Halaman

Rabu, 22 Februari 2017

Sekolah Menjadi Orangtua

“Bapak, sepeda kakak dipinjem Bunga. Kakak mau main lagi.” Nada mengadu lagi tentang Bunga, tentu bukan nama sebenarnya.

“Ya sudah bilang sana.” Kata saya dari dapur. Nada memang kurang berani dengan Bunga, kawan di lingkungan rumah yang usianya lebih muda 2-3 tahun. Setiap kali Bunga meminjam sepeda, Nada selalu memberikan.

“Dia nggak mau dengerin. Bapak aja yang ngomong.”

“Itukan temen kamu, sepeda kamu, ya kamu yang ngomong. Kakak memang mau ngomong sama temen bapak, padahal bapak yang punya perlu?”

Nada diam.

Permainan logika itu terkadang berhasil. Tapi anak-anak selalu punya cara untuk merengek.
“Ya sudah. Menurut kakak bapak harus gimana?” Tanya saya.

“Bilangin Bunga suruh balikin sepedanya.”

“Bunga kan bukan anak bapak. Bukan tanggung jawab bapak dong. Bunga itu tanggung jawab orangtuanya.” Nada mendengarkan, saya melanjutkan, “Sekarang gini aja. Kakak bilang ke mamahnya Bunga, minta Bunga balikin sepedanya. Lagian memang kamu nggak liat bapak lagi cuci piring?”

Nada masih merajuk. Dengan masih membelakanginya, saya tetap merespon dengan jawaban terakhir.

Entah bagaimana caranya, beberapa menit kemudian, ketika saya melihat Nada di depan rumah, ia telah memainkan sepedanya lagi.
 
Edward de Bono dalam bukunya Children Solve Problems, melakukan percobaan dengan memberikan 9 tugas kepada anak-anak untuk diselesaikan. Setiap tugas dipilih dengan teliti dengan mengukur karakter yang berbeda-beda dari anak-anak. Kesimpulan dari buku tersebut adalah anak-anak bisa memecahkan masalah dengan sangat mudah. Cara mereka mengatasi masalah memang terkadang tidak praktis, tetapi cara-cara itu didapat dari kemahiran, semangat, dan imajinasi yang mengagumkan yang pantas membuat iri banyak orang dewasa.

Sebagai orang dewasa, saya banyak belajar dari mereka. Selain banyak membaca dari berbagai sumber tentang parenting, belajar dari pengalaman, belajar dari kesalahan dan belajar sambil melakukan adalah hal yang menjadi kemestian. Dan jika menjadi orang tua ada sekolahnya, maka pasti anak-anak yang menjadi sang maha guru.

Rabu, 15 Februari 2017

La La Land; Sebuah Dunia Tanpa Tinky Winky

Sebastian: What do you mean you don't like jazz? 
Mia: It just means that when I listen to it, I don't like it. 


Kenapa La La Land? Kenapa tidak? The Telegraph, The Guardian, The Times, dan Cine-Vue.Com memberikan bintang lima untuk film ini. Menyapu bersih 7 piala dari 7 nominasi Di Golden Globe, dan menjadikannya sebagai film pertama yang membawa pulang piala terbanyak sepanjang ajang itu. Sampai Januari, sudah 196 penghargaan dan nominasi yang diterima film ini, sementara Academy Awards baru akan diselenggarakan akhir Februari nanti. Ya, mungkin penghargaan yang tidak akan dimenangkan film ini hanyalah Piala FFI.

Ini film tentang mimpi, atau meminjam kata-kata Mia, “Here's to the ones who dream / Foolish as they may seem. / Here's to the hearts that ache. / Here's to the mess we make.” Dan diakhir cerita, saya menangkap Perahu Kertas Dee, tapi dengan penutup yang pahit.

Saya masuk 15 menit setelah studio dibuka. Di menit ketika Ema Stone membuka jaket dan terlihat tumpahan kopi di kemeja putihnya. Setelah itu, alur berjalan pelan dan cenderung membosankan, tanpa ada sub plot yang membuat kejutan-kejutan. Menurut saya wajar, karena ini film musikal, waktu yang ada mesti diberikan untuk lagu dan tari. Tentu jika tema, alur yang lebih kompleks disertai nyanyian dan joget, saya mengharapkan film ini akan sepanjang Kuch Kuch Hota Hai.

Poros film ini hanya pada dua tokoh Sebastian dan Mia. Dunia di dalam film ala Broadway ini adalah tempat dimana bicara dan gerak diekspresikan secara wajar dan alami melalui lagu dan tari, dimana kenyataan bisa seperti hayalan. Di zaman emoji menggantikan ekpresi, yang terkadang palsu, lagu dan tarian adalah antitesis kepura-puraan. Pada beberapa adegan, kita disajikan kegugupan, debar dan ketertarikan yang manis. Kita terbawa sendu ketika Sebastian berjalan di sepanjang dermaga, bersiul, kemudian lirih bernyanyi City of Stars dengan nada rendah.


City of stars Are you shining just for me? 
City of stars There's so much that I can't see 
Who knows? Is this the start of something wonderful and new? 
Or one more dream that I cannot make true?  

Tentang menari, saya kaku, sementara tentang Jazz, saya tidak tahu. Saya suka menari di tempat dan kalangan tertentu. Saya menari ketika atau setelah mandi, sementara saya bernyanyi ketika ngantuk coba merubuhkan saya dari atas kendaraan. Saya tidak peduli apakah tarian Justin Bieber atau Gangnam Style banyak disukai. Saya juga tidak peduli apakah benar bahwa orang yang suka menari punya kecenderungan untuk jadi lebih spriritual dan luwes dalam pergaulan. Yang saya tahu, saya joget-joget ketika senang.

Tentang Jazz saya lebih norak lagi. Satu-satunya Jazz yang saya suka adalah Raisa. Bukan karena Raisa adalah penyanyi Jazz, tapi karena Raisa adalah Raisa. Ya, keterangan yang nggak ada gunanya. Saya baru paham mengapa musisi Jazz benci genre disko, ketika perempuan yang saya ajak nonton mengatakannya. Dan benar saja, karena dialog Mia dan Sebastian, dengan lucu menjelaskan itu.

Sebastian: Alright, I remember you. And yes, I'll admit that when we met, I was a little curt.  
Mia: You were "curt?"  
Sebastian: Alright, I was an asshole. I can admit that! But requesting "I Ran" from a serious musician? Too far! 

Sebagai film bergenre drama komedi, nuansa komedik (dengan adegan-adegan kebetulan ala FTV) dan joke dalam film ini halus. Pada beberapa adegan bahkan hanya saya yang tertawa keras dalam satu studio. Lagi-lagi, perempuan yang saya ajak nonton mengingatkan sebelum penjual popcorn datang menegur.

Di atas semua, seperti Begin Again semua lagu dalam film ini begitu ear-worms.

Sebastian: Well, no one likes jazz, not even you!   
Mia: I do like jazz now because of you!