Halaman

Minggu, 25 Januari 2009

Mencari Jalan Pulang

Masih ingatkah pada malam itu, ketika kamu memegang tanganku begitu erat di Terminal Lebak Bulus. Ketika kita kehabisan bis pulang. Diam-diam aku senang melihat kekalutanmu. Membuatku diperlukan.

Aku senang menyesatkan diriku sendiri. Aku senang berada dalam keadaan mencari jalan pulang. Itu hobiku jika ada waktu luang. Tersesat di jalan-jalan kota. Menyadari realitas di sekeliling. Bertemu dan berkenalan dengan tukang bubur, tukang koran, sopir angkot, orang-orang baru. Sekedar berputar-putar tanpa tujuan dengan motorku. Bensih habis. Uang habis. Pulsa habis. Ban bocor. Dan menyadari yang kulakukan sia-sia.

Namun aku puas dengan pengalaman itu. Orang menganggapku tidak mendapat apa-apa. Aku berpendapat tidak mendapatkan apa-apa itulah yang kudapat. Jadi aku mendapat apa-apa; Pencarian jalan pulang.

Berkelana ke tempat-tempat jauh lalu mencari jalan pulang selalu mengusik kesadaran. Membuatku tertantang untuk menemukan berbagai macam kemungkinan. Waktu bertanya ke preman terminal, “Permisi bang, bis yang ke Bekasi lewat mana ya?”

“Oh, lewat sana!” katanya dengan tampang yang dibuat garang sambil menunjuk perempatan lampu merah di ujung jalan.

Sesampainya di lampu merah, pertanyaan yang sama aku lontarkan, “Misi pak, bis yang ke Bekasi lewat sini kan?” dan dijawab, “Oh, gak lewat sini!”

Seseorang menipu. Dua orang membohongi. Tiga orang mendustai. Sama saja bagiku. Bukan berapa banyaknya orang yang membohongi tapi adakah orang yang bisa kupercayai. Kemanakan harus kulabuhkan kepercayaan itu. Aku muak diombang-ambing keadaan sekaligus senang. Kesenangan yang absurd. Kesenangan untuk bisa memberi makna pada kejujuran.

Dan terima kasih telah ikut tersesat dan mencari jalan pulang bersamaku. Terima kasih masih mau di sisiku. Disaat seperti itu yang paling penting adalah bertanya dan saling mempercayai. Bukan menuduh dan menyalahkan.

Pegang erat tanganku.

Dan mari berbagi kepercayaan di tengah jalan pulang!


Bekasi, 25 Januari 2009