Sudah sejak lama para praktisi atau cendikiawan mencoba menjelaskan pertanyaan dasar tentang tujuan pendidikan. Berikut adalah beberapa diantaranya:
Aristoteles: Education is the creation of a sound mind in a sound body it develop men faculty especially his mind so that he may be able to enjoy the implementation of supreme court goodness and beauty of which perfect happiness essentially consist.
Al Ghazali: Tujuan pendidikan adalah mendekatkan diri kepada Allah sehingga menjadi manusia sempurna dan akhirnya membahagiakan hidup di dunia dan akhirat.
Ki Hajar Dewantara: Pendidikan menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada peserta didik agar sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan hidup yang setinggi-tingginya.
UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003: Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Ada banyak penjelasan tentang tujuan pendidikan dari para pakar atau pendidik yang lain, namun secara sederhana dari beberapa yang saya kutipkan di atas dapat disimpulkan dalam satu kata:
Kebahagiaan
Tujuan Pendidikan memang seharusnya dibuat umum dan luas, tidak hanya terbatas pada ukuran ketuntasan belajar yang sempit. Dari pengambilan kata dasar "didik" dan "ajar" saja sudah memiliki konotasi yang berbeda, maka konsep istilah untuk murid yang lebih tepat adalah anak didik dan konsep istilah untuk guru adalah pendidik. Mungkin itu terdengar sebagai istilah yang tidak terlalu penting, namun dari kata manusia jadi tahu pentingnya memahami konsep. Saya sering mendengar dari kawan-kawan pendidik yang menyatakan bahwa mereka tidak butuh mengerti konsep karena tanpa itupun mereka sudah melaksanakan dalam keseharian, jadi tidak perlu konsep atau pemahaman istilah yang macam-macam. Itu argumen yang tidak berdasar, karena narasi itu penting, kata-kata dan konsep itu penting. Saya setuju bahwa perbuatan lebih keras bersuara dari perkataan, namun tanpa memahami konsep, yang kita lakukan tidak bermakna atau paling tidak berkurang maknanya. Oleh karenanya konsep dan tindakan tidak bisa dipisahkan. Tindakan tanpa konsep adalah kebutaan, konsep tanpa tindakan adalah kelumpuhan.
Kembali lagi pada tujuan pendidikan, sebagian orang mungkin menganggap pintar, mudah mendapat pekerjaan, dan memperoleh status dalam masyarakat adalah tujuan pendidikan, namun ukuran seseorang disebut pintar, kaya, atau berkedudukan sangatlah relatif. Mungkin kita bisa menyebut ukuran seperti Cum Laude, 500 milyar dan anggota DPR. Pertanyaan selanjutnya bisakah semua murid mencapai semua tujuan-tujuan itu? Bukankah dengan ukuran tersebut berarti tidak semua murid sampai pada tujuan pendidikan? Atau yang lebih buruk, apakah kita akan membiarkan para murid melakukan hal apapun termasuk kecurangan untuk mencapai tujuan-tujuan itu? Bukankah banyak orang yang mencapai kepintaran, kekayaan, dan kedudukan dengan cara curang dan akhirnya berakhir tidak bahagia? Bukan berarti hal-hal tersebut tidak penting atau tidak bisa membuat bahagia, namun pintar, kaya, dan status jangan dijadikan tujuan tapi cara untuk memperoleh kebahagiaan. Sekali lagi cara, bukan tujuan, karena manusia bisa bahagia tanpa "kepintaran", "kekayaan" dan "jabatan".
Di sekolah konvensional, tujuan pembelajaran biasanya dinilai dengan ujian tertulis atau praktek, dan hasilnya diukur dengan KKM. Sepanjang melewati batas KKM maka tujuan pembelajaran tercapai. Tujuan pendidikan lebih luas dari tujuan pembelajaran, bahkan belum ada ukuran yang benar-benar jelas untuk menilai apakah tujuan pendidikan tersebut sudah tercapai atau belum. Ya, terkait kebahagiaan sebagai tujuan pendidikan, pertanyaan berikutnya adalah:
Bagaimana cara mengukur kebahagiaan?
Berbeda dengan tes akademik atau tes pada organ tubuh, kebahagiaan tidak bisa diketahui melalui ujian sekolah atau tes darah atau pemindaian tubuh. Sehingga salah satu ukuran yang bisa digunakan adalah memahami terlebih dahulu definisi kebahagiaan.
Ada karakteristik utama dalam bahagia yang bisa kita ketahui, yaitu kepuasan terhadap hidup atau momen yang sedang dijalani. Ibnu Athaillah menjelaskan bahwa semakin sederhana kebutuhan seseorang akan kebahagiaan, maka semakin besar kemungkinan orang itu untuk bahagia. Tentu kebutuhan seseorang dalam hal ini sangat subjektif dan berbeda-beda. Satu hal bisa membuat satu orang bahagia, tapi tidak untuk orang lain.
Aristoteles memetakan definisi bahagia ke dalam dua hal. Pertama Hedonia, yaitu rasa bahagia yang berakar dari hal menyenangkan. Umumnya, berkaitan dengan perasaan yang muncul saat melakukan hal disukai, menyayangi diri sendiri, mewujudkan impian, dan merasa puas. Kedua Eudaimonia, yaitu kebahagiaan yang berakar dari pencarian tentang makna hidup. Komponen penting dalam hal ini adalah perasaan memiliki tujuan hidup dan nilai. Oleh sebab itu, kaitannya sangat erat dengan pemenuhan tanggung jawab, perhatian terhadap kesejahteraan untuk orang lain, dan menjalani hidup sesuai idealisme.
Meik Wiking penulis buku The Little Book of Hygge: Danish Secrets to Happy Living menyatakan dengan lebih teknis bahwa kebahagiaan bukan hanya bersumber dari uang. Karena walaupun seseorang pasti merasa puas apabila dapat memenuhi kebutuhan dasarnya dengan uang, namun setelah itu, uang yang masih tersisa tidak akan mendatangkan kebahagiaan sama seperti titik awalnya. Ada law of diminishing return di sini. Artinya, kebahagiaan setinggi apapun seperti memiliki rumah sendiri pada akhirnya akan kembali datar.
Jadi adakah satu hal yang disepakati yang membuat orang bahagia?
Jawabannya tentu tidak ada. Karena yang dimaksud bahagia ini berbeda dengan rasa euforia yang hanya berlangsung singkat. Seseorang bisa bahagia ketika bisa menyelesaikan tugas yang diberikan, menonton atau mendengarkan boygroup yang ia suka, mendapat promosi jabatan, kenaikan gaji atau barang-barang baru yang dimiliki, namun itu perasaan bahagia yang hanya berlangsung beberapa saat dan sangat bergantung pada apa yang di luar dirinya. Jika manusia terlalu fokus mengejar sesuatu yang di luar dirinya, manfaat jangka panjang terhadap kebahagiaan tidak dapat diperoleh. Sehingga bahagia bukanlah tentang apa yang ada di luar, tapi apa yang ada di dalam.
Arti kebahagiaan juga bukan berarti terus menerus merasa senang dan tidak pernah sedih. Orang bahagia bisa tetap merasakan emosi lain seperti sedih, takut, kaget, dan lainnya. Hanya saja, ketika merasa situasi tidak berjalan sesuai yang diinginkan, ada rasa optimis bahwa semua akan membaik. Mereka bisa menghadapi apa yang sedang terjadi dan kembali merasa senang.
Kebahagiaan juga tidak memerlukan hal-hal yang sempurna. Bahkan mengejar kesempurnaan dalam hidup, justru bisa membuat manusia merasa kurang bahagia. Bahkan dapat melukai rasa bahagia, karena kita akan selalu menginginkan lebih dan tidak pernah benar-benar puas.
Kesimpulan akhir yang mudah disepakati adalah kebahagiaan merupakan keterampilan yang dapat kita kerjakan setiap hari dengan secara aktif memilih pikiran, koneksi, dan keyakinan yang membuat kita merasa baik. Nah, cara dan keterampilan itulah yang dipahami, dihayati dan dilatih dalam aktifitas pendidikan. Keyakinan yang membuat kita merasa baik atau lebih baik bisa di dapat dalam agama.
Agama adalah sumber kebahagiaan
Bahagia adalah perintah Tuhan. Karena adakah orang yang ikhlas, sabar, penuh syukur, tawakal, punya tujuan hidup yang tidak bahagia?
Agama bukan hanya ada pada pelajaran-pelajaran agama saja. Lagipula, "Pelajaran Agama" dan bukan "Pelajaran Agama" adalah pemisahan yang tidak sepenuhnya tepat. Sebagaimana halnya urusan dunia dan urusan akhirat, pelajaran agama dan bukan agama tidak ditentukan berdasarkan jenis pelajarannya, tapi visi, motif atau niat peserta didik ketika mempelajari pelajaran-pelajaran di sekolah. Matematika, science, sejarah atau pelajaran-pelajaran lain bisa jadi adalah pelajaran yang punya visi jauh. Ilmu, selama diniatkan untuk kebaikan manusia adalah pelajaran agama. Sarana untuk menuju kebahagiaan. Kita mengenal ulama atau ilmuan muslim yang pakar di banyak bidang seperti Ibnu Sina, Al Farabi, Ibnu Khaldun, Al Khawarizmi, Al Battani, Ibnu Firnas dan lain-lain. Mereka dikenal sebagai ilmuan di bidang kedokteran, penerbangan, astronomi, hukum, matematika dan banyak lagi.
Maka benar apa yang dirinci dalam UU Sisdiknas bahwa tujuan pendidikan adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tidak dipungkiri lagi, ujung atau tujuan dari berkembangnya segala potensi yang baik itu adalah kebahagiaan.
Wallahu 'alam