Halaman

Minggu, 28 Juli 2019

Sebuah Cerita yang Baik untuk Dikenang

Kamu tahu apa yang paling ditakuti seorang penulis?

Kehilangan tangannya.

Tanganku patah dan sedang dalam masa penyembuhan ketika menulis ini. Aku memaksakan menulis dengan sebelah tangan, sebuah cerita tentang kita. Atau yang aku anggap begitu.

Suatu ketika, setelah beberapa minggu dipenjara karena menghianati Daenerys, dengan borgol di tangan, Tyrion didesak berbicara tentang siapa yang pantas menjadi raja atau ratu selanjutnya.

“I have nothing to do but think this past few weeks.” Katanya dengan suara berat, “About our bloody history. About the mistakes that we’ve made.”

Tyrion memandang Grey Worm yang segera memalingkan muka seperti muak dengan segala yang akan keluar dari mulut Tyrion.

“What’s unite people?” Tyrion bertanya retoris sambil berjalan lambat, “Armies? Gold? Flags?”
Ia menggeleng pelan kemudian menjawab sendiri, “Stories. There's nothing in the world more powerful than a good story. Nothing can stop it.”

Begitulah aku menyukai cerita yang bagus, dan GOT adalah salah satu cerita yang bisa kita suka bersama.

Telah banyak kisah yang kita nikmati bersama. Beberapa waktu yang belum lama, kita berada di dalam sebuah teater. Layar lebar di depan kita menampilkan credit title bersamaan dengan lampu-lampu di langit-langit yang perlahan-lahan menerang. Aku berdiri dan bertepuk tangan.

“Jangan malu-maluin, bang,” kamu berbisik sambil memegang lenganku. Menyadari banyak orang yang memperhatikan, aku menurut dan melemahkan tepukan tangan.

“Ayo, gak usah ditungguin. Gak bakal ada adegan tambahannya.” kamu menarik tanganku ke arah pintu keluar. Aku tahu itu, sebelumnya di loket karcis aku membaca, “Tidak ada Adegan Post-Credits di Avengers: Endgame!”

Sepertinya sudah lama sekali aku tidak standing applause di bioskop, terakhir kali aku melakukannya ketika kita belum saling kenal, ketika selesai menonton Quickie Express. Bukan karena tidak ada film yang bagus setelah itu, tapi karena aku jarang ke bioskop. Maksudnya, kita jarang ke bioskop. Rasanya aneh pergi ke sana tanpamu.

Jika dipikir-pikir, hubungan ini membuat beberapa hal terasa aneh. Betapa tidur, menonton, makan dan hal-hal lain yang biasa kita lakukan sendiri sebelumnya seperti terasa aneh jika kita lakukan sendiri sekarang.

Ada beberapa film yang memberikan kita kisah yang bagus, baik yang kita tonton bersama di dalam kamar setelah anak-anak tidur dengan laptop kecilmu atau di ruang sinema yang megah dengan popcorn yang mahal.

Diskusi setelah menonton memang sekarang ini menjadi pelepasan yang paling mudah. Namun ada sesuatu yang hilang, pembicaraan kita tentang buku. Suatu malam, aku tidak tahu harus bicara pada siapa tentang Aroma Karsa yang baru selesai kubaca. Aku bicara padamu tentang itu tapi kamu seperti tidak tertarik. Karena yang ingin aku bicarakan adalah perbandingan Madre, Perahu Kertas atau Filosofi Kopi. Buku-buku yang mungkin kamu belum baca semuanya.

Aku mengerti. Itu mungkin seperti ketika kamu sangat ingin berdiskusi tentang Reply 1997 dan 1988, tapi aku tidak kuat bahkan sekedar untuk menonton habis episode pertamanya. Aku mencoba dan sejujurnya tersiksa dengan bising suara para pemeran. Bagiku soundtrack dan suara karakter memberi kepuasan sendiri.

Aku suka beberapa soundtrack The Good Doctor versi Amerika, juga God Friended Me, juga seluruh logat British karakter GOT. Ser Davos dengan aksen flee bottom yang empuk di telinga. Atau Jon Snow yang berbicara menggunakan suara tenggorokan yang berat dengan sedikit desis diakhir tiap kalimat seperti berbisik. Atau bunyi Bahasa Valerian yang penuh huruf vokal dan R yang jelas dan bertenaga. Suara Varys atau Littlefinger akan mudah kita kenali walau dengan menutup mata.

Game of Throne itu unik. Jika dalam Avenger kita bisa dengan mudah menunjuk siapa pahlawan dan siapa penjahat —walaupun dalam beberapa adegan kita disajikan sisi humanis Thanos, dalam GOT batasan antara apa yang sekarang kita sebut kejahatan dan kebaikan menjadi sumir, karena menjelma menjadi penuh interpretasi. Karena memang serial itu tidak dimaksudkan untuk mengisnpirasi dan menyuapi kita tentang norma-norma, tapi lebih dalam, ia menumbuhkan kesadaran dan membuat kita bertanya kepada diri sendiri.

Kamu ingat saat King Slayer rela kehilangan tangan ketika menyelamatkan Brienne Tarth? Memang awalnya ia tidak tahu pergelangan tangan kanannya akan ditebas, tapi ia tidak pernah menyesal mendapatkan hal itu demi melindungi Brienne. Padahal tangan bagi kesatria adalah hal terpenting setelah kehormatan. Apa pertanyaan terdalam pada dirimu sendiri? Pertanyaanku adalah, apakah demi cinta seorang sanggup mengorbankan hal yang paling berharga?

Cerita-cerita itu hanya tinggal cerita. Apa yang mengendap dan mengusik kesadaran kita adalah hal lain yang lebih penting. Pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti cinta, ketakutan terbesar, pengorbanan, kebahagiaan dan hal-hal yang walaupun besar tapi sangat sederhana dan bisa kita temukan contohnya dalam keseharian.

Konon cinta bisa membuat bahagia, mengaduk perut dan membuat jantungmu seperti berlari karena semangat. Di sisi lain ia membuatmu rapuh seperti batang pohon yang getas dimakan usia, karena ketakutan akan kehilangan orang-orang yang kamu cintai. Ia juga butuh selaksa pengorbanan. Maka terimakasih untuk segala pengorbanan waktumu untuk merawatku, untuk bangun dan memasak sarapan dan bekal makan siang, untuk ketelatenan menjaga dan membersamai anak-anak, untuk segala doa yang kamu panjatkan demi keselamatan, kesehatan dan kebahagiaan kita. Terimakasih untuk setiap pelukan, perhatian dan semua ketulusan.

Sepanjang hidup, kita akan terus melatih diri untuk mengerti. Saling belajar dan memahami kerumitan pikiran masing-masing. Memaafkan dan mengikhlaskan kesalahan-kesalahan kecil, kekecewaan sendiri-sendiri. Mungkin aku akan menghadapi hal yang paling kutakuti. Mungkin kamu akan menghadapi hal yang paling kamu takuti. Karena begitulah cara kehidupan menguji kita. Jangan cemas, selama kita bersama, cerita kita akan menjadi kisah terbaik yang kelak akan kita kenang.

Rabu, 10 Juli 2019

Belajar Menjadi Manusia

Saya pertama mengenal Nath sekitar 16 tahun yang lalu. Sejak saat itu, saya selalu kagum padanya. Ia orang yang mudah bergaul dengan siapa saja, berpikiran terbuka dan enak diajak berdiskusi. Ia kawan kuliah paling pertama. Sebelum saya mengenal siapapun di kampus itu. Ketika saya drop out di smester tiga, kami mulai tidak saling bertemu. Walaupun begitu, hubungan kami tetap baik sampai hari ini.

Minggu lalu saya mengunjungi rumahnya di bilangan Depok untuk berlebaran. Ada hal menarik yang saya amati dari pertemuan singkat itu. Tidak pernah sekalipun saya melihat Nath memegang ponsel ketika berbicara dengan saya. Itu hal kecil yang sederhana namun membekas. Sikap menghormati lawan bicara dan tidak mengeluarkan ponsel saat percakapan adalah hal yang jarang saya temui. Sudah beberapa kali saya bertemu dan ngobrol dengan orang lain dan percakapan kami disela oleh ponsel. Bukan panggilan atau pesan penting, hanya hal-hal sepele.

Dan media sosial? Oh. Saya kehabisan kata-kata untuk laku-laku ajaib di sana, yang tidak akan kita temui di dunia nyata. 10 atau 15 tahun lalu, ketika belum ada media sosial, ketika penggunaan ponsel hanya untuk telpon dan SMS, hidup rasanya baik-baik saja. Mengapa sekarang menjadi rumit?

Ponsel adalah benda sialan yang kita cek sebelum dan setelah tidur. Seakan-akan kita akan mati tanpanya. Ya, saya tahu ada banyak hal yang memudahkan hidup yang datang bersamaan dengan teknologi, tapi juga ada hal-hal yang membuat kita berkurang menjadi manusia.

Mengobrol, bercanda, tertawa, persahabatan yang tulus dan persentuhan manusiawai secara langsung itulah yang menjadikan kita manusia. Hal yang tidak bisa digantikan oleh teknologi, dengan emotikon senyum atau tertawa. Dan pertemuan dengan Nath mengajarkan pada saya satu hal yang paling penting; untuk belajar menjadi manusia kembali.