaillah menjelaskan bahwa semakin sederhana kebutuhan seseorang akan kebahagiaan, maka semakin besar kemungkinan orang itu untuk bahagia. Tentu kebutuhan seseorang dalam hal ini sangat subjektif dan berbeda-beda. Satu hal bisa membuat satu orang bahagia, tapi tidak untuk orang lain.

Aristoteles memetakan definisi bahagia ke dalam dua hal. Pertama Hedonia, yaitu rasa bahagia yang berakar dari hal menyenangkan. Umumnya, berkaitan dengan perasaan yang muncul saat melakukan hal disukai, menyayangi diri sendiri, mewujudkan impian, dan merasa puas. Kedua Eudaimonia, yaitu kebahagiaan yang berakar dari pencarian tentang makna hidup. Komponen penting dalam hal ini adalah perasaan memiliki tujuan hidup dan nilai. Oleh sebab itu, kaitannya sangat erat dengan pemenuhan tanggung jawab, perhatian terhadap kesejahteraan untuk orang lain, dan menjalani hidup sesuai idealisme.

Meik Wiking penulis buku The Little Book of Hygge: Danish Secrets to Happy Living menyatakan dengan lebih teknis bahwa kebahagiaan bukan hanya bersumber dari uang. Karena walaupun seseorang pasti merasa puas apabila dapat memenuhi kebutuhan dasarnya dengan uang, namun setelah itu, uang yang masih tersisa tidak akan mendatangkan kebahagiaan sama seperti titik awalnya. Ada law of diminishing return di sini. Artinya, kebahagiaan setinggi apapun seperti memiliki rumah sendiri pada akhirnya akan kembali datar.

Jadi adakah satu hal yang disepakati yang membuat orang bahagia?

Jawabannya tentu tidak ada. Karena yang dimaksud bahagia ini berbeda dengan rasa euforia yang hanya berlangsung singkat. Seseorang bisa bahagia ketika bisa menyelesaikan tugas yang diberikan, menonton atau mendengarkan boygroup yang ia suka, mendapat promosi jabatan, kenaikan gaji atau barang-barang baru yang dimiliki, namun itu perasaan bahagia yang hanya berlangsung beberapa saat dan sangat bergantung pada apa yang di luar dirinya. Jika manusia terlalu fokus mengejar sesuatu yang di luar dirinya, manfaat jangka panjang terhadap kebahagiaan tidak dapat diperoleh. Sehingga bahagia bukanlah tentang apa yang ada di luar, tapi apa yang ada di dalam.

Arti kebahagiaan juga bukan berarti terus menerus merasa senang dan tidak pernah sedih. Orang bahagia bisa tetap merasakan emosi lain seperti sedih, takut, kaget, dan lainnya. Hanya saja, ketika merasa situasi tidak berjalan sesuai yang diinginkan, ada rasa optimis bahwa semua akan membaik. Mereka bisa menghadapi apa yang sedang terjadi dan kembali merasa senang.

Kebahagiaan juga tidak memerlukan hal-hal yang sempurna. Bahkan mengejar kesempurnaan dalam hidup, justru bisa membuat manusia merasa kurang bahagia. Bahkan dapat melukai rasa bahagia, karena kita akan selalu menginginkan lebih dan tidak pernah benar-benar puas.

Kesimpulan akhir yang mudah disepakati adalah kebahagiaan merupakan keterampilan yang dapat kita kerjakan setiap hari dengan secara aktif memilih pikiran, koneksi, dan keyakinan yang membuat kita merasa baik. Nah, cara dan keterampilan itulah yang dipahami, dihayati dan dilatih dalam aktifitas pendidikan. Keyakinan yang membuat kita merasa baik atau lebih baik bisa di dapat dalam agama.

Agama adalah sumber kebahagiaan

Bahagia adalah perintah Tuhan. Karena adakah orang yang ikhlas, sabar, penuh syukur, tawakal, punya tujuan hidup yang tidak bahagia?

Agama bukan hanya ada pada pelajaran-pelajaran agama saja. Lagipula, "Pelajaran Agama" dan bukan "Pelajaran Agama" adalah pemisahan yang tidak sepenuhnya tepat. Sebagaimana halnya urusan dunia dan urusan akhirat, pelajaran agama dan bukan agama tidak ditentukan berdasarkan jenis pelajarannya, tapi visi, motif atau niat peserta didik ketika mempelajari pelajaran-pelajaran di sekolah. Matematika, science, sejarah atau pelajaran-pelajaran lain bisa jadi adalah pelajaran yang punya visi jauh. Ilmu, selama diniatkan untuk kebaikan manusia adalah pelajaran agama. Sarana untuk menuju kebahagiaan. Kita mengenal ulama atau ilmuan muslim yang pakar di banyak bidang seperti Ibnu Sina, Al Farabi, Ibnu Khaldun, Al Khawarizmi, Al Battani, Ibnu Firnas dan lain-lain. Mereka dikenal sebagai ilmuan di bidang kedokteran, penerbangan, astronomi, hukum, matematika dan banyak lagi.

Maka benar apa yang dirinci dalam UU Sisdiknas bahwa tujuan pendidikan adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tidak dipungkiri lagi, ujung atau tujuan dari berkembangnya segala potensi yang baik itu adalah kebahagiaan.

Wallahu 'alam