Halaman

Kamis, 30 Desember 2021

Menemanimu Menunggu Hujan Reda

1

Di dalam kepalaku ada pikiran-pikiran yang menabrak norma, seperti kehidupan yang merampas tidur siang, atau TV yang menampilkan wajah orang-orang yang berpura-pura senang, atau anak-anak yang diajari memaki orang tua mereka sendiri.

Aku ingin mengasihi setiap wajah yang ada di sana sebagaimana oksigen yang merelakan dirinya berubah menjadi energi lain. Kasih dan kepedulian padaku adalah langit yang tidak bisa kupilih sendiri warnanya.

2

Pukul dua dini hari. Hujan dan keheningan membangunkan dengan hantaman kesadaran. Jarum jam berdetak pelan. Lampu sengaja tidak kuhidupkan. Rumah menjadi ruangan yang sangat kuhapal lekuknya, bahkan dengan mata terpejam.

Ia menjadi hal yang paling nyaman, dengan atap yang bocor, tembok yang retak dan kusam, aroma serta anak-anak yang berselimut mimpi sebelum subuh merekah. Hatiku tidak akan pernah utuh. Rumah dan kesunyian yang membuatnya penuh.

3

Sepagi itu aku menjelma air dalam gemericik runcing hujan di halaman. Kamu adalah tanah dan atap yang menerima dengan tangan terbuka, mengalirkan ke setiap liku selokan sungai hingga sampai ke samudra tempat segala melenyapkan diriku yang lama.

Dan aku mengerti mengapa cinta dan samudra membuat semuanya tampak kecil—

Katakan pada siapa saja bahwa cinta adalah ruh, tidak butuh jasad yang purna, cukup kumpulan dari ketidaksempurnaan kita, juga kata.

4

Kita duduk bersisian pada sebuah bahtera. Biru memenuhi angkasa dan segara. Perasaan adalah bayu kemayu yang bertiup menggerakan aku dan kamu. Menerjang dari segala penjuru dan dikendalikan layar yang terkembang dan layu.

Langit mengirim angin dan kita menikmatinya tanpa harus merasa bersalah. Kadang ia menjadi badai, kadang membunyikan gemerisik suara daun, kadang membawa aroma rempah dari negeri jauh yang kita baca dalam buku-buku sejarah.

5

Aku akan mengajakmu menjadi anak kecil yang bersekongkol untuk berlama-lama di kamar mandi, membuat gelembung dari sabun dan shampo, berlarian tertawa di bawah hujan di taman bermain bernama dunia, sambil menggenggam tanganmu melintasi pematang dan tidak takut akan dosa.

Kita adalah dua anak kecil yang sedang berlindung dari kepungan hujan dalam saung di tengah sawah. Petir menggelegar, tubuh kita makin gemetar. Kamu rebahan dalam pelukanku, aku berselimut di balik kelopak matamu. Matamu adalah puisi dan memahaminya adalah kemewahan, berisi metafora sederhana dan pembaca yang malas berpikir.

Kita masuk ke dalam badai. Di ujung sana ada cahaya tempat segalanya berakhir. Suatu hari nanti mungkin kita tidak akan ingat bagaimana bisa bertahan. Badai mengubah setiap yang datang dan pergi, menyisakan diri kita yang sejati.

6

Suatu siang di pinggir jalan aku menepi menonton kendaraan berkejaran dengan hujan sambil sekali lagi mendengarkanmu berbicara tentang kesedihan. Ditemani mendung, duka menjadi kaldera yang tidak sanggup kupijak dasarnya.

Aku memandang dunia dari balik rupamu. Aku tidak ingin derita, tapi kamu adalah mata dan aku air matamu. Aku tidak ingin perih, tapi aku adalah darah dari luka goresmu. Aku tidak ingin murka, tapi kamu adalah api dan aku adalah nyala. Bagaimana cara memisahkan diriku dari dirimu?

Aku bersedia menerobos hujan itu demi menjadi gigil tubuhmu. Sampai aromamu mengisi ruangan tempat kenangan, kehilangan dan cinta yang tidak pernah datang tepat waktu.

7

Kamu mencoba memahami perasaan ini dengan sebuah tangisan panjang dalam perjalanan. Sesuatu yang tidak bisa dibendung di dada akan meluap lewat mata. Padahal ketika tidak bicara dan cukup lama setia, perjalanan akan mengajakmu memahami makna.

Kamu berdoa semoga ingatan dan rindu menusuk jantungku kemudian membunuh dengan perlahan. Aku ingin cinta juga mengalir dalam nadi seperti ketika kamu menyebut namaku dalam hening dan rindu yang akan selalu sendu. Dan kita akan terluka bersama.

8

Jalan-jalan makin sepi. Langit masih gelap dan hujan seperti tidak punya usaha untuk sunyi.

Pada hal-hal yang tidak sempat terucap, nadi kita bermuara ke tempat yang satu jantung kita bersama berdetak. Setelah itu kita tetaplah sepasang anak kecil yang tertawa bersama derai gerimis. Tangan kita bergandengan dan air hujan menghapus jejak lumpur di belakang.



Rabu, 22 Desember 2021

Kematian yang Datang Tiba-tiba

Kawan saya, perempuan yang murah senyum, duduk dan terdiam. Saya bertanya, tapi pertanyaan itu menggantung tanpa jawaban. Saya tahu ia diam bukan karena tidak mendengar, tapi karena menahan tangis. Saya melihat wajah yang selalu tersenyum itu murung. Tidak lama tangisnya pecah. Ia berusaha tegar tapi di ruangan kecil itu tangisnya semakin menyayat. Sekuat tenaga saya juga menahan tangis sendiri.

Ayahnya meninggal beberapa minggu lalu. Ia bercerita setiap kali memejamkan mata, selalu wajah ayah yang terbayang. Saya memahami itu. Bagi orang yang pernah ditinggal orang yang disayangi, tidak sulit untuk memahami perasaan itu.

“Gak papa. Nangis aja,” itu kalimat yang keluar dari saya.

Saya menunggu tangisnya reda. Dan itu jenis tangis yang tidak mudah reda sehingga saya menunggu agak lama. Belum reda tangisnya, ia terbata-bata bercerita. Ia bercerita tentang kematian ayahnya yang sangat tiba-tiba. Tanpa sakit, tanpa pertanda. Ia terjatuh di kamar mandi dan tidak beberapa lama kemudian menghembuskan nafas terakhir di pelukan kawan saya.

Saya tahu rasanya ditinggalkan tiba-tiba. Saya mengerti sakitnya. Bapak dan dua orang paman dan bibi saya mati cepat dan tiba-tiba. Mungkin serangan jantung. Mungkin saya akan mati seperti mereka. Mungkin juga tidak.

Banyak hal yang ditangisi kawan saya. Penyesalan atas beberapa hal yang belum dilakukan. Kemarahan yang menggumpal di dada seperti sesak nafas tapi tidak tahu siapa yang harus disalahkan. Betapa ia teringat kasih sayang ayah begitu banyak dan mengingatnya lagi saat ia tidak ada membuat nelangsa. Karena ia tahu, tidak ada kesempatan lagi untuk membalas.

Sebagai seorang ayah dari anak perempuan, saya ingin mengatakan bahwa seorang ayah tidak pernah mengharap cinta dan pengorbanannya dibalas. Melihat anak-anaknya bahagia merupakan balasan yang sudah lebih dari cukup. Tapi saya tidak mengucapkan itu, saya tahu bagi seorang anak perempuan, ayah adalah cinta pertama mereka, sehingga mencintainya bukanlah balasan, tapi naluri.

Saya teringat apa yang pernah ditulis Hoeda Manis, “Kehidupan ini telah membuat kita yakin bahwa kebahagiaan kita tergantung pada orang-orang lain yang mencintai kita. Namun ini sebenarnya cara berpikir yang terbalik, yang telah menimbulkan begitu banyak masalah bagi kita. Yang benar adalah bahwa kebahagiaan itu tergantung pada usaha kita untuk memberikan cinta. Ini bukan tentang apa yang masuk ke dalam; ini adalah tentang apa yang mengalir ke luar.”

Cinta, pengorbanan dan keberanian adalah hal yang saling melekat. Mengungkapkan dan membuktikannya bukanlah hal yang mudah. Terkadang ada harga dan resiko yang harus dibayar. Namun tidak pernah ada kata terlambat untuk mengungkapkan perasaan kepada orang yang kita sayangi, yang kita kasihi. Batas adalah ajal. Selama ia belum datang, menyembunyikan cinta adalah sebuah usaha untuk menumpuk-numpuk penyesalan.

Saya mendengarkan dan terus mendengarkan kawan saya bercerita. Bertanya sekedarnya dan menunggu sampai ia selesai. Karena saya tahu saat ini, itu yang ia butuhkan.

Kawan saya bercerita tentang beberapa kepedulian yang dilakukan ayahnya sebelum ia meninggal. Melepitkan jas hujan, menjemputnya dari tempat kerja, khawatir anaknya kehujanan dan perhatian sepele lain namun saat ini menjadi sangat bermakna. Mungkin itu kenangan yang akan ia ingat panjang dan akan diceritakan terus berulang-ulang. Saya kira itulah derita mengenang seseorang. Bahwa a moment can last forever, tidak peduli berapa lamapun kita hidup.

Rabu, 24 November 2021

rindu senja

setiap senja datang
aku selalu rindu padamu

kamu adalah deretan pepohonan
ketika kabut mulai turun dan
tulus menerima semburat berwarna Amarilis
menyusup melalui sela-sela dahan

kamu adalah bumi yang setia
menunggu hujan jatuh
meruapkan wangi aroma tanah

kamu adalah kicau kenari
pada jalan setapak di hutan mendaki

kamu adalah cermin yang tidak
menyisakan ruangan untuk bersembunyi

magrib datang dan kita masih di jalan
menyusuri pinggir danau yang
memantulkan warna awan

malam perlahan-lahan
melenyapkan segala
kecuali warnamu dan ingatanku
warnamu rona-rupa mentari
ingatanku energi yang kekal mencari

aku mencintaimu dengan sederhana
seperti kamu mencintai langit ketika sore tiba



Minggu, 31 Oktober 2021

Belok Kanan Planet Pluto

Dulu, basa-basi dari tuan rumah "Jangan kapok maen ke sini lagi ya!" dan "Udah nginep aja!" menurut saya hanya sekedar formalitas sopan-santun biasa, sampai saya tiba di Cabangbungin. Daerah yang konon kabarnya hanya berjarak setengah jam dari planet Pluto.

Cabangbungin memang bukan seperti Rengasdengklok yang terkenal dengan tempat penculikan proklamator. Ia lebih dikenal dengan istilah tempat penculikan anak dedemit.

"Lah banget jauh!" Tuan rumah berkomentar dengan bahasa yang lucu ketika kami masih di jalan, sekitar 35 kilo dari pusat peradaban terdekat. Lokasi yang ia share tidak membantu, karena ia memberi live location yang berubah-ubah. Memang aneh.

"Lurus aja, sampe ketemu desa, trus patokannya depot isi ulang," ia memberi arahan. Awalnya saya pikir, masih jauh dan lurus aja itu kalimat yang membingungkan. Karena bisa saja kami salah berbelok di jalan persimpangan entah dimana. Tapi instruksi itu benar. Di jalanan desa, kita tidak akan salah berbelok. Pilihannya adalah antara mengikuti jalan yang ada atau berbelok ke galangan sawah.

Saya tidak bertemu Robet sejak lulus Aliyah. Tentu Robet bukan nama sebenarnya, di kampung tidak ada orang tua yang mengambil resiko menamai anak dengan nama yang berpotensi menjadi penghuni neraka. Nama sebenarnya mengingatkan kita pada tokoh sufi wanita termasyhur; Rabi'ah al-Adawiyyah.

Itu kali pertama saya main ke rumahnya. Sehari sebelum kunjungan, grup WA kelas ramai karena Njay mengusulkan untuk berlebaran ke Kiyai Fachruddin dan mampir ke rumah Biah. Seperti biasa, beberapa orang menyetujui. Beberapa kawan memohon maaf karena tidak bisa ikut. Sisanya tidak berkomentar.
 
"Kita tunggu aja sampai jm 10. Kalo ga datang, ya kita tinggal." Kata saya ke Njay, ketika menunggu beberapa kawan lain yang bilang akan ikut.
 
Njay sepertinya selalu berpikir positif. Ia masih yakin Edo dan Erte akan datang. Ia tidak sadar sedang berhadapan dengan politisi tingkat akar rumput yang hobi ngerjain orang.
 
Pernah suatu hari, Deni Bagong si Erte mengerjai kawan kami Ihsan Sempak. Ketika Edo yang saat itu masih duda, akan melangsungkan pernikahan, Sempak berencana ikut. Kami berkumpul di rumah Edo dan berencana ikut rombongan besan.

"Lu bilang apa ke Sempak, Gong?" Tanya saya ke RT super sibuk itu.

"Gua suruh ke sini. Gua bilang kita tungguin."

"Lah kita bentar lagi mau berangkat, Lih!" Kata saya bingung.

"Biarin! Kita tinggal aja." Bagong nyengir, "kalo beneran dia sampe sini, baru kita share loc lokasi acara."

Memang niat Erte mau ngerjain. Karena bisa saja dia langsung share loc sehingga bisa langsung ke lokasi tanpa berjalan memutar. Benar saja. Sempak tiba di rumah Edo dan bersungut-sungut karena mendapati rumah telah sepi.
 
Kendaraan melewati depot isi ulang air minum yang menjadi patokan rumah Biah karena memang tidak terlihat di pinggir jalan. Biah menelpon meminta kami memutar balik. Entah bagaimana dia tau kendaraan sudah kebablasan? Apakah kendaraan kami satu-satunya yang lewat jalan itu, karena masyarakat masih menggunakan kuda dan pedati sebagai alat transportasi?

Kentung, sopir kami, memutar balik kendaraan di jalan yang saya pikir tidak akan ada ujungnya, akhirnya kami tiba di lokasi.
 
“Edo pernah kesini, Bi?” saya bertanya pada tuan rumah tidak beberapa lama setelah duduk di sofa.

“Pernah. Naek sepeda malah. Kirain mah sekarang mikut!”

“Mmm, tau gua sekarang kenapa dia gak mau ikut,” saya nyengir.

“Kenapa?” Biah penasaran.

“Kapok!” saya terbahak.

Setelah banyak cerita dan tertawa. Tuan rumah mempersilahkan kami makan. Hidangan dikeluarkan, dan saya menduga ia akan mengadakan acara syukuran panen raya. Banyak sekali makanan yang disajikan; bekakak ayam, sayur asem, telur asin, lalapan, dua macam sambel belum lagi kue lebaran yang tidak sanggup kami cicipi semua.
 
“Iya, kirain banyak yang ikut, jadi dimasakin banyak.” Biah berdalih, “Abisin pokoknya!”

Saya tidak menyalahkan kawan-kawan yang bilang akan ikut, tapi ternyata tidak bisa hadir. Semakin dewasa saya semakin bisa memaklumi. Kami bukan lagi anak 17 tahun yang hanya bangga pada komunalitas semu. Niat silaturahim dan kesenangan mengobrol dengan tuan rumah yang lama tidak bertemu merupakan kesyukuran yang tidak boleh dirusak dengan hal sepele. Begitulah seharusnya persahabatan yang tulus, memahami kondisi yang mungkin tidak lagi sama. Saya belajar bahwa kita tidak perlu berganti teman jika kita sadar bahwa teman memang berubah.

“Ayo Tung jamaah!” Saya mengajak Kentung Salat Asar setelah kenyang makan.
 
“Ntar dulu napa, masih bega ini perut,” Kentung bersandar di sofa.

Saya, Njay dan Fawwaz tidak menghiraukan Kentung dan memulai salat.

“Kiblatnya ke arah sini, Bi?” tanya saya ke tuan rumah.

“Iya, itu kan udah digelarin sejadah,” Biah menjawab sambil lewat.

Saya melantunkan Iqomah, Njay berdiri menjadi imam. Tidak lama setelah itu, dalam keadaan salat, belum selesai rakaat pertama, Biah setengah berteriak mengingatkan, “Eehh, kiblatnya salah!”

Dalam hati saya mengumpat, “Tadikan gua udah tanya, Markonah! Lu bilang iya!”
 
Saya menahan tawa dan menutup mulut dengan sebelah telapak tangan. Tawa saya pecah, begitu melihat Njay membatalkan salat sambil misuh, “Lah gimana sih?!”

Di ruang tengah Kentung terbahak, “Kualat lu, solat ninggalin gua sih!”




Sabtu, 30 Oktober 2021

Dunia tidak Akan Berhenti Hanya untuk Kesedihanmu

Kami bicara melalui telpon dan saya sedang di atas kendaraan ketika mendengar cerita itu. Ketika ia menceritakan hal getir tentang rumah tangganya, mata saya mulai berembun.

“Udah gak usah diterusin lagi,” kata saya akhirnya. Saya kira akan berbahaya berkendara sambil menangis.
 
Sebelum itu, saya dan istri berkunjung ke rumah yang terakhir saya kunjungi 18 tahun lalu. Belasan tahun seperti baru kemarin. Teras luas di depan rumah sudah dibangun menjadi tempat mengaji anak-anak. Pohon rindang di depan rumah juga sudah tidak ada berganti pot-pot kecil berhias tanaman-tanaman kecil.
 
Kami mengobrol banyak hal yang terlewat. Saya bertanya beberapa hal dan mengamati. Ada yang menggangu. Bukan pada apa yang ia katakan, tapi pada apa yang tidak ia ungkapkan. Usahanya untuk terlihat baik-baik saja membuat kalimat-kalimat yang keluar menjadi semacam bunyi tanpa isi. Ia bercerita bahwa saat itu ia sedang tahap berpisah dengan suaminya.

Saya tidak kenal dengan suaminya. Kami pernah sekali bertemu belasan tahun yang lalu dan itu pertemuan yang tidak berkesan. Seharusnya mudah bagi saya untuk membenci, karena ia telah sangat menyakiti kawan saya, tapi saya tidak bisa membenci orang yang sama sekali tidak saya kenal. Apalagi saya menduga bahwa suaminya mengalami gangguan jiwa.

Ketika menulis novel dengan karakter skizofrenia, saya banyak membaca reverensi tentang penyakit jiwa. Hal yang sangat sering disalahpahami kebanyakan kita adalah menganggap gangguan jiwa adalah hina. Padahal gangguan jiwa bukan aib dan tidak ada hubungannya dengan kurang iman, kurang ikhlas, azab, karma, pengaruh ilmu kebatinan, ngelmu tanpa guru, gangguan jin, tumbal pesugihan dan lain-lain.

Saya percaya bahwa penyakit jiwa adalah penyakit biasa, yang dapat menimpa siapa saja. Sama dengan penyakit fisik lain seperti migren atau usus buntu. Berbeda dengan penyakit fisik yang cenderung mudah dikenali, orang biasanya tidak sadar sedang mengalami gangguan jiwa. Selama pandemi, ada 67,3 persen masyarakat Indonesia mengalami depresi dan 32 persen mengalami gangguan jiwa. Bandingkan dengan stroke yang menjadi pembunuh nomor satu, dengan 29,2 persen dari total kematian di tahun 2017. Jadi gangguan jiwa adalah penyakit umum, dan kemungkinan ada lebih banyak orang dengan ganggan jiwa dari pada stroke di Indonesia.
 
INI bukan cerita yang mudah ditulis. Bagi yang mengalami, ini jenis cobaan yang mungkin tidak sanggup kamu tanggung, hingga pada suatu titik kamu mempertanyakan kembali apa yang Tuhan maksud dengan tidak memberi cobaan kecuali sesuai kemampuan. Tapi biarkan cerita ini menjadi pengingat bahwa kita masih manusia.

Suatu malam ia pulang kerja dengan membawa lelah yang mengelayuti kaki dan punggungnya. Sistem pabrik tidak pernah gagal membuatnya seperti robot. Ia masuk rumah dan mendapati seragam sekolah Dila, anaknya yang berumur 9 tahun, yang ia siapkan tadi pagi di atas meja sebelum berangkat kerja masih terlipat rapi. Itu berarti Dila tidak sekolah dan mungkin juga belum mandi sedari pagi.

Suaminya sudah tidak bekerja dan tidak bisa lagi diandalkan untuk melakukan hal yang bahkan sangat sederhana. Ia sering mendengar kata-kata yang tidak pantas dari suaminya. Dilarang beribadah. Diancam hal yang mengerikan jika pergi ke rumah orang tua. Tidak diperbolehkan bertemu siapapun, bahkan untuk bekerja.
 
Mereka sering bertengkar tentang hal yang sepele dan tidak masuk akal. Sudah berkali-kali ia disakiti sejak setahun belakangan bahkan sudah mengarah pada kekerasan fisik. Namun kesakitan terbesar bukan pada perlakuan buruknya, tapi pada kesadaran bahwa orang yang dulu ia kenal baik dan penyayang sekarang menjadi begitu berbeda.

Ia memikirkan Dila dan membayangkan perkembangan kejiwaan anaknya jika terus hidup di lingkungan yang depresif karena pertengkaran kedua orangtua. Suatu hari, ia memutuskan untuk membawa Dila keluar rumah dan tidak kembali lagi. Ia menggugat cerai suaminya, dan itu keputusan yang tidak mudah.

Saya bersedih dan prihatin terhadap masalah yang dihadapi kawan saya. Semua orang punya masalah hidup masing-masing, yang tidak bisa dibandingkan. Kita tidak bisa membandingkan mana yang lebih menderita antara bercerai atau ditinggal mati anak, kita tidak bisa membandingkan mana yang lebih pahit antara menganggur tidak punya penghasilan atau bekerja tapi selalu direndahkan atasan, kita tidak bisa membandingkan mana yang lebih suram antara tidak mendapat pasangan hidup atau berjuang untuk menikah beda agama. Orang-orang yang jika dilihat dari luar akan sama saja, bisa tersenyum dan bercanda, tapi di dalam mereka sedang bertarung dengan trauma. Dan sementara itu, di luar mereka bumi akan terus berputar, kehidupan akan terus berjalan, dunia akan begitu-begitu saja.
 
Saya belajar bahwa seberapapun hancur hatimu, dunia tidak akan berhenti hanya untuk kesedihanmu.
 
Segala masalah yang kita hadapi sebenarnya adalah peringatan bagi kesombongan manusia. Cobaan yang menimpa mengingatkan manusia sekali lagi tentang kelemahan. Bahwa segala yang kita punya tidak kekal, dan seperti yang sering kita dengar, kita berasal dari Tuhan dan akan kembali pada-Nya. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.

Minggu, 10 Oktober 2021

Spiritualisme Pesantren

SUATU malam, setelah selesai pengajian, sambil makan nasi uduk, Aluy bercerita tentang mimpi bertemu Kiyai Jirin Allah Yarham.

Beberapa kali saya menginterupsi cerita Aluy dengan pertanyaan.

“Jadi Bang Sofwani pake baju apa waktu ngasih sarung ke Jamal?” saya bertanya.

Aluy agak bingung dengan pertanyaan itu. Tapi akhirnya menjawab, “Gak tau, lupa gua. Gak merhatiin. Putih kayaknya, pake sarung sama peci.”

Itu bukan pertanyaan iseng. Saya hanya sedang menguji konsistensi Aluy dalam bercerita.

“Ya udah terusin,” kata saya ke Aluy.

Ia meneruskan cerita tentang Pondok yang kebakaran, tentang hal random seperti Jamal yang tiba-tiba diberi sarung oleh Bang Sofwani (Allah yarham), dan puncaknya ia mendatangi Kiyai yang sedang duduk di depan masjid yang kemudian berpesan tentang satu hal.

“Bentar-bentar,” saya memotong lagi cerita Aluy, “Jadi Kiyai ngomong gimana tadi?”
 
“Lu pergi ke sono noh.” Aluy menirukan apa yang dikatakan Kiyai dalam mimpi.

“Lah tadi lu cerita Kiyai nyebut nama,” saya protes, “Giliran gua suruh ulang, lu gak sebut nama. Gak konsisten cerita lu.”

Aluy kemudian berkilah tentang inkonsistensi yang ia buat.

 
DARI Ilmu Hadits saya belajar bahwa ada dua hal yang perlu diselidiki tentang sebuah informasi. Pertama Sanad, yaitu orang yang menyampaikan informasi, dan yang kedua adalah Matan, atau isi dari informasi. Saya tidak punya alasan untuk meragukan kredibilitas Aluy sebagai penyampai cerita. Saya mengenalnya sejak ia mencoba jadi anak punk dengan sepatu boot tinggi, pakaian hitam dan rambut jigrag sambil membawa bulletin PutiHitam berisi pemikiran-pemikiran anti kemapanan, sampai sekarang dengan jidat yang makin lebar, rambut makin jarang dan mata makin sipit. Dalam pandangan saya, ia adalah seorang perawi yang Tsiqoh, yang bisa dipercaya.

Sementara isi informasi, lebih sederhana lagi mengukurnya, yaitu tidak bertentangan dengan sumber yang lebih Utama; Al Quran dan Al Hadits. Tidak ada pertentangan sama sekali antara cerita Aluy dengan Sumber Utama, karena ia bercerita tentang gambaran masa depan, atau yang ia tafsirkan sebagai masa depan. Dalam hal ini saya merasa perlu untuk melihat secara lebih teliti, atau meminjam istilah Ayu Utami, saya melakukan Critical Spiritualism; melihat dan menghargai yang spiritual tanpa mengkhianati nalar kritis.

Manusia cenderung menambah dan menginterpretasi cerita, itu hal yang wajar dan banyak terjadi, maka penting untuk kita membedakan antara melihat dan menafsir. Saya menguji cerita Aluy dan ia terbukti menampilkan inkonsistensi pada apa yang ia ceritakan. Pertama ia mengatakan bahwa Kiyai menyebut sebuah nama, yang ke dua ia bercerita, menirukan apa yang dikatakan Kiyai, tanpa menyebut nama. Dua informasi antara menyebut atau tidak menyebut nama ini sangat penting, maka saya menduga keras, ia menafsir. Karena boleh jadi dalam mimpi, Kiyai tidak menyebut nama, tapi kemudian Aluy menafsirkan perkataan itu dengan nama tertentu. Jadi yang diceritakan sudah tidak murni lagi apa yang ia lihat dan dengar dalam mimpi, tapi telah bercampur dengan penafsiran terhadap mimpi itu.

Kita tentu masih ingat bagaimana UAS pada saat Pilpres 2019 lalu bercerita mengenai pengelihatan dari beberapa ulama yang ia sebut sebagai Ulama Kasyaf tentang Prabowo. Faktanya Prabowo kalah dalam Pilpres 2019 dan orang ramai berkomentar. Apakah itu berarti apa yang UAS sebut sebagai mimpi atau pengelihatan dari Ulama Kasyaf itu salah? Bisa jadi ya, bisa jadi tidak. Jika ingin dilihat secara lebih cermat, kesalahan yang terjadi ada pada penafsiran. Silahkan lihat videonya sekali lagi dan siapapun bisa melihat mana Visi asli, mana interpretasi. Jika ditafsirkan dengan benar, maka bisa jadi itu sesuai fakta yang terjadi sekarang atau bahkan nanti.
 
Pertanyaan kritis lain yang patut diajukan terkait hal seperti itu adalah; Apakah yang dilihat adalah sebagian atau keseluruhan? Apakah ada kejelasan tempat dan waktu? Apa motif yang melatarbelakangi? Karena umumnya Visi itu penuh metafora, multi tafsir dan tidak benar-benar jelas.

Malam itu, selain cerita Aluy, Guru Yahya selaku pemimpin Mudzakaroh bercerita tentang ibu yang didatangi arwah anaknya yang berbeda agama melalui mimpi, yang minta untuk terus didoakan. Tentang kesembuhan penyakit karena wasilah sebuah kitab yang ia baca. Tentang angka 36 yang ternyata sama dengan nomor surah yang sering ia amalkan. Dan beberapa kejadian dan keajaiban individual lain yang sering disebut suprarasional atau supranatural.
 
Hal-hal seperti itu nyata ada di tengah-tengah kita. Petunjuk Tuhan bisa datang melalui mimpi, pertanda, firasat atau hal lain yang tidak bisa dibuktikan atau diverifikasi. Maka saya tidak bisa menolak, namun tidak juga lantas membenarkan dengan segera. Saya menghormati hal-hal yang spiritual, bahkan percaya pada tawassul, namun juga tidak kehilangan nalar kritis. Sebagai seorang yang beriman, saya tidak pernah meragukan ada yang gaib. Logikanya sederhana, sesuatu yang tidak bisa didengar, dirasakan dan dialami panca indra bukan berarti tidak ada. Karena jika iya, maka kita akan terperangkap pada dunia materialisme yang kering. Namun juga perlu diingat, agama ini bukan hanya tentang spiritualisme semu, tapi juga nalar dan logika yang jernih.
 
Dalam menghadapi cerita gaib yang tidak bisa diverifikasi itu tentu kita harus menerapkan logika. Bukan berarti saya mengharapkan bahwa hal yang gaib bisa masuk akal. Dunia gaib dan dunia nyata memang tidak sama, maka mengharapkan hal gaib bisa masuk akal adalah tindakan percuma. Logika yang saya maksud adalah tentang ketentuan sebab akibat, tentang silogisme, tentang premis dan konklusi, atau dengan kata lain kita tetap memerlukan ilmu yang menetapkan alat pengatur nalar yang kalau dipatuhi akan mampu menjaga kita dari kesalahan berpikir.
 
Wallahu’alam bissawab.



Jumat, 01 Oktober 2021

Air Adem dan Ngomong Kanan

SAYA tiba di rumah Njay ketika ia sedang bermain dengan anaknya di depan rumah, di pelataran mushola. Hari itu kami berniat berkunjung, berlebaran ke pesantren Kiya Fachruddin, dan menjadikan rumah Njay sebagai titik kumpul.
 
"Ada selang, Jay? Gue mo nyuci motor," Tanya saya ke tuan rumah sambil melepas baju koko dan peci. Saya merasa kurang enak berkunjung ke rumah guru dengan motor yang mirip sapi sehabis karapan, "Sama lap sekalian ya,"

“Waz, ada kanebo gak?” Njay bertanya ke adik Iparnya. Fawwaz menunjukan lokasi kanebo dan saya mulai mencuci.

"Yang laen gimana nih? Jadi pada ikut gak?" Njay bertanya ragu. Sambil menyiram motor dengan air keran mushola, saya memberi gestur tidak tahu.


KAMI memutuskan untuk pergi menggunakan dua motor. Njay dan Fawwaz di satu motor. Saya sendiri di motor yang sudah mentereng baru dicuci.

Tidak beberapa lama kami berkendara, telpon saya berbunyi.

"Udah sampe mana, Mi?" suara Kentung melalui earphone yang saya sambungkan ke helm.

"Pom bengsin. Gak tau daerah mana." Jawab saya cepat. Saya menyebut plang apapun yg ada di tempat itu.

"Oh, masih deket. Mampir ke tempat gua dulu. Nanti bareng-bareng ke Bang Fachruddin naek mobil gua." Kentung meminta ikut.

"Kalo itu tanya ketua dah," kata saya mengarahkan Kentung untuk bertanya kepada Njay.

"Dari tadi gua telpon Njay gak diangkat,"

Beberapa menit setelah itu, kami sudah berada di dalam Fortuner hitam. Kentung membawa full team; istri dan anaknya. Saya, Fawwaz dan Njay di kursi tengah. Kentung dan Septi, di kursi depan. Dan dua anak Kentung di kursi belakang.

“Mi, gua mo cerita, tapi awas ya, jangan lu tulis!” dari belakang kemudi Kentung memberi peringatan, sambil fokus melihat jalan dan sesekali memaki.

“Udah cerita aja.” Saya merespon. Saya tidak mengerti kenapa beberapa kawan yang bercerita tentang dirinya, suka berpesan untuk tidak saya tulis. Kentung bukan orang pertama.

“Awas ya, kalo lu tulis. Fesbuk lu gua hack.” Kentung mengancam. Saya tertawa. Jadi kalau setelah saya posting tulisan ini tiba-tiba ada video tata cara mengajukan pinjaman online di sini, kita tahu siapa pelakunya.

“Gua tuh, beberapa kali diminta aer adem sama orang-orang.” Kentung memulai cerita, “Gua juga bingung kenapa.”
 
“Buat apaan?” saya penasaran.

“Ya gak tau! Buat macem-macem kali. Buat sakit, tapi kebanyakan buat usaha,”

“Orang yang minta tau lu bekas anak pondok kali?” saya menebak.

“Lah tau dah. Yang gua heran, yang dateng tuh bukan dari agama kita, Mi.” Kentung menjelaskan dengan serius.

“Lah manjur, Tung.” Saya memuji sambil tertawa, “Emang lu kasih aer apa?”

“Awalnya sih gua kasih aer zam-zam. Emang kebeneran lagi ada. Tapi lama-lama gua kasih aja aer keran.” Kentung menjelaskan sambil cekikikan.

“Wah, parah luh! Serius?” saya menggeleng. Njay dan Fawwaz tidak bisa menahan geli.
 
“Nih ada bini gua nih. Lu tanya aja langsung kalo emang gak percaya mah,” saya memandang Septi di kursi depan yang menganggukan kepala tanda mengiyakan. Saya tidak punya alasan untuk tidak percaya.

“Lah kadang-kadang gua ditelpon, Mi.” Kentung menjelasakan sambil memperagakan sedang ditelpon karyawan tokonya. Sebagai anak bontot, Kentung mengurus toko mabel keluarga, “’Ada yang dateng ke toko minta aer, bang.’ Ya gua suruh aja isiin botol akua bekas pake aer keran.”

Saya kembali menggeleng dan cekikikan karena keisengan dan kelakuan ajaib Kentung. Keisengan itu sebenarnya sudah ada sejak saya mengenalnya pertama kali pada saat kami di pondok Tsanawaiyah puluhan tahun lalu yang kemudian saya abadikan di novel Badung Kesarung.

Beberapa waktu lalu saat saya membaca karakter Buto dalam Novel Rapijali, pikiran saya segera memvisualisasi gambaran Kentung yang sejak dulu memang sudah berwujud bangsa jin; buncit, tajir, percaya diri, iseng, blak-blakan cenderung kasar tapi juga pada saat yang sama supel, setia kawan dan perasa bahkan melankolis.

Ia tipe anak yang suka mem-bully tapi juga bersedia dan menikmati ketika ia di-bully. Memanggil kawan-kawan lain dengan macam-macam julukan seenaknya seperti Idung Cutbray, Pantat Bebek, Siluman Bibir atau dengan enteng menyapa nama bapak mereka. Kebanyakan kawan dengan mental kurang terlatih akan minder dan sakit hati dengan ejekan itu, namun Kentung hanya bisa dihadapi dengan cara balas menampar dengan kualitas tamparan yang setimpal. Impas.
 
Pernah suatu hari kami berkumpul untuk tahlilan wafatnya istri kawan kami Edo. Tidak beberapa lama setelah saya duduk bersila diantara kawan-kawan yang lain, Kentung menyapa, “Gimana kabarnya Haji Wahab?”

“Bokap gua udah meninggal, Lih!” kata saya datar. Sapaan pertama sudah cari masalah, pikir saya. Tapi tentu itu pertanda keakraban.

“Oh,” Kentung menjawab pendek.

Ini saatnya saya memberi tamparan yang setara, “Haji Nalih gimana? Masih idup?”

“Alhamdulilah, sehat. Kalo kagak mah gua kagak bergaul sama rakyat jelata kayak lu lu pada. Udah foya-foya gua dapet lungsuran,”

Bangsat, maki saya. Dengan santai ia bercanda tentang kematian dan kami tergelak menikmatinya.


KAMI tiba di pelataran pesantren bertepatan dengan azan zuhur, kemudian segera berwudhu untuk salat berjamaah di masjid, berharap Kiyai Fachruddin akan menjadi imam. Namun ternyata beliau sedang ada tamu dan mungkin melakukan jamaah di dalam pesantren.
 
Selesai salat, kami menuju bagian dalam pondok. Angin sepoy-sepoy bertiup dari arah sawah di samping bangunan santri. Menuju saung bambu yang asri, kami berpapasan dengan rombongan yang berjalan keluar karena sudah selesai sowan. Saya membayangkan saung itu tidak penah sepi dengan jamaah yang datang silih berganti. Karena ketika kami sedang bercakap-cakap dengan Kiyai Fachruddin pun, ada beberapa orang yang datang nimbrung.
 
Tidak jarang tamu datang jauh dari luar kota, luar pulau bahkan sampai larut malam. Kiyai Fachrudin bercerita bahwa pernah ada tamu belum pulang padahal ia sudah sangat mengantuk. Akhirnya beliau tertidur ditengah para tamu yang sedang bercengkrama.

“Cuma kalau sudah spertiga akhir malam gitu, ngomongnya jangan ngomongin kiri, saya bilang,” Kiyai Fachruddin menjelaskan, “Ngomong kanan aja,”

Awalnya kami tidak terlalu paham apa yang dimaksud, tapi beliau menjelaskan, “Coba ente bayangin. Ada orang yang janjiin ente, bakal ngasih apa aja. Dia minta ente dateng pada waktu dan tempat tertentu. Dia bakal ngasih apa aja permintaan ente. Kira-kira ente mau dateng gak?”
 
Kami diam manggut-manggut. Beliau melanjutkan, “Itu baru orang. Coba sekarang yang janjiin itu Tuhan. Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir dan berfirman: 'Siapa saja yang berdoa kepada-Ku akan Kukabulkan, siapa saja yang meminta sesuatu kepada-Ku akan Kuberi, siapa saja yang memohon ampunan dari-Ku akan Kuampuni."

Kami mulai mengerti apa yang dimaksud ngomong kanan, kalimat positif, optimistic attitude atau istilah-istilah lain. Dalam sehari kita dibombardir banyak omongan kiri, baik yang berasal dari diri sendiri atau orang lain. Kata-kata negatif yang sering membuat nyali ciut. Tapi kita memiliki kuasa untuk memilih akan dikemanakan sampah kata-kata itu. Apakah akan mengotori hati atau kita bisa membuang sampah pada tempatnya. Sementara itu, pada waktu-waktu tertentu bicaralah pada diri sendiri, berdoa kepada Tuhan dengan kalimat-kalimat kanan, dengan kata-kata positif.

Saya sangat mengerti bahwa kata-kata adalah doa. Apalagi diucapkan oleh seorang guru yang mulia, seorang mursyid. Saya percaya bahwa sampai saya bisa menulis beberapa buku sekarang ini adalah karena berkah dan doa beliau. Saya masih ingat ketika beliau mengomentari saya selepas Muhadoroh bertahun-tahun lalu, beliau bilang saya pencerita yang bagus. Dan begitulah kata-kata baik itu membawa saya sampai saat ini.

Kiyai Fachrudin adalah seorang guru yang mengerti arti penting dari kata-kata. Saya merasakan itu ketika memperhatikan pilihan kata yang beliau ucapkan ketika bercakap-cakap dengan kami.
 
Di tengah percakapan, ketika ada waktu saya iseng menyela, “Kentung sering diminta aer adem, Guru.”
 
Kentung memandang saya dengan wajah kesal gua-tabok-beneran-lu-Mi. Kiyai Fachruddin menanggapi cerita saya dengan tertawa. Terutama ketika saya ceritakan tentang air keran.


SEBELUM pulang, Kentung memberi gestur seperti enggan beranjak, “Enak nih, Kiyai. Kalo lagi kabur dari rumah bisa ke sini,” Kentung sambil nyengir.
 
“Iya boleh. Asal kemari bawa aer adem ya,” Kiyai Fachruddin sambil tersenyum. Semua orang terbahak kecuali Kentung.

Di kendaraan arah pulang, Kentung sewot, “Bener-bener lu, Mi. Udah gua bilang jangan diceritain.”

Saya tertawa, “Lah lu bilang kan gak boleh gua tulis, bukan gua ceritain.”

“Iya, ya. Lupa gua lagi ngomong ama bekas anak pondok.” Kentung pasrah.

Saya meneruskan tawa disusul Njay dan Fawwaz.



Kamis, 30 September 2021

Adab Murid Kepada Guru

Dalam kitab Ta’lim Muta’allim, ketika mushonif Imam Burhanuddin az-Zarnuji menjelaskan tentang adab murid kepada guru, beliau menulis sebuah ibroh:
 
Termasuk arti menghormati guru pula yaitu menghormati anak dan semua orang yang bersangkut paut dengannya. Guru kita Syaikhul Islam Burhanuiddin Shahibul Hidayah rahimahullah pernah bercerita bahwa ada seorang imam besar di Bochara, pada suatu ketika sedang duduk di tengah majlis belajar. Ia sering berdiri lalu duduk kembali. Setelah ditanya kenapa demikian, ia menjawab: ada seorang putra guruku yang sedang main-main di halaman rumah dengan teman-temannya, dan kadang-kadang ia datang ke pintu masjid, dan ketika aku melihatnya akupun berdiri demi menghormati guruku.

Uang Adem

Istri saya memberikan uang kepada Safa untuk membayar sesuatu di warung tetangga. Karena siang itu panas terik, Safa protes, "Gak mau ibu. Panas!"
 
"Ya udh pake sunblock, pake payung," ibu menyarankan.

"Gak mau ah, ribed,"

"Ya udh dianterin bapak naik motor,"

"Gak mau,"

Ibu pasrah, "Ya udah taro uangnya di atas kulkas. Tunggu adem."
 
Beberapa menit kemudian, saya membuka kulkas dan kaget karena ada uang di dalam kulkas. Itu jumlah uang yang sama dengan yang diberikan istri saya ke Safa.

"Ini siapa yang naro uang di kulkas?" Tanya saya ke semua orang di ruang tengah.

"Aku." Safa menjawab pede, "Tadi disuruh ibu."

Saya berusaha sekuat tenaga menahan tawa tapi gagal. Begitu juga yang lain. Tentu kecuali Safa dan Aira.


Minggu, 26 September 2021

Rapijali; Sebagus Perahu Kertas?

Ekspektasi yang terlalu tinggi bisa sepenuhnya menjadi alasan atas kekecewaan yang akan saya tulis pada review ini. Jika bukan karena Dee, Rapijali sudah saya tinggalkan pada bab ke 3.
 
Bab pertama dibuka canggung dengan janji akan konflik besar yang sayang tidak terbayar sampai akhir novel pertama, bahkan akhir novel ke dua. Alih-alih memberikan kepuasan setelah menutup halaman akhir, Rapijali meninggalkan pembaca dalam tanda tanya besar yang menyakitkan, semacam anak yang menanti janji ayah yang tidak pernah terlaksana.
 
Jika merupakan stategi yang akan diungkap pada buku ke 3, maka itu menjadi stategi bunuh diri. Saya khawatir Rapijali 3 akan bernasib seperti Maryamah Karpov - Andrea Hirata yang hadir hanya demi memenuhi penasaran dan kesenangan fanbase namun berakhir mengecewakan pembaca yang lebih serius.

Awalnya, ketika tahu cerita ini berdasar premis usang tentang Ping, seorang gadis prodigy musik yang berada di persimpangan jalan dalam meraih cita-cita, saya sama sekali tidak khawatir. Pengalaman Dee bisa membuat tema yang biasa saja menjadi menarik dalam sentuhan plot, setting dan dialog yang memikat. Saya tidak pernah meragukan kemampuannya dalam mengolah hal itu, namun sayang saya tidak menemukan itu paling tidak sampai paruh akhir novel pertama.

Di paruh awal, alur, adegan dan dialog tidak sepadat Perahu Kertas. Ini tentu pembanding yang sejajar daripada saya membandingkan dengan novellete Madre atau Filosofi Kopi. Saya seperti kehilangan magis dalam tulisan Dee karena ia menyajikan adegan yang boros, hambar dan tidak perlu. Tulisannya menjadi kering dengan beberapa karakter artifisial yang tidak dieksplorasi dengan baik, yang membunyikan dialog mandek dan kaku.

Mulai pada setengah akhir novel pertama dalam bab Juru Selamat, secara perlahan rangkaian kejanggalan adegan anak-anak remaja ala FTV yang memang sengaja dirancang, terbayar lunas. Walaupun setelah itu, kembali cerita menjadi minim elemen kejut dan sangat predictable. Baru pada pertengahan akhir buku ke dua saya merasa nyaman dengan para titular karakter. Karakter-karakter utama menjadi semakin believable dan hidup. Di sana kekuatan tulisan Dee seperti kembali, dengan gaya narasi serta elaborasi yang semakin padu. Memilih kosakata dan metafora untuk menggambarkan pendengaran lewat tulisan sungguh bukan perkara sederhana, bahkan mungkin lebih sulit dari deskripsi wewangian dalam Aroma Karsa. Di beberapa adegan ketika lagu-lagu dimainkan, saya membayangkan ini menjadi seperti lagu-lagu dalam Rectoverso yang bisa dinikmati di dunia nyata. Humor dan dialog yang merupakan keahlian Dee pada bagian ke dua ini juga semakin mengalir dan autentik, walaupun pada beberapa adegan masih terasa janggal dan terlalu dipaksakan.
 
Hal yang juga patut dipuji dalam karya ini adalah keberanian Dee untuk menggarap ceruk yang jarang dilirik oleh penulis populer Indonesia sebelumnya. Memasukan unsur politis pemilihan gubernur DKI Jakarta merupakan pertaruhan yang sangat beresiko. Walaupun tidak terlalu berhasil untuk memberi bekas yang mendalam, namun usaha melalui survey dan riset yang memadai itu patut diapresiasi.
 
Rapijali memang akan sangat relevan dan mudah dinikmati oleh remaja. Menulis dunia musik dan panggung yang akrab ia geluti, dengan perlahan tapi pasti Dee mampu membawa tulisannya di buku ke 2 menjadi semakin menemukan ruang yang dengan apik dirajut secara emosional, dramatis dan kompleks. Dengan konflik percintaan yang pasti mudah mengait secara personal dengan pembaca remaja. Patah hati yang pilu, cinta diam-diam yang manis, pergulatan atas penghalang cinta seperti agama, strata sosial dan ekonomi, juga jarak yang sangat relevan dengan siapapun.
 
Kesalahan yang tidak bisa dipungkiri adalah Rapijali terlalu ringan bahkan cenderung bertele-tele dengan konflik yang terlalu melebar. Jika dibuat lebih rapat dan ketat seperti Perahu Kertas, ini akan menjadi karya yang jauh lebih sempurna. Tereksplorasi dengan baik seperti Supernova, meninggalkan ina-inu penulisan yang tidak penting, dengan dialog yang lebih selektif yang pada akhirnya membawa pembaca pada keakraban intens. Saya percaya, jika ditulis dalam versi yang lebih ringkas, Rapijali akan semakin rapih.



Senin, 20 September 2021

Kebenaran Absolut

Ketika menjelaskan QS 95:1-3, Habib Quraish menulis, “… kesemua ajaran agama tersebut bersumber dari satu sumber, prinsip-prinsip ajarannya sama. Hanya saja, disayangkan bahwa akibat berlalunya masa yang berkepanjangan dari kehadirannya dan masa kita kini akibat dari kelalaian atau campur tangan manusia, maka sedikit atau banyak telah terjadi penambahan, pengurangan atau bahkan penyimpangan dari ajaran asli yang dibawa oleh para Nabi itu.”

Itu tentu klaim yang bisa diuji dan diverifikasi baik oleh ilmuan atau sejarawan. Saya teringat penjelasan Gus Baha dalam sebuah pengajian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah adalah kebenaran mutlak, “Akal pasti dipaksa untuk menerima kebenaran. Kebenaran itu milik siapa saja dan akan mudah dipahami.”

“Nabi bersabda, “Man qaala la ilaha illa allah dakholal jannah, wa in zaana wa in saraqa.”, maksudnya Nabi ingin mengatakan bahwa Allah itu Tuhan adalah kebenaran yang sejati, sehingga siapapun yang mengatakannya itu sah. Absolutisme kebenaran itu tidak terganggu oleh kesalehan atau kefasikan. Karena itu kebenaran absolut, maka semua akan ngomong seperti itu.”
 
“Saya berkali-kali mencontohkan, rektor Al Azhar akan bilang 1+1=2, lonte ya akan bilang 2, koruptor, KPK ya akan bilang 2. Kebenaran akan selalu benar, siapapun yang mengatakannya.”

Menutup penjelasannya, Habib Quraish menulis, “Al-Quran berpesan kepada Nabi Muhammad saw. agar menyampaikan kepada penganut agama lain: Katakanlah Muhammad, "Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua kemudian Dia akan memberi keputusan antara kita dengan benar dan Dialah Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui." Maha-benar Allah Tuhan Yang Mahaesa.”

Wallahu ‘alam.



Selasa, 27 Juli 2021

Anak-anak surga

mereka anak-anak panah
dilemparkan busur
kemudian melesat cepat

mereka anak-anak masa depan
berjalan ke hari esok
yang tidak terjangkau

mereka anak-anak surga
datang untuk mengabarkan
betapa hidup sangat singkat

mereka adalah ruh
naik ke tempat yang tinggi
meninggalkan raga yang fana

kita adalah ruh tanpa raga
yang mencari pulang
pada hal-hal yang menyenangkan

di sini aku menangisi kesementaraan
juga ingatan
juga kenangan


2021

Kefanaan Pada Detik Jam dan Ketabahan Pada Tanaman Tepi Jalan

Aku tidak tahu bagaimana cara seseorang meneruskan hidup setelah ditinggal orang yang sangat disayangi.

Hujan sudah selesai bersenang-senang ketika motor keluar dari tempat parkir. Jalanan basah, berkubang, langit menyisakan mendung seperti memberi nuansa untuk orang-orang yang sedang berduka malam itu.

Aku sendirian di atas kendaraan. Sungguh ingin sendirian. Bukan karena tidak ingin bersamamu. Aku sering membayangkan berkendara denganmu ke tempat-tempat yang belum kita kunjungi. Duduk menonton temaram senja di ujung garis cakrawala sambil bercerita tentang kita. Tapi di masa yang semakin bergegas ini aku juga rindu diam, berpikir, melamun. Mengulang-ulang kata dalam kepala sampai ia kehilangan makna. Sepanjang jalan memikirkan banyak hal termasuk kesedihan, kesendirian dan kematian. Sampai pertanyaan yang tidak aku tahu jawabnya itu datang.

Semua orang seperti ingin bergegas. Pekerjaan ingin bergegas. Informasi yang datang bergegas. Pertanyaan minta dijawab bergegas. Tidak sempat memberi jeda untuk pikiran memilih, sementara tangan dan lisan terlalu cepat bertindak. Bergegas. Bergegas. Bergegas. Aku mengulang kata itu dalam kepala sampai luntur maknanya.

Aku memikirkan kesedihan. Mengapa banyak orang yang menghindari bersedih? Apakah kesedihan harus menjadi lawan kebahagiaan? Sebagaimana cinta menjadi lawan benci? Bukankah kamu bilang lawan cinta bukan benci, tapi ketidakpedulian? Jadi lawan bahagia seharusnya bukanlah sedih tapi ketidaksadaran.

Mengapa bahagia menjadi begitu penting? Menjadi komoditas yang dikejar, apapun syarat yang diminta, walau menyulitkan. Asal bahagia atau yang penting bahagia. Seakan-akan sedih adalah hal yang tabu dan harus dijauhi. Selama ini kita mungkin beranggapan bahwa jika seseorang tidak bahagia maka ada yang tidak beres. Kita diajari bahwa kesedihan itu tidak boleh dibiarkan dan harus dihindari. Tapi bukankah kita bisa bersedih dan pada saat yang sama baik-baik saja? Atau bersedih dan pada saat yang sama bahagia? Bukankah seseorang bisa bahagia dengan apapun yang terjadi?

Menerima kesedihan itu wajar dan manusiawi, karena bagaimanapun kesedihan sebagaiman kebahagiaan tidak akan bertahan selamanya. Katamu ia momen yang berganti-ganti yang harus disadari. Maka hal yang lebih penting adalah kesadaran akan momen. Kesadaran akan saat ini.

Ketika berhenti di perempatan yang sudah sepi dengan pengendara, aku menyingsing ujung lengan jaket untuk melihat jam, pukul 20:28. Lampu lalu lintas menyala merah. Orang-orang diam menunggu di atas kendaraan yang membunyikan suara mesin dan meruapkan aroma monoksida. Dingin angin malam berhembus menerpa wajah pedagang karpet yang berjalan di sisi jalan memanggul bawaan. Ia berjalan menghindari kendaraan dan menginjak tanaman perdu dengan bunga kuning kecil di tepi trotoar. Bunga itu bergoyang dan tetap berdiri tidak peduli. Aku menyadari saat ini; kefanaan pada detik jam dan ketabahan pada tanaman tepi jalan.

Kemudian pertanyaan itu masuk; apa itu bahagia? Kemudian kesadaran itu datang bertanya, apa itu sedih? Apakah penjual karpet yang tidak satupun dagangannya laku sampai larut malam itu bersedih? Bukankah sedih bagi orang yang percaya pada ketentuan Tuhan itu konyol?

Hari ini kita banyak kehilangan. Guru-guru, orang tua, anak-anak surga, atau kawan yang tidak bisa lagi kita genggam tangannya. Ke mana mereka? Apakah mereka masih ada dan bisa kita rasakan, atau mereka merasakan kita? Mudah saja kita sadar bahwa kita ada. Descartes bilang aku berpikir maka aku ada. Tapi apakah suatu hari nanti kita akan tahu bahwa kita tidak ada?

Aku ingin sepi dan menulis puisi paling sedih untuk orang-orang yang pergi, tapi yang masuk dalam kepala adalah pertanyaan-pertanyaan yang kadang tidak kutemukan jawabnya. Aku tidak sanggup meneruskan membayangkan kamu atau anak-anak tidak ada. Bisakah kita belajar kezuhudan pada sekuntum bunga di tepi jalan? Yang tetap menawan tanpa peduli pada terik siang atau curah hujan?

Aku masih tidak tahu jawaban bagaimana cara seseorang meneruskan hidup setelah ditinggal orang yang sangat disayangi, namun aku cukup tahu bagaimana hidup dengan orang-orang yang masih peduli. Hidup dengan saling memperbaiki diri. Hidup dengan saling mempercayai. Di luar kita adalah orang yang sama, di dalam sana kita berbeda dari 12 atau 7 tahun yang lalu. Mungkin kita tumbuh menjadi lebih bisa mengikhlaskan beban, mudah bersyukur dan bijaksana.

Satu belokan lagi aku sampai padamu. Malam ini seperti biasa kita akan berpelukan dan tanpa sadar sudah terlelap tenang. Entah pada saat susah atau senang.



Jumat, 02 Juli 2021

Hidup di Dunia itu Mudah

Dalam sebuah pengajian, Gus Baha pernah bilang, “Saya dididik bapak, kalau ada santri nakal, saya biarkan. Karena dia bahagia dengan kealiman gak bisa. Bahagia lewat kekayaan, gak bisa. Bahagia punya istri cantik, gak bisa. Lalu kebahagiaan orang awam itu apa?”

“Makanya kalau saya lihat Rukhin pakia celana pendek, gak pakai baju, ngerokok kesana-kemari. Memang sudah seharusnya begitu. Udah gak usah dimarahi. Gak usah bilang itu gak pantes. Gak usah.”

“Kiyai punya banyak kebahagiaan. Orang awam kebahagiannya ngerokok di depan rumah, gak pakai baju, sambil ngeliatin orang lewat. Udah seneng mereka.”

“Jangan ngerusak kebahagiaan orang lain. Gak usah dikomentari hidup gak tertib, hidup gak sehat. Kamu bisa hidup sehat itu karena punya tabungan. Sedangkan mereka tidak punya. Anggap saja, warohmati wasiat kulli syai. Rahmat Allah bisa untuk siapa saja.”

“Paham ya? Saya minta hiduplah dengan mudah. Jangan dibuat rumit. Karena kalau kamu tidak menganggap hidup di dunia itu mudah, faqod asbaha saahiton ‘alallah. Jadi kalau ada orang yang di pagi hari bangun tidur pusing mikirin dunia, berarti dia membenci Allah. Kamu mau jadi orang yang membenci Allah?”

Wallahu ‘alam.

Minggu, 13 Juni 2021

K-Pop dan Kesehatan Mental

Menurut Riskesdas Kementerian RI tahun 2018, gangguan mental emosional di Indonesia ada 6,1% atau 11.315.500 orang. Itu jumlah yang besar dan semakin bertambah besar dengan adanya pandemi ini.

Setelah 5 bulan pandemi, survei PDSKJI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia) mendapatkan angka gejala cemas menjadi 65%, depresi 62% dan ptsd (gangguan stress pasca trauma) 75%. Sementara survei CESD Unpad setelah 6 bulan pandemik mendapatkan gejala depresi 47%, stres akut dan ptsd 35,51%.

Sayangnya, hanya 9% dari jumlah tersebut yang diobati secara medik. Stigma negatif terhadap seseorang dengan masalah mental menjadi salah satu masalah utama sulitnya penanganan isu depresi dan gangguan mental ini.

Hal yang sering disalahpahami kebanyakan kita adalah menganggap gangguan jiwa adalah hina dan aib. Itu kesalahan umum yang sering kita temui di seluruh dunia. Di Korea Selatan contohnya, 78% orangtua menganggap orang yang depresi adalah orang lemah. Di Indonesia, gangguan jiwa sering dikaitkan dengan kurang iman, kurang ikhlas, azab, karma, pengaruh ilmu kebatinan, ngelmu tanpa guru, gangguan jin, tumbal pesugihan dan lain-lain.

Gangguan jiwa/mental adalah penyakit biasa yang dapat menimpa siapa saja. Sama dengan penyakit fisik lain seperti migren atau flu. Berbeda dengan penyakit fisik yang cenderung mudah dikenali, orang biasanya tidak sadar sedang mengalami gangguan. Beberapa contoh gejala gangguan mental adalah: delusi, halusinasi, suasana hati yang berubah-ubah dalam periode tertentu, perasaan sedih yang berlangsung hingga berminggu-minggu, perasaan cemas dan takut yang berlebihan dan terus menerus, gangguan makan karena merasa takut berat badan bertambah atau makan dalam jumlah banyak, perubahan pola tidur, seperti mudah mengantuk dan tertidur, sulit tidur, serta gangguan pernapasan dan kaki gelisah saat tidur dan lain-lain.

Gejala yang dialami beragam, tapi cara mengatasinya cenderung sama, yaitu perubahan gaya hidup dan dukungan dari lingkungan terdekat. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mengurangi risiko serangan gangguan mental, salah satunya yaitu tetap berpartisipasi aktif dalam pergaulan dan aktivitas yang disenangi, contohnya mendengarkan K-Pop.

Di tengah pandemi ini, lagu-lagu K-Pop menjadi salah satu penolong orang-orang dengan gangguan mental itu. Dalam sebuah wawancara di acara konser BTS di London, beberapa Army (penggemar BTS) ditanya tetang mengapa mereka suka BTS, dan berikut adalah beberapa komentar:

“Karena pesan yang mereka bawa. Bahwa sayangi dirimu apa adanya.”

“Lagu-lagunya memberikan hal positif, terutama pada saat aku terpuruk.”

“Aku suka karena mereka tidak takut untuk bicara tentang depresi, kecemasan dan mencintai diri sendiri. Dan aku pikir kita perlu banyak hal seperti itu saat ini.”

Komentar lebih panjang ditulis oleh Rani Neutill, seorang professor berumur 43 tahun dari universitas Harvard, “For me, what has been most important is that BTS is my salve. I am not embarrassed to be a fangirl. If I saw them live, I would scream along with all the Gen-Zers. They are an antidepressant during this time of isolation, bringing me up from depressive lows. For a few hours a day after binging their videos, my anxiety is quelled as they allow me into their colorful, musical world. BTS has given me what we can't have during the pandemic: a sense of closeness.”

Saya tidak sedang mengeneralisasi dan mengatakan bahwa semua fans K-Pop mengalami gangguan mental emosional sehingga butuh pengobatan, sama sekali tidak. Mereka sama saja dengan kita, manusia yang punya unsur ketertarikan, latar belakang atau tujuan yang kadang sulit dianalisa. Karena bagaimanapun fans dan industri K-Pop punya problematika yang tidak sederhana.

Sebagian fans memang mengaku bahwa lagu-lagu K-Pop yang positif membuat mereka lebih menerima dan menyayangi diri mereka sendiri, mereka merasa lebih diterima dan dihargai, seperti komentar-komentar yang saya kutip di atas. Namun di sisi lain, industri K-Pop dikenal kerap memberikan tuntutan tinggi kepada para idol. Sejumlah agensi bahkan melarang bintang K-Pop untuk terlibat asmara agar tidak membuat fans kecewa. Para fans memberi tekanan terhadap idolanya mulai dari penampilan fisik, cara bersikap, cara berpakaian, cara hidup, bahkan cara berbicara. Semua harus sempurna. Mereka melakukan cyberbullying kepada siapapun yang “mengganggu” idola mereka, bahkan mereka melakukan cyberbullying kepada idola yang mereka anggap memiliki “cacat”. Tidak heran beberapa idol K-Pop sendiri mengaku mengalami gangguan mental, ada yang bertahan bahkan membuat lagu yang mengangkat isu kesehatan mental, ada juga yang hancur dan bunuh diri.

Para fans K-Pop, baik yang merasa tertolong akan masalah mental atau mereka yang melakukan perisakan kepada orang lain (bisa jadi mereka adalah orang yang sama), adalah golongan yang besar, punya keterikatan emosional yang sangat dalam dan sehingga sangat mudah digerakan hampir ke arah manapun. Sambil bercanda istri saya bilang, “Kalau ada capres yang menggandeng BTS untuk kampanye, atau hanya menyebut BTS bagus dalam kampanyenya, sudah pasti akan dipilih Army!”

Sekali lagi ini bukan perkara sederhana. Sehingga beberapa waktu lalu, ketika ada komentar bahwa memesan sebegitu banyak BTS Meal di McD dan membuat Ojol berkerumun adalah perbuatan dungu, saya menganggap ia tidak utuh dalam melihat masalah dan tidak punya argumen yang memadai. Banyak yang memesan BTS Meal bukan penyebab kerumunan, tapi karena tidak ada keseriusan dari pihak penjual untuk mengatur. Menyalahkan pembeli karena berkerumun adalah seperti menyalahkan anak kecil —yang belum punya penghasilan dan masih dalam tanggungjawab orang tua— atas alasan terlalu banyak main gadget. Keterikatan emosional yang mendalam para fans tidak bisa serampangan dianggap dungu, apalagi ketika mereka melakukan hal yang legal.

Saya ingin menutup tulisan ini dengan mengulangi fakta sederhana bahwa banyak orang yang punya gangguan mental tidak sadar mereka sedang mengalaminya. Pertanyaannya kemudian adalah apakah mereka adalah kita? Jika bukan, apakah kita menjadi golongan yang memperburuk atau yang bisa membantu mereka?



Jumat, 28 Mei 2021

Mengenang Guru yang Penyayang

Sekitar 19 tahun yang lalu, Kiyai Syarif masuk kelas kami untuk mengajar Musthalah Hadits. Pada pertemuan pertama itu, saya dan kawan-kawan sekelas diberikan sebuah Hadits Musalsal bil Awwaliyah (Hadist yang setiap perawi saling mengikuti di dalam suatu sifat tertentu, baik dalam bentuk ucapan, keadaan atau perbuatan. Untuk Hadits yang kami terima dari Kiyai Syarif ini bentuknya bil Awwaliyah, yaitu keadaan dimana seorang guru pertamakali mengajarkan muridnya Hadits)

Beliau membacakan sanad hadits tersebut secara lengkap, yang tersambung hingga rasulullah, dengan suara lembut, penuh ketenangan dan kewibawaan, sampai tiba pada Matan, “Qaala rasulullahi sallallahu alaihi wasallam: Ar-rãhimün yarhamuhumur Rahmãn Tabaraka Wataala. Irhamuu man fil ardhi yarhamkum man fissamã'”

Artinya adalah, “Para penyayang akan selalu disayangi oleh Sang Maha Penyayang. Sayangilah mereka yang ada di bumi, maka kalian akan disayangi oleh mereka yang ada di langit.”

Beberapa saat setelah beliau selesai membacakan sabda rasul, kawan kami Kazay Zainudin Ajah masuk kelas. Setelah meminta maaf karena ada urusan di pondok yang membuat telat masuk kelas, Njay duduk di kursinya, di baris paling depan, di sebelah saya duduk.
 
"Yah, ente ketinggalan." Kiyai Syarif berkomentar.
 
"Iya, nanti saya tanya sama temen, Kiyai," Njay menjawab dengan polos.
 
Kiyai Syarif tersenyum, "Gak bisa ditanya ke temen ente."
 
Njay seperti bingung, karena belum mendapat penjelasan bahwa yang barusan disampaikan adalah Hadits Musalsal bil Awwaliyah.
 
Dengan wajah yang selalu berseri, Kiyai Syarif mengulang membacakan hadits tersebut dengan kelembutan dan ketenangan yang sama persis dengan ketika pertama kali dibacakan kepada kami, hanya untuk satu orang muridnya yang terlambat masuk kelas.

Begitulah beliau kami kenang sebagai seorang penyayang, disayangi murid-muridnya dan semoga Allah beserta malaikat-malaikat yang ada di langit menyayangi beliau.

Al Fatihah.

Sabtu, 24 April 2021

Prophet for Our Time

Di bulan ini saya membaca Muhammad: Prophet for Our Time, “lanjutan” dari karya Karen Armstrong sebelumnya, Muhammad, A Biography of the Prophet. Ada latar belakang berbeda mengapa Karen menulis dua buku biografi tentang Nabi ini. Muhammad, A Biography of the Prophet ditulis tahun 1991 sebagai salah satu usaha Sarjana Barat memberikan penjelasan yang objektif serta pengertian yang komperhensif terhadap sosok Nabi Agung umat Islam ini. Sementara Muhammad: Prophet for Our Time ditulis setelah kejadian 11 September 2001, merespon media barat yang kembali mulai mengidentifikasi Islam dengan terrorisme.

Saya pertama kali mengenal Karen lewat bukunya Masa Depan Tuhan, lanjutan dari karya fenomenalnya, A History of God. Dalam biografi Nabi ini, Karen seperti ingin meneruskan pemikiran bahwa agama masih relevan bahkan menjadi solusi dalam abad baru ini.

Membaca biografi Nabi dari kalangan non-muslim membuat saya bisa melihat dari perspektif lain. Sebagai orang yang pernah tujuh tahun sebagai biarawati Katholik Roma, Karen tentu punya latar belakang yang cukup untuk memberikan sudut pandang Kristen bahkan Yahudi terhadap Islam. Beberapa kali malah saya berhenti membaca untuk mengecek beberapa ayat di Al Kitab yang ia kutip.

Tidak seperti tulisan-tulisan karya Barat pada Abad Pertengahan, yang cenderung punya persepsi yang negatif, tidak sesuai fakta, atau bahkan fitnah yang keji, Karen menulis biografi Nabi dengan objektif, banyak mengambil rujukan dari penulis biografi nabi pertama, Ibn Ishaq (w 767), juga referensi lain yang diakui oleh mayoritas Muslim di seluruh dunia.

Sementara karya biografi Nabi yang ditulis oleh kalangan Muslim kebanyakan lebih hati-hati terhadap motif dan tujuan Nabi, Karen menulis tentang nabi seperti ia tahu pikiran, perasaan, keinginan, hasrat atau rencana yang ada dalam hati Nabi. Atau seperti dinyatakan Kang Jalal, ia sudah punya alur dan kemudian menjadikan itu sebagai acuan untuk menyusun biografi. Maka membaca buku ini, seperti membaca novel. Walaupun bahkan penulis novel Nabi seperti Tasaro sekalipun, ketika menggambarkan keadaan batin dan pikiran Nabi, ia menulis dengan kalimat tanya. 

Kehati-hatian kalangan Muslim dalam hal pengungkapan visi dan motif Nabi tersebut bisa jadi karena tidak disebutkan secara gamblang atau diucapkan dalam hadits-hadits, sehingga penulis Muslim cenderung tidak menerjemahkan keinginan Nabi yang tidak berdasar dalil teks tersebut. Selain memang penghormatan umat Islam kepada Nabi sangat tinggi. (Buku karya Annemarie Schimel tentang penghormatan terhadap Nabi Saw. dalam Islam bisa dijadikan rujukan akademis yang cukup objektif)



Dalam penutup di Bab Salam, Karen mengutip sarjana Kanada, Wilfred Cantwell Smith (1957) yang menekankan tentang perlunya bukan hanya saling toleransi, tapi apresiasi diantara dunia Islam dan Barat. Ia mengatakan bahwa nilai-nilai kebaikan yang ada dalam Islam juga dimiliki oleh Barat, karena nilai-nilai tersebut tumbuh dari tradisi yang sama. Jika Muslim ingin menjawab tantangan zaman, maka mereka harus mengerti tradisi dan institusi Barat, karena keduanya tidak akan pernah lenyap. Jika tidak begitu, maka mereka akan gagal mengahadapi tantangan zaman. Ia juga mengkritik dengan keras kepada Barat tentang ketidakmampuan untuk mengakui bahwa mereka berbagi planet yang sama bukan dengan orang-orang yang lebih rendah, tapi dengan orang-orang yang setara.

Kritik ini sangat relevan bahkan sampai sekarang. Introspeksi ini bukan hanya bagi kalangan Barat, tapi juga untuk Muslim. Saya banyak menemui kawan yang selalu menganggap orang yang bukan Muslim sebagai orang-orang yang tidak jujur, tidak adil atau hal buruk lain. Itu tentu pemikiran yang dangkal dan tidak membawa kemanapun. Karena sejatinya, mengulang Cantwell, umat Islam berbagi planet yang sama dengan orang-orang non-muslim, bukan dengan orang-orang yang lebih rendah, tapi dengan orang-orang yang setara.

Pada kenyataannya, banyak peneliti Islam dari non-muslim seperti Karen yang objektif dan jujur. Islam memang dekat dengan Yahudi secara teologi, namun tidak dari segi politik, terutama sekarang ini. Berkebalikan dengan Nasrani, yang jauh dari segi teologi namun dekat secara politik. Rabi dan reformis Abraham Geiger menyatakan bahwa Nabi Muhammad bukanlah seorang penipu ulung. Hal ini diamini oleh Gustav Weil, orientalis Jerman penganut Yahudi, yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad bukanlah penipu tapi pembaharu yang tulus. Sesuai dengan Geiger dan banyak penulis abad kedelapan belas, Weil memandang Nabi sebagai pembaharu monoteisme asli yang tidak ternoda dari patriark Nabi Ibrahim. Dalam catatan Weil, Islam adalah versi murni dari Yudaisme dan Kristen: “A Judaism without the many ritual and ceremonial laws, which, according to Muhammad’s declaration, even Christ had been called to abolish, or a Christianity without the Trinity, crucifixion and salvation.”

Beberapa kawan Muslim yang saya temui, tidak jarang takut, atau bisa saya sebut enggan, membaca hal-hal tentang agama lain. Mungkin khawatir terpengaruh, atau terkurung pada anggapan tidak ada kebenaran selain apa yang ada pada mereka. Ignorance semacam ini tidak jarang membawa kepada ekstrimisme atau fundamentalisme agama. Sementara Islam adalah jalan tengah, agama solusi, Nabi banyak mencontohkan dalam kehiduapan beliau sehari-hari. Saya ingat apa yang selalu diulang-ulang Gus Baha dalam pengajiannya, bahwa Al Quran mengajak untuk berdialog dan berlogika kepada kaum yang menentang. Sejarah mencatat bagaimana perjanjian Hudaibiyah yang bahkan pada saat itu isinya dianggap oleh beberapa sahabat akan merugikan Islam, ternyata malah menguntungkan. Karen dan banyak peneliti Islam menganggap ketenangan Nabi dalam menghadapi peristiwa yang sungguh menegangkan tersebut merupakan bukti akan kegeniusan profetik beliau. Berikut kutipan Karen yang mengutip Ibn Ishaq di halaman 207-208:

Pada kenyataannya, perang terus berlanjut, tetapi para penulis sejarah Nabi sepakat bahwa Hudaibiyyah merupakan garis pembeda.”Belum pernah ada kemenangan (fatah) yang lebih besar daripada ini sebelumnya," tegas Ibn Ishaq. Akar makna dari FTH adalah "pembukaan"; gencatan senjata itu tampak tidak menjanjikan pada awalnya, tetapi itu membukakan pintu-pintu baru bagi Islam. Hingga saat itu, tak seorangpun bisa duduk untuk mendiskusikan agama baru tersebut dalam cara yang rasional, karena pertempuran yang tak hentinya dan kebencian yang terus memuncak. Tetapi kini, "ketika ada perjanjian damai dan orang-orang berjumpa dalam keadaan aman dan berkumpul bersama, setiap orang yang membincangkan tentang Islam secara cerdas beralih memeluknya". Bahkan, antara 628 dan 630, "jumlah orang yang masuk Islam berlipat dua atau lebih dari berlipat dua".

Dari kalangan Islam, kecuali yang terpelajar, sangat tidak peka dengan fakta ini. Pada setiap keyakinan selalu ada egoisme akut yang hanya mau orang lain memahami keyakinannya, namun tidak sebaliknya. Orang-orang yang bersikap tidak peduli, menutup diri, berburuk sangka, menganggap keyakinan lain adalah keyakinan kotor sehingga tidak perlu diketahui, tentu selalu ada di setiap agama, dan itu yang membuat dialog yang santun dan adil semakin sulit terjadi.

Di bulan tempat berkontemplasi ini. Kita seyogyanya bisa merenung dan melihat ke dalam diri, tentang sudah adilkah kita kepada orang lain, bahkan orang yang mungkin kita tidak suka? Sudahkah kita memiliki kerendahan hati untuk menerima kebenaran dan hikmah dari siapapun, bahkan dari orang yang tidak seagama?

Dalam paragraf akhir penutup, Karen menyimpulkan bahwa baik Islam dan Barat saat ini masih belum bisa saling menghargai. Bahkan dengan rendah hati ia mengakui bahwa Nabi adalah sosok yang tepat untuk dunia Barat dan Islam agar bisa saling mengapresiasi. Ia mengusulkan, jika kita ingin menghindari kehancuran dan mewujudkan kehidupan yang toleran dan saling mengapresiasi, untuk memulainya dari sosok Nabi Muhammad: “Seorang manusia yang kompleks, yang menolak kategorisasi dangkal yang didorong oleh ideologi, yang terkadang melakukan hal yang sulit atau mustahil untuk kita terima, tetapi memiliki kegeniusan yang luar biasa dan mendirikan sebuah agama dan tradisi budaya yang didasarkan bukan pada pedang, melainkan pada "Islam", berarti perdamaian dan kerukunan.”

Penutup dari Karen mengusik saya, karena itu berarti mengatakan secara tersirat bahwa banyak Muslim yang tidak memahami visi kenabian Nabi Muhammad sallalahu 'alaihi wasallam.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma’in

Wallahu 'alam bissowab

Rabu, 21 April 2021

Why so serious?

Sore hari. Ibu mengupas buah.

Aira (3 tahun): aku mau!
Ibu: kamu gak puasa?
Aira: puasa apa?
Ibu: gak makan dan minum.
Aira: aku gak puasa.

Azan maghrib. Orang-orang di rumah bersiap menyantap hidangan buka puasa.

Aira: aku mau!
Ibu: ini untuk orang yang puasa, dek.
Aira: aku juga puasa.

Semua yang mendengar tertawa. Kecuali Aira.






Pertanyaan Bulan Puasa

"Gofururrohim artinya apa, pak?" tanya Safa (8 tahun) di tengah membaca surat Al Baqarah, "kok aku sering baca ini."

"Maha Pengampun lagi Maha Penyayang," kata saya cepat, "sering diulang-ulang dalam Al Quran karena itu sifat paling dominan Tuhan."

"Dominan itu apa?"

"Sifat yang paling besar, yang paling kuat, yang paling banyak. Jadi kasih sayang dan ampunan Tuhan itu mengalahkan murka-Nya."

Nada (10 tahun) yang sedari awal mendengarkan ikut bertanya, "Kalau Allah Maha Pengampun, kenapa ada neraka?"

Ini pertanyaan sulit, kata saya dalam hati. Bukan semata-mata pertanyaannya, tapi karena saya harus menjawab dengan jawaban yang paling sederhana yang bisa diterima logika Nada dan Safa.
 
“Aku tahu!” Safa coba menjawab, “pernah dikasih tau ibu.”

“Kenapa, Teh?” saya penasaran.

“Karena kalau ada orang jahat di dunia… “ Safa diam seperti berpikir, “eh aku lupa deh!”

“Mungkin gini,” kata saya meneruskan, “Kalau ada orang jahat di dunia yang bebas dari kejahatannya, akan dihukum nanti di akhirat, di neraka. Begitu, Teh?”

“Iya begitu!” Safa antusias.

“Maksudnya?” Nada bertanya.

“Ya, peradilan di dunia kan tidak sempurna, Kak. Mungkin saja ada orang yang bersalah tapi dibebaskan pengadilan karena kurang bukti. Atau ada koruptor, pembunuh atau penjahat lain yang sampai mati tidak pernah diadili. Atau yang pinjam uang tidak dikembalikan, dan yang meminjamkan tidak ikhlas. Nah di akhirat nanti orang-orang tersebut tidak bisa lepas dari pengadilan Tuhan, dan hukuman di akhirat adalah neraka.”

Nada mengangguk, seperti paham.

“Ada satu hal lagi, Kak,” kata saya kemudian, “coba kamu bayangkan kamu menyelam ke dalam laut dan berbicara sama ikan yang tidak pernah sekalipun ke daratan.”

Nada dan Safa masih mendengarkan. Mungkin membayangkan. “Kamu jelasin ke ikan itu bahwa di atas sana ada daratan. Kira-kira ikan itu ngerti gak?” tanya saya retoris.

“Ngerti aja,” kata Nada cepat.

“Kan dia belum pernah ngerasain daratan? Dia tidak tahu dan tidak punya bayangan sama sekali tentang daratan, kan semua yang dia tahu air.”

Nada terdiam, mungkin berpikir. Saya melanjutkan, “Surga dan neraka adalah makna yang saling melengkapi. Seperti pahala dan dosa. Kita tidak akan mengenal orang kaya, kalau tidak ada orang miskin. Kita tidak bisa mengenal tinggi kalau tidak ada pendek. Atau perairan dan daratan. Gelap dan terang. Azab dan ampunan.”
 
Saya kemudian menyatukan penjelasan untuk pertanyaan Safa dan Nada, “Bagaimana kita mengerti Tuhan yang Maha Pengampun kalau kita tidak mengerti ada kesalahan yang diampuni? Bagaimana kita mengenal konsep surga kalau kita tidak tahu konsep neraka?”

Saya diam, mengamati apakah penjelasan saya terlalu rumit bagi mereka atau tidak. Saya tahu ada cacat logika di sana sini yang masih bisa diperdebatkan dari penjelasan itu, tapi biarlah nanti mereka mencari sendiri setelah dewasa. Saya juga ingin melanjutkan menjelaskan konsep Keadilan dan Rahmat Tuhan, tapi sepertinya akan terlalu berat. Akhirnya saya menambahkan hal yang lebih ringan dan positif, “Kakak dan Teteh percaya Allah Maha Pengasih dan Penyayang juga Pengampun?”

“Percaya,” Nada dan Safa hampir bersamaan.
 
“Bagus. Allah itu sesuai dengan prasangka hamba-Nya.” Saya memulai penjelasan yang lebih panjang, “Jadi pelajaran dari sifat-sifat Allah itu adalah kita tidak boleh sombong kepada orang lain, mengatakan bahwa mereka akan masuk neraka sambil merasa diri paling baik. Karena bisa jadi kesalahan orang lain diampuni Tuhan, tapi kesombongan bisa membuat hati kita kotor, iri, tidak bahagia, berdosa. Pelajaran lainnya adalah jangan berputus asa terhadap kasih sayang Allah, karena yang memasukan manusia ke surga bukan semata perbuatan yang manusia lakukan, tapi ampunan dan kasih sayang Allah.”

Wallahu ‘alam

Kamis, 15 April 2021

Musim Depan yang Belum Pasti dan Potensi Menjadi Seniman

Seperti biasa, jika tim kesayangannya terseok-seok dalam papan klasemen, Qoffal selalu berharap liga cepat selesai. Mungkin ia berharap musim depan akan lebih baik, walaupun biasanya ia akan kembali menghadapi luka yang sama. Manusia memang bebas memilih, termasuk memilih untuk sengsara.

Begini template harapan fans Perpul setiap tahun: awal musim harapan berjaya; setengah musim harapan juara; paruh akhir harapan 4 besar dan bisa di atas MU; perempat akhir harapan tidak kalah dari MU di leg 2, dan musim segera berakhir. Ketika musim mulai kembali, harapan-harapan itu terus berulang. Mirip orang yang terlalu percaya dengan politisi dan partai politik. Realitas memang sering tidak masuk akal.

“Ingin nonton film yang romantis-romantis aja, nonton Liverpool udah terlalu melebihi alam bawah perasaan, ada saran bung?” Qoffal bertanya lewat chating.

Saya tidak menjawab pertanyaan retoris dari orang patah hati. Saya tidak mungkin menyarankan nonton Drakor. Karena akan sama saja. Pencarian di luar diri tidak akan pernah memuaskan. Saya membayangkan kalau ia nonton Start Up, dan melihat adegan Dal Mi yang lebih memilih Do San daripada Ji Pyeong, ia akan ikut sakit hati kemudian mengingat kembali keterpurukan Perpul dan keberuntungan yang lebih memilih MU. Sambil menangis, ia akan menyumpah semoga Bruno kakinya patah.

“Gua udah peringatin dari awal,” respon saya lewat WA.

“Awal kapan?” ia masih kesal, “Itu cuma kebetulan!”

Saya tertawa. Ia sentimental tentang klub kesayangannya, dan itu lucu. Saya tidak akan menyanggah bahwa prediksi saya adalah kebetulan. Saya hanya akan menambahkan bahwa kebetulan itu sudah berlangsung tiga musim.
 
Sekitar bulan November, dalam sebuah status FB guru kami, Gus Dhiyaz Almaqdisi Muhajirin ketika Si Merah masih di pucuk dan seluruh Liverpudlian di jagat raya masih jumawa, saya membalas tag-nya, “Segalanya memang masih buram di musim ini. Tapi ada Qoidah Aglabiyah dalam 30 tahun terakhir, apa yang terjadi sekali tidak akan terjadi 2 kali.”

Saat ini Perpul terpuruk, tidak mungkin juara liga, gagal di Champion, kalah di kandang bahkan oleh tim yang harga keseluruhan pemain setara dengan sebelah kaki Mo Salah. Itu ibarat timnas kalah lawan tim Serikat Persatuan Sepakbola Kuli Pasar.

Ia mengoceh banyak tentang alasan timnya carut marut, “Saat ini Klopp bener-bener buntu, pemain-pemain down, badai cedera belom berenti. Komplitkan? Secara taktik, belakang ini yang dipake Klopp emang norak, tapi mo gimana pemain yang memadai nihil. Pemain yang cuma-cuma dipaksain buat ikutin arahannya, itu bodoh kalo ngarep cepet paham. Gak tega liat Ipul mati pelan-pelan. Bisa ga sih, kompetisi Liga Inggris musim ini diberhentiin aja. Virus bukannya semakin parah.”

Silahkan baca ulang lagi argumennya. Semakin dibaca akan semakin lawak. Untungnya, walaupun sering emosional, Qoffal tergolong bukan fans ekstrim seperti di Green Street Holigans. Sehingga saya bisa menertawakan kelakuannya dan dia tetap santai saja, masih memegang erat karakter Tawassuth, Tawazun, dan Tasamuh. Dengan sikap itu, boleh juga kalau dia diangkat sebagai Ketua PCNU cabang Merseyside.
 
Saya bisa saja bicara masalah teknis pertandingan untuk menambah dalih Qoffal, tapi saya tidak tertarik. Lebih mengasikan mengamati orang yang tinggal ribuan kilometer dari Anfield berduka nestapa atas kegagalan (lagi) tahun ini, serta lebih menyenangkan menganalisa respon fans melihat kemalangan tim itu di semua kejuaraan.
 
Saya pribadi tidak memiliki tim favorit di level klub dan menjadi agnostik garis lucu, karena sadar sudah terlalu tua untuk ikut-ikutan serta akan selalu ada hal-hal kocak yang akan terlihat kalau kita sedikit saja memberi jarak. Tentu keputusan ini mengakibatkan saya dimusuhi banyak pecinta klub, tergantung klub mana yang saya candai. Itu sepadan, mengingat ini adalah bentuk jihad rasionalitas melawan dogmatisme —memang keren kalau dibuat istilah, padahal ngibul.

Saya akan berikan beberapa contoh. Tahun 2013, beberapa pemain dari sebuah tim sepakbola Italy pura-pura cidera dan tidak mau bermain karena mendapat ancaman pembunuhan dari fans mereka. Sampai akhirnya tim tersebut didegradasi dan dijatuhi denda oleh Federasi Sepakbola Italia (FIGC) karena dinilai tidak sportif. Tahun lalu, waktu Liverpool juara, para fans MU garis keras bahkan ada yang mengancam lewat twitter sambil mention Anthony Martial, “I swear to god, if you congratulate them I’ll break your legs!”. Bagi fans MU mungkin itu serius, tapi bagi saya itu sangat lucu.

Begini, di Inggris, sepakbola sudah seperti agama, maka menarik melihat kesamaan keduanya dalam banyak hal. Jika sepakbola diibaratkan agama, maka klub bisa diibaratkan agama-agama yang bermacam-macam dan fans bisa diibaratkan pemeluk agama. Seperti biasa, tidak dimana-mana, pemeluk agama ada saja yang rese dan ekstrim. Holiganisme bahkan dimulai dari era jahiliah Inggris, sekitar abad ke-14 sampai mulai muncul di media pada pertengahan 1960-an. Kalau mau membayangkan ekstrimis masa itu di dunia sekarang, mungkin akan ada Liverpudlian konyol yang meledakan diri di depan loket karcis di Old Trafford sambil teriak, “I’ll never die alone!”

Untungnya, di agama sepakbola tuduhan bidah, murtad dan kafir tidak menyakitkan. Pada konteks yang lain, tuduhan itu bisa mengancam nyawa. Tentu ada pengecualian untuk tim lokal Indonesia. Karena tuduhan atau olokan seremeh apapun bisa memancing perang. Ikatan emosional chauvinis lokal seperti itu yang menakutkan. Seperti digambarkan Andy Bachtiar dengan tragis dalam Romeo Juliet.

Dalam hal fenomena fans ini saya pernah bertanya ke Qoffal; Apa artinya menjadi Liperpudlian? Apa artinya mendukung tim yang tidak pernah juara? Apa artinya 1 gelar juara dalam 30 tahun? Apa juga artinya menanggung kepedihan atas tim yang kembali payah?
 
Ia menjawab cepat; tidak ada artinya.
 
Kezuhudan di tangan Liverpudlian memang sudah menjadi way of life karena selalu menemukan momentum. Dan mungkin baginya menyukai Liverpool adalah jalan thoriqoh tasawuf.

Sepakbola sungguh bisa membuat penikmatnya mengalami kesedihan atau kesenangan yang absurd. Tidak jelas apa signifikansi terhadap kehidupan pribadi ketika timnya tidak juara sama sekali. Sebagaimana tidak jelas apa relevansi kegembiraan atas kemenangan tim kepada kehidupan pribadi. Selain hanya sebagai bahan kebanggaan seusai laga, yang cepat dilupakan. Maka betul sekali. Tidak ada artinya sepakbola yang fana ini!

Walaupun begitu, dalam pengalaman seumur hidup saya, jika menaruh rasa cinta yang dalam pada kesebelasan, maka menghadapi kepedihan terus menerus yang seperti kutukan, yang tidak berguna dan berarti, tetap menyenangkan. Itu perasaan yang membuat hati saya membuncah, perasaan ketika melihat timnas Indonesia bermain, entah kalah apalagi menang.
 
Saya mengamati, semakin dewasa fans, maka akan semakin santai. Namun seperti agama, tidak mudah membuat fans menjadi murtad atau berpindah. Maka terhadap fans yang tidak punya cukup nyali untuk bilang berhenti mendukung klub ini, saya teringat hukum kekekalan energi.
 
Menurut hukum kekekalan energi; energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan; energi hanya dapat diubah atau ditransfer dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Jadi saya ingin menyarankan Qoffal untuk bisa mengubah energi sakit hati menjadi energi lain. 

Energi itu bisa menjadi penggerak kreatifitas. Sakit hati di tangan penulis lagu akan jadi irama yang menyentuh, di tangan pelukis akan menjadi gambar yang mengagumkan, di tangan penyair akan menjadi puisi yang menyayat. Maka saran saya pada Qoffal dalam 7 pertandingan akhir ini; sering-seringlah menonton hujan, siapa tahu anda mulai tertarik jadi seniman.

Jumat, 12 Maret 2021

Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi

Saya tahu Raden Ahmad Rifai yang jatmika pasti belum pernah membaca cerita ini, bukan berarti karena raden tidak punya sekeping uang untuk membeli buku-buku bagus, atau tidak punya waktu untuk membaca, tapi mungkin karena raden sudah keasikan dengan hal lain dan kehilangan naluri untuk merenung atau mencoba.
 
Kitab ini menyulam dengan sangat apik cerita turun temurun yang raden pernah baca dari berbagai khazanah cerita dari masa-masa yang berlainan, dari mulai legenda, dongeng, cerita rakyat, mitos sampai kisah nabi dalam kitab suci, sambil tetap berlaku kritis atau kadang juga memberikan interpretasi baru bahkan mengubah jalan cerita dan tokoh-tokoh yang sudah raden kenal, dengan cara ringan, jenaka juga tragis.

Raden akan dibawa menelusuri belahan dunia lain di abad entah. Bukan hanya disajikan kegemaran ganjil Raden Mandasia mencuri daging sapi seperti dijanjikan judul kitab ini, tapi juga kehebatan lidah Sungu Lembu dalam hal mengecap rasa masakan yang beraneka rupa —mengingatkan saya akan kelegendarisan hidung Grenouille dalam Parfume atau Jati Wesi dalam Aroma Karsa. Raden akan diajak menyusuri pengalaman-pengalaman magis dan mendebarkan mereka berdua mengarungi laut sambil dihidangkan informasi sejarah berlimpah tentang bahtera.
 
Disamping juga menikmati kisah dari tokoh-tokoh lain yang tidak kalah mengejutkan dan menyenangkan untuk disimak. Puncaknya, raden akan dibawa merasakan kengerian peperangan yang membuat Prabu Watugunung sang raja agung Gilingwesi perlaya, dan kejijikan yang mengaduk-aduk perut seperti yang mungkin bisa raden jumpai waktu menyaksikan Game of Throne.
Ini adalah jenis cerita yang mengendap dalam, yang tidak memeberi raden pesan moral tertulis kekanak-kanakan, tapi bekas yang ditinggalkan mampu membuat merinding dan merenung lama, yang pada beberapa bagian bisa membuat raden memaki kadal bunting, atau seperti yang sering dikatakan Sungu Lembu, sang pangeran sejati Banjaran Waru, narator dalam cerita ini; anjing betul.

Kemudian raden bertanya, ketika saya mengabarkan kitab ini, “Apakah sudah boleh dipinjam?”
Itu pertanyaan yang sejujurnya sangat ngawur dan naif raden. Karena seperti kata petatah petitih pertapa suci, “Hanya orang bodoh yang mau meminjamkan bukunya. Dan hanya orang gila yang mau mengembalikan buku yang sudah dia pinjam.”

Namun, karena berkaitan dengan kawan bicara untuk membahas kitab ini yang saya butuhkan untuk tetap waras, silahkan raden datang ke padepokan saya. Selain buku mungkin raden akan saya buatkan kahwa hitam yang membuat jantung berdebar. Semoga saya tidak menjadi orang bodoh dan raden tidak menjadi orang gila, atau tidak terlalu gila.



Minggu, 21 Februari 2021

Bilang Begini Maksudnya Begitu

Manusia mungkin mengenal puisi sejak ia mengenal Bahasa, namun tidak ada definisi baku yang bisa menjelaskan puisi. Tidak ada ukuran resmi untuk suatu tulisan disebut puisi. Ada istilah popular yang dikenal di dunia kepenyairan yang disebut Licentia Poetica, bahwa puisi tidak terikat dengan ikatan-ikatan kebahasaan seperti struktur atau tanda baca. Maka privilege tersebut menjadikan puisi sulit untuk didefinisikan, jika tidak dikatakan mustahil. 

Menurut Sapardi, definisi mudah untuk puisi adalah; bilang begini maksudnya begitu. Dalam percakapan, kita sering mendapati kata-kata atau kalimat yang bentuknya puisi dengan definisi ini. Kita menyebut toilet dengan sebutan Kamar Kecil, atau menyebut bumper di jalan dengan Polisi Tidur, atau istilah lain seperti Mata Keranjang, Kumpul Kebo, Lintah Darat dan lain-lain adalah bilang begini maksudnya begitu.

Hal lain yang erat kaitannya dengan puisi adalah bunyi. Puisi adalah permainan bunyi. Di belakang truk-truk di jalan raya kita juga sering membaca puisi dengan diksi dan rima atau bunyi yang memikat, “ku injak gas dan kopling agar kau bisa shoping” atau, “putus cinta soal biasa, putus rem mati kita” atau, “hindari corona, tetaplah hidup walau tidak berguna”

Begitulah puisi menjadi sangat dekat dengan kehidupan manusia. Bahkan, bukankah dalam kitab suci juga terdapat unsur puitis? Bukalah kitab suci maka kita akan menemukan bagian dari puisi di sana, ada multi makna, rima, irama, diksi dan perspektif serta metafora yang bertebaran. Karena itu kitab suci tidak akan pernah berhenti dikaji dan karena itu tafsir dari masa ke masa terus ada. 

Puisi adalah naluri alami. Hal yang sangat dekat dengan manusia, disadari atau tidak. Ia dipakai manusia untuk menggugah, menasehati, menggambarkan keindahan, mengkongkritkan hal-hal abstrak, atau hanya untuk berkomunikasi. Suka atau tidak, manusia tidak bisa lepas dari puisi. Namun ada saja orang yang menganggap puisi itu jauh.

Saya pernah bertanya kepada seorang kawan tentang apakah ia menyukai puisi. Dengan tegas ia mengatakan tidak. Sama sekali tidak. Menurut dia puisi itu omong kosong dan sok romantis. Saya menganggap ia tidak mengerti apa yang dimaksud puisi, sehingga tidak bisa mengapresiasi. Kesulitan seseorang mengapresiasi mungkin yang menyebabkan puisi terasa rumit. Padahal puisi punya dimensi personal yang bebas diartikan oleh pembaca. 

Itu dimungkinkan juga karena pengajaran puisi di sekolah yang kaku, kuno dan membosankan. Padahal inti dari puisi adalah membuat orang yang membacanya tergerak, baik perasaan atau pemikiran. Dan itu tidak bisa dilakukan jika bahasa yang menjadi bahan baku puisi kering, kuno dan tidak mempunyai daya gugah terhadap orang kebanyakan. Maka dari itu puisi harus mencari cara baru dalam pengucapan, dalam perspektif juga dalam bahasa. Mengikuti semangat zaman. Dari sana puisi menjadi kontemporer dan lebih menyenangkan untuk dinikmati. Sehingga pengajaran puisi seharusnya bisa lebih menyenangkan dan mengikuti semangat zaman yang selalu berubah.

Saat ini puisi semakin populer dan berbaur dengan bahasa-bahasa termutakhir yang lebih mudah dan ramah pembaca awam. Puisi tidak lagi murung, suram atau kuno. Ia menjadi budaya baru karena memang pembentuk puisi adalah bahasa, dan sifat bahasa adalah berkembang. Maka puisi akan berkembang seiring berkembangnya bahasa. 

Apakah puisi hanya tentang romantisme kekasih?

Untuk menjawab itu saya akan mengutip beberapa puisi dari Joko Pinurbo.

Agama Khong Guan

Rengginang bersorak
ketika agama-agama menyatu
dalam kaleng Khong Guan.

(2019)

Misal

Misal Aku datang ke rumahmu
dan kau sedang khusyuk berdoa,
akankah kau keluar dari doamu
dan membukakan pintu untukKu?

(2016)

Saya tertegun lama ketika pertama kali membaca puisi itu. Dan semakin lama saya baca, ia semakin membuka diri pada pemahaman dan makna yang semakin dalam. Dan apakah puisi-puisi di atas adalah tentang romantisme sepasang kekasih? Tentu bukan. 

Apakah sulit untuk memahami atau membuat puisi?

Seperti bidang apapun, jawaban pertanyaan itu adalah gampang-gampang susah atau bisa juga susah-susah gampang. Dan seperti keahlian lain, membuat puisi bisa dipelajari. Berikut adalah beberapa buku yang saya rekomendasikan untuk yang ingin lebih mendalami, mengapresiasi atau mencoba membuat puisi. 

  1. Bilang Begini Maksudnya Begitu oleh Sapardi Djoko Damono. Buku ini membahas banyak hal tentang puisi. Dari dasar pembentukan puisi, jenis-jenis, unsur puisi dan lain-lain yang kesemuanya menggiring pembaca untuk bisa lebih apresiatif terhadap puisi.
  2. Membaca Sastra oleh Melani Budianta dkk. Buku ini membahas sastra secara umum, bukan hanya puisi. Ini buku yang cukup ringkas, sederhana namun kuat dalam isi. Diperuntukan untuk pengajar sastra, namun juga bisa dinikmati oleh kalangan awam yang ingin mengerti dunia sastra. Dimulai dari pengertian, contoh-contoh, sampai apresiasi dan kegiatan untuk dilakukan. Menurut saya ini adalah buku wajib bagi mahasiswa sastra.
  3. Sosiologi Sastra oleh Sapardi Djoko Damono. Buku ini membahas hubungan antara sastrawan, sastra dan masyarakat. Buku ini memaparkan dengan jelas pendekatan terhadap sastra daitinjau dari segi-segi kemasyarakatan.


Menutup tulisan ini, saya akan mengutip Goenawan Mohamad, “Mereka yang terbiasa dengan kekuasaan dan aturan memang umumnya sulit memahami puisi.”