-:(الراحمون يرحمهم الرحمن تبارك وتعالي/ ارحموا من في الأرض يرحمكم من في السماء):-
Jumat, 30 Agustus 2013
Kau tahu Kawan #8
Kau tahu kawan, kebanyakan penulis mendapatkan sebagian besar penghasilan mereka bukan dari menulis.
Naskah yang dalam Tiga Tahun Belakangan Ini Berkali-Kali Gue Revisi Itu Akhirnya Ditolak Sebuah Penerbit Karena Alasan Follower
“Reputasi tidak bisa dibeli, follower bisa dibeli—bahkan secara resmi. Reputasi dibangun dari keahlian, kemampuan, bahkan bakat, juga kerja keras bertahun-tahun. Ia tak terbeli oleh uang, karena harganya tak ternilai.“ - Hoeda Manis
Ehm, dulu gue pernah berniat membeli follower. Tapi akhirnya niatan itu gue urungkan.
Awalnya gue coba-coba search di Google tentang cara memperbanyak follower dan menemukan link yang bisa memberikan follower secara gratis dan berbayar. Gue coba yang gratis. Dan benar, beberapa menit setelah mendaftar di situs tersebut, follower gue langsung bertambah drastis. Sekali lagi, hanya dalam hitungan menit!
Namun, ketika melihat dengan takjub penambahan follower di akun twiter itu, detik itu juga hati kecil gue merasa nggak tenang dan terusik. I know that’s not the decision that I’m gonna take. Akhrinya gue memutuskan untuk membatalkan sarana menadapatkan follower tersebut dan mengganti password di twiter. Dan dengan cepat, follower yang mulai bertambah itu berkurang atau beramai-ramai unfollow. Gue kembali menjadi fakir follower.
Gue nggak punya masalah dengan orang yang punya banyak follower atau sering disebut selebtwit. Apalagi yang mendapatkan followernya dengan jalan yang benar, bukan yang berbayar. Dan gue tahu banyak orang yang di-follow karena twit-twit mereka bukan karena keartisan atau keterkenalan mereka di dunia nyata. Mereka dinilai dan dihargai karena apa yang mereka tulis. Itu menurut gue keren! Dengan jalan itu gue juga mau punya banyak follower.
Tapi kemudian gue juga tahu kalau ada beberapa orang —bahkan orang terkenal— yang memiliki jutaan follower di Twitter, ternyata mendapatkan follower-nya dengan cara membeli. Bahkan mereka membelinya secara resmi melalui Twitter. Coba saja buat akun twitter, pasti lo akan disodori setumpuk akun untuk di-follow. Nah, merekalah pembeli follower resmi via twiter.
Sampai di sini gue takjub.
Sampai suatu saat gue tahu dari twitter bahwa akun @hiumacan pernah ditolak sebuah penerbit di Jogja karena tidak bisa memenuhi sarat dari penerbit tersebut; punya 200,000 folower. Ini gila. Dan kalau nggak mengalami sendiri, gue juga nggak akan percaya bahwa ada penerbit yang menilai penulis dari aktifitasnya di twitter dan dunia maya bukan karena kualitas naskahnya. Ya, kemarin gue mengirim naskah ke sebuah penerbit di Jakarta dan resmi ditolak karena alasan yang kurang lebih sama.
I don’t have any problem with the publishers and can deal with the rejection from them. Sudah puluhan kali gue ditolak oleh penerbit dan nggak pernah sakit hati. Gue rela dan ikhlas dengan penolakan tersebut. Karena mereka menolak naskah tersebut berdasarkan penilaian atas naskahnya, karena tidak sesuai dengan visi misi, tidak sesuai dengan standar penulisan, atau karena naskah gue dianggap belum layak diterbitkan dengan alasan A B C D. Kalaupun ada penerbit yang blak-blakan bilang naskah itu jelek dan berkualitas sampah, gue masih bisa terima itu. Sekali lagi gue rela dan ikhlas kalau penerbit menolak naskah karena alasan-alasan yang berkaitan dengan naskah. Yang gue nggak bisa terima adalah naskah itu ditolak karena tidak adanya cukup banyak follower di twiter. Itu adalah hal yang menurut gue sakit.
Dan yang lebih mengenaskan adalah penerbit tersebut bilang bahwa naskah itu belum dibaca. Oh, my God! Naskah yang paling lama gue tulis itu ditolak bahkan sebelum dibaca. Suram sekali.
Di akhir penolakan itu sang editor bilang, “Hal yang utama kami deteksi di awal adalah aktivitas sang penulis di dunia maya. Itu cukup. Jadi, saran saya, perbaiki aktivitas dunia maya untuk menaikkan grade dan porsi tawarmu.”
Mau gimana lagi?
Gue pun pasrah dan mencoba menghargai cara penilaian penerbit terhadap sebuah naskah. Menolak naskah, apapun alasannya adalah hak penerbit. Tentu mereka punya pertimbangan sendiri. Penerbit mana yang tidak mau untung? Penerbit mana yang nggak memikirkan keterbelian naskah yang mereka cetak? Penerbit mana yang mau rugi karena naskah yang mereka cetak nggak laku?
Ya, gue mencoba mengerti dasar-dasar penilain mereka. Gue mencoba menganalisa apa yang ada di kepala penerbit-penerbit tersebut. Mereka ingin supaya buku terbitan mereka laris dipasaran. Mereka berpikir bahwa banyaknya follower berbanding lurus dengan jumlah buku yang akan terjual. Semakin banyak follower, semakin mudah menjualnya. Itu mungkin salah satu cara untuk bisa menjual buku lebih banyak. Dan sah-sah saja.
Ya, mereka mungkin punya data akan hal tersebut. Mereka punya neraca yang bisa dilihat berkaitan dengan hasil penjualan buku dengan keaktifan penulis di dunia maya. Dan gue nggak punya data lain yang bisa membantahnya. Gue nggak punya data yang bisa mengatakan bahwa penulis yang selebtwit nggak menjamin penjualan bukunya akan bagus. Atau banyak orang yang menjadi penulis sukses terlebih dahulu baru kemudian baru punya twiter. Atau ada banyak penulis-penulis besar dan terkenal yang bukan selebtwit atau jarang ngetwit. Ya, gue nggak punya data yang valid tentang hal tersebut. Namun ada satu hal yang gue tahu; rating blog itu bisa dibuat, follower itu bisa dibeli dan keaktifan di dunia maya itu bisa dengan mudah dibuat bahkan dalam semalam. Googling aja kalo nggak percaya.
Benar memang, sarat punya banyak follower di twitter, rating blog yang tinggi atau keaktifan di dunia maya atau apapun sarat yang diajukan penerbit untuk menerima atau menolak naskah adalah wewenang penerbit yang tidak bisa diganggu oleh penulis. Namun sarat ini juga harus jelas, seperti mencantumkannya dalam website mereka. Agar penulis bisa menimbang-nimbang dan mempersiapkan ke mana mereka akan mengirim naskah. Ini lebih fair.
Huh… Mungkin yang dikatakan Ryan Aditya Achadiat di akunnya @aditryan ada benarnya, “TV penyembah rating. Penerbit penyembah selebtwit.”
Ehm, dulu gue pernah berniat membeli follower. Tapi akhirnya niatan itu gue urungkan.
Awalnya gue coba-coba search di Google tentang cara memperbanyak follower dan menemukan link yang bisa memberikan follower secara gratis dan berbayar. Gue coba yang gratis. Dan benar, beberapa menit setelah mendaftar di situs tersebut, follower gue langsung bertambah drastis. Sekali lagi, hanya dalam hitungan menit!
Namun, ketika melihat dengan takjub penambahan follower di akun twiter itu, detik itu juga hati kecil gue merasa nggak tenang dan terusik. I know that’s not the decision that I’m gonna take. Akhrinya gue memutuskan untuk membatalkan sarana menadapatkan follower tersebut dan mengganti password di twiter. Dan dengan cepat, follower yang mulai bertambah itu berkurang atau beramai-ramai unfollow. Gue kembali menjadi fakir follower.
Gue nggak punya masalah dengan orang yang punya banyak follower atau sering disebut selebtwit. Apalagi yang mendapatkan followernya dengan jalan yang benar, bukan yang berbayar. Dan gue tahu banyak orang yang di-follow karena twit-twit mereka bukan karena keartisan atau keterkenalan mereka di dunia nyata. Mereka dinilai dan dihargai karena apa yang mereka tulis. Itu menurut gue keren! Dengan jalan itu gue juga mau punya banyak follower.
Tapi kemudian gue juga tahu kalau ada beberapa orang —bahkan orang terkenal— yang memiliki jutaan follower di Twitter, ternyata mendapatkan follower-nya dengan cara membeli. Bahkan mereka membelinya secara resmi melalui Twitter. Coba saja buat akun twitter, pasti lo akan disodori setumpuk akun untuk di-follow. Nah, merekalah pembeli follower resmi via twiter.
Sampai di sini gue takjub.
Sampai suatu saat gue tahu dari twitter bahwa akun @hiumacan pernah ditolak sebuah penerbit di Jogja karena tidak bisa memenuhi sarat dari penerbit tersebut; punya 200,000 folower. Ini gila. Dan kalau nggak mengalami sendiri, gue juga nggak akan percaya bahwa ada penerbit yang menilai penulis dari aktifitasnya di twitter dan dunia maya bukan karena kualitas naskahnya. Ya, kemarin gue mengirim naskah ke sebuah penerbit di Jakarta dan resmi ditolak karena alasan yang kurang lebih sama.
I don’t have any problem with the publishers and can deal with the rejection from them. Sudah puluhan kali gue ditolak oleh penerbit dan nggak pernah sakit hati. Gue rela dan ikhlas dengan penolakan tersebut. Karena mereka menolak naskah tersebut berdasarkan penilaian atas naskahnya, karena tidak sesuai dengan visi misi, tidak sesuai dengan standar penulisan, atau karena naskah gue dianggap belum layak diterbitkan dengan alasan A B C D. Kalaupun ada penerbit yang blak-blakan bilang naskah itu jelek dan berkualitas sampah, gue masih bisa terima itu. Sekali lagi gue rela dan ikhlas kalau penerbit menolak naskah karena alasan-alasan yang berkaitan dengan naskah. Yang gue nggak bisa terima adalah naskah itu ditolak karena tidak adanya cukup banyak follower di twiter. Itu adalah hal yang menurut gue sakit.
Dan yang lebih mengenaskan adalah penerbit tersebut bilang bahwa naskah itu belum dibaca. Oh, my God! Naskah yang paling lama gue tulis itu ditolak bahkan sebelum dibaca. Suram sekali.
Di akhir penolakan itu sang editor bilang, “Hal yang utama kami deteksi di awal adalah aktivitas sang penulis di dunia maya. Itu cukup. Jadi, saran saya, perbaiki aktivitas dunia maya untuk menaikkan grade dan porsi tawarmu.”
Mau gimana lagi?
Gue pun pasrah dan mencoba menghargai cara penilaian penerbit terhadap sebuah naskah. Menolak naskah, apapun alasannya adalah hak penerbit. Tentu mereka punya pertimbangan sendiri. Penerbit mana yang tidak mau untung? Penerbit mana yang nggak memikirkan keterbelian naskah yang mereka cetak? Penerbit mana yang mau rugi karena naskah yang mereka cetak nggak laku?
Ya, gue mencoba mengerti dasar-dasar penilain mereka. Gue mencoba menganalisa apa yang ada di kepala penerbit-penerbit tersebut. Mereka ingin supaya buku terbitan mereka laris dipasaran. Mereka berpikir bahwa banyaknya follower berbanding lurus dengan jumlah buku yang akan terjual. Semakin banyak follower, semakin mudah menjualnya. Itu mungkin salah satu cara untuk bisa menjual buku lebih banyak. Dan sah-sah saja.
Ya, mereka mungkin punya data akan hal tersebut. Mereka punya neraca yang bisa dilihat berkaitan dengan hasil penjualan buku dengan keaktifan penulis di dunia maya. Dan gue nggak punya data lain yang bisa membantahnya. Gue nggak punya data yang bisa mengatakan bahwa penulis yang selebtwit nggak menjamin penjualan bukunya akan bagus. Atau banyak orang yang menjadi penulis sukses terlebih dahulu baru kemudian baru punya twiter. Atau ada banyak penulis-penulis besar dan terkenal yang bukan selebtwit atau jarang ngetwit. Ya, gue nggak punya data yang valid tentang hal tersebut. Namun ada satu hal yang gue tahu; rating blog itu bisa dibuat, follower itu bisa dibeli dan keaktifan di dunia maya itu bisa dengan mudah dibuat bahkan dalam semalam. Googling aja kalo nggak percaya.
Benar memang, sarat punya banyak follower di twitter, rating blog yang tinggi atau keaktifan di dunia maya atau apapun sarat yang diajukan penerbit untuk menerima atau menolak naskah adalah wewenang penerbit yang tidak bisa diganggu oleh penulis. Namun sarat ini juga harus jelas, seperti mencantumkannya dalam website mereka. Agar penulis bisa menimbang-nimbang dan mempersiapkan ke mana mereka akan mengirim naskah. Ini lebih fair.
Huh… Mungkin yang dikatakan Ryan Aditya Achadiat di akunnya @aditryan ada benarnya, “TV penyembah rating. Penerbit penyembah selebtwit.”
Rabu, 28 Agustus 2013
Selangkah Menuju Surga
“Orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” - (QS. Az-Zumar: 18)
Keimanan memang sesuatu yang abstrak dan sulit dikatakan bentuknya. Perjalanan untuk menuju keimanan juga terkadang naik turun bahkan berputar seperti roda. Bisa saja hari ini seseorang tidak mempercayai sesuatu, tapi di lain hari berubah. Hidayah bisa datang kapan dan dimana saja. Begitulah, banyak jalan orang memeluk agama Islam. Ada yang karena keturunan, budaya, ilmu pengetahuan, sejarah, akal, ibadah, Muhammad, Al Qur’an dan lain-lain.
Ketulusan para mualaf memeluk Islam, bahkan dari yang sebelumnya membenci Islam, mengingatkan kita pada kisah Umar Bin Khattab ketika baru masuk Islam. Sebelum mengenal Islam, Umar bin Khattab adalah penentang dan pembenci Islam yang paling keras. Bahkan ia berusaha membunuh Nabi Muhammad dan menghalang-halangi setiap orang yang ingin memeluk Islam. Tetapi hidayah memang datang tak terduga, justru ketika ia mengenal Muhammad dari dekat, ketika ia merasakan mukjizat Al Qur’an, ia mengalami lompatan iman yang luar biasa. Dan setelahnya adalah sejarah, dia menjadi salah satu orang yang paling dikenal dalam Islam, menjadi salah satu dari Khulafa Ar-Rasyidin. Ia menjadi Singa Padang Pasir karena keberanian dan pengorbanannya membela Islam dan melindungi Sang Rasul. Kisah Umar Bin Khattab tersebut mengingatkan kita bahwa kebencian merupakan salah satu bagian dari absurditas iman yang terkadang malah mengantarkan seseorang pada iman yang paling tinggi.
Akhir-akhir ini, sering kita dengar tentang pandangan yang negatif terhadap Islam, ada juga yang mengolok-olok Nabi Muhammad melalui kartun, atau membuat film dan tayangan yang menggambarkan Islam sebagai agama yang merusak. Tetapi, kebencian bukanlah akhir dari segalanya, mereka yang membenci itu bisa jadi hanya belum tahu apa-apa tentang Islam, tentang Muhammad, tentang Al Qur’an lalu kebencian mengusai hati mereka.
Dalam buku ini, pembaca akan disajikan beberapa kisah mualaf yang tidak biasa, yang kontras dengan Islam. Mereka yang pada awalnya sangat bertolak belakang dengan Islam, mereka yang punya profesi atau hobi yang bertolak belakang dengan nilai-nilai Islam, mereka yang sangat tidak mengenal bahkan membenci Islam.
Saat ini, ada seorang wanita Punk asal Newcastle-Inggris yang dibesarkan di tengah-tengah keluarga liberal menjadi seorang Muslimah. Hal yang sama juga terjadi pada seorang wanita penggila pesta asal Preston-Inggris, seorang Polisi Wanita di Amerika, seorang mantan Yakuza yang menjadi Imam Masjid, Politikus dari partai yang membenci Islam di Belanda, pembuat karikatur nabi Muhammad, sampai preman Tanah Abang Jakarta dan masih banyak lagi. Ada juga yang meyakini agama ini karena melihat kenyataan dalam umat Islam yang bertolak belakang dengan yang ia bayangkan sebelumnya. Mereka adalah bagian dari kaum Muslim yang tersebar di seluruh dunia saat ini. Mereka adalah mualaf yang berasal dari latar belakang yang berbeda-beda.
Dalam buku ini akan diceritakan tentang awal mula mereka tertarik kepada Islam. Apa yang membuat mereka tertarik kepada Islam? Bagaimana cara mereka masuk Islam? Apa tanggapan keluarga dan orang-orang terdekat mereka ketika tahu mereka masuk Islam? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lain yang akan dijawab dalam buku ini.
Melalui buku ini, penulis ingin berbagi hikmah melalui kisah, tentang kenyataan bahwa kebencian mungkin hanyalah bentuk dari ketidaktahuan, atau ketidakingintahuan. Kisah-kisah dalam buku ini juga sekaligus mengingatkan kita untuk lebih menyebarkan nilai-nilai keagungan agama ini. Bila kita menyebarkan nilai-nilai luhur Islam, bila kita menyebarkan keagungan Muhammad, bila kita lebih mengedepankan Islam sebagai rahmat bagi alam semesta, bisa jadi orang-orang yang selama ini membenci Islam jadi akan berbalik memendam cinta yang paling dalam. Bisa jadi mereka seperti Umar Bin Khattab kepada Islam.
Keimanan memang sesuatu yang abstrak dan sulit dikatakan bentuknya. Perjalanan untuk menuju keimanan juga terkadang naik turun bahkan berputar seperti roda. Bisa saja hari ini seseorang tidak mempercayai sesuatu, tapi di lain hari berubah. Hidayah bisa datang kapan dan dimana saja. Begitulah, banyak jalan orang memeluk agama Islam. Ada yang karena keturunan, budaya, ilmu pengetahuan, sejarah, akal, ibadah, Muhammad, Al Qur’an dan lain-lain.
Ketulusan para mualaf memeluk Islam, bahkan dari yang sebelumnya membenci Islam, mengingatkan kita pada kisah Umar Bin Khattab ketika baru masuk Islam. Sebelum mengenal Islam, Umar bin Khattab adalah penentang dan pembenci Islam yang paling keras. Bahkan ia berusaha membunuh Nabi Muhammad dan menghalang-halangi setiap orang yang ingin memeluk Islam. Tetapi hidayah memang datang tak terduga, justru ketika ia mengenal Muhammad dari dekat, ketika ia merasakan mukjizat Al Qur’an, ia mengalami lompatan iman yang luar biasa. Dan setelahnya adalah sejarah, dia menjadi salah satu orang yang paling dikenal dalam Islam, menjadi salah satu dari Khulafa Ar-Rasyidin. Ia menjadi Singa Padang Pasir karena keberanian dan pengorbanannya membela Islam dan melindungi Sang Rasul. Kisah Umar Bin Khattab tersebut mengingatkan kita bahwa kebencian merupakan salah satu bagian dari absurditas iman yang terkadang malah mengantarkan seseorang pada iman yang paling tinggi.
Akhir-akhir ini, sering kita dengar tentang pandangan yang negatif terhadap Islam, ada juga yang mengolok-olok Nabi Muhammad melalui kartun, atau membuat film dan tayangan yang menggambarkan Islam sebagai agama yang merusak. Tetapi, kebencian bukanlah akhir dari segalanya, mereka yang membenci itu bisa jadi hanya belum tahu apa-apa tentang Islam, tentang Muhammad, tentang Al Qur’an lalu kebencian mengusai hati mereka.
Dalam buku ini, pembaca akan disajikan beberapa kisah mualaf yang tidak biasa, yang kontras dengan Islam. Mereka yang pada awalnya sangat bertolak belakang dengan Islam, mereka yang punya profesi atau hobi yang bertolak belakang dengan nilai-nilai Islam, mereka yang sangat tidak mengenal bahkan membenci Islam.
Saat ini, ada seorang wanita Punk asal Newcastle-Inggris yang dibesarkan di tengah-tengah keluarga liberal menjadi seorang Muslimah. Hal yang sama juga terjadi pada seorang wanita penggila pesta asal Preston-Inggris, seorang Polisi Wanita di Amerika, seorang mantan Yakuza yang menjadi Imam Masjid, Politikus dari partai yang membenci Islam di Belanda, pembuat karikatur nabi Muhammad, sampai preman Tanah Abang Jakarta dan masih banyak lagi. Ada juga yang meyakini agama ini karena melihat kenyataan dalam umat Islam yang bertolak belakang dengan yang ia bayangkan sebelumnya. Mereka adalah bagian dari kaum Muslim yang tersebar di seluruh dunia saat ini. Mereka adalah mualaf yang berasal dari latar belakang yang berbeda-beda.
Dalam buku ini akan diceritakan tentang awal mula mereka tertarik kepada Islam. Apa yang membuat mereka tertarik kepada Islam? Bagaimana cara mereka masuk Islam? Apa tanggapan keluarga dan orang-orang terdekat mereka ketika tahu mereka masuk Islam? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lain yang akan dijawab dalam buku ini.
Melalui buku ini, penulis ingin berbagi hikmah melalui kisah, tentang kenyataan bahwa kebencian mungkin hanyalah bentuk dari ketidaktahuan, atau ketidakingintahuan. Kisah-kisah dalam buku ini juga sekaligus mengingatkan kita untuk lebih menyebarkan nilai-nilai keagungan agama ini. Bila kita menyebarkan nilai-nilai luhur Islam, bila kita menyebarkan keagungan Muhammad, bila kita lebih mengedepankan Islam sebagai rahmat bagi alam semesta, bisa jadi orang-orang yang selama ini membenci Islam jadi akan berbalik memendam cinta yang paling dalam. Bisa jadi mereka seperti Umar Bin Khattab kepada Islam.
Minggu, 18 Agustus 2013
Syiah dan Sunni
Akhir-akhir ini banyak yang memposting dan menyebarkan tulisan-tulisan tentang kesesatan Syiah. Saya bukan orang Syiah, tapi juga bukan pembencinya. Menurut saya membenci itu butuh energy yang luar biasa, sehingga saya memilih menyalurkan energy tersebut ke arah yang lain yang lebih berguna. Untuk menulis tulisan ini misalnya.
Saya dibesarkan ditengah-tengah paham Sunni, namun juga terbuka dengan perspektif dan pendapat golongan yang lain. Waktu kelas dua Aliyah di pesantren, saya telah membaca tentang Syiah (Islam Aktual karya Jalaluddin Rakhmat) dan Mu’tazilah (Islam Rasional karya Harun Nasution) dan bisa menerima pemikiran-pemikiran mereka. Saya selalu ingin ber-tabayun dan ingin mengerti pemikiran-pemikiran golongan lain.
Menurut saya keyakinan itu perspektif, karena itu orang yang memaksakan keyakinannya kepada orang lain itu sakit. Orang-orang bisa punya perspektif yang berbeda-beda dan bahkan berdebat, tapi pemaksaan kehendak adalah tindakan yang menciderai kemerdekaan. Dan alangkah mengerikannya tindakan orang yang memaksa orang lain untuk meyakini keyakinannya.
Lalu apakah saya tidak takut menjadi atau mendukung golongan yang sesat?
Entahlah.
Jika ditanyakan kepada orang Sunni, maka mereka akan mengatakan syiah itu sesat. Dan jika ditanyakan kepada orang Syiah, maka mereka akan mengatakan Sunni itu sesat. Begitupun jika ditanya kepada golongan-golongan lain. Lalu siapa yang benar?
Umat islam tentu sangat akrab dengan hadits yang berbunyi, “Umatku kelak akan terpecah-pecah ke dalam 73 golongan yang berbeda-beda, dan hanya satu dari mereka yang selamat.”
Dalam hadits tersebut, Nabi tidak menegaskan secara jelas siapa satu kelompok yang selamat itu. Hal ini menyebabkan sebagian golongan Islam tertentu mengklaim sebagai satu-satunya kelompok yang selamat. Kosekuensi logisnya, mereka menganggap sesat semua kelompok Islam lain. Ini terutama terjadi dalam ranah teologi Islam.
Dalil tersebut yang biasanya dijadikan pembenar bagi intoleransi sesame muslim. Namun saya menemukan tulisan Akhmad Sahal dalam Koran Tempo yang memandang hal ini secara lebih santai dan cerah. Ia menulis tentang bahwa menjadi sesat itu tidak mudah. Ia menjelaskan tentang pandangan Imam Al-Ghazali, sang Hujjatul Islam yang sangat dihormati oleh kalangan Sunni itu.
Dalam bukunya Fayshal al Tafriqah baina al-Islam wa al-Zandaqah, beliau membantah kesimpulan bahwa hadits ramalan tersebut menyuburkan intoleransi dengan beberapa alasan:
Pertama, hadits tersebut memang menyebutkan hanya satu kelompok Islam yang selamat, tapi yang dimaksud di sini adalah satu golongan yang langsung masuk surga secara ekspres, tanpa hambatan. Sedangkan kelompok-kelompok muslim lain mungkin perlu melewati fase “pencucian” dulu di neraka, tapi setelah itu bakal masuk surga juga. Dengan kata lain, mayoritas golongan dan sekte dalam Islam pada akhirnya akan terselamatkan semua di akhirat.
Kedua, hadits di atas bukanlah satu-satunya versi yang ada. Al-Ghazali mengutip versi lain yang justru bertolak belakang dengan hadits yang pertama. Bunyinya begini: “umatku akan terpecah-pecah ke dalam 71 golongan, semuanya selamat kecuali satu kelompok.”
Selanjutnya, beliau berargumen bahwa pilar fundamental dalam keimanan sesungguhnya hanya tiga: iman kepada keesaan Allah, kepada Muhammad sebagai Rasulullah, dan kepada datangnya hari kiamat. Baginya, seseorang baru bisa disebut kafir kalau tidak percaya kepada ketiga hal pokok tersebut. Sedangkan di luar wilayah fundamental tersebut adalah soal-soal sekunder, sekadar cabang-cabang agama, yang apabila seorang muslim menyangkalnya sekalipun tidak menjadikannya kafir.
Lebih lanjut tentang Sunni dan Syiah, Prof. Quraish Shihab menulis dalam bukunya Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan. Mungkinkah?, bahwa Sunni dan Syiah adalah dua mazhab yang berbeda. ”Kesamaan-kesamaan yang terdapat pada kedua mazhab ini berlipat ganda dibandingkan dengan perbedaan-perbedaan dan sebab-sebabnya. Perbedaan antara kedua mazhab – dimana pun ditemukan – adalah perbedaan cara pandang dan penafsiran, bukan perbedaan dalam ushul (prinsip-prinsip dasar) keimanan, tidak juga dan Rukun-rukun Islam.”
Mungkin, Sunni dan Syiah sampai hari kiamat nanti tidak bisa disatukan dan akan terus ada. Tapi bisakah kita tidak saling menjelekan kemudian menghormati pandangan orang lain? “Saling” disini berarti kedua belah pihak atau pihak-pihak yang merasa benar mau meninggalkan ego-mereka untuk lebih toleran.
Kemudian saya berpikir tentang haji. Kemana hilangnya persatuan dalam haji? Ketika melaksanakan ibadah haji, tidak terlihat perbedaan itu. Mereka melaksanakan rukun yang sama, menyembah Allah yang satu, ke kiblat yang sama, juga shalat mengikuti imam yang satu tanpa repot-repot berdebat bahwa seharusnya yang menjadi imam adalah dari golongan mereka. Kemana hilangnya persatuan haji itu dalam “dunia nyata”.
Memang saya hidup, beribadah dan belajar ajaran-ajaran mazhab Sunni, namun tidak pernah sedikitpun terbersit di hati untuk menjadikan sunni sebagai agama. Agama saya tetap islam. Dan bisakah kita berpegangan pada berpedoman bangsa kita, “Bhineka Tunggal Islam”?
Ah, jangan-jangan saya yang nanti dikafirkan dan dianggap sesat.
Saya dibesarkan ditengah-tengah paham Sunni, namun juga terbuka dengan perspektif dan pendapat golongan yang lain. Waktu kelas dua Aliyah di pesantren, saya telah membaca tentang Syiah (Islam Aktual karya Jalaluddin Rakhmat) dan Mu’tazilah (Islam Rasional karya Harun Nasution) dan bisa menerima pemikiran-pemikiran mereka. Saya selalu ingin ber-tabayun dan ingin mengerti pemikiran-pemikiran golongan lain.
Menurut saya keyakinan itu perspektif, karena itu orang yang memaksakan keyakinannya kepada orang lain itu sakit. Orang-orang bisa punya perspektif yang berbeda-beda dan bahkan berdebat, tapi pemaksaan kehendak adalah tindakan yang menciderai kemerdekaan. Dan alangkah mengerikannya tindakan orang yang memaksa orang lain untuk meyakini keyakinannya.
Lalu apakah saya tidak takut menjadi atau mendukung golongan yang sesat?
Entahlah.
Jika ditanyakan kepada orang Sunni, maka mereka akan mengatakan syiah itu sesat. Dan jika ditanyakan kepada orang Syiah, maka mereka akan mengatakan Sunni itu sesat. Begitupun jika ditanya kepada golongan-golongan lain. Lalu siapa yang benar?
Umat islam tentu sangat akrab dengan hadits yang berbunyi, “Umatku kelak akan terpecah-pecah ke dalam 73 golongan yang berbeda-beda, dan hanya satu dari mereka yang selamat.”
Dalam hadits tersebut, Nabi tidak menegaskan secara jelas siapa satu kelompok yang selamat itu. Hal ini menyebabkan sebagian golongan Islam tertentu mengklaim sebagai satu-satunya kelompok yang selamat. Kosekuensi logisnya, mereka menganggap sesat semua kelompok Islam lain. Ini terutama terjadi dalam ranah teologi Islam.
Dalil tersebut yang biasanya dijadikan pembenar bagi intoleransi sesame muslim. Namun saya menemukan tulisan Akhmad Sahal dalam Koran Tempo yang memandang hal ini secara lebih santai dan cerah. Ia menulis tentang bahwa menjadi sesat itu tidak mudah. Ia menjelaskan tentang pandangan Imam Al-Ghazali, sang Hujjatul Islam yang sangat dihormati oleh kalangan Sunni itu.
Dalam bukunya Fayshal al Tafriqah baina al-Islam wa al-Zandaqah, beliau membantah kesimpulan bahwa hadits ramalan tersebut menyuburkan intoleransi dengan beberapa alasan:
Pertama, hadits tersebut memang menyebutkan hanya satu kelompok Islam yang selamat, tapi yang dimaksud di sini adalah satu golongan yang langsung masuk surga secara ekspres, tanpa hambatan. Sedangkan kelompok-kelompok muslim lain mungkin perlu melewati fase “pencucian” dulu di neraka, tapi setelah itu bakal masuk surga juga. Dengan kata lain, mayoritas golongan dan sekte dalam Islam pada akhirnya akan terselamatkan semua di akhirat.
Kedua, hadits di atas bukanlah satu-satunya versi yang ada. Al-Ghazali mengutip versi lain yang justru bertolak belakang dengan hadits yang pertama. Bunyinya begini: “umatku akan terpecah-pecah ke dalam 71 golongan, semuanya selamat kecuali satu kelompok.”
Selanjutnya, beliau berargumen bahwa pilar fundamental dalam keimanan sesungguhnya hanya tiga: iman kepada keesaan Allah, kepada Muhammad sebagai Rasulullah, dan kepada datangnya hari kiamat. Baginya, seseorang baru bisa disebut kafir kalau tidak percaya kepada ketiga hal pokok tersebut. Sedangkan di luar wilayah fundamental tersebut adalah soal-soal sekunder, sekadar cabang-cabang agama, yang apabila seorang muslim menyangkalnya sekalipun tidak menjadikannya kafir.
Lebih lanjut tentang Sunni dan Syiah, Prof. Quraish Shihab menulis dalam bukunya Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan. Mungkinkah?, bahwa Sunni dan Syiah adalah dua mazhab yang berbeda. ”Kesamaan-kesamaan yang terdapat pada kedua mazhab ini berlipat ganda dibandingkan dengan perbedaan-perbedaan dan sebab-sebabnya. Perbedaan antara kedua mazhab – dimana pun ditemukan – adalah perbedaan cara pandang dan penafsiran, bukan perbedaan dalam ushul (prinsip-prinsip dasar) keimanan, tidak juga dan Rukun-rukun Islam.”
Mungkin, Sunni dan Syiah sampai hari kiamat nanti tidak bisa disatukan dan akan terus ada. Tapi bisakah kita tidak saling menjelekan kemudian menghormati pandangan orang lain? “Saling” disini berarti kedua belah pihak atau pihak-pihak yang merasa benar mau meninggalkan ego-mereka untuk lebih toleran.
Kemudian saya berpikir tentang haji. Kemana hilangnya persatuan dalam haji? Ketika melaksanakan ibadah haji, tidak terlihat perbedaan itu. Mereka melaksanakan rukun yang sama, menyembah Allah yang satu, ke kiblat yang sama, juga shalat mengikuti imam yang satu tanpa repot-repot berdebat bahwa seharusnya yang menjadi imam adalah dari golongan mereka. Kemana hilangnya persatuan haji itu dalam “dunia nyata”.
Memang saya hidup, beribadah dan belajar ajaran-ajaran mazhab Sunni, namun tidak pernah sedikitpun terbersit di hati untuk menjadikan sunni sebagai agama. Agama saya tetap islam. Dan bisakah kita berpegangan pada berpedoman bangsa kita, “Bhineka Tunggal Islam”?
Ah, jangan-jangan saya yang nanti dikafirkan dan dianggap sesat.
Penerbit-penerbit
Berikut ini adalah beberapa nama penerbit beserta link prosedur mengirimkan naskah.
- Andi Publisher http://andipublisher.com/sub-05-prosedur-penulisan.html
- Bentang Pustaka http://bentangpustaka.com/kirim-naskah/
- Bukune http://www.bukune.com/index.php/component/content/article/2-uncategorised/166-syarat-pengajuan-naskah
- Dahara Prize http://daharaprize.com/
- Diva Press http://www.divapress-online.com/page/naskah.html
- Elex Media Komputindo http://www.elexmedia.co.id/
- Gagas Media http://www.gagasmedia.net/index.php/kirim-naskah
- Gardien Mediatama http://www.gradienmediatama.com/
- Gramedia Pustaka Utama http://www.gramediapustakautamas.com/
- Grasindo http://www.grasindo.co.id/index.php?mib=kirimnaskah.detail
- Indiva Media Kreasi http://indivamediakreasi.com/naskah/
- KPG (Kepustakaan Popular Gramedia) http://www.penerbitkpg.com/
- Leutika http://www.leutikabooks.com/
- Mediakita http://www.mediakita.com/uncategorised/18-mengirimkan-naskah
- Pustaka Pesantren http://www.pustakapesantren.com/
- Tangga Pustaka http://www.tanggapustaka.com/kirim-naskah.html
- Wahyu media http://www.wahyumedia.com/cara-kirim-naskah
- Penerbit Indonesia Tera http://indonesiatera.com/index.php/kirim-naskah1
- Ruang kata http://www.ruangkata.com/
- Transmedia Pustaka http://www.transmediapustaka.com/kirim-naskah
Setelah mengerti prosedur pengiriman dan jenis naskah apa yang dibutuhkan penerbit, maka jangan takut untuk mengirimkan naskahmu ke penerbit-penerbit tersebut. Bagaimanapun mereka membutuhkan penulis dan naskah, karena dengan adanya naskahlah mereka bisa meneruskan bisnis dan bertahan. Jadi pertanyaan penting selanjutnya adalah; dimana naskahmu, proklamator?
Apa? Kamu takut ditolak dan gagal? Oh, mungkin kamu tidak cocok untuk menjadi penulis, menjadi presiden mungkin lebih cocok untukmu.
Minggu, 04 Agustus 2013
Women The Unknown
Pada dinding bangunan suci di China tertulis, “Apakah yang diketahui ikan menyengkut air, merpati menyangkut udara, kucing menyangkut wadah? Apakah yang diketahui laki-laki menyangkut perempuan?”
“Tiada”
“Siapa yang mengetahui hakikat, akan tahu rahasia perempuan.”
“Tiada”
“Siapa yang mengetahui hakikat, akan tahu rahasia perempuan.”
Langganan:
Postingan (Atom)